Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Saya nikahkan engkau, saudara muhammad Syakir dengan putri saya, Zulidah binti Ahmad, dengan maskawin uang sepuluh juta, beserta emas lima gram dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai!"
"Saya Terima nikah dan kawinnya, Zulidah binti Ahmad, dengan maskawin tersebut dibayar, tunai!"
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"SAAH!!!"
Ditengah euforia mengharukan dan tatapan bersyukur para tamu yang menyaksikan janji suci pengantin baru, ada sepasang mata tajam yang menatap benci keramaian ini.
Namanya Firdan, umur 19 tahun. Dan dia adalah anak dari mempelai pria yang baru saja selesai mengucapkan janji suci pernikahan.
Hari ini, dia satu-satunya yang terluka diantara ratusan orang yang berbahagia.
Ia amat terluka ketika sang ayah memutuskan menikah lagi, saat kematian ibundanya bahkan belum genap sebulan berlalu.
Secepat itukah ayahnya melupakan kenangan bundanya? Tawa yang selalu menghiasi keluarga kecil mereka? Ibundanya yang cantik, anggun dan selalu memanjakan mereka dengan makanannya yang sangat spesial.
Waktu itu, Firdan pernah menolak ketika ayahnya izin untuk menikah lagi, dan ia berakhir terpaksa menyetujuinya karena ia tahu, sangat susah seorang lelaki mengurus semua pekerjaan dan rumah sendirian.
Namun hari ini, melihat langsung ayahnya menikah lagi, dan merangkul mesra perempuan yang tak terlalu Firdan kenal. Firdan merasa terluka, dan ia sangat muak dengan keramaian ini.
Semudah itu ayahnya mengganti tempat bundanya dengan sosok yang baru.
Ketika para tamu sibuk menyantap hidangan dan mengucapkan selamat kepada pengantin baru, Firdan justru bergegas keluar dari rumah besar yang sangat asing dimatanya ini—rumah perempuan asing yang menjadi istri ayahnya ini.
Ia marah, ia sangat kecewa dengan ayahnya.
Ia menghampiri motornya yang terparkir, dan tanpa memikirkan apapun lagi, ia segera melajukan motornya dengan kecepatan penuh.
Sembari memikirkan ayahnya yang tega melupakannya begitu saja demi kehadiran orang baru.
Ia butuh ketenangan sejenak, sebelum kembali menatap kenyataan yang sangat tiba-tiba ini.
***
Dua minggu berlalu, Firdan hanya berada di rumah ketika matahari terbenam dan pergi ketika matahari mulai naik. Ia tidak terbiasa dengan kehadiran orang baru di rumahnya. Lebih tepatnya, ia tak akan pernah terbiasa.
"Mau kemana, Dan?" Ayahnya berucap dari dapur ketika ia keluar kamar membawa kunci motor.
"Main." Dan ia hanya akan menjawab singkat pertanyaan ayahnya.
Seperti itulah keseharian Firdan, ia muak dan merasa tidak betah di rumahnya sendiri. Terbesit keinginan untuk pergi, tapi ia masih menyayangi sang ayah. Ia tak mau meninggalkannya.
Dan lama kelamaan, ada suatu hal aneh yang Firdan sadari. Ayahnya terlalu sering berada di dapur, selalu memasak waktu pagi dan sore hari.
Firdan memutuskan tidak kelayapan di luar sehari ini demi melihat keseharian ayahnya dengan perempuan itu—Firdan malas menyebutnya ibu tiri.
Dan akhirnya Firdan tahu, perempuan itu tak pernah menjalankan kewajibannya sebagai istri untuk melayani suaminya. Ia hanya melakukan pekerjaan rumah dan mencari makan untuk dirinya sendiri. Lalu apa gunanya dia menikah dengan ayahnya. Apakah karena harta? Firdan yakin perempuan itu lebih berkecukupan. Atau karena tampang? Banyak yang lebih di luaran sana, bujang juga banyak kalau mau.
Akhirnya, Firdan memahaminya. Ayahnya hanya ingin mendapatkan kasih sayang lagi, bukan berarti melupakan ibundanya begitu saja. Namun sayangnya, perempuan itu justru memberinya penderitaan.
Dan lebih bodohnya lagi, Firdan malah menutup mata dan mengabaikan perasaan ayahnya yang pastinya sakit karena telah salah dalam memilih. Sejak saat itu Firdan bertekad, ia akan berusaha menjadi anak yang lebih baik lagi. Ia tidak akan keluyuran lagi, dan berusaha sebisa mungkin membantu sang ayah.
Hari ini, Firdan memutuskan untuk mencari pekerjaan bersama temannya. Ia tak ingin semakin merepotkan ayahnya dengan bersantai, hanya karena terbiasa dimanja sedari kecil.
"Jangan malam-malam pulangnya.... " Suara ayahnya terdengar dari sambungan telepon, ketika dirinya sedang mampir di warung nasi goreng saat perjalanan pulang dari melamar pekerjaan.
"Keluarnya juga sore, Yah. Ya pasti malam pulangnya.... "
Ayahnya tertawa kecil.
"Yang penting jangan lupa, ya. Beliin ayah nasi goreng buat makan malam."
Firdan mendengus kesal dan mencibir dalam hati. Punya istri, tapi makan pun masih harus nyari diluar, nggak ada gunanya sama sekali.
Ingin sekali dirinya memaksa sang ayah untuk menceraikan istri yang tak berguna seperti itu, namun pasti ayahnya menolak karena tak ingin mempermainkan ikatan pernikahan yang sakral.
"Siap, Yah.... Ini aku lagi beli."
Firdan menerima sebungkus nasi goreng dari abang penjualnya.
"Sudah dulu ya, Yah. Aku mau pulang ini." Firdan segera memutus telepon dan beranjak menaiki motornya.
Ia dan temannya pulang menaiki motor masing-masing. Ketika berada di tikungan tajam, Tiba-tiba motor Firdan terasa aneh. Ia menarik rem namun motornya tetap melaju kencang, rem motornya blong.
Firdan seketika panik, ia berteriak memanggil temannya. Dan tanpa bisa di cegah, motornya meluncur deras menabrak trotoar. Nasi goreng pesanan ayahnya terlempar dan berhamburan di jalanan. Tubuhnya terasa remuk redam.
Dan di tengah kesadarannya yang hampir hilang, ia dapat melihat wajah kedua orang tuanya di pelupuk mata.
"Ayah..., Bunda.... " Lirihnya dengan sisa tenaga.
Dan setelahnya, Firdan dapat mendengar keramaian mengelilinginya, sebelum kegelapan mengambil alih kesadarannya.
Dan beberapa saat kemudian, di tempat yang berbeda.
Telepon Pak Syakir terdengar berdering, beliau segera beranjak menerima panggilan tersebut, dari nomor yang tak dikenal.
"Halo, Pak? Saya Vandi, teman Firdan... Maaf Pak, Firdan kecelakaan di tikungan, dia pingsan dan sekarang sedang dibawa ke rumah sakit."
Ucapan panik dari seseorang di telepon itu membuat dunia Pak Syakir terasa runtuh seketika. Teleponnya terjatuh, dan tubuhnya melemas.
Sang istri yang melihatnya, segera menghampiri.
"Yah? Ada apa? Siapa yang menelepon... " Istrinya bertanya dengan khawatir. Namun Pak Syakir tidak bisa merespon, tangannya bergetar hebat. Di pelupuk matanya kini dipenuhi wajah sang putra.
Wajah yang beranjak dewasa, wajah yang sayangnya sangat mirip dengan mendiang istri pertamanya.
Seketika itu wajah almarhumah istri pertama dan wajah kecewa putranya terbayang di ingatan.
"Nak..., maafkan ayah," lirihnya, dengan air mata yang mulai bercucuran deras di pipinya.
Ia ingat tatapan kecewa putranya, ia ingat kelakuan cuek putranya ketika melampiaskan perasaan terlukanya.
Dan ia ingat tatapan sedih putranya, ketika mengetahui perempuan yang dipikirnya dapat memberi kasih sayang seperti ibundanya dulu, justru menambah luka di hatinya.
Pak Syakir merasa takut, ia takut kehilangan untuk yang kedua kalinya.
"Firdan... " lirihnya dengan tangisan histeris. Beberapa tetangga yang datang tak sanggup untuk menenangkannya.
Perasaan bersalah melingkupi hatinya, ia takut putranya lebih memilih ikut ibundanya yang lebih pengertian dan meninggalkan dirinya yang egois ini sendirian.
Jika putranya pergi dari hidupnya, Pak Syakir tak tahu lagi bagaimana caranya dia menjalani hari-hari setelahnya.