Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tawar-Menawar
*Nada Niken Anggraeni
Tut... Tut... Tut..
"Baiklah akan ku coba lagi" seraya memencet tombol berwarna hijau di ponselnya.
Tut... Tut... Tut...
"Angkat dong, Cha"
"Haduh… Cacha kemana sih? Ponselnya berdering, tapi tidak diangkat. Huh... Menyebalkan" sambil melempar ponsel ke sofa kamarnya.
Tasya gelisah. Ia mondar-mandir dari kasur ke sofa hanya untuk memastikan apakah ada notifikasi dari Cacha, sahabatnya.
"Oh My God, Cacha kemana sih?" teriak Tasya dengan gemas.
Selang beberapa menit. Ponsel Tasya berdering. Ia berlari mengambil ponselnya.
Panggilan suara ̶ Cacha.
Dengan kecepatan kilat, Tasya menyentuh tombol hijau di ponselnya.
"Hallo?" terdengar suara serak dari ponsel Tasya.
"Dari mana aja sih, Cha?"
"Sorry, Sya. Ketiduran. Ada apa?"
"Cha ke rumahku dong. Urgent nih"
"Ha? Sekarang?"
"Iya lah sekarang"
"Gila, aku baru bangun Sya!"
"Sekarang uda jam 11 siang, Cha"
"Mumpung hari Minggu, Sya. Nikmatin weekend-nya."
"Ayolah please bantu aku, Cha. Kamu kesini yaaa"
"Emmm.."
Belum juga menjawab, Tasya memaksa Cacha.
"Dah lah, pokoknya harus ke sini. Buruan nggak pake lama. Kalau uda sampai rumah langsung aja ke kamarku, Okay?"
"Ta-tapi..."
Tut tut tut. Panggilan terputus.
"Kalau sudah begini aku harus menurutinya" gerutu Chaca sambil menatap layar ponselnya.
Dengan malas, Cacha bangkit dari kasur miliknya. Lalu mandi dan bersiap ke rumah Cacha. Memang, jarak antara rumah Cacha dengan Tasya tidak terlalu jauh. Hanya 2 kilometer.
Ting tong... Ting tong... Ting tong..
"Tasya... Tasya..." teriak Cacha sambil memencet tombol bel terus-menerus.
"Iya... Sebentar" ucap Mbok Parni seraya berjalan menuju sumber suara.
Ceklek...
"Buka pintunya lama sekali, Mbok"
"Maaf non, tadi Mbok di dapur. Nggak kedengaran"
"Monggo masuk non" sambung Mbok Parni.
"Ini Mbok, aku bawain dawet ayu kesukaan Mbok"
"Wah.. Maturnuwun non"
"Tasyanya di mana, Mbok?"
"Astopirulloh, lupa aku non" sambil menepuk kepalanya.
"Tadi non Tasya pesan, kalau ada non Cacha langsung di suruh naik ke kamarnya. Monggo langsung naik saja non" sambungnya.
"Okay… Aku tinggal ke atas ya, Mbok"
Mbok Parni masih terpaku. Tidak bergerak sedikit pun. Sedangkan, Cacha mulai menaiki tangga.
"Mbok, segera ke dapur. Nanti masakannya gosong loh, hahahaha"
Mbok Parni terkejut lalu ngeluyur begitu saja.
"Lama banget sih, Cha" gerutu Tasya.
"Sabar dong, tahan-tahan jangan marah" goda Cacha sambil mencolek pipi Tasya.
"Liat itu jam berapa?" menunjuk jam yang berada tepat di dinding sebelah kasur Tasya.
"Yaelah, Sya. Masih jam 12 siang. Uda cepet banget itu hmmm" ucap Cacha seraya mendaratkan pantatnya ke kasur Tasya.
"Sejam Cha, sejammmmm. Bayangin, jarak rumahmu ke rumahku cuma 2 km. Oh My God" ucap Tasya dengan tangan di kepala.
"Kan harus persiapan dulu, Sya. Mandi, pakai baju, dandan. Belum lagi perjalanan kan? Emang kenapa sih, Sya? Buru-buru amat"
"Keburu pasarnya tutup, Cha"
"What? Nggak salah dengar nih?"
"Iyaaaa. Aku mau ajak kamu ke pasar"
Cacha mengamati muka sahabatnya dengan tamat-tamat. Kemudian, ia memeriksa kepalanya.
"Kamu sakit, Sya?" tanya Cacha dengan nada serius.
"Ihh, apaan sih Cha. Aku serius nih" sambil menangkis tangan Cacha. Lalu, Tasya duduk di sebelahnya.
"Kok bisa. Bukannya kamu nggak suka ke pasar ya? Lagipula kamu kan anak orang kaya. Ngapain juga ke pasar?" ucap Cacha kebingungan.
"Jadi, tadi pagi aku bosen di rumah, Cha. Mangkannya aku ikut Mbok Parni ke pasar"
"Ngapain? Beli sayuran? Bukannya kalau belanja sayuran di supermarket?"
"Nggak, aku nggak beli sayuran. Tapi aku nemenin Mbok Parni beli daster. Soalnya, banyak daster yang nggak layak pakai, Cha”
"Iya, terus?"
"Awalnya aku ajak ke mall tapi Mbok Parni menolak. Katanya gini, mahal non mending beli di pasar" sambil menirukan suara Mbok Parni.
Cacha terus memperhatikan Tasya.
"Karena aku juga pengen tau rasanya belanja di pasar. Akhirnya aku menyetujuinya"
"Pasar mana, Sya?" tanya Cacha.
"Pasar Kuningan ituloh, Cha"
"Oalah... Terus-terus?"
"Nah waktu di pasar, Mbok Parni kan pilih-pilih daster tuh. Tiba-tiba dia bisikin aku gini. Nanti non jangan langsung bayar ya, di tawar dulu"
"Akhirnya kamu tawar, Sya?" tanya Cacha.
"Nggak, aku gabisa nawar. Jadi, Mbok Parni yang nawar sendiri"
"Terus?"
"Aku lupa Mbok Parni bilang apa ke abang penjualnya. Tapi yang aku tau intinya seperti ini"
Tasya berdiri memperagakan Mbok Parni yang sedang tawar-menawar dengan abang penjual daster. Mulanya, Mbok Parni memegang daster yang telah ia pilih. Kemudian, ia menanyakan harga baju tersebut. Si penjual pun menjawab “delapan puluh ribu, Mbok. Harga pas tidak bisa ditawar”
"Jadi, harga dasternya itu cuma delapan puluh ribu, Cha. Tapi, Mbok Parni bilang ke abangnya kalo itu mahal. Trus Mbok parni nawar dengan harga empat puluh ribu"
"Busyettt nawarnya jauh banget, Sya. Di kasih nggak sama abangnya?" tanya Cacha.
"Nggak boleh, Mbok. Nggak dapat untung” – ucap abang penjual daster.
“Daster jelek begini kok delapan puluh ribu. Larang. Empat puluh ribu wae” ucap Mbok Parni.
“Tambahin dikit lah, Mbok. Empat lima aku lepas” kata abangnya dengan wajah serius. Tapi, Mbok Parni tetap kekeh dengan harga tawarannya.
“Yasudah kalau nggak bisa empat puluh ribu ya tidak jadi beli" ucap Mbok Parni.
Belum juga tiga langkah dari kios. Abang penjual daster memanggil Mbok Parni. Lalu, ia sepakat dengan harga tawaran tersebut. Kata abangnya, “Ya sudah, untuk penglaris tokoku” sambil membungkus daster dengan kantong plastik berwarna hitam.
“Dalam hati aku kaget banget dong, Cha. Bayangin, harganya cuma empat puluh ribu. Gila gak sih, Cha" sambung Tasya dengan gemas.
"Gila gila gilaaaa.. Separuh harga tuh" ucap Cacha.
"Dan yang bikin lebih gila lagi. Mbok Parni pake teknik itu di tiap kios yang kita kunjungi dong, Cha. Dan semuanya berhasil"
"Amazing... Kalau kita bisa belanja seperti itu bisa hemat uang nih hahahaha"
“Tapi, nyatanya aku nggak bisa nawar kayak Mbok Parni”
Tiba-tiba raut wajah Tasya berubah menjadi lemas. Ia berjalan menuju sofa kemudian mendaratkan pantatnya di sana. Tasya diam saja. Tidak berucap satu kata pun. Ia hanya menarik napas sedalam-dalamnya lalu menghembuskannya. Di sisi lain, Cacha mengamati gerak-gerik Tasya. Dia heran, mengapa tiada hujan tiada petir ujuk-ujuk menjadi pendiam.
“Sya?”
Tasya hanya diam.
“Ada apa, Sya?” tanya Cacha sekali lagi.
“Tadi, waktu di pasar. Aku nggak sengaja lihat dres lucu, Cha” sambil melihat meja dengan tatapan kosong.
“Terus?”
“Terus aku bilang ke Mbok Parni. Mbok belanja sendiri aja, aku juga mau nyari-nyari baju barangkali nemu yang lucu”
Cacha menghampiri Tasya.
“Aku berjalan ke ujung lorong meninggalkan Mbok Parni. Tepatdi kios paling ujung, ku temui dres cantik berwarna putih, Cha. Asli, aku jatuh hati dengan dres itu”
“Sebenarnya, aku sempat melihat dres itu sekilas, Cha. Tetapi, Mbok Parni terus mengajakku berjalan menjauhi dres putih cantik itu” ucap Tasya dengan tatapan kosong.
Cacha duduk di sebelah Tasya kemudian mengelus punggungnya. Tasya menoleh ke arah Cacha.
“Kenapa nggak kamu beli, Sya?”
“Nah itu masalahnya, Cha” dengan raut muka sedih.
Tasya menceritakan kegoblokannya. Sebenarnya, ia tidak bodoh. Hanya saja mencoba hal baru. Mulanya, Tasya mencoba teknik tawar-menawar persis yang dilakukan oleh Mbok Parni. Tapi, yang berbeda hanyalah penjualnya. Kali ini pedagangnya bukan abang-abang melainkan ibu-ibu galak.
“Harga dres itu berapa, Bu?” sambil menunjuk dres yang di patung tersebut.
Ibu penjual tersebut melihat Tasya dari atas ke bawah.
“lima ratus ribu” ucap ibu penjual dengan nada galak.
“Mahal sekali”
“Ada harga ada kualitas, Ce”
“Masak baju di pasar harganya 400 ribu”
“Lho, ini kainnya bagus. Nggak gatal di kulit” ucap ibu tersebut dengan nada ketus.
“Hmm… 200 ribu boleh?”
“Nggak bisa, Ce. Harga pas!”
Tasya diam sambil memegang dres tersebut. Namun, ibu penjual dres itu menahan tangan Tasya. “Jadi beli tidak? Jangan dipegang-pegang. Itu baju putih nanti kotor”
“Bu, saya ini pembeli. Wajar dong lihat barangnya. Megang saja tidak boleh. Pedagang kok galak. Kalau seperti ini siapa juga yang mau beli” ucap Tasya dengan jengkel.
Meskipun jengkel, Tasya tetap berusaha menawarnya kembali.
“Gimana, Bu? Saya tambah 50 ribu. Jadi 250 ribu”
“Enak saja, rugi saya! Dres ini cantik, elegan, kainnya bagus dan halus” ucap ibu dengan nada keras. Orang-orang yang berada di sekitar kios melihat ke arah Tasya. Hingga membuatnya malu.
“Yasudah kalau begitu, saya tidak jadi beli. Pedagang aja belagu” ucap Tasya dengan nada ketus.
Tasya meninggalkan kios. Tidak seperti Mbok Parni yang tidak sampai tiga langkah sudah dipanggil kembali. Tasya justru mendapat hinaan dari ibu penjual.
“Gayanya elit, beli sulit”
Tasya mempercepat langkahnya. Hampir semua mata memandanginya dengan tajam. Mbok Parni mengikuti langkah Tasya.
“Ayo pulang, Mbok”
Tasya sebal tidak bisa mendapatkan dres yang ia inginkan. Sebenarnya dia mampu bahkan bisa dikatakan sangat mampu hanya untuk membeli dres dengan harga ratusan ribu. Ia tertarik membelinya. Tapi, tidak dengan pedagangnya. Galak. Menjengkelkan.
“Sabar, Sya! Kan kamu bisa cari di tempat lain” ucap Cacha setelah mendengarkan cerita Tasya.
“Tapi aku pengen yang itu, Cha”
“Lah terus? Kamu pengen aku nawar gitu?”
“Nggak, nggak usah di tawar. Langsung beli aja. Pokoknya dapet”
Cacha menarik napas sebanyak-banyaknya. Lalu buang.
“Oke, tapi kamu harus ikut” ucap Cacha.
“Ayok berangkat. Tuh liat uda jam 1. Kata Mbok Parni, pasarnya tutup jam 2. Ayo buruan!” ucap Tasya dengan penuh semangat.
Tasya dan Cacha menuju Pasar Kuningan. Di sepanjang perjalanan, Tasya mengatakan pada Cacha untuk tidak mau turun dari mobil. Ia takut dilihat oleh orang-orang tadi. Tapi, Cacha berusaha menenangkan.
“Gausah takut, Sya. Orang yang belanja tadi pasti sudah pulang. Dia tidak akan melihatmu”
Ucapan itu membuat Tasya lebih relax. Sesampainya di pasar, Cacha memaksa Tasya untuk turun. Tapi, Tasya menolak. Ia takut jika ibu penjual dres itu mengingat wajah Tasya.
“Sya, kalau kamu nggak turun. Bagaimana aku bisa mengetahui kios yang kamu maksud?”
Akhirnya Tasya memutuskan untuk turun. Cacha berjalan sesuai dengan arahan Tasya. Sedangkan Tasya berhenti di kios ke empat dari kios paling ujung. Pandangan Tasya tertuju pada dres itu. Tanpa disadari, penjual dres itu mengetahui Tasya. Dan wanita yang ingin membeli dres itu adalah teman Tasya.
“Cece disuruh orang itu kan?” ucap penjual tersebut sambil menunjuk Tasya.
Mampus. Ucap Cacha dalam hati. Bisa-bisanya dia mengintip. Cacha menggerutu dalam hati. Ibu penjualpun mengatakan “aku tidak akan menjual pakaian ini padanya meskipun kalian kasih harga 2x lipat”
Cacha meninggalkan kios tersebut tanpa membawa barang. Sesampainya di mobil. Tasya sangat sedih. Untuk pertama kalinya ia tidak bisa mendapatkan barang yang ia inginkan. Mungkin, dari sinilah ia dapat belajar bahwa tidak semua hal yang ia inginkan bisa didapatkan.
TAMAT