Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Empat orang mahasiswa tengah berkumpul di salah satu kamar kos dengan suatu tujuan. Mereka adalah Fandi, Gilang, Rama dan Luki. Mereka memakai empat kartu sim baru untuk mengisengi nomor random. Mereka semata-mata hanya ingin mendapatkan cewek saja, iya kan siapa tahu yang ngangkat cewek? Mengingat salah satu dari mereka yaitu Gilang sempat mendapatkan cewek dari mengacak nomor, cantik pula! Sayangnya ia sudah punya pacar, kata manusia gondrong tersebut alias Gilang "Lumayan, bisa menambah pertemanan."
“Hom pim pah!”
Dari keempat tangan tersebut, yang berbeda hanya milik Rama karena menunjukkan telapak terbalik, aliasnya hitam sendiri.
“ Ram, lo duluan, nih gue acakin nomor depannya” Fandi pun mengocok kertas-kertas kecil yang digulung itu, “085”
“Ok, kita acak nomornya.” Ujar Luki.
Dan nomor random pertama sudah siap, 085xxxxxxxxx. (sengaja disamarkan)
Tuuuttt..tuuttt...
“Halo?”
“Gue gak tahu siapa lo! Tapi gue bakalan cari dan bunuh lo!”
Tut. Tut. Tut.
“Njir!” seru Rama yang langsung membuang kartunya karena takut, terkejut karena seperti dialog film Taken, “apa lo liat-liat? Sana hom pim pah lagi!”
“Hom pim pah!”
Sekarang giliran Luki. Mereka pun mulai mengacak nomor, dan keluarlah nomor 087xxxxxxxxx.
Tuutt....
“Halo?” terdengarlah suara cewek dari seberang telepon.
Luki pun menyumbat teleponnya dan bersorak pelan, “Cewek guys!”
Semua orang pun mendekat dan Luki mengeraskan suaranya.
“Halo?”
“Iya mbak, maaf ini bener temen saya Rita Anggraeni?”
“Rita Anggraeni? Bukan mas, kayaknya salah sambung deh.”
“Salah sambung ya... eh ngomong-ngomong mbak ini siapa namanya?”
“Ihh kepo..”
“Ya kan bisa nambah temen kan?”
“Cowok dulu dong.”
“Oke deh, nama gue Luki Adriansyah, nah kan gue udah nyebutin nama, sekarang lo dong.”
“Nama gue.. Fina.”
“Kok jawabnya ragu gitu?”
“Gimanya ya? Gue aja gak kenal lo.”
“Haha.. iya-iya, btw masih sekolah?” Luki mencoba keberuntungannya.
“Kok nanyanya gitu?”
“Soalnya gue males kalo ngomong ama tante.”
Ketiga temannya langsung melirik satu sama lain, sungguh pedofil terselubung.
“Gue masih sekolah keles, enak aja bilang tante-tante!” Suara marahnya terdengar ngeri.
“Haha.. sekolah apa? SMA apa SMP?”
“SMA, napa lo masih SMP?”
“Sembarangan, gue udah kuliah.”
Makin melototlah ketiga temannya karena si kampret satu ini berhasil menghubungi cewek SMA. Sementara itu, Fandi yang memang suka dedek-dedek gemes sedang mempersiapkan pukulan mematikan di belakang kalau Luki sampai dapat cewek itu. Sedangkan Rama sedang mojok karena trauma dengar suara laki-laki tadi.
“Oh, Kak Luki masih kuliah.” Suara di seberang nampak sangat renyah sekali.
“Iya. Eh, aku boleh nggak nih panggil kamu Dek Fina?”
Fandi mulai mengeluarkan ekspresi kesal luar biasa, tetapi ditahan-tahan. Langsung gerak cepat saja jambul ayam satu ini.
“BTW boleh gak aku liat wajah kamu, kali aja pernah liat.”
“Kakak mau ketemuan?" Tanya gadis di seberang tersebut.
"Boleh aja dong!"
Lalu terjadilah pertukaran alamat itu dan makin senanglah ketika alamat kos ini dengan rumah Fina hanya berjarak satu kilometer. Telepon ditutup dengan tertawa renyah setelah percakapan sepanjang lima menit yang penuh bunga-bunga.
“Yesss..!!” seru Luki.
“Sukses lo?” tanya Rama.
“Iya duooonggg.. hahahaha..”
“Bisa aja lo.” Ujar Fandi tertahan rasa kesalnya.
Luki tersenyum bangga, dan sedikit mengejek teman-temannya. Tinggal tersisa dua orang lagi yang harus beradu suit untuk mencoba keberuntungan. Yang kalah suit dia yang akan menelepon duluan. Angka demi angka telah mereka acak, dan nomor random berikutnya adalah 081xxxxxxxxx. Kali ini Fandi yang akan menelepon.
“Halo?” terdengar suara perempuan yang wow ajib.
“Apa bener ini Chika?”
“Iya, kok kamu bisa tahu?”
Fandi terkejut tetapi ia melanjutkannya, “Lagi nyari temen aku.”
“Kamu butuh temen?”
“I..iya..”
“Kamu punya uang berapa?”
“Uang? Kebetulan lagi bokek mbak.”
“Ish, gapapa deh, asal suka sama suka tanpa bayar aku rela deh..”
Ctek. Ctek.
Fandi langsung melepaskan baterainya.
“Njir! Cewek panggilan bro!” seru Fandi.
“Asik tuh!” komentar Gilang.
“Asik! Asik! Gundulmu! Dosa tahu! Udah, Lang giliran lo!”
Gilang tertawa keras, menurutnya Fandi sudah menyianyiakan kesempatan emas. Mereka pun mengacak angka-angka lagi, dan keluarlah nomor random terakhir. Cukup lama tak diangkat, dan ketika akan mengacak nomor kembali, justru nomor acak tersebut yang menelepon balik. Semua orang harap-harap cemas siapa yang ada di balik sana.
“Halo?” Sapa Gilang dengan nada suara agak diberat-beratkan.
“Iya halo?”
“Apa bener ini nomornya cungkring temen SMP saya?”
“Cungkring? Kek nama temen anak gue.”
“Kok sama ya?”
“Kali aja kan. Suara lo mirip sama anak gue. Ngomong-ngomong gue kangen sama anak gue.”
Ada rasa terenyuh di dalam hati Gilang, sedikit menyesal lebih tepatnya, pemuda gondrong itu lantas melanjutkan, “Saya juga kangen sama emak saya.”
“Iya, apalagi gue udah masakin semur tahu kesukaan dia.”
“Semur tahu? Kok sama ya kayak saya, jangan-jangan jodoh lagi.” Gilang sedikit tertawa.
“Jodoh apanya? Anak gue laki!”
Gilang pun sedikit kaget.
“Nama ibu siapa ya?”
“Kenapa emangnya?”
“Mastiin aja namanya kali aja sama kayak emak saya.”
“Iya iya, nama gue Setiana.”
Gilang pun semakin kaget.
“Ibuk tinggalnya dimana?”
“Kota Duren.”
Deg. Jantungnya semakin berdetak.
“Emak?”
“Lho? Ini elo Lang? Jangan bercanda ah!”
“Iya mak.”
Suara perempuan tua di seberang sana mulai terdengar bergetar, “Ya Allah, kok baru kali ini lo nelpon gue, kemane aje lo?”
Gilang menjadi gemetar, “Maaf mak, gak ada pulsa.”
“Terus ini nomor siapa?”
Gilang pun sedikit terisak.
“Ngapain lo nangis?”
“Emak nomernya juga ganti?”
“Iya, ini udah lima kali, gak ada duit buat beli pulsa, bapak lo juga sakit-sakitan, makanya lo belajar yang baik disana.”
Gilang pun semakin terisak, ia juga tak bisa memberitahu apa yang ia lakukan sekarang.
“Udah makan?”
“Belum mak.”
“Makan dulu sana, ntar sakit loh, jangan nangis nanti bisa tambah kurus loh.”
“Mak, emak udah makan?”
“Udah, sama semur tahu.”
“Mak, maaf ya gak bisa nelpon, soalnya Gilang juga lagi ngehemat uang.”
“Iya tong, kagak apa-apa, udah makan dulu sana.”
“Iya mak.”
“Bentar ya, bapak lo muntah lagi.”
“Mak?”
Tut. Tut. Tut.
Telepon diputus begitu saja. Ia tak sanggup lagi menahan air matanya.
“Udah Lang udah, kita doain aja mereka sehat wal afiat.” Ujar Fandi yang merasa bersalah.
“Iya Lang, lo harus kuat, gue aja yang ditinggal bapak masih bisa ketawa apalagi elo.” Ujar Rama.
“Gue gak tahu penderitaan emak gue, gue gak tahu.” Gilang menutupi mukanya sambil menangis.
Luki pun mendekat, “bang, Luki ini udah gak punya orang tua lagi, jadi Luki paham apa yang abang maksud tadi.”
Fandi berdiri, “Yaudah. Ini kan udah masuk dhuhur, yuk sholat, kita doain orang tua kita, oke?”
Mereka pun berdiri dan pergi mengambil air wudhu. Lalu melaksanakan kewajiban mereka dan mendoakan orang tua mereka. Malam itu, Gilang berencana untuk pulang ke kampung halamannya untuk menengok orang tuanya. Kalau bukan karena telepon iseng, mungkin ia masih ngedugem di sini.
Tamat.