Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Manusia tahu apa keindahan yang amat menyerang jauh dalam sistem penciptaannya. Sering kali membuat sentral penglihatan menjadi tertegun padanya, tidak hanya dalam visual saja namun lebih menawan ketika bertatapan langsung seolah sedang saling mengamati dengan pandangan mata menyala-nyala. Namun dibalik itu polutan adalah hal yang menjadi lawan bagi kemenawanan itu, yang dibawa oleh orang yang akan menjejalinya. Apakah harus seperti itu terus? Apa ini akan berlangsung lama? Semua itu melayang dalam kepala dengan kondisi yang tidak seharusnya.
Tapakan di Mangunan membuat sekujur tubuh ingin terasa lebih cepet menapak pada Aik Berik. Semua hal yang dimiliki Aik Berik namun tidak dimiliki oleh Mangunan, hal yang sepele seperti batu kristal yang ada di Aik Berik mewakilkan bahwa dia menjadi pemenang atas Mangunan. Semua mata juga akan bersaksi bahwa Aik Berik lah yang memenangkannya.
“Gak sabar buat rencana kita.” kata Bagas.
Perbincangan yang dimulai dan tidak tahu sampai kapan akan berakhir. Tapi sialnya perbincangan itu sangat seru sekali seolah sudah menapaki diri pada Aik Berik.
Setiap sisi, sudut, dan arah akan melihat betapa menjulangnya Mangunan hingga semua yang berada disana tidak akan pernah bisa menghitungnya, walaupun diberi uang sebanyak apapun. Dengan wanginya yang alami sangat menyerbak hingga menusuk hidung. Kemudian kaki, leher hingga kepala akan merasa kalah dengannya dalam beberapa menit, oh ternyata tidak hanya hitungan beberapa detik saja semuanya akan menyerah. Ingin rasanya lebih lama di sini akan tetapi matahari sudah dipanggil oleh ufuk barat, menandakan kami harus kembali untuk tujuan selanjutnya, walau langkah yang sangat berat.
“Ready semuanya!”
Teriakan lantang Bagas seolah sedang memberi tahu orang yang jauh, membuat kami sontak menoleh padanya dengan mata yang tajam.
“Kamu kira kita budek!”
Aku pun menyetujui perkataan itu lalu tak acuh dengannya. Saat ini aku sudah tertapak pada tanah dan pohon yang dibeceki oleh embun. Aku juga melihat banyak teriakan yang merdu saling melawan seperti sedang beradu siapa yang lebih keras teriakannya.
“Ini Monte?”
“Jelas, kamu tidak lihat ada tulisan terpampang jelas di samping mu?”
“Lihat.”
“Lalu kanapa kamu bertanya seolah tidak tahu?”
Dia berjalan begitu saja, dia senang sekali mengejek ku lantaran ini pertama kalinya aku bertemu Aik Berik, namun kebanggaan ku adalah bahwa aku seorang pribumi. Padahal dia juga beru pertama kali menapaki diri di sana. Sudah 15 menit kami berjalan lalu Bagas meminta untuk berhenti sejenak. Dia merasa butuh asupan, ini belum sampai separuh jalan dari Monte namun aku menghargai itu. Dari tas kecil yang dia bawa, dia mengeluarkan sekotak kecil yang berisi batangan sebesar jari telunjuk.
“Nggak.”
“Ayolah, aku tahu kamu ingin sekali. Tidak ada yang menjualnya di sini, lagipula masih ada berapa ribu langkah lagi. Sayang kalau kamu tidak mencobanya.”
“Lanjut saja, aku mau lilhat sekitaran dulu.” aku pergi meninggalkannya dengan tangan yang sudah membakar batangan yang ada disela jari telunjuknya. Aku sangat kesal lantaran dia beristirahat hanya untuk menghembuskan awan putih. Sementara itu aku duduk di batu yang kasar untuk melihat pohon bak prajurit yang sedang baris berbaris dengan dibarengi suara yang nyaring dari pohon. Aku melihat arloji ku yang sudah ditutup oleh embun, sudah 5 menit kami istirahat waktunya untuk melanjutkan perjalanan.
Sepanjang perjalanan kami nikmati hingga tiba di Kayuk Malang. Aku mengeluarkan jerigen dari tas yang kupikul sedari tadi lalu menuangkannya ke dalam nesting yang berada di atas bara api.
“Gas, kopi?”
Dia hanya melihatku dengan kepala yang digelengkan sambil mengeluarkan buntilan panjang yang diapit dengan jari telunjukknya lalu morogoh kantung sakunya, kemudian dia mengeluarkan pemantik yang berbentuk ular. Aku sudah tahu apa yang akan dia lakukan. Sudah muak melihatnya di sepanjang jalan melakukan itu hingga beberapa kali juga aku menegurnya di jalan.
“Bagas, seringkali aku menasehatimu bahwa ini bukan tempatmu melakukan hal itu. Aku tidak melarangmu untuk melakukan itu karena itu adalah pilihan dan hakmu, tapi tolong jangan lakukan itu di tempat seperti ini. Kita sudah jauh dari tempat kita berada, setidaknya kamu bisa memahami itu!”
“Tenang saja, di sini Cuma ada rombongan kita saja. Lagipula tidak ada yang merasa terganggu.?
“Tapi ini sudah yang kesekian kalinya kamu melakukan ini!”
“Ya!” Jawabnya singkat sambil meludah dengan penuh keyakinan. Aku sangat kesal dengan kelakuannya hingga air yang sudah ku panaskan di atas bara api menguap. Tidak ada pilihan selain mengurungkan niatku tadi untuk membuat secangkir kopi dan aku memintanya untuk melanjutkan perjalanan.
Aku berguman kecil dengan apa yang sudah dilakukan oleh bagas, apakah harus seperti itu terus? Apa ini akan berlangsung lama? Semua itu melayang dalam kepala dengan kondisi yang tidak seharusnya. Aku menyelaraskan pikiran dengan langkah yang ku pijaki agar tidak terpeleset. Sambil terus berjalan aku melihat dia terus menghembuskan kepulan asap itu dari mulut dan hidungnya, serta decakan dari lidah dan mulutnya terasa jelas terdengar.
Sebelum memasuki Umar Maya, matahari sudah mulai pergi perlahan meninggalkan kami. Tubuh yang sudah direnggut oleh angin dan kaki yang sudah dijalari oleh beribu semut membuatku dan yang lain memutuskan untuk bermalam di lahan yang cukup luas ini. Aku mendirikan tenda kecil di dekat pohon yang menjulang tinggi dengan dahan yang begitu keras, cocok untuk mengikat hammock.
“Gas, istirahat! Besok kita akan melanjutkan perjalanan lagi.” Sambil menyodorkan pisang kepadanya. Aku tahu dia sangat menginginkannya walaupun tadi kami canggung karena bentakan dariku. Aku tidak berniat untuk mencari masalah dengannya, hanya saja hal itu tidak pantas untuk dia lakukan di tempat seperti ini.
Kami pun istirahat dengan arwah yang sudah pergi bermain-main entah kemana. Lalu tepat pada pukul 1.30 aku terbangun karena ingin buang air kecil. Tak sengaja ku lihat cahaya putih yang diikuti oleh asap dari arah barat tepatnya di samping hammock yang sudah ku kaitkan pada dahan pohon tadi. Ragu untuk melihat karena rasa takut, kaki yang akan berjalan terasa sudah dikubur dalam semen. Akan tetapi rasa ingin tahu akan hal yang ada di sana membuatku merogoh headlamp yang berada di dalam tas. Akhirnya dengan rasa yang penuh keingintahuan ku langkahkan kaki dengan senyap, tiga langkah sebelum berada di dahan pohon besar itu ku lihat sosok bayangan yang tinggi ketika ku sorotkan lampu headlamp ke arahnya. Rasa takut semakin bertempur, pas sudah satu langkah hingga sampai muncul seorang yang tidak asing, yah itu dia, Bagas.
“Gas, kamu ngapain di sana?”
“Sedang buang air besar, kenapa?” tanyanya santai dengan senyuman yang tidak pernah ku lihat pada diri sosok Bagas.
“Tidak, aku hanya penasaran siapa yang ada di situ tadi. Ku pikir ada orang lain.”
Bagas berjalan di depanku dengan penuh senyum menuju arah tendanya, tanpa pikir panjang dan tidak ingin mengotori isi pikiranku, aku pergi ke arah timur dekat dengan tendaku untuk buang air kecil. Di dalam tenda ada satu hal di dalam pikiranku yang menempel “lalu, asap putih itu berasal dari mana?” ucapku dalam hati dengan beribu jawaban aneh dalam kepalaku dari satu pertanyaan yang susah membuatku untuk tidur.
Beberapa kali aku bermimpi yang tidak jelas, namun anehnya mimpi itu tidak membuatku terbangun, hingga satu mimpi yang membuatku terbangun dan menjadikan aku menangis terisak sedih. Aku terduduk di atas ranjang yang dikelilingi headlamp, tas yang pernah dipakainya dan bingkai fotoku bersama dengannya, ku tatap semua itu dengan penuh rasa rindu.
“Bagaimana kabarmu di sana?”