Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Tato Kupu-Kupu
1
Suka
186
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Perlahan kulewati gerbang sekolah yang begitu megah. Pandanganku menghambur ke sekeliling, mataku menyipit saat mendapati pohon beringin yang masih berdiri kokoh di samping lapangan voli sekolah. Lain dari pada itu, semuanya telah berbeda, bangunan yang dulu hanyalah susunan dari papan yang telah digerogoti rayap, kini telah berubah menjadi bangunan permanen dan tampak begitu modern.

Matahari hampir tenggelam dan langit masih menurunkan gerimis. Sengaja kuberkunjung di waktu senja. Konon, senja selalu sukses membuka gerbang kenangan.

Kulangkahkan kaki menemui pohon kenangan. Lihatlah, saksi dari perjalanan kisah kita masih tetap di sini, lengkap dengan bangku panjang yang dikelilingi hamparan padang rumput setinggi lutut. Hanya itu yang tersisa, lainnya telah berubah total. Mereka bilang, kepala sekolah melarang perubahan pada tempat itu. Terlalu indah, katanya.

Saat itu, kau lewat dengan begitu gagah. Mulutku menganga menyaksikanmu. Seorang murid baru yang tampan dan sudah menjadi buah bibir beberapa hari terakhir tersenyum manis dan berjalan menghampiriku. Duduk di bangku panjang, bangku yang sama denganku.

“Apa ada yang marah jika aku duduk di sampingmu?” kau berkata, sementara aku masih melongo dan tidak menjawabmu.

Kau duduk dan tidak ada percakapan setelahnya. Sunyi. Hanya suara angin yang menampar wajahku. Sejak hari itu, kau selalu datang di sampingku, tanpa banyak kata, hanya senyummu yang sukses mengatakan bahwa aku adalah duniamu.

Kedekatan kita semakin intens, kau mulai berani merayuku, senyummu semakin menggoda, dan suaramu mulai menabung janji. Kita bahkan sudah berani berduaan saat malam hari. Orangtuaku tidak masalah, sebab aku tidak pernah jujur tentang hubunganku denganmu. Setahu mereka, aku sedang mengerjakan tugas di rumah Nirmala, sahabatku.

Waktu awal kita berpacaran, Mala sempat melarangku berhubungan denganmu. Katanya, kita terlihat tidak serasi saat jalan bersama. Dia juga sempat tidak terima ketika aku selalu menyebut namanya jika ingin bertemu denganmu di luar jam sekolah.

“Kau yakin hanya itu alasanmu menolak hubungan kami? Bisa jadi kau iri denganku.”

“Bukan begitu, Lola. Kita masih kelas satu, sementara Si Tio itu sudah kelas tiga. Lagi pula jika kuperhatikan, wajahnya terlihat lebih tua. Mungkin dia hanya preman yang menyamar jadi siswa SMA. Kau tahu kan kalau dia punya tato Kupu-Kupu di belakang lehernya yang katamu begitu menggoda itu?”

“Aku tahu, dan aku suka itu! Jangan kebanyakan nonton sinetron, pikiranmu jadi tercemar. Kau tahu kan, orangtuaku selalu berkata kasar denganku, tidak seharmonis keluargamu. Bang Tio berbeda, dia selalu memanjaku, dia berkata halus denganku, dan Bang Tio itu ganteng, Mala. Kau juga mengakuinya. Dia bilang akan mengajakku pergi setelah lulus nanti,” aku mengerlingkan mataku padanya.

“Halah, sudahlah, kau tidak akan mengerti. Makanya cari pacar juga, dong.” Aku berlalu, meninggalkannya duduk sendirian di kantin sekolah. Lonceng besi telah berbunyi, tanda jam istrahat telah berakhir.

“Bang Tio bukan tipeku. Lagian, apa kamu lupa dengan nenek? Nenek tidak akan berhenti mengoceh jika tahu aku berani dekat dengan laki-laki.”

Mala ikut berdiri dan mengejarku. Perempuan berambut ikal sebahu itu lanjut mengoceh tentang aku yang akhir-akhir ini sering menjadikannya obat nyamuk, jika kita sedang berduaan. Tapi aku tidak peduli, aku telanjur nyaman denganmu. Untuk itu, aku memintanya untuk mengerti dengan tidak mengadu pada orangtuaku dan teman-teman di sekolah dengan syarat traktiran setiap hari. Iya, kau tidak ingin hubungan kita diketahui orang lain. Cukup Nirmala saja. Katamu waktu itu. Teman sekolah hanya berani curiga. Kita tidak peduli dan selalu bermesraan saat keadaan sedang takterpantau.

Aku berubah menjadi pemujamu, menuruti setiap keinginanmu, termasuk saat kau meminta bertemu di bawah pohon beringin sekolah pada suatu malam. Katamu kau ingin pamit akan pulang kampung karena ibumu tiba-tiba sakit. Orangtuamu berada di kabupaten sebelah, dan kau tinggal sendirian di kampung ini. Pernah kutanya, alasanmu pindah kemari. Kau bilang, hanya ingin mencari pengalaman dan katamu, kepala sekolah adalah kerabat ayahmu, jadi mudah saja untuk pindah ke sini.

Kau bilang, jangan beritahu Mala jika aku menuju tempatmu. Sayangnya, aku sudah telanjur memberi kabar padanya dan dia melarangku dengan keras. Dia memaksa ikut bersamaku tapi aku meyakinkannya bahwa dia tidak perlu khawatir dan berpikir macam-macam. Aku memintanya untuk percaya pada kita berdua.

***

Sebulan lalu aku memutuskan untuk kembali ke sini. Ingin bernostalgia dengan masa kecil dan tentunya Nirmala, sahabatku. Sejak orangtuaku meninggal dua tahun yang lalu, aku selalu menghabiskan waktu di dalam kamar sambil menikmati sisa tabungan mereka. Bahkan di usia sekarang, aku masih enggan untuk menikah. Rasanya, cintaku masih milikmu. diam-diam aku masih mengharapmu. Sebenarnya, tabunganku menipis dan menjual warisan orang tua di kampung ini juga menjadi salah satu tujuanku kemari.

Saat pertama tiba, aku langsung mencari rumah Nirmala, tidak banyak yang berubah sebenarnya, hanya saja, banyak jalan baru yang dulu tidak ada di sini. Beberapa warga masih mengenalku. Mereka tampak senang dan menanyakan kabar orangtuaku.

“Ayah dan ibuku kecelakaan dua tahun yang lalu. Aku sendirian sejak saat itu.” Aku tersenyum dan bertanya perihal Nirmala.

“Astaga, kami turut berduka, Nak Lola. Kamu tidak perlu bersedih lagi, hal yang tepat kamu balik ke sini. Ini kampungmu. Rencana kamu mau menginap di mana, Nak?”

Ibu-ibu yang badannya gempil mengajakku duduk di teras rumah, sepertinya tiga orang ibu-ibu ini sedang asyik bergosip sebelum aku kemari. Aku masih mengingat mereka, tapi lupa namanya. Maklum saja, aku benar-benar hilang kontak dengan dunia lamaku.

“Aku akan menginap di rumah Nirmala, Buk. Apa Nirmala dan neneknya masih di rumah yang lama?”

“Kamu yakin mau menginap di sana?” mereka saling pandang. Aneh sekali menurutku. “Mari ke rumah ibuk saja!” jawab ibu yang satunya lagi.

“Yakin, Buk!”

Mereka saling pandang, kemudian menunjukkan jalan menuju Nirmala.

Aku berlalu. Belum terlalu jauh saat seorang ibu-ibu yang sejak tadi diam saja, berlari menujuku.

“Biar ibu antar, yah, Nak. Jalannya lumayan seram, beda dengan dulu waktu kalian masih sekolah.”

“Loh, kampung ini berkembang, tapi kenapa rumah Nirmala menjadi semakin seram, Buk?”

“Sepertinya kau benar-benar tidak tahu perihal kejadian yang menimpa Nirmala.”

Aku diam saja dan terus berjalan.

“Nirmala dipasung.”

“Maksudnya?”

Aku berhenti, otakku belum bisa mencerna kalimat itu, “Maksudnya?”

“Iya, sudah lima tahun. Sebenarnya dia telah dikurung sepuluh tahun sebelumnya. Tapi, sejak lima tahun terakhir, dia suka kabur dari kurungan dan kadang berlari di kampung tanpa pakaian. Kemudian warga sepakat untuk memasungnya, neneknya hanya bisa menangis. Ibu yang biasa mengantar makanan di pagi hari, dan akan kembali lagi esok paginya. Kalau kau perlu sesuatu, datanglah ke rumah. Rumah ungu terakhir yang sebelumnya kita lewati. Sebenarnya …”

“Baiklah, Buk. Terima kasih sudah mengantar saya.” Aku langsung memotong ucapannya. Kami sudah berdiri di depan gubuk tua yang kelihatan rapuh.

Pikiranku belum bisa menerimanya. Apa-apaan ini, kurungan, pasung, kabur, telanjang?

Ah, banyak tanya di kepalaku, tapi tidak lagi kuutarakan, aku terlalu lelah setelah naik kapal semalaman dan masih harus naik mobil dari kota Baubau menuju kampung ini. Biarlah akan kutanyakan langsung pada nenek. Aku terlalu merindukan mereka.

“Baiklah, ibu akan kemari lagi besok pagi. Hati-hati di sini, yah, dan bilang pada nenek, kalau aku yang mengantarmu dan buru-buru pulang karena sudah mau gelap.”

Sebelum masuk, aku menengok ke bagian belakang. Ada gubuk kecil di sana. dindingnya tidak begitu rapat, sehingga aku bisa melihat ada sesuatu di dalam sana dari celah papan. Aku melihatnya, sepasang mata, mata yang juga tiba-tiba menatapku kemudian mengerang. Aku mundur dan berlari masuk ke rumah. Saking kagetnya, aku hampir menabrak nenek yang bersiap keluar karena mendengar suara gaduh.

Nenek hanya bisa beristigfar ketika hampir pingsan karena aku yang tiba-tiba muncul. Aku hanya bisa meminta maaf dan membantu ingatannya untuk mengetahui siapa diriku. Aku terenyuh, nenek sudah benar-benar tua.

“Aku Lola, Nek. Ola, temannya Mala yang rambutnya hitam dan panjang itu loh, nenek suka memakaikan rambut kami santan kelapa, katanya biar mengkilap.”

Nenek mendekat dan mengusap pipiku, tidak ada kata-kata. Wanita tua itu menangis setelahnya. Dia menyuruhku duduk dan menunggu sebentar. Aku tidak menyangka dia bisa mengingatku dengan cepat.

Aku menyimpan barang bawaan dan melihat sekeliling. Sepertinya tidak ada atap yang bocor, aku rasa ini cukup nyaman untuk ditinggali. Suara teriakan dari gubuk belakang juga mulai mereda, dan nenek muncul setelahnya.

Nenek menyuruhku istrahat dan makan. Malam semakin jauh, di sini sunyi sekali, rumah ini cukup jauh dari warga sekitar. Akhirnya hanya suara binatang malam yang terdengar dan sesekali erangan dari gubuk belakang rumah. Aku cepat sekali terlelap, mungkin karena capek perjalanan jauh.

Tiba-tiba aku terbangun karena kedinginan dan mendengar tangis yang tertahan. Itu nenek, terisak di atas sajadah. Kulihat jam tangan, pukul satu. Aku beranjak dan memeluk nenek. Tidak tahu seberapa berat hidupnya selama ini. Aku mengajaknya bicara, dengan perlahan mencari celah utuk mengetahui tentang yang sudah terjadi belakangan. Nenek mulai berbicara, sepanjang ceritanya, dia mengeluarkan air mata.

Dulu limabelas tahun lalu, hari minggu pagi, Nirmala ditemukan warga di bawah pohon beringin sekolah dalam keadaan pingsan. Nenek bingung, karena sebelumnya, Mala izin hendak ke rumahku. nenek mencari kebenaran dariku, tapi aku sudah lebih dulu pergi dan menghilang. Nenek masih sangat ingat detail kejadian itu. Memorinya seakan berhenti pada hari itu.

Aku tertegun, malam itu, apakah malam saat aku meninggalkan Bang Tio di bawah pohon beringin? Jangan-jangan Mala menyusulku ke sekolah. Bang Tio? Oh Tuhan, apa yang sudah kuperbuat.

Sejak hari itu, Nirmala jadi pendiam dan tidak mau lagi ke sekolah. Katanya dia juga mencariku dan tetap tidak ada hasil. Nirmala jadi sering menangis, dan malas mengurus dirinya. Puncaknya saat ada lelaki yang berkunjung dan berbicara dengan Nirmala di depan rumah. Nenek tidak bisa mengenalinya karena lelaki itu menghadap ke arah lain.

Setelah kunjungan tersebut, Nirmala semakin tak terkendali, sering berteriak dan tertawa secara tiba-tiba. Belakangan neneknya sadar bahwa ada kehidupan lain di dalam tubuh cucunya. Neneknya mencoba mencari kebenaran, Nirmala mengamuk, dia menyuruh neneknya diam jika ingin selamat. Kemudian tertawa lagi. Entah apa yang dikatakan lelaki itu.

Setelah itu kabar Nirmala, siswa kelas satu SMA yang berbadan dua sudah tersebar di penjuru kampung. Tentang Nirmala yang dianggap perempuan liar. Neneknya sesenggukan ketika berkata itu. Sementara, napasku tertahan seakan enggan keluar dan masuk. Tidak bisa kupikirkan bagaimana perasaan Nirmala saat itu. Saat dia butuh aku, aku malah pergi dan menghilang. Padahal aku penyebab semuanya. Tunggu dulu, siapa lelaki itu, apakah aku mengenalnya?

Nenek melanjutkan ceritanya.

Katanya, dia tidak bisa berbuat banyak. Nirmala melarang berbicara perihal dirinya. Mereka mulai dijauhi warga. Tentu saja, beritanya terdengar mengerikan.

Nirmala suka mengamuk dan membanting diri, sehingga bayinya gugur. Nenek kira keadaannya akan membaik. Namun, bulan berganti tahun, Nirmala semakin tidak terkendali. Dia sering menyerang warga yang lewat. Di tahun kedua, warga sepakat membuat kurungan untuknya.

Hampir sepuluh tahun dia dikurung dalam gubuk belakang, sekali-sekali neneknya mengajaknya ke rumah. Berharap keadaanya membaik. Sayangnya, batinnya sudah terlalu jauh tenggelam, Nirmala hanya bisa terkontrol sesaat, setelah itu kembali meraung dan mengamuk.

Tidak pernah ada yang datang menemuinya, kecuali sekitar lima tahun yang lalu. Lelaki berpakaian dinas, dia mengaku sebagai teman sekolah Nirmala. Dia tampak begitu prihatin. Nenek berharap ada sedikit perubahan jika sering dikunjungi teman sekolah. Nyatanya tidak, beberapa hari setelah kunjungan itu, Nirmala mengamuk dan kabur dari kurungan, dia berlari di dalam kampung sambil melepaskan pakainnya.

Aku bertanya perihal nama lelaki itu, nenek lama terdiam.

“Nenek lupa, dia menyebutnya dengan cepat, tapi satu yang paling nenek ingat, ada gambar kupu-kupu di leher belakangnya.”

Aku terhentak,

“Benarkah itu, Nek?”

“Iya, nenek sangat mengingatnya. Gambar kupu-kupu.”

“Bang Tio.” Aku bergumam.

Sejak saat itulah Nirmala dipasung. Gadis yang kulihat tadi adalah sahabatku, Nirmala. Kami saling berpelukan. Hening, hanya sesak yang mengamuk di dalam enggan keluar.

Azan subuh berkumandang, nenek kaget dan mengusap air mata, berdiri dan mengambil wudu, dia mengajakku, tapi aku menolak dengan alasan sedang datang bulan. Nyatanya tidak, aku sedang memikirkan Nirmala. Aku meminta izin pada nenek untuk bertemu Nirmala. Nenek mengizinkan.

Aku berjalan perlahan, kuintip sebentar dan membuka gembok dengan sangat hati-hati. Takut penghuninya kaget. Saat pintu terbuka, aku yang kaget, sebab Nirmala sedang tersenyum padaku. Tangannya melambai, memanggilku duduk di sampingnya.

Air mataku tumpah, tidak ada lagi mata berbinarnya di sana, pipi yang tembem telah tenggelam di balik tulang pipinya, kulitnya yang bersih hitam manis sudah tak terawat, rambut ikalnya, di mana rambut ikalnya yang mengkilap waktu itu? Dia telah digunduli.

“Lola, kau datang.” Nirmala berbicara dengan senyum yang sangat kukenali. Dia langsung mengenaliku, tidak heran jika nenek tidak perlu waktu lama untuk mengingatku.

Aku limbung, kudekati dan kupeluk erat sahabatku. Tidak peduli dengan bau yang aneh. Nenek begitu rajin merawat sehingga aromanya tidak begitu menyengat. Kuperhatikan lagi wajahnya.

Maaf, hanya kata itu yang bisa kuucapkan. Nirmala tersenyum lagi.

“Jangan menangis, aku punya hadiah untukmu.” Tangannya merogoh sesuatu dari balik bajunya.

Aku menadah tangan, penasaran dengan hadiahnya. Apa aku tidak salah lihat? Jepit rambut dengan hiasan kupu-kupu di atasnya. Kemudian dia berbisik “Dia berkunjung dan memberi ini, kemudian berkata padaku semoga aku cepat mati dengan pasungan ini.”

Nirmala menggenggam erat tanganku, kemudian tertawa sesaat kemudian meraung tak terkendali. Nenek datang dan memisahkan kami. Aku berdiri, kugenggam erat jepit rambut kupu-kupu.

“Biadab kau, Tio. Betul kata Nirmala, kau adalah preman yang menyamar jadi pelajar. Limabelas tahun aku mencintaimu. Sial.”

Nenek berusaha menenangkan Nirmala, sementara aku dibopong oleh seseorang menuju rumah. Aku baru sadar setelah dia memanggil namaku, ternyata dia ibu yang kemarin. Namanya Tina. Sebut saja tante Tina. Seperti katanya, setiap pagi dia selalu membawa makanan untuk nenek dan Nirmala.

Aku mulai tenang setelah menandaskan segelas air.

“Buk, apa Ibu masih ingat dengan Tio, anak kabupaten sebelah yang pindah sekolah ke sini. Itu loh, waktu kami masih sekolah dulu?”

Tante Tina diam sebentar, “Tentu, tante mengingatnya. Tidak ada murid pindahan di sini saat itu. Hanya dia, emangnya ada apa?”

Aku tersenyum dan menjawab bahwa aku hanya iseng bertanya. Kemudian tante Tina melanjutkaan bahwa kau menjadi pegawai negeri sesaat setelah lulus kuliah dan kini mengajar di sekolah menengah atas tempat kita dulu sekolah bersama. Bagaimana mungkin, orang sebiadab kau bisa semujur itu nasibnya.

***

Berbekal info dari tante Tina, aku mendapatkan jalan untuk bertemu denganmu. Kau kaget ketika melihatku, begitupun aku. Tentunya hanya pura-pura.

Sifatmu tidak berubah, kau mendekat dan mulai merayuku, padahal kita baru saja berjumpa.

“Rupanya kau belum menikah. Apa kau menungguku?” Aku membuka suara

“Tahu dari mana?”

“Ah, berita tentangmu tidak sulit untuk didapat, Bang”

Kau hanya tersenyum. Masih sama dengan yang dulu. Manis sekali, aku terlena. Setelahnya, aku selalu mengajakmu bertemu hampir setiap malam, menghabiskan waktu di kedai ujung jalan, tentunya kita tidak lagi sembunyi-sembunyi. Sekali-sekali aku menyinggung perihal Nirmala, kau terlihat canggung dan mengalihkan pembincangan. Kemudian kau bilang jangan merusak suasana dengan membahas orang gila.

Sebentar malam minggu, aku mengajakmu bertemu, tapi bukan di kedai ujung jalan, melainkan di tempat tinggalmu dan berkata bahwa akan kuberikan permintaanmu dulu waktu kita di bawah pohon beringin sekolah. Kau menyambutnya dengan penuh semangat.

***

Sudah lima belas tahun berlalu, pohon ini masih berdiri dan semakin terlihat kokoh di tempatnya. Rupanya kau juga tidak berubah, masih tetap gagah dengan tato kupu-kupu di lehermu yang selalu membuatku candu. Setidaknya begitu perasaanku ketika melihat tubuhmu malam kemarin.

Ini kali pertamaku ke sekolah ini setelah dulu berlari pulang dengan tangisku pada malam kita bertemu. Kau meminta hal yang menurutku tidak pantas keluar dari mulutmu. Bodohnya, aku tetap mencintaimu. Sejak itu, aku pindah ke Kota Ambon bersama ayah dan ibu. Kita putus komunikasi, begitupun dengan Nirmala.

Ah, ingatanku menguar, wajah Nirmala terbang di angkasa diantar oleh ribuan kupu-kupu. Nirmala berpulang seminggu setelah kehadiranku. Nenek hanya memanggil kepala desa, imam kampung dan beberapa warga untuk mengurus jenazahnya. Nenek memohon agar mereka tidak berbicara perihal kematian Nirmala kepada orang-orang.

Tapi, aku melanggar janji itu, aku berdusta. Kuberitahukan padamu perihal bagaimana sakitnya Nirmala selama limabelas tahun karenamu, tentang bagaimana Nirmala mati dengan pasung di kakinya, persis seperti maumu. Aku melanggar janji pada nenek. Namun, aku menepati janjiku pada Nirmala bahwa aku akan mengantar arwahnya dengan kupu-kupu yang ada di belakang lehermu.

Aku berbaring di hamparan padang rumput, sekitar pohon kenangan kita, menatap langit dan menikmati gerimis yang menghantam wajahku. Aku tersenyum kemudian meraung. Hari semakin gelap, gerimis menjelma hujan yang begitu deras, suaraku tenggelam di dalamnya.

Kupeluk erat kado untuk Nirmala.

“Lihatlah, Mala. Aku membawakanmu kupu-kupu. Ternyata, ini terlihat semakin indah ketika sudah terpisah dari badannya yang biadab.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Aku tetaplah diriku
Devi Wulandari
Novel
Kursus Jatuh Cinta
Jessy Anggrainy Rian
Novel
Anak Kencing
Zangi al'Fayoum
Flash
Glasgow Coma Scale
Indah Azhari
Cerpen
Apa Yang Kamu Berikan
Zoids
Cerpen
Tato Kupu-Kupu
Evie
Novel
Hi, My New (Bad) Day!
Catherine Stevani
Novel
Origami
Winter_Sprite
Novel
Gold
KKPK GG Forever
Mizan Publishing
Skrip Film
Matahari Di Bulan Januari
Rika Kurnia
Novel
Tempurung Kaca
Panca Lotus
Novel
Bronze
Senandung Bumi
Destiana Saputri
Skrip Film
THE AUTHORS
Selvi Nofitasari
Cerpen
Bronze
Es Krim di Surga
Muhammad Ikhsan
Cerpen
bocil stunting
Raja Alam Semesta
Rekomendasi
Cerpen
Tato Kupu-Kupu
Evie
Flash
Sudah ku bilang, jangan main-main denganku...!
Evie