Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Teman Rahasia
0
Suka
2
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tempat ini sangat tinggi…. Dan dingin. Berapa ketinggiannya? Tidak tahu. Jika kau memandang ke depan, lurus, matamu akan membentur pucuk-pucuk gunung kemerahan. Tadi waktu kami baru tiba di sini, ada helikopter yang terbang pelan seperti capung ke arah kiri. Pengemudinya memakai topi kerucut berwarna merah-putih-biru. Mirip bendera Belanda. Apa dia dari Belanda? Tidak tahu. Helikopter itu terbang cukup dekat dan pelan sehingga kami bisa saling melambaikan tangan.

Pucuk sebuah gunung kukira berbentuk lancip seperti pensil yang diraut. Ternyata aku salah. Banyak juga tanah rata yang enak untuk diduduki. Di sini meskipun jarang, masih ada pepohonan untuk berteduh dan bersandar. Kulit-kulit pohon mengering dan pecah-pecah karena ini bulan Agustus. Kebanyakan pohon di sini adalah mahoni. Daun-daunnya lagi rontok. Gundul. Burung-burung kecil yang biasa sembunyi di balik daun, kini bersiul-siul tanpa sensor.

Aku datang bersama teman rahasiaku. Namanya Step. Dia bukan laki-laki ataupun perempuan. Bagaimana cara menyebutnya ya. Pokoknya dia bisa berubah menjadi apa saja. Saat ini ia menjadi beruang cokelat gendut seperti yang kuminta. Kami bersandar di pangkal pohon nangka yang tak berbuah. Duduk bersebelahan.

“Kenapa kamu membawaku ke tempat ini?” tanyaku.

Step mode beruang itu mengupil, menatapku, “Bukankah tempat ini sangat cocok untuk mengakhiri hidup?”

Saat ia berkata begitu, angin dari arah depan meniup kami. Daun-daun mahoni yang tersisa segelintir itu jatuh juga. Sekarang gundul absolut.

“Coba ubah dirimu menjadi Jack Nicholson di akhir film The Shining. Lalu bertanya lagi seperti tadi. Mungkin lebih cocok daripada mode beruang.”

Step mendongak, menjepit dagunya dengan jempol dan jari telunjuk. “Jack Nicholson di akhir film The Shining ya.”

“Yang kita tonton di bioskop tiga hari lalu. Sebelum film Jackie Brown. Kamu ingat?”

“Oh ya. Aku ingat. Dia menjadi Jack Torrence dan kesurupan di Hotel Overlook.”

“Seratus buat Step!”

Perlahan, bulu-bulu cokelatnya menyusut. Menjadi bulu-bulu halus. Bagian yang paling kusukai adalah perubahan wajah. Transformasinya perlu waktu lebih lama dibanding anggota tubuh lain. Ia tidak hanya meng-copy-paste tulang, kulit, dan daging saja, melainkan juga ekspresi dan bagaimana cara memandang lawan bicara.

“Bagaimana penampilanku sekarang? Apa sudah mirip Jack Nicholson?”

“Hmmm. Baru 75%. Seingatku tidak seceria ini. Coba pasang mata tenang dan senyum lebar. Jangan lupa tubuhmu diselimuti es. Dan ingus di hidungmu harus membeku juga.”

Step mengikuti instruksiku. “Sudah mirip, Mindy? Lihat! Ada helikopter lagi. Ekornya bawa bendera One Piece.”

“Step, cara bicaramu masih buru-buru. Dan kau malah pakai celana pendek. Jack itu kalau ngomong suaranya sangat santai seperti bos. Biarkan bendera itu berkibar. Kita lanjutkan yang tadi. Kamu harus bisa menguasai transformasi sempurna.”

“Kenapa harus repot-repot begitu?”

“Kalau tak mau menuruti kata-kataku, aku tak mau jadi temanmu lagi.”

“Jangan. Oke-oke. Aku akan bicara lebih santai.”

“Ulangi pertanyaanmu yang tadi.”

Step menatap mataku serius sambil tersenyum, “Bukankah tempat ini sangat cocok untuk mengakhiri hidup?”

“Ya. Kupikir ini tempat yang sempurna untuk mati. Bagaimana kamu tahu ada tempat seperti ini?”

“Saat kamu masih bayi,” sebelah ingus Step jatuh, lalu ia memasangnya kembali, “Ayah dan Ibu membawamu kemari. Kamu pasti tidak ingat.”

“Memang tidak ingat. Waktu itu kamu ikut?”

“Ya. Aku juga melihat saat mereka jatuh.”

“Apa Ayah dan Ibu bersama teman rahasia mereka juga?”

Step menggeleng. “Seingatku tidak ada yang lain, kecuali kita berempat. Mindy, kamu yakin ingin mati sekarang? Umurmu masih lima belas tahun. Kamu ingin menjadi dokter hewan kan?”

Aku tahu arah pembicaraan Step. “Jangan menyuruhku kembali ke rumah Paman lagi.”

“Tapi Paman bisa mewujudkan mimpimu.”

“Dia akan melakukan apapun untukku. Aku tahu, Step. Aku tahu. Tapi aku bukan boneka yang bebas dipeluk-peluk. Aku juga manusia yang sudah berumur 15 tahun. Ah, seandainya waktu itu kamu tidak menyelamatkanku. Pasti sekarang aku sudah bersama Ayah dan Ibu di surga.”

“Atau neraka.”

“Kamu jahat sekali. Tidak mungkin mereka di neraka.”

“Orang-orang bilang kalau menghasilkan anak di luar pernikahan akan masuk neraka.”

“Ganti kata menghasilkan dengan melahirkan. Itu tidak sopan, Step. Manusia itu bukan pabrik penghasil anak.”

“Maafkan mulutku.”

“Apa karena itu kamu membiarkan mereka mati?”

“Aku hanya tidak suka. Awalnya, mereka bilang ingin menikah dan merawatmu baik-baik. Tapi setelah kamu lahir, mereka memilih membuang segalanya dan menyeretmu ke alam kematian juga. Menurutku itu tidak adil. Bukan salahmu lahir ke dunia.”

Aku menghela napas. Selembar daun nangka jatuh ke pangkuanku. Warnanya mirip pucuk-pucuk gunung itu. Di bagian punggung daun, ada kepompong keras dengan duri-duri kecil. Saat kusentuh, kepompong itu bergerak. Aku bisa merasakan kehidupan di dalamnya.

“Step, aku takut pulang.”

“Jangan khawatir. Aku selalu bersamamu.”

“Kamu diam saja saat Paman memelukku di kamar.”

“Kupikir Paman menyayangimu.”

“Itu bukan pelukan sayang. Itu binatang. Kamu harus belajar cara membedakannya.”

Step menunduk. Kedua ingus bekunya jatuh dan ia tak mempedulikannya.

Matahari mulai mengubah langit dan udara menjadi jingga. Kawanan burung bangau putih, datang dari arah belakang, terbang lurus. Mungkin mereka hendak pulang.

“Step, kalau aku mati, apa kamu juga mati?”

“Mungkin tidak.”

“Apa kita benar-benar lahir dalam waktu bersamaan?”

Step mengangguk.

“Sekarang ubah tubuhmu menjadi aku.”

“Kamu boleh minta aku berubah jadi apa saja. Tapi jangan minta yang itu. Kita sudah pernah membicarakan hal ini kan?”

“Meskipun ini adalah permintaanku yang terakhir?”

Step mengangguk. Memang mustahil membuatnya jadi diriku. “Hmmm. Aku punya ide bagus. Ubah tubuhmu menjadi Paman.”

“Mindy….”

“Cepat lakukan apa yang kuminta. Tidak mustahil kan? Setelah ini aku janji kita pulang dan berhenti memikirkan kematian.”

Step mengangguk lagi. Ia masih mempertahankan senyum semringah Jack Nicholson. Namun, lambat laun bibir itu berubah lancip seperti paruh burung. Seumur hidup aku tak pernah melihat bibir yang lebih lancip dari milik Paman. Perubahan bentuk Step kali ini sangat sempurna. Ia juga memakai kacamata berbingkai bulat kecil. Saat tersenyum, sudut matanya membentuk lima garis.

Aku mengambil pisau dari tangannya yang dipakai untuk menakut-nakutiku semalam. Melihat Step yang berubah jadi Paman, darahku mendadak bergejolak. Tapi aku segera sadar sosok di depanku ini bukan Paman. Pria kurang ajar itu mungkin sekarang masih di perjalanan pulang dari kantor kecamatan. Aku membayangkan raut wajahnya saat melihat rumah kosong melompong dengan pintu terbuka. Otaknya yang licik itu pasti langsung mengatur siasat agar cepat menemukanku.

Memikirkan Paman hanya membuatku semakin tak sabar untuk menghujamkan pisau ini ke dada pria di depanku. “Step, bolehkah aku melampiaskan kebencianku padamu? Kamu toh tidak akan mati kan?”

“Kamu boleh melakukan apapun sesukamu padaku, Mindy.”

Dengan tenaga penuh, kutusuk dadanya. Darah segera merembes dan membasahi kemeja putihnya. Kutusuk berkali-kali. Darahnya muncrat mengenai wajahku. Aku tak peduli. Aku terus melakukannya sampai kebencianku habis. Sampai aku menganggap Paman benar-benar mati.

Rupanya proses itu menghabiskan banyak waktu. Aku ambruk memeluk tubuh Step. Tanpa terasa, waktu bergulir menjadi petang. Suasana di sekitarku menggelap. Wajah Step yang berubah jadi Paman berubah samar-samar.

“Cukup. Kurasa sudah cukup, Step.”

“Sudah agak mendingan? Kamu boleh menusukku lagi.”

Aku menggeleng. “Apa kamu tertarik menusukku juga? Sebagai permintaan maaf?”

“Jangan bercanda. Mana mungkin aku melakukannya. Kamu bisa mati.”

“Terima kasih, Step. Mungkin sudah waktunya kita pulang.”

“Kamu mau pulang dengan cara bagaimana?”

“Ubah tubuhmu jadi elang raksasa.”

Meskipun suasana di sekitarku remang-remang, aku masih bisa melihat Step mode elang raksasa melebarkan sayap di depanku. Aku naik ke punggungnya. Aku minta ia turun di bukit kosong belakang rumah Paman.

Ketika kami terbang, pikiranku belum tenang. Semakin dekat rumah, kecamuk di dada muncul lagi. Berkali-kali aku meyakinkan diri kalau Paman sekarang hanyalah mayat hidup. Dia sudah kubunuh berkali-kali. Namun sulit sekali menerima kenyataan bahwa ia masih hidup dan bernapas. Jika aku melompat dari punggung Step, pasti dia akan melakukan apapun untuk menyelamatkanku.

“Step.”

“Hmmm?”

“Apa kamu akan tetap diam saat Paman berbuat begitu lagi padaku?”

“Aku pastikan dia tak akan berbuat begitu lagi.”

“Aku ingin kamu membunuhnya kalau sampai terjadi lagi.”

Step hanya diam saat kami mulai turun di atas bukit.

***

The End

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Teman Rahasia
Seto Permada
Cerpen
Bronze
Menur: Dendam Roro Jongrang
Mila Phewhe
Novel
Gold
Sang Peramal
Noura Publishing
Novel
Ashen side of Sumatra
Bintang Harly Putra
Flash
Suara Dari Ruang Bawah
aleu
Flash
Kedamaian di Dalam Air
Art Fadilah
Cerpen
Bronze
Setelah Tersambar Petir
Drs. Eriyadi Budiman (sesuai KTP)
Cerpen
Pesan dari Pembunuh
Seto Permada
Cerpen
Bronze
PESUGIHAN NYI RORO KIDUL
Hadi Hartono
Cerpen
Bronze
GADIS
Yant Kalulu
Cerpen
Bronze
Pohon Terkutuk
Freya
Cerpen
Organisasi Rahasia
Venny P.
Flash
Hilang
Mas Sojo
Cerpen
Bronze
Kasur Basah
Hekto Kopter
Flash
Singgah
hyu
Rekomendasi
Cerpen
Teman Rahasia
Seto Permada
Cerpen
Pesan dari Pembunuh
Seto Permada