Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
TELAGA DUKA
19
Suka
20,406
Dibaca

 

SEBETULNYA Paijo sama sekali tidak tahu apa yang benar-benar perempuan itu pandang. Setiap sore duduk di tepi telaga, di atas batu, di bawah pohon beranting dan berdaun lebat. Awalnya Paijo menganggap perempuan itu terlena pada jernihnya air Telaga Duka, tapi nyatanya sore ini dia melihat perempuan berambut panjang itu tengah menatap merahnya langit.

Perempuan dengan kebaya putih membalut tubuh, rambut terderai hitam, tanpa alas kaki, terlihat cantik dari seberang telaga. Termenung dalam kesunyian abadi. Dingin. Setiap memandangnya, perasaan itu terus datang, menyergap Paijo tiba-tiba. Ingin mendekatinya, berkenalan, menanyakan namanya, dan tentu saja bertanya kenapa setiap sore ia duduk di tepi telaga itu?

Enam kali Paijo sudah melihat perempuan itu. Setiap kali ia pulang dari sekolah dasar di alun-alun desa tempatnya bekerja. Jadi guru. Bukan propesi yang bagus ‘menurut’ Paijo hanya saja sudah tidak ada lagi hal yang bisa ia kerjakan. Mengajar anak-anak ingusan dengan kekesalan yang senantiasa menggigit. Bandel-bandel. “Memang sudah menjadi sifatnya anak-anak, selalu begitu. Justru disitulah peran kamu sebagai guru dituntut. Menjadikan mereka dewasa.” Selalu saja kata-kata itu yang muncul disaat hati kecilnya ingin memberontak, tatkala jiwa rapuhnya ingin berpaling, dan Paijo bukanlah anak yang tidak menurut sama orangtua. Apalagi kalau ibu sudah angkat bicara, sepertinya tidak ada lagi yang bisa dilakukan lelaki berwajah melankolis itu selain menganggukkan kepalanya seraya menggigit bibir keras-keras. “Jadi anak itu mesti nurut sama orang tua. Bisa kualat kalau membantah.”

           

***

Wong lanang itu sudah semestinya pergi merantau, jauh dari kampung halaman. Mencari pengalaman dan mencoba kemandirian. Lha wong kita yang wedo saja merantau, walaupun cuma untuk beberapa tahun. Setidaknyakan kita pernah pergi keluar desa.”

“Iya, jadi perempuan saja dia kalau mau seumur hidup tinggal di desa.”

Sampai tadi padi itu Paijo mengerti kekecewaan ibu terhadap orang kota, atau orang yang pernah tinggal di kota. Tapi, apakah setiap orang yang pernah merasakan gemerlapnya kota akan pasti menjadi seperti itu? Sok dan banyak tingkah.

Tawa ibu masih Paijo ingat dengan jelas kala itu. Sama seperti tawa rekan-rakan gurunya di ruang para guru saat Paijo berkata “tidak, Paijo tidak akan begitu. Paijo akan tetap menjadi Paijo yang lugu dan sopan.”           

Sekarang lha bisa ngomong kaya gitu. Nanti setelah merasakan tinggal di sana mana ada kata-kata itu lagi. Kowe bakal kepincut sama sifat-sifat sombong orang-orang kota.”

“Setiap malam Jum’at Paijo pergi ke surau untuk menuntut ilmu agama pada Pak Ustadz. Sombong itu tidak boleh, Bu. Paijo tahu itu. Paijo bisa jaga diri. Paijo sudah besar.”

“Pergi ke surau tiap malam juga belum tentu bisa menjamin, to Le.”

“Orang-orang menyebutku perempuan dan memanggilku pengecut karena tidak pergi merantau seperti anak laki-laki yang lain. Tapi, Ibu malah melarangku untuk pergi merantau. Kenapa, Bu?”

“Kamu tidak akan pernah mengerti, Jo.”

“Apanya yang tidak akan Paijo mengerti? Merantau itu sudah menjadi sebuah keharusan bagi seorang laki-laki. Nenek moyang kita sudah melakukannya sejak dulu,” Paijo terdiam sejenak. Memperhatikan ibunya yang menarik selimut di atas ranjang. “Sudah menjadi kebudayaan kita sebagai orang Jawa.”

“Tapi kan tidak harus pergi ke kota.”

“Tapi aku ingin pergi ke kota, Bu. Atau ibu kepengen aku jadi perempuan saja?”

“Kamu tidak akan pernah mengerti, Jo.”

“Apanya yang tidak akan pernah Paijo mengerti?”

“Sudahlah, Tidurlah sana! Besok kan kamu harus mengajar pagi-pagi.”

“Bu?”

Kian hari hati Paijo kian memberontak. Menggedor-gedor jiwanya. Ingin keluar. Menjerit melengking kalau bisa. Dan pergi sejauh mungkin. Meninggalkan tawa renyah orang-orang. Wong lanang kok seneng tinggal di deket ibunya.

Dan kini, apakah salah kalau Paijo ingin kegundahan hatinya tenggelam bersama sinar merah matahari, kedalam dasar Telaga Duka yang sunyi. Atau terbang dibawa angin yang bertiup dingin. Lepas menjauh menuju senja.

Telaga Duka adalah tempat yang cocok untuk menghilangkan segala macam beban dunia. Tempat di mana kegelisahan melebur tanpa bekas. Hanyut tersedot nyanyian kupu-kupu. Apalagi sekarang di sana pula bukan hanya ada gembira, tapi ada juga cinta. Paijo telah jatuh cinta. Cinta yang mendatangkan pelangi berjuta warna. Bongkahan yang menghapus segala rasa lara di dalam jiwa. Juga menghilangkan keinginan kuat untuk pergi jauh. Perempuan itu. Perempuan yang datang dan pergi bersama senja. Ya, Perempuan Sunyi itu yang telah mendatangkan cinta dalam hati Paijo yang merana.

Mungkin juga Paijo yang terlampau pemalu atau memang sudah seharusnya begitu. Membiarkan perempuan itu mengayun-ayunkan kakinya di bawah air, mengerjapkan matanya pada alang-alang yang tumbuh di sekitar telaga, tersenyum pada daun-daun kering yang berguguran di hadapannya. Sungguh, memandanginya dapat menghilangkan keresahan di dalam hati. Tapi, siapa namanya? Dan kenapa setiap sore dia selalu duduk di tepi telaga itu?

*****


MAKA setiap pelek mobil yang tergantung di depan kantor itu digebuk oleh Pak Riandi, menimbulkan suara nyaring “Teng! Teng! Teng!” sekolah siang bubar, Paijo ikut berlari bersama anak-anak ke luar kelas. Meraih sepeda bututnya kemudian mengayuhnya secepat yang ia bisa. Menuju Telaga Duka.

Paijo menyenderkan sepeda bututnya di pokok jati. Lalu merangkak melewati semak-semak tinggi dan turun melompat ke batu kecil. Dari sana ia dapat melihat dengan jelas perempuan yang sedang duduk di tepi telaga di seberang sana. Tanpa bisa dilihat oleh perempuan itu.

Matahari menyinari sebagian wajah cantik itu, memerahkan juga sebagian rambutnya yang tertiup angin. Perempuan itu sekarang memakai kebaya coklat serasi dengan sarung batiknya. Gelangnya memantulkan sinar matahari ke batang-batang pohon yang ada di sekitarnya. Gemerisik air berpadu dengan suara burung-burung yang bernyanyi di atas pundak perempuan itu.

Paijo menatap perempuan bermata ungu itu dengan tatapan cinta. Siapa sangka niatnya yang ingin bunuh diri di telaga itu tempo hari justru mendatangkan kebahagiaan. Sungguh Tuhan selalu mempunyai kejutan bagi hambanya.

“Namanya siapa? Apa yang sedang dia lakukan disini? Apakah sama seperti diriku? Kesepian dan putus asa.” Paijo mendengus. “Ya Gusti beri tahu aku siapa nama perempuan itu.”

Sunyi. Selalu menjadi tema disetiap pertemuan mereka. Perempuan itu pulang saat gelangnya tak lagi memantulkan cahaya matahari. Dikala azan maghrib memanggil orang-orang ke surau. Dan Paijo lagi-lagi pergi tanpa pernah membawa jawaban dari pertanyaannya. Namun, sejak dua hari yang lalu keinginannya untuk mengenal perempuan itu tak terbendung lagi. Dia memberanikan diri untuk datang ke seberang telaga, ke tempat perempuan itu selalu duduk. Menulis surat dan menyimpannya di batu itu. Dia juga menyiapkan selembar kertas kosong untuk jawaban dan sebuah pena.

 

Namaku Paijo. Kalau boleh aku tahu siapa namamu?

 

Terimakasih

Ttd

Paijo

 

Paijo melihat perempuan itu membaca suratnya, dari balik semak-semak tinggi di seberang telaga. Perempuan itu menggerakkan kepalanya ke sekeliling, tapi ia tak bisa menemukan Paijo.


Namaku Guretno Ridiansih. Kau boleh memanggilku Retno.

 

Terimakasih

Ttd

Retno

 

Begitu saja Paijo juga Retno jadi sering berkiriman surat. Tanpa pernah bertatap muka. Dan selain kepada Gusti Allah, Paijo juga menyampaikan keresahannya pada Retno, soal keinginannya yang ditentang, soal ejekan guru-guru di tempatnya mengajar, bahkan soal cintanya pada kesunyian. Retno selalu membalas surat Paijo, menuliskan nasehat dan petuah, tentang kesabaran dan keikhlasan. Benar-benar Paijo menemukan tempat yang cocok untuknya menumpahkan segala. Bahagia.

Beberapa sore mereka lewati seperti itu. Paijo menyimpan suratnya ketika perempuan itu belum datang dan mengambil jawabannya setelah perempuan itu pulang. Namun entah kenapa sore ini sampai azan maghrib menggema Paijo tidak melihat perempuan itu. Ia tidak datang. Kemanakah? Sakitkah? Atau ia tidak mau lagi berkiriman surat dengannya?

Dan mungkin kemarin senja itulah Paijo terakhir melihat perempuan tersebut. Manatap suratnya dengan tetesan air mata dan seandainya Paijo mau melihat perempuan itu lebih dekat lagi tentunya dia juga akan bisa memandang kerinduan yang melekat erat di wajah cantik itu seperti topeng kayu para penari.

....kenapa kamu selalu duduk di tepi telaga ini setiap sore?....

*****


Ke mana perempuan itu? Kenapa dia tidak lagi datang ke tepi telaga?

Surat yang ditulis Paijo sudah menumpuk. Juga rambut di atas bibirnya sudah panjang. Pada siapa lagi keresahan hati ini ingin dicurahkan sedang orang yang dipujanya kini menghilang. Dengan dipenuhi rasa rindu yang dalam, setiap sore Paijo menggantikan perempuan itu duduk di tepi telaga. Mengayun-ayunkan kakinya di dalam air. Membuat suara keciprak-keciprak, mengerjapkan matanya pada alang-alang yang tumbuh semakin liar, tersenyum pada daun-daun kering yang berguguran di hadapannya. Sampai hari itu datang, hari di mana angin bertiup sangat dingin, burung-burung enggan untuk berbunyi, kupu-kupu tak mau menari, dan perempuan itu muncul dari dalam air dengan kebaya menutupi tubuhnya yang menggembung dan membiru, mungkin juga berbau busuk.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
MAORI
Faida Zuhria
Cerpen
TELAGA DUKA
Kagura Lian
Novel
Gold
SIRIUS SEOUL
Mizan Publishing
Novel
Bronze
AFFECTION
A Zahra Angelina
Flash
CINCIN PERKAWINAN
Embart nugroho
Cerpen
Aduh, Aku lagi, Aku Terus
Yovinus
Cerpen
LABUHAN BERAKHIR
Moon Satellite
Cerpen
Bronze
Tersisa di Gaza
Muhamad Irfan
Novel
Kara Angka & Albert Einstein
ursausang
Novel
Bronze
ARKANA
Artina Jumnila
Novel
Wanita Tangguh
NIMAS AYU KUSUMADEWI PURININGSIH
Novel
MELLOWMEDY
Nurul Awaliyah
Novel
Kita dalam Kehidupan Bumi & Bulan
Sayidina Ali
Novel
Bara dalam Sekam
Al Szi
Novel
Rintik dan Rincik di Istanbul
Eka Retnosari
Rekomendasi
Cerpen
TELAGA DUKA
Kagura Lian
Cerpen
LARUNG SESAJI
Kagura Lian
Cerpen
CERMIN
Kagura Lian
Novel
Bronze
GRAHANA
Kagura Lian
Cerpen
DEWI PUN TERTAWA
Kagura Lian
Cerpen
KABUT BIRU
Kagura Lian
Cerpen
SKETSA BAPAK
Kagura Lian
Cerpen
GERIMIS DI TEPI SENJA
Kagura Lian
Cerpen
PELANGI
Kagura Lian