Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Orang bilang, setiap kisah cinta punya panggungnya sendiri. Kupikir, panggungku akan dimulai dengan sesuatu yang megah—tapi nyatanya, hanya poster digital yang kugeser masuk ke fitur story. Judulnya absurd, hasil ketikan terburu-buru, bahkan aku sendiri belum yakin maknanya. Tapi jari tetap menekan "bagikan".
Story itu meluncur begitu saja, tanpa caption panjang, tanpa desain estetik—hanya poster dengan dominasi hitam dan font seadanya. Kupikir tak akan ada yang benar-benar peduli. Tapi lalu, layar ponselku menyala.
Sebuah pesan masuk. Singkat, tapi cukup membuatku terdiam beberapa detik
“Ini tiketnya gratis? atau berbayar? mau nonton kan? aku boleh ikut?"
Sempat tersendat. Pesan itu datang dari seseorang yang, dalam pikiranku, tak pernah membuka halaman siapa pun—bagaikan buku bersampul gelap, selalu tampak jauh dan tenang, seperti tak butuh siapa-siapa. Ia dikenal pendiam, sulit didekati, bahkan sering disebut dingin. Tapi malam itu, entah bagaimana, jarinya mengetik pesan itu lebih dulu. Ringan. Tanpa basa-basi. Seolah ada celah kecil yang terbuka… dan aku keburu melihatnya.
"Ya gratis, boleh saja"
Kuketik perlahan, lalu kubiarkan kursor berkelip-kelip sejenak sebelum menekan send. Rasanya seperti menahan sesuatu yang lebih panjang, lebih jujur, tapi akhirnya hanya satu kalimat ringkas yang kupilih. Di dadaku, ada getaran aneh—riuh kecil yang tak bisa diam, seperti suara-suara mungil yang ingin keluar tapi masih kutahan di dalam kandang.
Hari pementasan tiba. Untuk pertama kalinya, aku berdiri cukup dekat hingga bisa menghitung bulu matanya—jaraknya tak jauh, tapi rasanya seperti dua dunia yang tak bersentuhan. Di jok belakang motor, aku duduk dengan ransel besar di pangkuan, menjadi pagar diam di antara kami.
Mesin motor menderu, jalanan padat dan bising, klakson bersahut-sahutan. Tapi di antara kami, sunyi menggantung seperti kabut yang enggan pecah. Bibirku sempat terbuka, lalu tertutup lagi. Satu pertanyaan berkecamuk: Masa iya, diem terus? Tapi lidahku seperti diikat simpul. Angin malam menyelinap dari celah helm, menusuk pelan, menambah dingin yang tak hanya berasal dari udara.
Sesekali aku ingin berbicara, sekadar bertanya apakah ia nyaman, atau mengomentari lampu-lampu kota yang mulai redup. Tapi yang keluar hanya embusan napas—gugup, ragu, penuh prasangka sendiri.
Setelah beberapa belokan yang terasa seperti jalan tak berujung, kami sampai.
Motor berhenti perlahan di depan gedung teater. Ia mematikan mesin tanpa bicara. Aku turun duluan, ranselku kuseret ke punggung, masih terasa berat meski isinya nyaris kosong—seolah menyimpan sisa kecanggungan dari perjalanan.
Kami berjalan di trotoar sempit, langkahku setengah detik lebih cepat dari langkahnya. Sepatu kami bergesek pelan menuju pintu teater.
Di depan pintu, ia menarik napas panjang—seolah sedang mengatur naskah tak terlihat di dalam pikirannya. Lalu, untuk pertama kalinya, matanya menemu mataku. Hanya sekejap. Tapi dalam sekejap itu, udara seolah berubah berat. Dadaku menegang, seperti ada sesuatu yang mengetuk-ngetuk dari dalam, tanpa irama yang jelas—hanya denting samar yang tak bisa diabaikan.
Kami melangkah masuk. Dia menatap lurus ke depan, matanya sesekali menyipit melihat layar ponsel, jemarinya lincah mengetuk-ngetuk—seperti mencari jalan keluar dari sunyi yang membentang di antara kami. Aku duduk di sampingnya, tangan sibuk menggeser layar ponsel, mengetik pesan tanpa arti. Jari-jariku bergetar halus, napasku sesak tertahan, sementara wajahku mencoba tetap tenang di balik kerah baju.
Detik-detik merayap, melambat sampai aku bisa mendengar detak jantung sendiri di antara sunyi. Mataku berkeliling, mencari tanda, tapi kata-kata tertahan di tenggorokan—apakah aku harus memecah keheningan, atau membiarkan semuanya tetap tergantung seperti ini?
Kami duduk berdekatan, napas dan detak jantung seolah ikut berdampingan, tapi mulut tetap tertutup rapat. Tatapan kami bertukar sesaat, lalu mundur, seolah takut membuka ruang yang bisa membuat semuanya berubah.. Mataku menyelinap mencuri pandang ke arahnya. Wajahnya tetap tenang, penuh rahasia yang sulit ditembus. Tapi di balik dinginnya keheningan itu, ada getar halus—seperti embusan hangat yang diam-diam merayap, mengisi ruang kosong di antara kami.
Pementasan dimulai. Lampu-lampu meredup, lalu sorot tajam menyapu panggung. Dunia di sekelilingku tiba-tiba berubah—seolah tirai tak kasat mata terangkat perlahan, membuka ruang baru dan lampu sorot menyoroti. Di dalam dadaku, suara kecil mulai bergema, penuh harap dan getar:
“Ini dia… adegan pertama.”
Mataku mengikuti setiap gerak di panggung, dari tirai terbuka sampai tepuk tangan terakhir. Tapi lama-kelamaan, aku menyadari—kami bukan sekadar penonton di cerita ini. Tanpa sadar, kamilah tokoh utamanya yang sudah berdiri di tengah panggung, memainkan peran yang tak pernah terduga.
Tirai panggung menutup perlahan setelah babak terakhir, dan kami melangkah keluar ke malam yang dingin. Tangan kami kosong—tak ada tiket, tak ada foto kenangan—hanya sesuatu yang tak terlihat, berat tapi hangat, yang susah diungkapkan. Dua sosok yang tadi duduk diam bersebelahan, kini berjalan seirama, membuka lembar baru tanpa kata, membiarkan cerita kami mengalir pelan di antara langkah.
Di luar teater, udara malam masih menyisakan sisa angin yang menyusup di sela-sela jaket. Aku menepuk punggungnya, mengulurkan tangan menuju taman kecil tak jauh dari sana. Kata-kataku tak perlu alasan — hanya ingin malam ini bertahan sedikit lebih lama, menunda saat yang kutahu harus segera datang. Entah kenapa, aku masih enggan melepas waktu dan pulang.
Dia mengangguk pelan. Motor berhenti di depan taman kecil yang sunyi, di mana lampu jalan memercikkan cahaya kuning lembut ke trotoar yang basah. Kami duduk berdampingan di bangku putih, jarak yang dulu kaku kini merenggang, membiarkan kehangatan diam mengisi ruang di antara kami.
Aku menghela napas pelan, menatap kosong ke depan sebelum kata-kata keluar dari bibirku, lirih namun pasti
“Anak pertama.”
Dia menoleh sedikit, menunggu kelanjutan.
“Anak pertama yang katanya harus kuat, jadi contoh, sukses, patuh, dan... ya begitu. Harapan keluarga.” Aku menarik napas. “Kadang rasanya seperti jadi karakter dalam skenario hidup orang lain.”
terdiam sejenak, matanya tetap menatapku dengan lembut.
“Kamu hebat, ya… bisa menyembunyikan semuanya begitu rapat.”
Aku tersenyum samar, napasku ikut rileks.
“Bukan hebat, cuma sudah terbiasa.”
Keheningan menyelimuti kami, tapi bukan keheningan yang menekan—melainkan ruang yang terbuka, memberi waktu untuk bernapas dan merasa.
Dia menghela napas panjang, menunduk sebentar sebelum akhirnya bersuara pelan.
“Aku juga belum selesai sama diriku sendiri.”
Matanya menyapu wajahku, terselip kerling samar.
“Kadang rasanya hampa, terus aku pura-pura bercanda supaya nggak keliatan.”
Dia menatapku serius, lalu tiba-tiba membuat ekspresi aneh—dahi berkerut, bibir monyong—seperti badut kecil yang tiba-tiba muncul dari balik topeng seriusnya. Aku terbahak pelan.
“Lihat, kan? Aku bisa jadi badut kapan saja.”
tersenyum, tak bisa menahan geli. “Ternyata kamu jago juga jadi pelawak.”
Dia menyipitkan mata, pura-pura angkuh.
“Hanya untukmu.”
Percakapan kami mengalir tanpa henti, mengupas lapisan masa kecil, tekanan yang membebani, dan ketakutan yang sulit diungkapkan. Seperti berjalan di jalan setapak yang gelap, satu per satu lampu kecil menyala di sepanjang jalan—cahaya lembut yang mulai mengusir bayang. Tanpa kusadari, aku mulai membuka diri, kata demi kata mengalir dari lubuk terdalam. Dan entah kenapa, dia pun ikut melepaskan topengnya, membiarkan aku mengintip sisi yang selama ini tersembunyi.
Kami akhirnya pulang, tapi malam itu belum mau berakhir. Ponselku tiba-tiba bergetar di saku saat aku melepas jaket di depan pintu rumah. Namanya muncul di layar. Jantungku berdegup sedikit lebih cepat.
“Halo?” suaraku keluar pelan.
“Hai... maaf ganggu malam-malam,” jawabnya, suara seret, seperti menimbang-nimbang kata.
Aku diam, menunggu. Ada jeda yang berat, lalu ia mengulang, sedikit ragu,
“Aku cuma mau tanya satu hal... yang mungkin agak aneh.” Napasku ikut tertahan.
“Kamu... ada rasa nggak sih?”
Aku mengerutkan kening, setengah bercanda, “Rasa apa? Pedes? Manis?”
Tawa kecilnya mengalir, melepas ketegangan, “Bukan, maksudku... rasa ke aku.”
Diam. Antara geli dan gemas, aku menahan senyum
“Kenapa nanyanya kayak beli kopi?”
Suaranya ikut tersenyum,
“Soalnya aku takut salah paham. Kalau aku yang bilang duluan, terus kamu nggak ngerasain... ya, malu dong.”
Aku tertawa pelan, menatap langit-langit kamar, “Jadi kamu mau aku yang ngaku duluan?”
“Boleh nggak?” jawabnya polos.
Aku menarik napas dalam, membiarkan keraguan melintas.
“Ya... ada. Aku nyaman. Kayak akhirnya ketemu seseorang yang ngerti, tanpa harus jelasin semuanya.”
Hening di seberang sana, hanya suara napasnya yang terdengar. Senyuman itu terasa jelas, meski tak kulihat.
“Aku juga,” katanya akhirnya, suaranya lembut, hampir berbisik.
“Kamu tahu nggak... dari dulu aku suka kamu.” Suaranya rendah memecah jeda.
Jantungku berdetak tak karuan—seperti barisan drum band yang tiba-tiba membelah sunyi malam.
Dia mulai bicara, dan setiap katanya seperti membuka jendela ke masa lalu. Nada suaranya tak tergesa, tapi dalam. Ada getar di sana, seperti seseorang yang menyentuh kenangan yang lama dipendam. Ia menyebut momen-momen kecil—kegiatan keagamaan tempat kami sering berselisih pandang tanpa saling sapa, lomba 17 Agustus saat tanganku tanpa ragu melemparkan segenggam tepung ke wajahnya, dan tawanya waktu itu… ternyata ia mengingat semuanya. Bahkan detik-detik yang bagiku telah hilang begitu saja.
Sementara itu, aku bahkan tak sadar ia sering mencuri pandang. Tak sadar bahwa ada seseorang yang berdiri di pinggir keramaian, diam-diam menyimpan rasa. Ia bukan yang paling menonjol di antara kerumunan—dan mungkin karena itu, aku tak pernah benar-benar melihatnya. Tapi malam ini, suaranya tak lagi samar. Hadir, jelas, seperti lampu sorot yang perlahan menyibak panggung.
“Waktu itu aku juga belum siap,” lanjutnya, suaranya merendah.
“Teman-temanku banyak yang menyukaimu. Tapi entah bagaimana, ternyata yang bisa nangkap hatimu… ya aku.” Ia tertawa pelan, ringan tapi sarat makna.
“Dan lucunya, malam ini kamu dan aku nonton teater bareng.”
Aku ikut tertawa. Tapi tawaku penuh debar. Seolah menemukan sesuatu yang dulu sempat tercecer di jalan. Dulu aku pernah mengira dia tak pernah benar-benar melihatku—sosoknya begitu tenang, nyaris beku. Ada jarak yang seolah disengaja, seolah aku ini hanya bayangan lalu yang tak layak disapa. Tapi malam itu, kami duduk bersebrang via suara di bawah langit yang menggantungkan bintang-bintang tanpa suara, aku menyadari: barangkali bukan dia yang tak melihatku. Barangkali akulah yang terlalu cepat menghakimi sunyinya.
Dalam sedikit keheningan, aku tahu—kami hanya pernah saling salah paham. Masing-masing sibuk menebak, menunggu, dan menyimpan. Padahal, yang dibutuhkan hanya sedikit keberanian untuk mulai menyentuh ruang yang sebelumnya dibiarkan kosong. Kami terdiam—bukan karena hening, tapi karena terlalu banyak yang bergema di dalam dada.
Dan di akhir telepon itu, kami belum jadi siapa-siapa. Tak ada status. Tak ada janji.
Tapi kami tahu: ada sesuatu yang mulai bertunas, perlahan, di tanah hati masing-masing. Walau kami juga sama-sama sadar... kadang cinta saja belum cukup, kalau jiwa masih belum selesai dengan dirinya sendiri.
Hari-hari tak selalu penuh kata, tapi notifikasi darinya muncul seperti jeda dalam lagu yang menyegarkan. Kadang hanya sebuah foto panggung dengan pencahayaan dramatis, kadang poster pementasan lama yang entah bagaimana terasa relevan dengan hari itu. Di sela percakapan ringan, terselip lelucon-lelucon tentang siapa yang lebih cocok jadi sutradara—diselingi emoji, stiker aneh, dan tangkapan layar obrolan lama yang mendadak lucu.
Tidak ada naskah yang ditulis bersama secara nyata, tapi tiap pesan, tiap tawa, serupa potongan-potongan adegan yang saling menjahit keakraban. Dunia rasanya tak berubah banyak, tapi ada ruang yang kini terasa lebih lapang—dan anehnya, lebih akrab.
Layar pesan mulai lebih sering sunyi. Balasan darinya datang terlambat, kadang hanya berupa stiker atau satu kata pendek yang seperti terjatuh tanpa semangat. Saat bertemu, ia tetap duduk di sebelahku, tapi terasa seperti ada ruang kosong di antara kami yang makin melebar. Matanya sering menatap jauh, tidak ke langit, tidak pula padaku—melainkan ke tempat entah di mana, seperti sedang tenggelam dalam pusaran yang tak bisa kujangkau. Suatu kali, aku menceritakan hal konyol tentang hariku. Biasanya ia tertawa, menyambung, menimpali. Tapi kali ini, hanya anggukan tipis. Pandangannya tidak bergerak. Aku tahu ia mendengar, tapi tidak hadir.
Pundaknya kerap turun seperti membawa beban yang tak terlihat. Ia menarik napas dalam, mengembuskannya pelan—berulang, seperti sedang mencoba mengurai sesuatu yang tak pernah selesai. Kertas-kertas rencana berserakan di mejanya, tapi tak satu pun disentuh. Matanya basah, meski tak ada tangis. Dalam keheningan itu, aku bisa mencium bau kegelisahan: tentang masa depan yang belum berbentuk, suara orang tua yang terus bergema, dan janji-janji yang tak pernah sempat dibuat—karena bahkan untuk dirinya sendiri pun, ia belum tahu arah.
“Kita seperti dua karakter dalam satu panggung yang sama,” katanya suatu malam di taman yang mulai jarang kami datangi.
“Tapi dialog kita nggak lagi seirama, Kamu masih terjebak di bayangan masa depan yang belum punya bentuk, sedangkan aku ditarik harapan masa depan dengan beban yang begitu nyata" Sautku.
“Aku belum selesai dengan pikiranku sendiri, bahkan aku belum bisa janji apa-apa, ke siapa-siapa… termasuk ke kamu.”
Aku menarik napas, lambat dan dalam. Bukan karena kecewa, tapi karena kalimat itu menelusup tepat ke dalam bagian diriku yang selama ini paling ingin dimengerti. Bukan kemarahan yang muncul, melainkan semacam kehampaan yang hangat—seperti memahami bahwa seseorang bisa mencintaimu, tapi tetap tak bisa bersamamu.
Dengan suara yang hampir tak terdengar, aku membisikkan sesuatu yang bahkan terasa lebih jujur dari air mata: bahwa yang kuinginkan bukan hadiah, bukan kepastian, tapi ruang pulang. Sebuah tempat untuk kembali ketika dunia terasa terlalu gaduh, terlalu menuntut, terlalu menghakimi. Tapi ia belum bisa jadi itu.
Ia tak menjawab. Hanya terdiam, pandangannya jatuh pada tanah, seperti menyetujui luka yang datang tanpa mampu menolaknya.
"Aku ingin hadir.." katanya kemudian.
Tapi bahkan untuk dirinya sendiri, ia belum mampu menjadi tempat berpulang. Tak ada kebohongan di sana, tak ada dalih. Hanya sepotong kejujuran yang menggantung di antara kami—sunyi tapi padat.
Kami saling memandang dalam diam. Tak ada kata maaf, tak ada amarah. Hanya ada kesedihan yang tak meledak, tapi cukup dalam untuk terasa lama.
Ia berusaha menelan napas namun harus ia hembuskan pelan-pelan, seolah mencari cara paling lembut untuk menyampaikan luka yang tak sengaja terbawa. Dalam gumam yang hampir hilang tertelan angin, ia mencoba menjelaskan—bahwa ada ketakutan yang sering singgah diam-diam: ketakutan membuatku kecewa. Bukan karena ia tak peduli, melainkan karena ia merasa belum utuh untuk siapa pun. Ada bagian-bagian dalam dirinya yang masih retak, masih sibuk ia tambal dalam senyap, dan itulah yang kerap membuat kehadirannya terasa setengah.
Sejak saat itu aku tahu, rasa saja tak cukup. Kami sedang berdiri di dua ujung panggung yang sama, tapi tak ada yang mampu menyeberang.
“Kalau saja kisah kita ini film,” katanya pelan, berusaha tertawa,
“mungkin ini adegan yang harus diulang, atau malah dipotong sama sekali.”
“Tapi ini bukan film,” jawabku, menatapnya lembut.
“Ini panggung nyata. Dan kadang, aktor terbaik pun harus tahu kapan turun, sebelum lampu padam sepenuhnya.”
Kami tahu kami saling suka. Tahu bahwa di antara tawa ringan dan percakapan yang pernah menghangatkan malam, ada sesuatu yang pernah ingin tumbuh lebih dari sekadar kenangan. Tapi juga tahu, tidak semua kisah butuh pelukan untuk bisa diakhiri dengan baik.
Malam itu, kata-kataku meluncur bukan karena berani, tapi karena tak ingin menyisakan ruang pura-pura.
“Aku harap, suatu hari nanti, kita bertemu lagi. Di naskah yang lebih matang. Saat kamu sudah selesai dengan dirimu, dan aku tak lagi terlalu lelah mencari tempat pulang.”
Ia menatapku sejenak. Tak ada panik di wajahnya, hanya sorot yang mengerti terlalu banyak hal tanpa perlu dijelaskan.
“Kalau tidak pun, nggak apa-apa,” katanya. “Karena pernah memerankan peran ini bersamamu saja… sudah cukup buatku bahagia.”
Ia menghela napas, lalu menambahkan, suaranya lirih, nyaris tak terdengar jika malam tak setenang itu.
“Jika suatu saat kamu memerankan naskah yang bahagia, perankan dengan baik ya. Bahkan jika naskah kita ini sudah matang dalam persiapan... semoga kamu mau untuk melanjutkan beberapa adegan sampai ending kebahagiaan.”
Tak ada yang menjawab setelah itu. Hening bukan karena kaku, tapi karena terlalu banyak yang tak sanggup dibentuk jadi kata. Kami berdiri, pelan-pelan, seperti dua pemeran yang tahu panggung akan gelap beberapa saat lagi.
Tak ada pelukan. Tak ada isyarat dramatis. Hanya langkah kaki yang menjauh di trotoar malam yang basah, dan kesadaran sunyi bahwa panggung ini memang harus kami tutup.
Entah sampai kapan. Entah akan ada babak selanjutnya, atau justru... inilah akhir dari pertunjukan kita.