Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Telah Menjadi Utuh
1
Suka
1,830
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pagi masih sangat dini. Langit belum sepenuhnya berwarna biru, namun diri ini sudah berjaga di samping raga yang telah terbungkus pada kendaraan yang akan membawa ia bepergian jauh. Raga itu pergi meninggalkan jejak rindu yang menusuk hati, embun pagi telah terserap oleh netra ku hingga masuk ke dalam dada, dan membuat ulu hatiku terasa penuh. Aku mendongak ke arah langit, sambil bergumam

 “mengapa kau kejam sekali pada ku, haruskah kau membawa ayahku, Teganya kau membuat ku sendu “. 

Hening. Tidak ada jawaban, kecuali desir angin yang menari bersama daun-daun di halaman rumah. Semua orang di sekelilingku berdiri dalam diam. Beberapa bibir bergerak lirih membaca doa. Beberapa tangan sibuk menepuk-nepuk punggung, sebagai bentuk pelipur lara yang terlalu sering gagal. Tapi bagiku, tak ada yang bisa menghibur hati yang koyak oleh kehilangan sebesar ini. Aku menoleh ke arah wanita yang paling aku cintai.

“Bunda, ayah pergi jauh ya?”. Tanyaku pilu

“Kamu masih punya bunda nak”.  

Bunda memeluk raga kecilku, aku perlahan merasakan pakaian ku basah karna air mata. 

Pagi itu menjadi saksi atas patahnya sebuah dunia kecil yang pernah begitu sempurna. Dalam pelukan Bunda yang lembut namun gemetar, aku mencoba memahami kehilangan, meski usiaku masih terlalu muda untuk mengerti apa itu kematian.

Sejak ayah pergi, rumah kami menjadi sunyi. Tak ada lagi suara tawa lelaki yang biasa membangunkanku setiap pagi dengan usapan hangat di kepala. Tak ada lagi yang dengan sabar menungguku menyelesaikan sarapan, meski terlambat. Tak ada lagi pelukan hangat ketika aku pulang sekolah, atau nyanyian pelan yang ia senandungkan tiap malam agar aku cepat terlelap.

Bunda mencoba sekuat tenaga menjadi dua orang dalam satu raga. Ia kini tak hanya menjadi pelindung, tapi juga penyemangat, pemberi semangat hidup sekaligus penjaga mimpi-mimpiku. Namun, aku tahu dari tatapan matanya yang kosong saat menatap jendela setiap malam, bahwa ia juga kehilangan belahan jiwanya.

Hari-hari berlalu dengan pelan. Aku tumbuh, tapi rindu tak pernah benar-benar pergi. Setiap malam, sebelum tidur, aku akan duduk menghadap jendela kamar. Memandang langit. Bertanya-tanya, di mana ayah kini berada. Apakah ia bisa melihatku? Apakah ia tahu bahwa aku merindukannya, tiap detik?

Tahun-tahun terus berganti. Aku kini remaja, dan Bunda menua dalam keheningan yang tak pernah benar-benar ia bagi. Namun, kami saling menguatkan. Rindu memang tak bisa dihapus, tapi bisa dijadikan bahan bakar untuk tumbuh.

Di sekolah, aku dikenal sebagai siswa yang rajin dan tekun. Di rumah, aku menjadi teman terbaik Bunda. Kami menanam bunga-bunga kesukaan Ayah di taman kecil. Kami menyanyikan lagu-lagu yang dulu ia nyanyikan. Bahkan, setiap ulang tahun ayah, kami membuat kue dan meniup lilin bersama. Seolah ia hanya pergi sebentar.

Namun, tak semua hari mudah. Ada malam-malam di mana aku menangis dalam diam, menatap jam tangan tua ayah, sambil mengingat senyum terakhirnya saat mengantar aku ke sekolah sebelum kecelakaan itu merenggut nyawanya. Ada pagi-pagi ketika aku merasa hampa, seperti ada bagian dari diriku yang hilang dan tak bisa ditemukan.

Tapi setiap kali aku melihat ke cermin, aku bisa melihat ayah dalam mataku. Dalam cara aku tersenyum. Dalam caraku melindungi Bunda.

Dan aku tahu, meski raganya telah lama pergi, cinta ayah akan selalu tinggal. Menemani, dan Menguatkan. 

Setelah kepergian Ayah, Bunda menjadi satu-satunya tempatku berpulang. Namun, hidup tak pernah benar-benar adil pada mereka yang belum selesai menata luka. Beberapa tahun setelah kepergian Ayah, Bunda memperkenalkan seorang lelaki. 

Awalnya, aku mencoba menerima, meski ada sesak yang berdiri kokoh di dalam dadaku.

Namun, waktu berjalan, dan akhirnya lelaki itu tak hanya menjadi teman Bunda. Ia menjadi bagian dari rumah kami, menggantikan kehadiran yang telah lama tiada. Bunda tersenyum lagi, tertawa lagi. Tapi senyumnya bukan milikku, tawa itu bukan karena aku.

Perlahan, aku merasa asing di rumah sendiri.

Bunda memang tak pernah berhenti mencintaiku, tapi cinta itu kini terbagi. Dan yang paling menyakitkan adalah, lelaki itu tak pernah benar-benar menyukaiku. Ia menganggapku beban dari masa lalu Bunda. Kami saling menjaga jarak, ia terlalu kaku untuk disebut Ayah, dan terlalu dingin untuk kusebut keluarga.

Aku lebih sering menghabiskan waktu di kamar entah membaca buku, menulis, menyendiri, memandang langit seperti dulu, berharap bisa berbicara dengan Ayah sekalipun hanya dalam diam.

Sejak masuk SMA, aku mulai belajar menjadi mandiri. Nilai-nilaiku tetap baik, aku bahkan mendapat beasiswa untuk mengikuti kelas tambahan di luar sekolah. Aku ingin keluar dari rumah secepatnya, bukan karena aku tak mencintai Bunda, tapi karena aku lelah merasa seperti tamu di tempat yang dulu terasa hangat.

Suatu hari, saat aku duduk di bawah pohon jambu dekat sekolah, aku menuliskan surat untuk Ayah:

“Ayah, jika aku bisa bicara denganmu walau sebentar, aku ingin bilang bahwa aku baik-baik saja. Meskipun rumah sudah berubah, meskipun Bunda kini punya kehidupan baru. Aku berusaha kuat, seperti yang selalu Ayah ajarkan. Tapi aku rindu, Yah. Rindu yang tak selesai-selesai. Aku janji akan terus belajar, terus tumbuh, agar Ayah bangga melihatku dari sana.”

Waktu berlari cepat. Kini aku berdiri di depan gerbang sebuah universitas. Di tanganku, surat kelulusan SMA dan surat penerimaan kampus yang kudapat dengan penuh perjuangan. Aku diterima di jurusan Pendidikan Bahasa Dan Seni, karena aku selalu tertarik membaca kisah manusia. 

Hari pertama kuliah, aku datang lebih awal. Duduk di bangku taman kampus dengan buku catatan baru di pangkuan. Tak ada yang menemaniku, tapi tak apa. Aku telah terbiasa sendiri, dan dalam kesendirian itulah aku menemukan versi terbaik dari diriku.

Aku menatap langit, kali ini tanpa air mata.

“Ayah, aku berhasil, aku kuliah. Aku akan belajar sekeras yang aku bisa, bukan untuk membuktikan apa pun pada siapa pun, tapi agar suatu hari nanti aku bisa menjadi seorang penulis. Untuk menyampaikan apa yang kurasakan atas kehilangan .”

Suara lonceng telpon genggam ku berdentang, menandakan waktunya. Mahasiswa mulai berdatangan. Aku berdiri, menggenggam erat tas ranselku, dan melangkah memasuki gerbang masa depan. Dalam hatiku, masih ada ruang kosong tempat Ayah duduk tenang, mengamati dari kejauhan. Dan di belakangku, walau Bunda tak lagi sepenuhnya menjadi milikku, aku tahu ia pernah menjadi pelindung dalam masa-masa tergelapku. Aku tetap mencintainya.

Sebab orang-orang datang dan pergi, tapi kenangan selalu tinggal. Dan cinta jika ia sungguh cinta tak akan pernah benar-benar mati.

Semester demi semester berlalu. Aku mulai terbiasa dengan hiruk-pikuk dunia kampus. Perpustakaan menjadi rumah keduaku, dan jurnal-jurnal Bahasa menjadi sahabat setia. Tapi manusia tetaplah manusia, hatiku, yang selama ini sibuk belajar untuk sembuh, mulai membuka celah baru. Celah yang ternyata bukan hanya untuk kesedihan, tapi juga... cinta.

Namanya Iky

Kami bertemu saat mata kuliah Keterampilan membaca. Ia duduk di sebelahku, dan sejak pertemuan itu, entah bagaimana kami selalu bertemu lagi dan lagi. Awalnya hanya sebatas saling meminjam catatan, lalu menjadi obrolan ringan selepas kuliah, hingga akhirnya kami menjadi dua insan yang berjalan bersama.

Iky berbeda dari siapa pun yang pernah kutemui. Ia pendengar yang baik, tidak pernah memaksaku bercerita, tapi selalu ada ketika aku butuh tempat bersandar. Untuk pertama kalinya sejak Ayah pergi, aku merasa dilihat, dihargai, dipahami.

“Aku nggak tahu gimana cara ngejelasinnya,” kataku suatu malam ketika kami duduk di tangga gedung fakultas, “tapi saat aku sama kamu, rasanya kayak... tenang, Aman.”

Iky hanya tersenyum dan menggenggam tanganku. “Mungkin karena kita sama-sama punya luka. Dan kita gak saling menuntut buat segera sembuh.”

Aku jatuh cinta, sungguh-sungguh. Pada caranya tertawa, pada cara dia memperlakukanku seperti seseorang yang utuh. Bahkan pada caranya diam.

Kami menjalani hubungan yang sederhana. Tidak mewah, tidak penuh janji, tapi terasa cukup. Iky mengenalkanku pada keluarganya. Aku sempat berharap, mungkin... inilah dia. Orang yang akan mengisi ruang kosong yang pernah Ayah tinggalkan.

Namun harapan memang sering kali terlalu tinggi untuk kenyataan yang serba rapuh.

Aku mulai merasakan ada yang berbeda di semester kelima. Mulai sulit dihubungi, balas pesannya tak sehangat dulu, tatapannya kosong saat kami bicara. Awalnya aku pikir ia hanya lelah dengan kuliah, atau mungkin sedang ada masalah pribadi. Tapi ketika aku mencoba menanyakan, ia hanya berkata, “Aku butuh waktu sendiri.”

Waktu sendiri yang ternyata berarti... waktu untuk orang lain. Aku mengetahuinya secara tidak sengaja, teman sekelasku memperlihatkan story Instagram Iky sedang berdua dengan perempuan lain. Bukan sekadar teman, bukan sekadar rekan belajar. Foto itu... berbicara lebih banyak dari seribu kata yang tak pernah ia ucapkan.

Duniaku runtuh lagi.

Aku tidak menangis di depan siapa pun, tidak juga meneleponnya, tidak meminta penjelasan. Karena kali ini aku sudah terlalu lelah menjadi perempuan yang harus mengerti segalanya, tanpa pernah benar-benar dimengerti.

Malam itu, aku kembali ke tempat favoritku sejak kecil, duduk menghadap jendela kamar, menatap langit.

“Ayah,” bisikku dengan suara pecah, “aku jatuh cinta... dan patah, Lagi. Kenapa semua yang aku cintai selalu pergi?”

Air mata tak bisa kutahan. Bunda mengetuk pintu kamar, tapi aku tak sanggup menjawab. Karena kali ini, lukaku lebih sunyi, lebih dalam. Bukan karena kehilangan, tapi karena dikhianati oleh harapan yang terlalu kubuka lebar.

Hari-hari setelah itu kulalui dengan kepala tegak tapi hati remuk. Aku kembali fokus pada studi, mengisi kekosongan dengan jurnal, dengan skripsi, dengan penelitian kecil-kecilan. Tapi tak ada lagi tawa lepas seperti dulu, tak ada lagi pesan “udah makan belum?” yang muncul di layar ponselku.

Namun dari reruntuhan itu, aku mulai belajar satu hal penting, bahwa tidak semua cinta harus memiliki akhir yang bahagia untuk menjadi bermakna. Bahwa patah hati bukan akhir dari segalanya, kadang justru awal dari memahami diri sendiri lebih dalam. Dan bahwa Ayah mungkin telah pergi, Iky mungkin telah berubah, tapi aku masih memiliki diriku sendiri.

Langit sore hari itu berwarna jingga keemasan, saat toga yang kupakai berkibar pelan diterpa angin kampus. Setelah sekian tahun belajar, menangis diam-diam di ruang baca, menulis puisi saat patah hati, hingga menegakkan kepala saat dunia serasa runtuh, akhirnya aku lulus.

Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Di antara para wisudawan lain yang bersorak penuh semangat, aku berdiri agak tenang. Bukan karena kurang bahagia, tapi karena hatiku sedang sibuk menata harapan yang baru. Aku memandang ke arah tribun, tempat Bunda berdiri melambai, senyumnya tulus. Kini tanpa pria asing di sisinya. Ia datang sendiri, mewakili Ayah.

Hari itu adalah momen penutup sekaligus pembuka. Lulus bukanlah akhir, justru di sinilah pencarianku benar-benar dimulai.

Beberapa bulan setelah wisuda, dunia nyata menyambutku tanpa banyak basa-basi. Lamaran kerja yang tak kunjung dibalas, CV yang entah mengendap di mana, hingga pertanyaan-pertanyaan tak terucap yang menyesakkan:

“Apa aku cukup baik?”

“Apakah gelar ini akan membawaku ke jalan yang benar?”

“Apa aku benar-benar tahu siapa diriku sekarang?”

Tapi dalam sepi itu, aku tetap menulis. Puisi, cerpen, bahkan naskah drama yang tak pernah dipentaskan. Kata-kata menjadi tempatku pulang, tempatku bersembunyi, dan akhirnya: tempatku bangkit.

Suatu malam, aku duduk di meja kecil kamar, menatap draft novel ku yang pertama. Isinya? Sebagian besar adalah kisahku—tentang kehilangan, tentang rindu, tentang luka yang mengajarkan makna. Aku belum tahu apakah dunia akan menyukainya, tapi yang pasti, menulis telah menyelamatkanku.

Lalu, kesempatan kecil datang dari tempat yang tak terduga. Sebuah SMA di pinggiran kota membuka lowongan guru bahasa Indonesia. Aku melamar—tanpa harap besar. Namun beberapa minggu kemudian, aku resmi diterima.

Hari pertama mengajar, aku berdiri di depan puluhan pasang mata yang penasaran. Mereka masih muda. Beberapa mengantuk. Beberapa tampak bosan. Tapi di antara mereka, aku melihat diriku sendiri dulu anak yang diam-diam memendam duka dan bertanya pada dunia, “Apa aku cukup berarti?”

Hari itu aku tidak hanya mengajar puisi atau struktur kalimat. Aku bicara tentang bagaimana kata-kata bisa menyelamatkan hidup. Tentang bagaimana menulis bisa menjadi cara untuk memahami diri sendiri. Dan dari mata-mata kecil itu, aku melihat cahaya. Harapan. Bahkan mungkin—penerus kisah-kisah yang belum sempat aku tulis.

Hari-hariku sebagai guru baru di SMA Negeri itu tidak mudah. Kelas ramai, anak-anak sulit fokus, dan beberapa dari mereka bahkan terang-terangan meremehkan pelajaran Bahasa Indonesia.

“Apa gunanya belajar puisi Bu, dunia sekarang butuh uang, bukan sajak,” kata seorang siswa laki-laki dari bangku belakang.

Aku menatapnya, bukan dengan marah, tapi dengan pengertian. Karena aku tahu sering kali, sinisme datang dari luka yang tak terlihat.

“Kalau kamu bisa menuliskan rasa sakitmu jadi puisi,” jawabku pelan, “kamu bisa menyembuhkan banyak orang yang mungkin juga diam-diam terluka seperti kamu.”

Kelas hening. Tidak semua mengerti, tapi beberapa wajah menunduk dalam diam yang berbeda. Diam yang memikirkan dan itu cukup bagiku.

Di luar jam mengajar, aku tetap menulis. Kadang malam-malam kulewati dengan membaca ulang cerpen-cerpen karya sastrawan besar: Seno Gumira Ajidarma, Nh. Dini, Pramoedya, Ayu Utami. Kata-kata mereka menjadi bahan bakar untuk api kecil di dalam diriku yang tak ingin padam.

Suatu hari, aku memberanikan diri mengirimkan cerpen ke sebuah majalah sastra. Aku tak berharap banyak, tapi sebulan kemudian, namaku tertera di sana. Cetak, terbit dan Resmi.

Bunda menangis saat kubacakan cerpen itu untuknya. Tentang seorang anak yang ditinggal ayah, tapi menemukan kembali rumahnya dalam kata-kata.

“Itu kamu, ya?” tanya Bunda sambil memegang tanganku.

Aku hanya mengangguk. Tak mampu berkata apa-apa.

Sejak saat itu, satu demi satu ruang mulai terbuka. Aku diundang menjadi pemateri pelatihan menulis di sekolah-sekolah lain. Aku menulis modul ajar berbasis sastra. Aku bahkan dipercaya menjadi juri lomba menulis tingkat kabupaten.

Namun, meskipun dari luar hidupku tampak mulai terarah, sesungguhnya aku masih terus mencari. Masih ada bagian dari diriku yang belum selesai.

Aku mulai bertanya pada diri sendiri, “Apakah ini panggilanku? Ataukah aku masih dalam perjalanan menuju sesuatu yang lebih?”

Pada suatu malam sunyi, aku kembali duduk menghadap jendela—kebiasaan yang tak pernah benar-benar hilang. Di luar, langit bertabur bintang. Aku menatap ke atas dan berbisik dalam hati:

“Ayah, jika ini bukan tujuan akhirku, tunjukkan jalan selanjutnya. Aku siap belajar lagi. Aku siap tumbuh lagi. Tapi... aku mohon, jangan biarkan aku berjalan tanpa makna.”

Dan entah bagaimana, malam itu aku merasa… akan ada perubahan besar yang datang.

Musim penghujan mulai menyapa. Hari-hari terasa lebih basah, lebih dingin, tapi juga lebih tenang. Di sela-sela tugas mengajar dan menulis, aku menerima pesan email dari seseorang bernama Ibu Marni, editor sastra senior dari sebuah lembaga kebudayaan nasional.

“Kami membaca cerpen Anda di Majalah Tulis. Kami tertarik mengundang Anda bergabung dalam program literasi dan revitalisasi budaya tulis di wilayah pedalaman Kalimantan Selatan selama tiga bulan.”

Aku membaca ulang email itu berkali-kali. Tidak percaya. Proyek literasi di luar kota? Di pedalaman? Bukan hanya menulis, tapi terjun langsung ke masyarakat, mengajar menulis, membaca, dan menumbuhkan kecintaan pada bahasa?

Hatiku bergemuruh. Aku merasa seperti dipanggil oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitas kelas.

Bunda awalnya ragu. “Sendiri, di tempat asing? Apa kamu yakin?” . Aku memegang tangannya.

“Bunda, selama ini aku selalu mengajar di ruang yang kecil. Tapi mungkin sekarang saatnya aku belajar di ruang yang lebih luas—bersama orang-orang yang benar-benar hidup dari cerita.”

Setelah restu Bunda, aku mengemasi sedikit pakaian, buku-buku pilihan, dan tentu saja, catatan harian yang selalu menemaniku.

Perjalanan ke Kalimantan Selatan bukan hal mudah. Jalannya terjal, sinyal terbatas, dan listrik hanya menyala di jam-jam tertentu. Tapi saat aku menginjak tanah merah di desa kecil yang disambut anak-anak dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu, aku tahu ini tempat yang tepat.

Aku disambut oleh Kepala Desa dan para guru lokal yang begitu hangat. Di balai yang sederhana, kami membuka kelas menulis. Anak-anak datang tanpa diminta, duduk di lantai, menulis dengan pensil-pensil pendek, dan mendongeng dengan logat khas daerah mereka yang begitu tulus.

“Aku ingin menulis cerita tentang ibuku yang jualan ikan,” kata seorang anak perempuan bernama Lika.

“Bagus! Itu cerita yang layak dibaca dunia,” jawabku.

Dan dari sana, setiap hari menjadi halaman baru. Tak ada jadwal tetap, tak ada gaji besar, tapi hatiku penuh. Aku menulis bersama mereka, bukan sebagai guru, tapi sebagai teman bercerita.

Di antara semua kegiatan, aku sering menyendiri di tepi sungai, menulis tentang rindu, tentang Ayah, tentang Bunda, tentang diriku yang ternyata sedang tumbuh pelan-pelan menjadi perempuan yang kuat tanpa harus sempurna.

Aku sadar selama ini aku mengira jati diriku akan kutemukan di panggung-panggung besar, atau dalam pengakuan. Tapi justru di sini di desa yang bahkan peta pun nyaris lupa menuliskannya, aku merasa utuh.

Suatu malam, Ibu Marni menelepon.

 “Kami sedang menyiapkan antologi kisah literasi dari daerah-daerah terpencil. Saya ingin anda menulis satu bab penuh tentang perjalanan anda di sini. Anda bersedia?”

Aku menatap langit malam yang bertabur bintang asing, dan menjawab dengan yakin:

“Dengan senang hati, Bu. Karena di sinilah aku benar-benar bertemu dengan kata dan dengan diriku sendiri.”

Sudah hampir dua bulan aku tinggal di desa ini. Setiap hari diisi dengan suara tawa anak-anak, aroma tanah basah sehabis hujan, dan secangkir kopi hitam yang diseduh oleh Ibu RT dengan penuh kasih. Aku mulai merasa betah. Tak lagi memeriksa kalender, tak lagi menghitung hari untuk pulang.

Suatu sore, saat aku tengah menata hasil karya anak-anak di papan pengumuman balai desa, seorang lelaki datang dengan jaket cokelat yang tampak familiar. Tubuhnya tinggi, langkahnya tenang. Mataku terbelalak seketika saat ia membuka masker dan tersenyum.

“Lama gak ketemu, ya.”

Aku hampir tak percaya.

“Iky?”

Ia mengangguk, masih dengan senyum yang dulu pernah kurindukan. Wajahnya sedikit lebih matang, garis rahang lebih tegas, tapi sorot matanya masih sama. Hangat. Ragu. Seperti seseorang yang ingin menyapa tapi juga takut diterima.

“Ngapain kamu di sini?” tanyaku pelan, setengah gemetar, setengah... tidak siap.

“Ternyata kita sama-sama pecinta kata. Aku sekarang kerja di lembaga kebudayaan provinsi. Mereka tugaskan aku memantau jalannya proyek ini. Dan ternyata, kamu... ya, kamu yang pegang programnya,” katanya dengan senyum getir.

Sejenak kami sama-sama diam. Hanya suara jangkrik dan daun pisang yang saling bertepuk.

“Setelah semua yang terjadi... kamu masih bisa berdiri di sini, kuat,” ucapnya sambil menatap papan karya anak-anak. 

“Aku bangga.” Aku menahan napas. Dalam hatiku, ada gelombang kenangan yang tiba-tiba menyerbu. Tentang tangannya yang dulu menggenggam erat, lalu melepasku tanpa peringatan. Tentang hari-hari ketika aku belajar mencintai diri sendiri karena ia pergi.

“Aku kuat bukan karena kamu,” jawabku jujur. “Tapi karena aku belajar untuk tidak membiarkan siapa pun menghancurkanku dua kali.”

Iky mengangguk pelan, tidak membela diri, tidak membujuk. Ia hanya berdiri di sana, sebagai seseorang yang menyesal, tapi tak lagi memaksa.

Hari terakhir di desa itu datang dengan perlahan, seolah waktu tahu bahwa aku belum benar-benar siap pergi. Anak-anak menuliskan surat kecil untuk

menggambar bunga, langit, dan sosok perempuan berkacamata yang mereka sebut Bu Guru Sastra. Ibu RT menyelipkan amplop berisi daun teh kering dan sekantong kecil harapan: “Semoga kembali lagi suatu hari.”

Aku berdiri di tepi dermaga kecil saat mobil jemputan tiba. Dari kejauhan, aku melihat sungai mengalir tenang. Desa ini tak mengubah hidupku dengan gegap gempita, tapi dengan bisikan sunyi yang masuk ke hati: bahwa hidup bukan soal memiliki, melainkan menerima dan merawat apa yang tersisa.

Aku kembali ke kota. Tidak dengan cinta yang baru. Tidak juga dengan luka yang masih berdarah. Aku kembali dengan versi diriku yang telah tumbuh. Lebih jernih. Lebih mengakar.

Bunda menjemputku di terminal. Ia memelukku lama, lalu tersenyum dan berkata, “Matamu... lebih dewasa sekarang.”

Di kamar lamaku, aku membuka laptop dan mulai menulis. Kali ini bukan cerpen. Bukan puisi. Tapi naskah buku yang telah lama kutunda: tentang duka, perjalanan, dan cinta yang tidak selalu harus memiliki nama lain.

Setiap malam, aku duduk di hadapan jendela. Bukan lagi untuk menangis, bukan untuk memanggil Ayah, atau menunggu siapa pun kembali. Tapi untuk merasakan: bahwa aku sudah sampai.

Sendiri bukan berarti sepi. Sendiri bukan berarti kalah.

Sendiri adalah bentuk tertinggi dari berdamai.

Aku tidak lagi menunggu cinta. Karena aku telah menjadi cinta itu sendiri—bagi diriku.

Dan jika suatu hari nanti seseorang datang, ia tidak akan menjadi pelengkap.

Ia hanya akan menjadi teman berjalan.

Karena aku sudah selesai menjadi separuh.

Aku telah menjadi utuh.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
(im) Perfect Stuntman
Natha Al Zahidi
Cerpen
Telah Menjadi Utuh
Miratil Hayati
Flash
Mama Idaman
Delia Angela
Novel
Bronze
Dan Eden
Mashdar Zainal
Novel
Sepertiga Waktu Dalam Rasa Rindu
Alfan Hasanah
Novel
Bronze
Aku-Laut-Telepon-Kamu
Nuel Lubis
Cerpen
CINTA (Kisah nyata)
Voni lilia
Cerpen
Sebatas Rekan
ayurinp
Cerpen
Bronze
Cuisine of Love
Dwi Ayu Handayani
Cerpen
Bronze
Ketika Musik Box Berhenti Bernyanyi
Ron Nee Soo
Novel
Bronze
Kota Kecil Di Ujung Barat
Alek Wahyu
Cerpen
Sri : Elegi Cinta Sang Penari Serimpi
Hadis Mevlana
Cerpen
Bronze
Wonder Blossom
Adinda Amalia
Cerpen
Bronze
Samurai Jepang Mencari Cinta ke Negara Garuda
Mochammad Ikhsan Maulana
Novel
Kalau Memang Terindah Kenapa Harus Jadi Mantan?
Irvan D
Rekomendasi
Cerpen
Telah Menjadi Utuh
Miratil Hayati