Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sayup terdengar teriakan-teriakan acak bersahutan, disusul derap langkah kaki-kaki menghantam keras lantai parket kayu. Lita membuka mata lemahnya perlahan. Yang pertama dia lihat hanyalah hamparan lantai, dan sepatu-sepatu yang membungkus kaki-kaki di atas lantai itu. Kaki-kaki yang tak henti-henti bergerak terburu-buru ke sana ke mari.
Lita tak bisa mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tahu-tahu dia sudah berbaring miring, dengan kepala berputar, seakan habis menenggak dua botol wine murah sekaligus. Tiba-tiba dia merasakan kepalanya terangkat, sebuah bantal diletakkan di bawahnya.
“Hei, hei… Lita, lu bisa dengar gw?”
Suara itu terdengar jauh, walaupun wajah Ariel, sahabat yang juga asistennya, berada hanya beberapa jengkal dari wajahnya. Lita menatap Ariel dalam kesenyapan pikiran, bola matanya bergerak lemah. Banyak yang ingin dia sampaikan dan tanyakan, namun mulutnya serasa direkat rapat pakai lem Korea.
Susah payah Lita mencoba bangkit, namun langsung ditahan Ariel.
“Santai, lu baringan aja dulu. Sebentar lagi dokter datang,” ucap Ariel, seraya menahan bahu Lita, supaya kepalanya tetap menempel lekat di bantal.
Mata Lita menewarang sekeliling. Meskipun samar, perlahan otaknya mulai diisi oleh kepingan-kepingan kejadian pagi ini. Pagi yang dia tunggu-tunggu dengan penuh semangat, karena pagi itu adalah hari dimana Lita dan timnya akan melakukan photoshoot untuk sebuah campaign besar dari sebuah merek mobil listrik baru yang akan segera memasuki pasar Indonesia. Pacuan adrenalin menyalakan semangat Lita yang sudah bangun sejak Subuh. Semuanya berjalan lancar dan menyenangkan. Sampai sakit kepala hebat tiba-tiba menyerang, sakit yang tak terkira, sampai-sampai semua indera Lita gagal untuk menahannya.
***
“Gimana kondisi lu?” Ariel memasuki kamar RS itu perlahan, tak ingin membuat Lita terlalu terganggu dengan kehadirannya.
Lita membuka mata, lalu menggeser badan ke belakang, bersandar di kepala ranjang, sembari menarik selang infus di tangan kiri.
“Kenapa gw di sini, ya?” tanyanya dengan suara serak.
“Justru itu yang gw pengen tau. Lu tiba-tiba pingsan, baru foto sampai layout kedua. Mata lu… Mata lu mendelik-delik, seolah lu melihat sesuatu yang bikin lu ketakutan setengah mati. Tangan lu gak brenti-brenti narik rambut lu sendiri… Pas ada yang coba nenangin… megangin lu, badan lu kejang-kejang parah. Pas dilepas, lu baru diam. Cuma mata lu… Gw gak bisa jelasin, tapi… “ Ariel tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
“Berapa lama gw begitu?”
“Sampai lu kebangun dan ambulance datang, hampir satu jam.”
“Satu jam gw tergeletak di lantai begitu aja?”
“Kita gak bisa mindahin, kepegang dikit aja lu meronta-ronta, kejang parah. Kita takut lu kenapa-kenapa. Terpaksa kita diemin aja sampai yang benar-benar paham datang. Tapi sebelum mereka datang lu uda keburu sadar. What happened?”
Lita menatap Ariel kosong, tanpa berkata sepatah pun.
“Gimana kondisinya?” sebuah suara memecah keheningan di antara keduanya, disusul munculnya seorang dokter pria dan perawat perempuan mendekati ranjang Lita.
“Hasil tes darah dan rontgen sudah keluar,” ucap dokter itu.
Lita menahan napas, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Tidak ada apa-apa, all’s good… Artinya harus dilakukan tes lain, probably MRI kepala.”
“Dan tes mata, Dok,” bisik perawat.
“Ya, tes mata. Kemungkinan bisa ada masalah di mata, yang gak ketangkap di tes-tes yang sudah dilakukan. Kami sudah jadwalkan, nanti ada suster yang akan mengurus semuanya. Untuk saat ini, Mbak Lita cukup istirahat aja. Dan, makan yang banyak!” tutup dokter, seraya meninggalkan kamar itu.
“Syukurlah, gak kenapa-kenapa.“ Ariel tampak lega.
“Ini kali ketiga gw kayak gini,” ucap Lita.
Ariel langsung terdiam, menatap Lita, mulutnya hampir terbuka. Tak percaya dengan apa yang dia baru saja dengar.
“Gw sengaja gak ngomong ke lu dan siapa pun, karena gw pikir cuma karena kecapekan, atau stres karena deadline.”
“Kapan?”
“Pertama bulan lalu, sepulang photoshoot di Srengseng.”
“Photoshoot di rumah tua kosong itu?”
Lita mengangguk.
“Kedua minggu lalu, seabis gw menjenguk Mama… Kedua kejadiannya pas gw uda di rumah.”
“Lu ke Grogol? Gw pikir lu gak mau lagi berurusan sama nyokap.”
“Sejak pingsan pertama, hampir tiap malam gw mimpiin nyokap. Mimpi yang sama… Nyokap teriak-teriak… maki-maki gw. ‘Semua gara-gara lu! Semua gara-gara lu!’ Dia teriakin gw berulang-ulang. Gw perlu tau maksudnya apa.”
“Mungkin lu diam-diam merasa bersalah gak pernah jengukin nyokap sejak dia dimasukin ke RSJ.”
“No, no. Kenapa gw harus feeling guilty? Bukan gw yang ngegorok suami gw pas nyenyak-nyenyaknya tidur, trus pura-pura gila biar gak dihukum mati…”
Ariel memilih tidak merespons lagi. Topik ini terlalu sensitif. Butuh bertahun-tahun bagi Lita untuk bisa kembali menjalani hidup, meski pun jauh dari normal seperti sebelum kejadian nahas 10 tahun lalu itu.
“Gw hanya pengen tau maksud dia marah-marah nyalahin gw apa.”
“Trus?”
“Apa yang bisa lu harapin dari orang gila psycho? Dia malah ngamuk-ngamuk pas liat gw, menarik kasar wajah gw ke dekat wajah dia, sambil teriak-teriak, ngulang-ngulang kalimat yang sama! Semua gara-gara gw! Apa? Dia jadi gak waras dan bunuh bokap gara-gara gw?!”
Air mata mulai merembes deras di kedua sudut mata Lita. Dia tidak menyangka harus kembali berurusan dengan situasi gila yang tidak pernah masuk akal ini, setelah bertahun-tahun berhasil dia kubur di bagian paling dalam di memori otak dan hatinya.
Obrolan mereka terpaksa terhenti, saat dua perawat, satunya mendorong kursi roda kosong, memasuki kamar. Keduanya membawa Lita ke lantai 4, untuk menemui spesialis mata. Ariel masih terpaku, menatap punggung perawat yang mendorong kursi roda, sampai menghilang di balik pintu.
Dia berharap pemeriksaan ini akan menemukan sesuatu yang salah dengan fisik Lita. Setidaknya masalahnya riil, bisa diperbaiki. Tidak seperti masalah yang memimpa Mamanya, yang sampai sekarang tak ada yang bisa menjelaskan dengan gamblang.
***
Suasana photoshoot kali ini tampak lebih tenang, tidak terlalu banyak orang di lokasi. Ariel sengaja merombak jumlah tim dan prosedur pemotretan, berbeda dari biasanya. Dia tidak ingin kejadian seperti photoshoot terakhir kembali menimpa Lita. Suasana berbeda, yang lebih tenang dan tidak terlalu ramai, diharapkan akan membuat Lita lebih fokus, dan less stressful.
Lita sudah tampak seperti dirinya yang biasa. Fotografer muda dengan bejibun prestasi, up and comer yang sedang menjadi rebutan banyak klien. Matanya yang jeli, pendekatan kreatifnya yang berani, dan gaya eksekusinya yang efektif membuat semua orang tergila-gila ingin bekerja dengannya.
Lita baru saja menyelesaikan layout ketiga, artinya tersisa satu lagi. Sembari menunggu tim set, lighting, make-up dan kostum menyiapkan semuanya, dia duduk santai di depan monitor di satu ruangan tertutup, yang tak jauh dari set, sambil memeriksa foto-foto sebelumnya dengan seksama. Sudah menjadi kebiasaan Lita untuk selalu melakukan proses ini sendiri, tak mau diganggu siapa pun, kecuali oleh Ariel.
“So far so good?” Ariel memasuki ruangan, langsung duduk di samping Lita.
Matanya memperhatikan foto-foto di layar yang tampak stunning.
“What can I say?”
“Sombong!” Kelakar Ariel.
“Btw, dokter mata lu tadi nelpon. Katanya dia telpon lu berkali-kali, belum diangkat. Minta bilang ke lu kalau dia WA hasil pemeriksaan mata.”
“Bukannya minggu lalu dia uda share dan jelasin hasilnya ke gw? Gak ada apa-apa kan?”
“Don’t know. Mungkin lu harus telpon balik, kayaknya urgent. Dia sampai nelpon gw 3 kali.”
Lita menyambar iphone yang dari tadi tergeletak di dekat monitor, membukanya. Tampak missed-calls berkali-kali. Dia langsung menelpon balik nomor itu. Baru dering kedua sudah diangkat.
Ariel bergerak menjauh, tak ingin menguping pembicaraan antara dokter dan pasien. Sedekat-dekatnya mereka, dia selalu berusaha menghargai privasi Lita sebisa mungkin. Pria itu hanya memperhatikan ekpsresi dan gelagat Lita dari sudut ruangan. Awalnya tampak biasa. Lama-lama dia bisa menangkap jelas perubahan ekspresi wajah Lita yang sangat kentara.
Lita menutup telpon, langsung membuka WA dari dokter itu. Tampak 3 foto dikirimkan, foto-foto bola mata kanannya. Lita membuka satu per satu, men-zoom semaksimal mungkin, dari foto pertama sampai foto ketiga. Wajahnya semakin berubah, menjadi pucat pasi.
Perlahan dia berjalan ke arah Ariel, dengan pandangan kosong.
“Lu liatin foto-foto ini. Apa yang ada di sana?” tanyanya lemah.
Ariel menyambar iphone dari tangan Lita, langsung memperhatikan foto-foto yang dimaksud.
“Ini foto bola mata lu kan? Terlihat normal.”
“Zoom!”
Ariel menggeser layar iphone dengan dua jari, sampai maksimal.
“Apa ini?!”
Ariel melempar iphone itu ke lantai. Wajahnya pucat, memutih pasi. Lalu menatap Lita tajam, yang hanya berdiri membatu.
“Nyokap bukan teriak-teriak ke gw. Dia memaki-maki siapa pun yang ada di sana… Di dalam mata gw…”
“Mirip bokap lu… Sosok itu mirip bokap lu! Dengan kulit hitam bersisik… taring tajam, rambut panjang semrawut… dan mata merah berdarah… Lit, ada apa ini sebenarnya?” tanya Ariel hati-hati.
“Di foto kedua, bokap lu mengangkat parang… Foto ketiga… Dia memegang potongan kepala lu!”
Air mata membanjiri kedua pipi Lita. Napasnya naik turun, tersengal-sengal. Dia merasakan dadanya tiba-tiba sesak, seakan dihimpit batu besar ratusan kilo. Dia berusaha membuka mata selebar-lebarnya, mati-matian menggerakkan bibir, untuk menjawab pertanyaan Ariel. Namun, sebelum kata pertama meluncur, sebuah tenaga besar menarik kuat rambutnya. Kepala Lita menekuk ke belakang, disertai suara derikan seperti dahan patah. Badannya terus tertarik menekuk tidak karuan, sebelum terbanting keras ke lantai. Lita pun mulai mengejang hebat, sama persis seperti yang terjadi minggu lalu.
Ariel kaget setengah mati. Saking kagetnya, hanya bisa terdiam, membatu….
Entah berapa lama, akhirnya dia berhasil mengumpulkan tenaga dan keberanian untuk berteriak sekerasnya, panik, memanggil bantuan. Matanya tak bisa lepas dari Lita di hadapannya. Pandangan Ariel terhenti di mata kanan perempuan cantik yang sudah tampak sangat berantakan itu. Mata yang mendelik lebar, menghitam legam, sebelum perlahan memerah, semerah darah. Mata yang menatap tajam, seakan menembus sampai ke jantung Ariel.
Pria itu tersentak, sebelum terjengkang keras ke lantai di belakang. Ariel berusaha sekuat tenaga mengalihkan pandangan, tapi tak bisa. Mata itu seakan menngunci tatapannya, memaksanya menyaksikan kengerian apa pun yang coba dia sampaikan. Ariel mulai menggelepar, berusaha sekuat tenaga menjauh. Sekujur jiwa dan raganya diselimuti rasa takut tak tertahankan. Rasa takut yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Rasa takut yang membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa, membiarkan sahabatnya menggelepar-gelepar di hadapannya, sebelum akhirnya terdiam tergeletak di lantai.