Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mirrorlake
(Telaga Cermin)
07-07.16, 14 Juni 2025
Oleh Cléa Rivenhart
Airnya tenang, jernih, indah, dan menyegarkan. Pantulannya teduh saat sore mendung menjelang. Mungkin begitulah gambaran wajah Jati—seorang remaja SMA yang tengah bergelut dengan dirinya sendiri.
Tekanan dari luar membuatnya semakin terkucil. Terlihat begitu drama, mungkin, hingga membuatnya tampak seperti tokoh yang paling ingin diperhatikan karena kemalangannya. Tapi bukankah begitu kebanyakan pelopor perubahan lahir? Dari mereka yang dibuang atau membuang diri—karena tidak sempurna menyesuaikan diri dengan standar dunia yang tak sejalan, bahkan tak senilai, dengan prinsip hidupnya.
Ia tampak dewasa sebelum waktunya. Tapi memang begitulah orang yang memilih untuk berpikir—dan terus berpikir. Di balik rutinitasnya mengerjakan tugas dan soal ujian sekolah, Jati memikirkan hal-hal yang lebih besar dari dirinya sendiri. Bukan hanya tentang wajah tampan yang, menurut orang-orang, sia-sia keadaannya karena tak pernah dimanfaatkan untuk menaklukkan siapa pun, apalagi mencari kemudahan dalam hidup.
Bagi Jati, ketampanan itu bukan anugerah, melainkan beban. Yang penting baginya bukan kulit luar, tapi isi kepala yang penuh dan terus ia isi.
Ia sadar, Tuhan telah begitu baik memberinya cangkang yang tak perlu dipoles lagi di meja rias, atau di meja operasi para dokter. Maka ia memutuskan untuk menambah nilai dirinya dari dalam—melengkapi dirinya dengan mikronutrien untuk kepribadian dan otaknya. Ia mengecualikan dirinya dari keramaian, sementara orang lain mengucilkannya dari pergaulan.
Dan itu tak pernah jadi masalah, selama buku-buku dan hobinya tidak diusik.
Hingga seseorang melontarkan kata-kata mutiaranya.
"Haus akan pengakuan, sok suci dan jaga imej."
Bunyi nyaring dari seorang teman saat melintas di depannya.
Suara itu cukup keras untuk didengar seluruh isi kelas. Beberapa siswa tertawa—tertawa canggung, tertawa lepas, atau tertawa karena tidak tahu harus berbuat apa. Kursi-kursi bergeser, beberapa kepala menoleh, tapi tak ada yang benar-benar peduli. Yang lain hanya melirik sebentar lalu kembali sibuk dengan gawai atau coretan di buku.
Jati tidak lantas tersinggung. Ia duduk dengan tenang dan keren seperti biasanya. Punggungnya tegak, mata tetap pada halaman bukunya, seolah dunia luar tak ada hubungannya dengan dirinya. Para siswi yang duduk di belakang tak bisa menyembunyikan kekaguman. Mereka saling berbisik, tertawa pelan, ada yang menatapnya sambil menggigit ujung pulpen. Tapi bukan tatapan seperti itu yang diinginkan Jati.
Sementara itu, Edi—yang duduk di sudut ruangan dengan kaus oblong kusut meski hari itu hari Senin dan seharusnya berseragam rapi—tak tahan dengan pemandangan itu. Aura pengabaian Jati terasa seperti penghinaan baginya. Ia berdiri, menghentak lantai dengan keras.
Beberapa siswa refleks terdiam, atmosfer kelas menegang.
Dengan langkah sengaja lambat, ia menghampiri Jati yang masih asyik membaca. Buku itu dirampas begitu saja dari tangan Jati, dilempar ke lantai.
Jati hanya mengangkat wajah. Tenang. Matanya tak marah, hanya dingin.
Ia beranjak, membungkuk, memungut bukunya, tapi lagi-lagi dirampas. Kali ini dilempar ke bawah meja lalu diinjak-injak.
"Jangan mancing-mancing, Edi!" teriak salah seorang siswi dengan nada khawatir.
Namun Edi justru tersenyum tengik. Kelas mulai ribut. Ada yang mulai merekam diam-diam. Ada yang tertawa geli, ada pula yang sudah gelisah tapi tak berani angkat suara.
Buku diinjak lagi. Lebih keras. Sampulnya robek.
Jati menatap kaki Edi, lalu perlahan mengalihkan pandangan. Sorot matanya terangkat, menembus jiwa Edi. Tidak dengan marah, tapi dengan sesuatu yang lebih berbahaya: penilaian. Seolah-olah sedang menilai makhluk aneh yang belum dikenalnya.
Edi mundur setengah langkah. Sekejap ragu.
Tapi ia memaksa percaya diri. Saat Jati membungkuk untuk ketiga kalinya, dia mendorong tubuh itu dengan kasar. Jati jatuh tersungkur, bahunya membentur kaki meja. Suara tawa memecah, gemuruh, liar, riuh seperti pasar malam. Tapi di sela itu, terdengar jerit panik:
"Berhenti! BERHENTI!"
"Pak! Pak guru mana sih?!"
Namun tidak ada yang datang. Para siswa tertawa lagi, merasa seperti sedang menonton reality show.
“Orang seperti dirimu pantas mati,” ucap Edi—datar, penuh kebencian. Tanpa sebab logis selain kecemburuan dan dendam kelas sosial.
"Ayolah, jangan jadi pengecut!" ejek Edi.
Gelak tawa menyambutnya lagi.
"Kamu terlalu banyak bicara," ucap Jati akhirnya.
“Wow… hahaha! Satu kata mutiara dari wanita cantik yang berlindung di tubuh pria,” cibir Edi.
Jati berdiri. Bajunya berantakan, kerahnya sobek, rambutnya berantakan.
Suhu kelas memuncak. Udara seperti terhenti. Semua menahan napas saat Edi menarik kerah Jati.
Tapi yang terjadi selanjutnya seperti adegan slow motion.
Dengan satu gerakan, Jati melepaskan diri dari cengkeraman itu. Dalam sepersekian detik kemudian, tubuh Edi melayang rendah lalu dibanting keras ke lantai. Suara “KRAK!” terdengar jelas, membuat seluruh kelas terpaku. Suara tawa lenyap seketika. Hanya terdengar napas tercekat dan ponsel yang terjatuh. Edi menggeliat di lantai, darah menetes dari hidungnya.
Beberapa siswi mulai menangis. Dua di antaranya lari keluar, panik, menuju ruang guru. Seseorang memanggil Satpam.
"Ada lagi yang mempermasalahkan saya di sini... sebelum saya lanjut kembali membaca?" ucap Jati, suara tenangnya mengiris udara.
Seorang teman Edi setengah berdiri, tapi langsung ditarik paksa duduk kembali oleh teman di sebelahnya.
Tak ada jawaban.
Para siswi menunduk saat mata Jati menyapu mereka. Ia kembali ke tempat duduknya, merapikan kemeja yang sudah tidak bisa dikancingkan lagi. Ia mengangkat bukunya, meniup debu, membuka halaman terakhir yang sempat ia baca, dan melanjutkan seperti tidak ada yang terjadi.
Tidak lama kemudian, suara langkah berat dan panik menggema dari koridor. Petugas medis datang lebih dulu, disusul kepala sekolah, wali kelas, dan seorang satpam yang tampak kelelahan.
Kepala sekolah berdiri di hadapan Jati. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Tidak perlu. Di matanya tergambar ketakutan, rasa bersalah, dan semacam kekaguman yang tidak terucapkan.
Dengan tenang, Jati menutup bukunya, memasukkannya bersama alat tulis ke dalam tas. Ia berdiri, menyampirkan tali tas ke bahu, lalu melangkah keluar ruangan, memimpin keheningan.
Tak ada satu pun yang menghalangi. Tak ada yang berani bertanya. Bahkan Edi yang tergeletak di lantai, kini hanya bisa menggeliat dalam diam, menggenggam tulang punggungnya yang patah dan masa depannya yang remuk.
Mobil kepala sekolah menjemputnya. Ia masuk tanpa protes. Tanpa pamit. Tanpa dendam.
***
Kasus itu diselidiki dengan seksama. Tapi bukan hanya tentang kekerasan. Ada sesuatu yang lebih dalam pada diri Jati yang membuat semua orang, bahkan para psikolog dan guru senior, berhenti berbicara dan mulai mendengar.
Mereka menemukan seorang anak laki-laki yang terlalu dewasa untuk zamannya, terlalu penuh untuk diabaikan, dan terlalu jernih untuk dikotori dunia.
Ia diangkat sebagai duta anti-perundungan. Disorot media. Diliput majalah. Diberi ruang untuk bicara di forum-forum besar. Sekolah bahkan memberinya peran baru: pelatih Jiu Jitsu, untuk mengajar para siswa tentang kekuatan yang sesungguhnya—kendali atas diri.
Namun, semua perhatian itu… tidak pernah benar-benar berarti.
Wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang atletis tetap jadi sorotan utama. Saat ia melatih di bawah matahari siang, saat keringat menetes dari pelipisnya, para siswi semakin menggila. Mereka menyukai pantulan luar, tapi tak pernah benar-benar menyelami isi telaga.
“Berhentilah berimajinasi,” katanya suatu hari pada dirinya sendiri. “Mereka tak akan pernah mengerti isi pikiranmu… kecuali kau menuliskannya.”
Dan dari sanalah segalanya bermula. Ia mulai menulis. Bukan tentang dirinya, tapi tentang dunia yang tak mampu melihat dengan jernih. Ia menuliskan pikirannya dalam bentuk fiksi, esai, puisi. Ia menulis tentang luka-luka yang tak berdarah, tentang anak-anak yang dibungkam karena berbeda, tentang dunia yang mencintai penampilan tapi mencurigai kedalaman.
Setiap karyanya ia persembahkan untuk seseorang:
Edi.
Edi yang kini duduk di kursi roda, menyesap pelan setiap kalimat dari buku-buku Jati. Buku yang selalu dikirimkan Jati langsung kepadanya—setiap kali terbit.
Tak ada pesan. Tak ada maaf. Hanya halaman demi halaman yang dalam, yang membuat Edi menangis diam-diam di antara bisu hidupnya yang tak bisa diputar ulang.
***
Begitulah air di Telaga Cermin—tenang dan dalam.
Jernih dan memabukkan.
Mematikan bagi siapa pun yang tidak sanggup berdamai dengan pantulan dirinya sendiri.
Dan bagi mereka yang mampu menyelaminya,
di sanalah tempat lahirnya perubahan.
Diam-diam, dalam-dalam.
Tanpa harus berisik,
tapi cukup untuk mengguncang dunia.
Upload On: Thursday, 19 June 2025