Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Temani Aku Malam Ini
0
Suka
88
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Malam itu, tepat pukul sembilan, aku pamit pulang pada Ciara. Pertemuan singkat di kost-nya kurasa sudah cukup. Lagipula, tempat itu diawasi CCTV ketat—pengelola kost memang tidak main-main dalam mengawasi perilaku para penghuni, terutama yang dianggap tidak pantas. Sebagai pacar sekaligus teman sekampus, aku merasa bertanggung jawab atas keselamatannya.

Namun malam ini, aku datang bukan untuk pacaran atau mengerjakan tugas kuliah. Ciara meneleponku dengan suara panik—katanya, kamar kost-nya angker. Suaranya bergetar, hampir menangis. Ia ketakutan setengah mati.

Kebetulan aku sedang berada di luar, tak jauh dari kost-nya. Aku langsung mampir, meski hanya bisa berbicara dari luar pagar. Sudah jadi peraturan, tamu laki-laki tidak boleh masuk, apalagi malam hari.

Sulit sekali menenangkan Ciara. Selain penakut, dia juga sangat sensitif terhadap hal-hal mistis. Aku tahu itu. Namun hingga sekarang, dia belum bisa mengendalikan “kemampuannya” itu—jika memang bisa disebut kemampuan. Rasa takutnya terlalu besar. Aku, yang sama sekali tidak peka terhadap dunia seperti itu, hanya bisa menghibur dengan logika dan kata-kata menenangkan.

“Aku pulang dulu, ya. Besok kita ketemu di kampus,” kataku, mencoba terdengar tenang.

Wajahnya masih tegang. “I—iya. Tapi kamu harus langsung video call aku pas udah sampai kost, ya? Temanin aku tidur...” pintanya, hampir memohon.

Aku tersenyum, mengangguk. “Baik, sayang. Aku jalan dulu, ya. Byee…”

Kumainkan kunci motor, menyalakan mesin, lalu pergi meninggalkan kost itu. Tapi entah kenapa, ada perasaan ganjil yang mengikutiku malam itu—seperti ada sesuatu yang belum selesai.

Aku menyusuri jalanan malam dengan kecepatan sedang. Lampu jalan berpendar suram, seolah ikut menyesuaikan suasana hatiku. Firasat buruk menempel erat di tengkukku sejak aku keluar dari kost Ciara.

Sesampainya di kost-ku, aku langsung membuka ponsel dan menekan ikon video call. Ciara mengangkat di dering pertama.

"Lama banget!" ujarnya panik, napasnya cepat.

"Baru nyampe, sayang. Maaf," jawabku, mencoba tetap tenang. "Aku udah di kamar, santai aja. Nggak ada apa-apa, kan?"

Dia menggeleng cepat. "Ada suara... suara langkah kaki. Padahal aku ngunci kamar. Terus... tirai jendela tiba-tiba bergerak, padahal nggak ada angin."

Aku menelan ludah. "Kamu sendirian?"

"Ya. Semua temen kost udah tidur. Cuma aku yang masih bangun."

Aku melihat wajahnya di layar, pucat, matanya sembab. Aku berusaha bicara lembut, memberinya kenyamanan seperti biasa. Lama-lama dia mulai tenang, dan akhirnya merebahkan diri di kasur. Aku masih menemaninya, walau hanya lewat layar.

Beberapa menit hening. Aku kira dia tertidur. Tapi lalu, sesuatu terjadi.

Bayangan melintas di belakangnya.

Cepat.

Seperti sosok yang berlari melewati kamar, tapi... anehnya, posisi kamera tetap menghadap tembok dan jendela. Seharusnya tidak ada lorong di belakangnya. Itu dinding.

Aku langsung duduk tegak. "Ciara? Kamu lihat sesuatu barusan?"

Dia membuka matanya. "Apa?"

"Ada yang barusan lewat di belakang kamu."

"Apa maksudmu? Di belakang aku itu... tembok."

Aku diam. Tenggorokanku kering. Lalu tiba-tiba, layar ponsel bergetar hebat—seperti ada gangguan sinyal. Gambar Ciara membeku, dan suara dari seberang mendadak berubah menjadi dengungan rendah... lalu tertawa kecil. Pelan. Mengerikan.

"Ciara...?" panggilku.

Gambarnya kembali normal. Tapi wajah yang muncul di layar... bukan Ciara.

Itu wajah seseorang—atau sesuatu—yang mirip, tapi dengan kulit pucat keabu-abuan, mata menghitam, dan senyuman lebar yang tak wajar. Ia menatap lurus ke arahku.

"Aku sudah di sini," bisiknya.

Seketika sambungan terputus.

Aku terpaku. Nafasku tercekat. Telapak tanganku dingin. Keringat mengucur.

Lalu ponselku berdering.

Nomornya: Ciara.

Aku angkat, tangan gemetar.

Tapi suara yang terdengar bukan dari perempuan panik... melainkan suara laki-laki, dingin dan datar.

"Ciara sudah pulang dari kost sejak dua hari lalu. Dia kecelakaan. Sudah dikubur kemarin."

Tanganku gemetar hebat. Ponsel nyaris jatuh dari genggaman. Suara laki-laki itu masih terngiang jelas di telingaku—datar, tanpa emosi, tapi mematikan.

“Sudah dikubur kemarin.”

Aku menatap layar. Panggilan sudah terputus. Rasanya dada ini sesak, seperti ditindih batu besar.

Tidak. Tidak mungkin.

Aku baru saja bicara dengannya. Melihat wajahnya. Mendengar suaranya. Bahkan video call barusan, dia—dia—

Aku buru-buru membuka ulang riwayat panggilan. Ada. Tercatat jelas video call hampir 40 menit dengan nama “Ciara”.

Kubuka galeri. Aku memang tidak sempat screenshot saat video call, tapi biasanya sistem akan menyimpan pratinjau wajah terakhir dari panggilan.

Ada satu gambar.

Kutekan.

Dan lagi-lagi, wajah itu bukan Ciara. Tapi sosok yang sama—kulit abu, mata gelap, senyum lebar. Seolah menatap langsung ke dalam jiwaku.

Kakiku lemas. Aku terduduk.

Pikiranku kacau. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang selama ini kuajak bicara?

Kupaksa diriku bangkit. Kucoba hubungi nomor Ciara sekali lagi, tapi tak aktif.

Besoknya, dengan kepala berat dan tubuh yang seperti kehilangan arah, aku datang ke kampus. Kutanya beberapa teman satu kelas.

Mereka mengangguk pelan, wajah murung. Salah satu dari mereka bilang:

“Iya, kami juga syok. Katanya pas pulang dari kampus dua hari lalu, dia ketabrak truk di tikungan deket kosannya. Kritis. Meninggal malam itu juga.”

Aku terdiam. Seluruh tubuhku mati rasa. Aku baru sadar, malam ketika dia menghubungiku dengan panik... adalah malam yang sama ketika dia meninggal.

Bulu kudukku meremang.

Malam itu, dia memang ketakutan.

Tapi bukan karena ada hantu di kamarnya.

Dia takut, karena dia tahu... dia sudah mati, dan tidak tahu harus ke mana.

Dan aku?

Aku bukan menenangkan Ciara.

Aku sedang menemani arwahnya... mencari jalan pulang.

Aku tidak bisa tidur malam itu. Pikiran tentang Ciara terus menghantui. Tapi satu hal tak masuk akal—kalau memang dia sudah meninggal, siapa yang kukenal selama ini? Siapa yang bicara denganku semalam?

Keesokan harinya aku nekat kembali ke kost Ciara. Saat kutanya ibu penjaga kost, wajahnya berubah muram.

"Ciara? Anaknya baik. Sayang... dia nggak sempat pamit pas pindah. Tiga hari lalu dia dan orangtuanya datang angkut barang-barangnya. Katanya mau pindah karena kost ini bikin dia stres."

Aku mengerutkan dahi. “Pindah, Bu? Tapi... katanya dia meninggal, Bu. Saya dengar dari teman kampus.”

Si ibu menatapku aneh. "Meninggal? Nggak mungkin. Wong saya sendiri lihat dia pergi."

Aku tercekat. Mataku langsung menatap jendela lantai dua—kamar Ciara. Tirainya bergerak pelan, seolah ada yang mengintip.

Aku pulang dengan kepala berdenyut. Ponselku berbunyi.

Nomor tak dikenal.

“Kamu percaya mereka semua?” Suara Ciara—atau... seseorang yang menyerupainya.

“Kamu percaya aku yang sudah mati... atau mereka yang hidup tapi penuh kebohongan?”

Sambungan terputus sebelum aku sempat bertanya.

Lalu tiba-tiba, ingatan-ingatan mulai muncul... tapi bukan milikku.

Bayangan. Kilasan kamar gelap. Suara jeritan. Dan aku—bukan sebagai tokoh utama. Tapi sebagai penonton.

Aku mulai curiga... ada yang salah.

Malamnya, aku mencari berkas-berkas lama. Buku jurnal milikku, foto-foto kampus, bahkan postingan media sosial. Semuanya ada... tapi tidak satu pun yang menunjukkan aku dan Ciara bersama.

Hanya aku. Sendiri.

Dan ketika kubuka galeri ponsel—semua rekaman suara, semua chat dengan Ciara—hilang.

Yang tersisa... hanya satu pesan suara:

"Sekarang kamu tahu rasanya. Dulu aku minta tolong, kamu biarkan. Sekarang giliranmu untuk merasa sendirian."

Pesan itu terputus begitu saja, tanpa ada suara lain. Aku terdiam, merasa seolah ada sesuatu yang menempel pada tubuhku—sesuatu yang berat, dingin, dan menggelitik rasa takutku sampai ke tulang.

Aku segera menutup galeri ponsel dan membuangnya jauh-jauh ke dalam laci, berharap bisa melupakan semua ini. Tapi malam itu, rasa takut semakin menggerogoti pikiranku. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan sedang mengikutiku. Suara ketukan halus di jendela kamar, bayangan yang melintas cepat, dan sensasi adanya seseorang yang diam-diam memperhatikanku.

Tengah malam, aku terbangun. Ponselku berdering lagi.

Nomor tak dikenal.

Aku menelan ludah, lalu mengangkatnya. Suara yang keluar kali ini begitu pelan, hampir berbisik.

"Apa kamu takut?"

Aku menggigil. “Ciara... apakah itu kamu?”

Jawabannya hanya tawa yang semakin lama semakin keras, sampai akhirnya terhenti begitu saja.

Dan saat itu juga, sebuah bayangan muncul di sudut ruangan—sesosok wanita dengan wajah pucat, tersenyum lebar, mengarahkanku pada kegelapan yang lebih dalam dari yang bisa kuterima.

Aku menjerit, tapi suara itu terhenti. Aku tertidur. Terbangun di pagi hari dengan rasa cemas yang tak kunjung hilang.

Aku coba berpikir rasional. Tapi logika hanya bisa mengantarkanku pada satu pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya sudah mati, dan siapa yang masih hidup?

Malam itu, aku kembali menelusuri jejak-jejak Ciara. Ponselku kembali berdering. Tanpa berpikir panjang, aku mengangkatnya.

Suaranya terdengar jauh lebih jelas kali ini. "Aku tidak pernah pergi. Aku tidak pernah mati. Aku hanya menunggumu... untuk mengerti."

Jantungku berdegup kencang. "Kau... kau masih ada di sini, kan? Ini bukan lelucon, bukan? Ciara?"

Suara itu kembali tertawa. "Kau terlalu lama tertidur. Waktumu sudah habis. Kita akan bersama selamanya."

Aku menjerit lagi, kali ini lebih keras, mencoba berlari, namun pintu kamar terkunci sendiri. Bayangan Ciara mulai mendekat, dan aku merasakan tubuhku membeku, seperti tak bisa bergerak.

Sebelum semuanya benar-benar gelap, aku mendengar sebuah suara yang sangat familiar—suaraku sendiri.

"Aku yang salah. Aku tidak pernah mendengarmu."

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Temani Aku Malam Ini
adinda pratiwi
Flash
SCANDAL CAT
Xielna
Skrip Film
Dendam kesumat(Skrip Film)
winda nurdiana
Cerpen
Bronze
KADES YANG TEWAS KARENA SEGALON AIR LIMBAH
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Kelam
Rairaa
Cerpen
Samsara Paradox
N.P. Ramadhan
Skrip Film
Misteri Gunung Halilintar
Vitri Dwi Mantik
Cerpen
Bronze
Sttt... Jangan berisik. Kebenaran Bersembunyi dalam Sunyi
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Mirror | Universe
Rezt Elliot
Flash
Bulan Biru
Ravistara
Novel
Miss Mercenary
H.N.Minah
Flash
Pelangi Tiga Warna
Yaraa
Flash
Di Balik Semangkuk Bawang
Denik a nuramaliya
Flash
Singgah
hyu
Skrip Film
RESITAL HUJAN (SCRIPT)
Mashdar Zainal
Rekomendasi
Cerpen
Temani Aku Malam Ini
adinda pratiwi
Novel
The Hidden
adinda pratiwi
Cerpen
Firasat
adinda pratiwi
Cerpen
Persahabatan dan Obsesi
adinda pratiwi
Cerpen
Rantai Dendam
adinda pratiwi
Novel
Dinara
adinda pratiwi
Cerpen
Pesan Antar Dimensi
adinda pratiwi
Cerpen
Makam Keramat
adinda pratiwi
Cerpen
Penumpang Tak Diundang
adinda pratiwi
Cerpen
Tenggelam di Ombak Kematian
adinda pratiwi
Cerpen
Reuni di Villa Angker
adinda pratiwi
Cerpen
Sisi Lain Dimensi Mimpi
adinda pratiwi
Cerpen
Pertarungan Dua Darah
adinda pratiwi
Cerpen
Misteri Liontin Biru
adinda pratiwi
Cerpen
Pesan Cinta dari Semesta
adinda pratiwi