Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kalian pasti paham, perasaan berbunga yang datang tiba-tiba waktu melihat lawan jenis. Ketika melihat dia di depanmu, atau hanya sekedar melihat interaksinya dengan orang lain. Seperti perasaan aneh dari dalam dada yang menjalar keatas sampai membuat pipi panas, dan aku baru menyadari perasaan aneh ini, ketika kelas sebelas SMA.
Namun, perasaan menyenangkan ini di sertai dengan perasaan gamang yang sangat mendominasi.
"Hayoloh, melamun aja dari tadi." Yang berucap adalah, Dina. Murid pindahan yang sebulan ini telah menjadi bestie sebangkuku.
Aku tertawa kecil menanggapi.
Aku tidak melamun sedari tadi, hanya sedang mengamati satu lelaki yang sekarang terlihat tertawa di depan kelas. Bercanda bersama temannya dengan tangan erat menggenggam minuman kopi kalengan –minuman kesukaannya sedari kecil.
"Vell, yok kantin!" ajak Dina menggandengku keluar kelas. Dan di saat kami melewati gerombolan lelaki itu, tak sengaja Dina menginjak tali sepatunya. Tubuhnya oleng, membuat tangannya mendorong minuman salah satu dari mereka dan terciprat ke wajah lelaki itu. Sontak Dina panik meminta maaf dan tak elak kami semua tertawa terbahak melihat muka ngenes lelaki itu.
"Muka lo... Haha, muka lo ngenes banget Ky." Aku tertawa paling kencang sembari menunjuk mukanya yang basah.
Namanya Ricky, dan kami sudah berteman dekat sedari TK, bahkan selalu satu kelas di setiap sekolah, entah kebetulan atau memang keberuntungan bagiku. Dan alasan inilah yang membuatku gamang ketika mulai merasakan perasaan aneh itu.
"Sialan lo, Vell. Sini pinjem." Dengan seenak jidatnya dia menarik jilbabku untuk mengelap wajahnya yang basah.
"RICKY! lo nyebelin banget deeeh!" Teriakan kesalku menggema seketika. Cuma sedikit basahnya, tapi tetap saja terlihat di jilbab putihku.
Aku menendang kakinya kesal.
"Traktir gue di kantin pokoknya!" pintaku dan dia justru tertawa melihat muka kesalku. Dina di sampingku juga ikut tertawa melihat musibah tadi, justru berpindah ke diriku.
"Nih, beli sendiri sana. Dina sekalian," ucapnya sembari menyodorkan selembar uang, membuat wajahku berubah semringah seketika. Tanpa malu, kuambil uang di tangannya dan langsung menarik Dina menjauh dari mereka, tak lupa kujulurkan lidahku untuk mengejeknya.
Seperti itulah aku dan Ricky selama ini, tak lepas dari candaan dan ejekan. Namun, meskipun menyebalkan seperti itu, dia selalu baik kepadaku.
"Diantara kita kayaknya cuma Velly sama Dina aja deh yang nggak pernah pacaran." Saat di kantin, salah satu temanku ––Azel, tiba-tiba menyeletuk. Membuat satu sirkel pertemanan kami menoleh kearahku dan Dina.
"Biasa aja dong, natapnya." Aku tertawa kecil melihat tatapan teman-temanku.
"Iya ih, emang kenapa kalau nggak pernah pacaran? nggak bakal mati juga kan?" sahut Dina kalem membuat kami tertawa kecil.
"Lo gak ada niatan pacaran sama Ricky, Vell? Kalian deket banget loh." Itu yang bertanya adalah Anisa, gadis manis di kelas kami.
Aku menarik ujung bibir, pertanyaan klise dari dulu. Herannya, mereka tak pernah bosan menanyakannya pada kami.
Apakah selalu tak wajar persahabatan cewek dan cowok?.
Meskipun akhir-akhir ini aku menyadari ada hal yang beda, ketika aku berinteraksi dengan Ricky. Namun, aku tak pernah membayangkan hubungan persahabatan kami akan naik pangkat menjadi hubungan yang lebih serius. Untuk apa? Misalkan hubungan pertemanan kami berubah menjadi sepasang kekasih, setelah itu apa yang akan kami harapkan? Toh interaksi kami telah melebihi sepasang kekasih. Jika berakhir putus, justru bisa membuat kedua belah pihak menjadi canggung dan berakhir asing.
Sungguh aku tak menginginkan hal itu terjadi.
"Bosen, Nis. Dari dulu itu mulu pertanyaannya," jawabku tak acuh, membuat mereka berdecak sebal.
Aku dan Ricky memang terlalu dekat untuk hubungan pertemanan, rumah kami dekat dan tentunya kami selalu berangkat dan pulang sekolah bersama.
Soal makanan pun kami sering berbagi tanpa merasa jijik meskipun bekas salah satu dari kami. Orang tuaku juga akrab dengannya karena kami sering belajar bersama di rumahku.
"Gue juga gak mau punya hubungan lebih sama dia," lanjutku membuat mereka terdiam, tak melanjutkan pembahasan ini. Karena sedari dulu, jawabanku selalu sama.
***
Semakin kesini, tanpa bisa kucegah perasaanku padanya semakin membesar. aku menyembunyikannya dan tidak ada yang tau sama sekali. Dan aku menikmatinya, karena aku tak mau jika perasaanku terungkap justru membuat hubunganku dengan Ricky menjadi canggung.
"Eh kamu beneran nggak ada cowok yang di suka? jujur deh sama aku, janji nggak ember." sampai suatu hari, Dina tiba-tiba menanyakan hal itu dengan wajah super penasarannya. Aku tertawa kecil dan menggeleng tegas, karena aku tak mungkin memberitahu perasaanku.
"Coba kutebak deh, pasti murid sekolah ini."
"Tidaak! Mau lo nebak gimana pun nggak akan gue jawab, wleee," jawabku dan tertawa puas melihat wajah penasarannya yang pupus seketika. Dina terlihat berpikir sejenak, dan dari wajahnya ia terlihat ingin mengutarakan sesuatu, aku menaikkan alisku, menunggunya.
"Eh... Gini deh, kita saling berbagi rahasia gimana? Kamu pasti punya someone yang di suka kan. kamu kasih tau aku, ntar gantian deh, aku kasih tau siapa yang aku suka." Aku tertawa keras dan menggeleng, tetap kukuh pada pendirianku.
"Ayolah, vell. Aku kepo banget lohh." Melihat raut cemberutnya aku jadi berpikir sejenak. Sepertinya tidak ada salahnya berbagi rahasia dengan Dina, lagipula dia sudah menjadi sahabat terdekatku beberapa bulan ini. Dia tak mungkin mengumbar rahasia tanpa seijinku bukan?.
"Okay, tapi jangan ember lo!" Ancamku dan Dina mengangguk semangat. Aku tersenyum kecil dan menggaruk pelipisku yang sebenarnya tidak gatal. Jujur, aku sedikit malu mengungkapkan yang sebenarnya.
"Gue... Gue suka sama sahabat gue sendiri," ungkapku kemudian dan Dina terlihat kaget dengan ucapanku. Aku mengernyit menatapnya, wajah kagetnya terlihat aneh.
"Biasa aja kalik, Din,"ucapku dan membuat Dina tertawa kecil. Ia terlihat menepuk pelipisnya pelan.
"Seperti dugaan temen-temen selama ini ya, ternyata bener kamu suka sama Ricky," ucapnya masih tertawa kecil. Aku juga ikut tertawa, andaikan mereka mengetahuinya, tamat sudah riwayatku, pasti habis jadi bahan buly mereka.
"Udah lama?" Aku mengangguk, lumayan.
"Kenapa nggak kamu ungkapin sih." Dari nada bicaranya, sepertinya Dina sama seperti teman-teman yang lain, greget melihat hubungan persahabatanku yang kelewat deket itu. Aku hanya tertawa kecil dan menggeleng.
"Udah lupain, sekarang lo gantian. Siapa cowok yang lo suka?" todongku menagih kesepakatan kami tadi. Tapi Dina justru tertawa kecil.
"Gak ada, kamu kena tipu, wleeee."dia justru menjulurkan lidah mengejekku.
"Heh! kan udah kesepakatan tadi," sahutku tak Terima dan Dina hanya tertawa sembari bergegas membereskan peralatan tulisnya, karena para guru ada rapat dadakan, jadi kami dibebaskan untuk pulang.
"Asli gak ada, emang sengaja bilang gitu biar kamu mau jujur. Kamu tenang aja, aku nggak akan bocor. Aku pulang dulu ya, bye Velly." Dan Dina kabur begitu saja.
"Heh." Aku hendak mencegahnya namun dia berjalan cepat tanpa mendengarkan gerutuanku. Sungguh kekanakan sekali temanku yang satu ini.
Kupandangi dia sampai ketika Dina melewati meja Ricky yang di dekat pintu, aku melihatnya meletakkan kepalan tangannya di atas meja Ricky, membuatku memicing, apa yang Dina letakkan di meja Ricky? Seperti sebuah gulungan kertas kecil.
Jangan-jangan Dina bermaksud memberitahu Ricky? oh Tuhan,jangan sampai kecurigaanku menjadi nyata. Aku sontak bangkit dari dudukku dengan panik, berjalan mendekati Ricky yang terlihat bingung menatap sticky note yang berada di mejanya. Aku berjalan tanpa suara dengan niatan merampas kertas tersebut dari tangannya. Namun, baru saja tanganku melayang hendak merebut dari belakangnya, aku justru terdiam melihat tulisan di sticky note tersebut.
Ricky, kita putus aja.
Tentu mataku masih sehat, untuk bisa melihat tulisan itu dengan jelas.
Apa maksudnya?.
Mereka... Pacaran? Sejak kapan? Dan bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya?.
Baru saja aku mau membuka mulut, Ricky sudah bangkit dari duduknya. Ia sempat menoleh kearahku, namun dia tak menggubris kehadiranku sama sekali dan berjalan tergesa keluar kelas. Meninggalkanku yang masih berdiri mematung, tak paham apa yang terjadi sebenarnya.
Muka kaget, terlihat greget dan tak mau memberitahu yang sebenarnya. Jadi respon Dina tadi karena dia terkejut aku menyukai pasangannya? Namun, bagaimana mungkin mereka bisa menutupinya serapat ini?.
Tolong siapapun, berikan aku penjelasan yang masuk akal. Tubuhku terhuyung duduk di kursi. Hanya aku sendiri yang tersisa di kelas, dan aku tidak ada tenaga untuk beranjak pulang.
Aku menyukai Ricky, dan aku tak ingin mengorbankan pertemanan kami demi perasaanku. Namun bukan berarti aku akan baik-baik saja ketika Ricky bersama orang lain.
Apalagi, dengan seseorang yang notabenenya masih baru di kehidupan kami.
Aku masih terpaku, memikirkan kejadian ini yang terlalu cepat.
Ponselku bergetar, dan kulihat layarnya yang menampilkan pop up pesan, dari dua orang yang berhasil membuatku seperti orang dongo sekarang.
DINA: vell... Maaf, maafin aku.
Aku terdiam, fakta Ricky menjalin hubungan dengan murid baru yang baru beberapa bulan disini cukup menggores harga diriku. Namun, pantaskah aku marah jika Dina langsung memutuskan hubungan mereka demi diriku yang ternyata mencintai Ricky?. Permintaan maaf ini, sungguh tak layak kudapatkan.
RICKY: gue Backstreet sama Dina, lo udah tahu ya? tanyain dong kenapa dia tiba-tiba ngajakin putus, lo sahabatnya kan :)
Ricky sialan!
Aku tertawa miris, sungguh sangat lucu semesta ini mencandaiku. Tapi maaf, aku tidak tertawa sama sekali.
Sahabat jadi cinta? Cih! Hanya omong kosong belaka.
***
Aku berjalan keluar kelas ketika dirasa perasaanku sudah tenang dan sekolah mulai sepi.
Namun, ternyata dua sahabatku yang telah berubah status dan penyebab kegalauanku itu masih berada di sekolah. Mereka terlihat beradu argumen di parkiran.
Aku memilih diam dan mengamati mereka dari jarak aman.
"Jadi kamu minta backstreet itu karena Velly? "
Dapat kudengar dengan jelas percakapan mereka. Dan ketika namaku disebut, aku tak bisa menahan tanganku untuk terkepal.
Dina terlihat menunduk tanpa menjawab sepatah kata pun.
"Please, Din. Aku turutin semua kemauan kamu buat nyembunyiin hubungan kita, pulang pergi bareng Velly, bukan berarti aku suka sama Velly! " Ricky menaikkan nada bicaranya, membuatku tersenyum miris mendengarnya. Dan aku masih bergeming mendengarkan, padahal aku sudah tahu pembicaraan mereka pasti akan menyakitiku.
"Bukan gitu Ricky... Udah, kita putus aja. Aku mau ngehargai persahabatan kalian."
"Ngehargai gimana? Velly udah kuanggap saudara, jadi nggak mungkin aku suka sama dia!"
"Bukan kamu, Ricky... "
Din, cukup! Batinku menjerit, aku tak mau Ricky mengetahui perasaanku.
Kakiku bergerak cepat ke arah mereka.
"Tapi Velly."
Terlambat.
Dan aku terdiam tepat dua meter di belakang mereka. Ricky terkejut, lebih-lebih melihatku di belakangnya.
Dina terlihat berkaca-kaca menatapku.
"Sorry." Aku tersenyum kecil dan bergegas pergi dari mereka.
Teman, itu kata mereka.
Saudara, Ricky yang mengatakannya.
Namun..., Aku mencintainya.
"Velly!" Tak ku gubris teriakan mereka memanggil namaku. Aku berlari keluar gerbang dan menghadang taksi yang lewat. Segera pergi dari mereka.
Hanya soal perasaanku, kenapa menjadi rumit seperti ini?.
Memang benar, harusnya aku hanya boleh menyayangi Ricky sebagai teman, tanpa ada perasaan yang lain.
Kurasakan handphone ku kembali bergetar, mereka bergantian meneleponku. Dasar gila! Jelas aku tak akan menerima panggilan mereka.
Beberapa saat kemudian, ketika ku rasakan handphoneku tak lagi bergetar, aku mencoba menyalakannya. Dan tentu saja, pesan mereka menyembul dengan tidak tahu malunya.
RICKY: gue cinta sama Dina, lo nggak mungkin suka sama gue kan Velly?
Aku kembali tertawa miris.
Salah! Ternyata aku yang tidak tahu malu, merusak hubungan dua orang yang saling mencintai itu.
DINA: Velly, sekali lagi maafin aku.
Seharusnya aku yang minta maaf sama lo Din!
Andaikan aku tahu hubungan mereka lebih awal, pasti takkan kubiarkan Dina mengetahui perasaanku yang sebenarnya.
Semua ini hanya soal waktu, jadi siapa yang bisa disalahkan?.
Namun, satu yang pasti.
Hubunganku dengan Ricky, tidak akan baik-baik saja.
Dan ketakutanku, segera menjadi kenyataan.
Tak ada hubungan pertemanan lelaki dan perempuan yang baik-baik saja, tanpa melibatkan perasaan di dalamnya.
Terdengar klise dan dulu aku tak mempercayainya.
Dan ternyata, aku merasakannya sekarang.
—————