Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Salah satu hal gila—karena faktanya memang lebih dari satu—yang pernah kulakukan dalam hidup adalah memutuskan menghadiri interview kerja di sebuah rumah produksi yang jauhnya 852 km dari rumahku.
Interview jam sepuluh pagi. Dua hari lagi, terhitung sejak aku menerima surat panggilan itu lewat email.
Menjadi penulis adalah impianku, setidaknya menulis cerita adalah hal yang paling kukuasai. Biasanya di mana pun bekerja aku akan membuat masalah seperti ....
Memecahkan gelas welcome drink saat akan mengantar pesanan, salah menulis tiket, menghancurkan sarang burung walet, salah menaruh posisi barang, menghilangkan barang, salah menghitung, membuat customer tidak nyaman karena berbicara terlalu cepat, galau, dan masih banyak lagi.
Dalam delapan tahun, aku berpindah kerja lebih dari sebelas kali.
Mudah mendapat pekerjaan karena terlihat meyakinkan di awal. Aku membuat orang-orang tersenyum karena bisa disuruh ini-itu. Tapi begitu segalanya terasa rutin, perasaan galau itu muncul. Entah sisa patah hati atau karena bosan.
Kembali aku menulis, melakukan hobi. Tapi berkat kegalauan itu, konsentrasiku jadi buruk. Masalah mulai muncul. Hingga resign terasa melegakan. Bebas rasanya.
Aku ingin pergi, tapi bagaimana nanti?
Satu hari berlalu, aku hanya bisa menangis. Sudah kukabari tidak bisa datang karena masalah finansial dan menanyakan tentang bekerja jarak jauh saja. Tapi, tentu saja tidak bisa. Itu lowongan penulis in-house. Bagaimana mungkin aku bisa bekerja di luar "rumahnya"?
Tapi hari berikutnya pun aku bahkan diam-diam menangis di tempat kerja.
Betapa bodohnya aku tidak punya uang di saat begitu dibutuhkan!
Aku terlalu fokus mengirim naskah dalam bentuk cetak lewat pos. Ditambah suka jajan. Gajiku yang tidak begitu besar hanya bisa menghidupi dari bulan ke bulan.
Lalu aku teringat satu hal. Gajiku di distro. Sebenarnya, belum genap sebulan aku bekerja.
Tapi kalau resign, pasti mereka memberikan gaji setengah bulan itu. Sekitar enam ratus ribu.
Kupikir, aku tidak akan berhenti menangis kalau tidak mencoba.
Aku harus mencoba.
Dengan cepat kucari harga tiket kereta api lewat komputer di tempat kerja.
Hanya ada kelas bisnis.
Itu ... nyaris separuh dari gajiku—jika memang digaji.
Keberangkatan yang tersisa hari itu untuk jam enam sore. Saat itu .... jam dua belas siang.
Aku bertanya pada HRD yang menghubungiku, berapa orang yang akan di-interview. Dia bilang hari itu ada empat orang yang dijadwalkan.
Empat! Bukan sepuluh atau lebih!
Mungkin aku masih punya peluang.
Tidak.
Tidak boleh ada interview lagi di hari berikutnya!
Aku menyampaikan kabar resignku pada supervisor. Tapi bosku baru bisa datang jam dua.
Aku mengabari HRD dan bilang bisa datang untuk interview besok. Mengingat di mana rumahku, interview diundur menjadi jam sebelas siang.
Gaji kuterima.
Segera meluncur ke stasiun kereta. Untuk pembelian tiket keberangkatan di hari yang sama harus melalui customer service. Dan antriannya membuatku merinding.
Saat itu jam tiga kurang dua puluh menit.
Aku baru selesai dengan customer service di jam setengah empat kurang. Karena tidak membawa KTP, tidak langsung bisa membeli tiket—skenarionya adalah jika orang tua tidak mengizinkan, aku akan bilang sudah terlanjur beli tiketnya.
Tapi untungnya, kursi masih sisa banyak dan jarang ada orang senekat aku yang pergi ke tempat sejauh itu membeli tiket di menit-menit terakhir.
Aku pulang.
Bilang pada orang tua akan tinggal sementara di rumah saudara yang mungkin lebih dekat dengan kantor itu. Aku bilang ini hanya wawancara, tapi kalau diterima aku akan langsung tinggal di sana—percaya diri sekali! Karena jika tidak, skenarionya aku akan tetap mencari pekerjaan lain di sana.
Sementara ibu dan tanteku berbicara lewat telepon, aku bersiap, shalat, mandi, dan ... entah bagaimana sempat-sempatnya menggoreng telur untuk makan—karena aku butuh tenaga untuk berjalan ke stasiun yang jaraknya terlalu dekat untuk naik ojek, dan ingat, uangku tidak banyak.
Tentang bagaimana keterkejutan ibuku tidak bisa kutuliskan dengan kata-kata.
Bagaimana bisa aku bilang akan pergi ke ibukota seperti halnya pamit untuk pergi ke sungai di dekat rumah? Bukan besok atau minggu depan. Tapi sekarang!
Untung ibuku tidak jantungan.
Satu pertanyaannya yang masih kuingat, apa aku punya uang?
Kau sudah tau jawabannya agar dilancarkan semua urusan, ada kubilang.
Rumah tanteku tidak tepat di ibukota. Tapi kami sekeluarga pernah ke sana. Ibu berpesan agar aku berhati-hati. Sementara ayah bahkan tidak mau melihat saat aku pamit. Bilang aku tidak bisa diatur, dan seterusnya, dan seterusnya.
Tapi aku bahkan mencium pipi kanan-kiri kedua orang tuaku—hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Kupikir jika di perjalanan sampai ada hal buruk terjadi, mereka tau aku menyayangi mereka.
Aku pergi dengan air mata tertahan. Secepat mungkin berjalan ke stasiun kereta.
Sedihnya pergi ke tempat yang jauh dengan tidak ada orang melepas kepergian kita di stasiun kereta.
Kenapa jadi melankolis begini?
Jadi, ini jam-jam paling genting di hidupku. Seperti film thriller—yang salah pilih pemain, terlalu melankolis.
Setelah mengantongi tiket, aku keluar sebentar untuk membeli roti dan air mineral.
Jam enam aku sudah duduk di dalam kereta.
Tidak ada seorang pun duduk di samping atau di depanku sampai beberapa jam setelah kereta melaju.
Sepi. Melankolis lagi. Aku menempelkan sisi kepala di jendela kereta. Air mata meleleh begitu saja. Tidak tahu apa yang masih membuatku sedih. Mungkin karena terlalu banyak.
Aku memutuskan mengalihkan perhatian pada kolase foto ilustrasi pemain yang kubuat untuk salah satu naskahku.
Gara-gara ini!
Memang naskah dengan ilustrasi itu yang kusertakan dalam email lamaran kerja.
Tapi senang rasanya—sekaligus deg-degan.
Jika ada orang bertanya aku mau ke mana sendirian begitu, kujawab jujur, kecuali bagian interviewnya, kubilang ke rumah saudara. Tidak mau diinterogasi lebih lanjut.
Kembali ke apa yang akan terjadi hari berikutnya. Sebagai persiapan, aku mencoba menelusuri alamat kantor tempat interview lewat Google Earth. Tapi yang kulihat lebih seperti pemandangan di pedesaan. Ada rumah-rumah putih, juga pekarangan dengan pepohonan pisang.
Astaga! Apa benar ini alamatnya?!
Aku kembali merinding. Sekilas terlintas di pikiran ....
Bagaimana kalau ini penipuan?
Lalu aku teringat siapa yang memasang info lowongan itu. Seorang editor dari penerbit ternama yang pernah memberi kelas menulis gratis di Facebook.
Tidak ....
Tidak mungkin abal-abal!
Aku memutuskan tidak turun di pemberhentian terakhir karena stasiun sebelumnya lebih dekat dengan tempat interview. Lalu menggunakan kamar mandi stasiun untuk bersiap. Karena lupa membawa peralatan mandi, aku membelinya di minimarket stasiun dan lumayan terkejut dengan harga sikat gigi yang nyaris tiga kali lipat!
Aku merinding lagi. Bagaimana kalau semua harga barang di sini seperti ini?
Aku hanya sarapan roti dan kopi di kereta. Jadi saat menunggu interview sebenarnya merasa tidak lama lagi bisa pingsan.
Ada tiga orang termasuk aku yang datang untuk interview. Dua dari universitas, sementara ijazahku hanya SMK. Aku berdoa saja—katanya doa bisa mengubah segala-galanya.
Giliranku tiba. Ditanya soal kapan datang, kujawab satu jam yang lalu. Lalu pertanyaan khas interview lainnya.
Saat ditanya pengalaman, kubilang tidak punya pengalaman menjadi penulis. Tapi, aku sudah menulis dua naskah skenario. Sebagai bukti, aku menyerahkan sebundle naskah pertamaku yang beratnya sekitar 800 gram untuk dibaca.
Saat ditanya, menulis sebanyak itu untuk siapa, aku jawab, untuk diri sendiri. Wanita di sampingnya membenarkan jawabanku, "Hobi dia ...."
Pak Levin, sang produser mengerti.
Dia lalu bertanya tentang dari mana mendapat info pekerjaan itu. Aku menjawabnya. Tak lama kemudian, dia bilang akan menghubungiku kalau diterima.
Karena sudah menghadapi belasan interview aku jadi tau, penutup seperti ini meragukan, dan kebanyakan adalah cara halus perusahaan mengusir pelamar kerja yang tidak sesuai kriteria.
Aku? Panik!
Meski mencoba tenang, tapi yang kukatakan lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa aku sedang panik.
"Kalau nggak diterima jadi penulis, saya mau kok Pak, kerja apa aja, yang penting bisa kerja di sini."
Pak Levin mengerutkan dahi. "Emangnya kenapa kalau jadi penulis?"
"Ya ... kalau misal saya nggak diterima jadi penulis ...."
"Gini ...." Kata wanita itu lagi. "Ini kan baru interview. Nanti, kalau diterima kamu langsung dihubungi by phone."
"Iya ...." sahut Pak Levin.
Aku? Barangkali sudah pucat.
Tapi, ya sudahlah. Tidak mungkin memaksa. Aku hanya bisa mengangguk.
"Gini aja ...." Pak Levin mengeluarkan kartu nama, lalu memberikannya padaku. "Ini kartu nama saya."
Aku menerimanya.
"Punya kamu mana?" Dia melihat wanita itu.
Wanita itu memberikan kartu namanya pada Pak Levin. Kartu itu segera berpindah ke tanganku.
"Ini punya Bu Ari. Dia Chief Manager di sini."
Aku mengerti.
"Kalau nggak, kamu telfon aja ke sini."
Jadi aku yang disuruh telfon?
"Tapi nanti kan dikabari kalau diterima."
"Iya. Dikabarin ...."
Aku? Lumayan tenang. Setidaknya, mereka terbuka jika aku ingin mengirimkan naskah lagi, dengan atau tidaknya aku bekerja di tempat itu.
Saat akan pamit, Pak Levin bermaksud mengembalikan naskah. Tapi kubilang, memang berniat memberikannya. Jadi dia berterima kasih.
Keluar dari kantor itu, perutku sudah minta diisi. Maka aku mencari tempat makan terdekat.
Aku makan sambil menelepon tanteku. Tante bilang, aku naik gocar saja, dia yang bayar—karena memang jauh dan mahal kalau harus naik mobil. Aku menurut saja.
Tak lama kemudian ada telepon lagi, dari nomor tidak dikenal.
Ternyata itu Bu Ari. Dia bertanya apa aku masih di dekat kantor. Kubilang sedang makan di warung sebelah. Dia menyuruhku segera kembali.
Aku mengiyakan. Terkejut sekaligus senang. Entahlah, apa aku harus senang sekalipun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi?
Di kantor, Pak Levin bilang aku diterima, dan dijelaskan soal hak dan kewajiban pekerja seperti biasa.
Tapi rasanya sungguh, lega.
Dia memberiku sebuah buku berbahasa Inggris berjudul "The Anatomy of Story" karya John Truby yang harus kupelajari.
"Tapi, nanti balikin ya. Soalnya cuma punya satu."
Tentu saja. Tidak mungkin juga aku berpikir ini hadiah untuk karyawan baru.
Akhirnya aku bisa pergi dengan tenang ke rumah tante.
Di perjalanan, kulihat gedung-gedung pencakar langit. Dua hari sebelumnya aku melihat teman SMP-ku berfoto di depan gedung seperti itu di New York. Kalau tidak salah acara dari kampus, simulasi sidang PBB atau semacamnya—dia memang anak orang kaya, dengan kemampuan bahasa Inggris di atas rata-rata.
Dalam hati aku berkata, pasti senang bisa berada di posisi temanku tadi. Dan sama sekali tidak menyangka, dua hari berikutnya aku benar-benar melihat gedung-gedung tinggi—ya, sekalipun masih jauh berbeda.
Aku berterima kasih lewat status dan chat di Facebook. Pada guru menulis online, juga pemberi info lowongan kerja di PH itu.
Tapi di rumah tante, aku disambut dengan agak pedas. Apalagi dengan gaji yang terbilang kecil yang kusepakati sebelumnya.
"Kamu coba nego gaji. Kalau nggak bisa naik, kamu pindah aja. Gaji segitu dapat apa di Jakarta?" petuah tanteku.
Menurutku normal kalau masih baru gaji tidak seberapa. Tapi tanteku berbeda pemikiran. Kalau tidak bisa dinego, disuruhnya aku keluar dan akan dicarikan pekerjaan dengan gaji UMR di Tangerang.
Aku? Merinding lagi.
Astaga .... Aku tidak jauh-jauh ke sini untuk pekerjaan yang tidak kusuka!
Tapi, berpikir omongan Tante ada benarnya, aku membuat coretan ongkos pulang pergi Jakarta - Tangerang. Yang memang sangat memaksa untuk dibilang cukup. Cukup pun akan susah untuk menabung.
Sesuai arahan Tante, aku akan mengatakannya setelah setidaknya satu minggu bekerja di sana.
Hal selanjutnya, menghubungi orang tua di rumah. Mereka lega aku diterima, tapi lebih ke lega aku sudah berada di rumah tante.
Lalu, ada telepon lain masuk. Itu dari Ara. Seorang teman di Facebook. Dia sering memberi tanggapan setelah membaca naskah yang kubagikan di sana.
"Kamu di mana?" tanyanya. Dia bilang boleh tinggal bersamanya kalau mau. Tapi karena tidak mau merepotkan orang yang baru kukenal, kubilang sudah ada tempat tinggal, di rumah saudara. Lagipula, Ara juga perantau, dan tempat kosnya jauh dengan tempat kerjaku.
Lalu temanku yang lain dari dua pekerjaan sebelumnya—kami juga berteman di Facebook. Ditambah aku sering menulis kalau sedang tidak ada customer di tempat kerja. Dia sekitar delapan tahun lebih tua, dan pernah bilang, "Kalau kamu punya mimpi. Kamu harus kejar itu."
Hey! Aku sudah mengejarnya!
Aku dikenal pendiam di tempat kerja dan sulit didekati. Tapi orang-orang memaklumi sejak tahu aku suka menulis. Rasanya, mereka seperti menerima ada alien di tempat kerja. Tidak menuntutku berperilaku seperti manusia pada umumnya.
Tak lama setelah aku ke ibukota, kulihat di postingan temanku itu, ada foto bersama teman-teman sekerja saat mereka pergi ke Bromo.
Kebebasan.
Itulah yang kutangkap dari foto itu.
Berbulan-bulan setelahnya, seorang saudaraku yang perempuan dan punya masalah dalam keluarga, memutuskan untuk merantau ke Jepang, sementara yang lainnya pergi ke Singapura, ada juga teman yang pergi ke Malaysia.
Rasanya senang melihat semangat itu jadi seperti rentetan kembang api yang meledak menghiasi malam.
Sebenarnya aku hanya ke-GR-an kalau mereka terinspirasi dari aksi nekatku ini. Tapi itu terlalu nyata untuk disebut sebuah kebetulan.
Kita kembali ke negosiasi gaji. Kalau melihat dari ceritaku, sudah tertebak jawabannya. Tapi aku ingin memberi detailnya.
Awalnya, ada alasan kenapa aku diberi gaji dengan jumlah kecil, naik bertahap, seperti biasa.
Lalu kujelaskan seperti apa yang diminta tanteku. Kutambahkan,
"Tapi kalau setiap hari pulang-pergi ke Tangerang. Waktu saya habis di jalan, Pak. Hampir lima jam (sebenarnya ini berlebihan, tapi hiperbola sedikit tidak masalah, belum macetnya, belum keterlambatan kereta, ojek) Jadi, mungkin saya nanti kos di dekat sini. Biar waktunya bisa dipakai buat nulis (ini pemikiran yang natural, karena memang lebih menyenangkan menulis daripada berdesakan di dalam kereta—tapi belakangan aku tahu kenapa efeknya luar biasa, karena menawarkan keuntungan yang bisa didapatkan perusahaan jika aku menggunakan waktu untuk mengasah keterampilan menulis) Kalau ngekos habisnya nggak jauh beda."
"Yaudah ngekos aja," kata Pak Levin. "Kamu cari sama Tomy (sopir) di sekitar sini. Kalau udah ketemu, saya yang bayar".
Sebenarnya aku tidak mengira akan seperti ini. Kupikir angka gajinya saja yang dinaikkan. Ternyata, Pak Levin bahkan mau membayar kapan pun setelah aku mendapatkan tempatnya.
Tentu saja aku sangat berterima kasih.
Akhirnya Tante pun tidak bisa menghalangi. Sekalipun belum sampai UMR, tapi ini lebih baik dari tawaran pertama.
Tujuh tahun sebelumnya, aku sempat merantau ke Cikarang, dan ribut ingin resign karena tidak betah di tempat kerja. Aku bertanya pada Tante kalau-kalau bisa pindah ke Tangerang, mencari pekerjaan sebagai penulis. Tante bilang tidak punya koneksi untuk itu, dan memintaku mempertahankan pekerjaan di pabrik.
Tidak ada yang salah dengan bekerja di pabrik. Tapi bahkan gajian dua kali sebulan tidak mengurangi kegalauanku.
Aku sering earworm—mendengar lagu yang sama berulang-ulang di telinga—barangkali lebih tepatnya di kepala, di pikiranku sendiri. Sialnya, kalau sedang bekerja ini bisa sangat mengganggu.
Aku memang bisa membuat lagu, dan berpikiran untuk rekaman juga. Tapi, tidak mengira akan sangat terganggu dengan sebuah lagu.
Kupikir, mungkin aku ditakdirkan untuk sesuatu yang lain.
Setelah akhirnya berdamai dengan pekerjaan, aku harus berurusan dengan patah hati. Pacarku nun jauh di kampung halaman selingkuh. Aku yang memutuskan hubungan, aku juga yang galau—siapa yang bisa tidak?
Lalu resign karena merasa tidak sanggup bekerja, rasanya ingin berada di sisi keluargaku saja. Terlalu menyakitkan! Padahal baru empat bulan aku di sana—kalau sedang mengingatnya, aku berusaha memaklumi diri sendiri, karena saat itu baru berusia delapan belas tahun.
Naas, tanteku mengira aku resign karena ingin jadi penulis. Ibuku juga. Aku tahu ibu membaca daftar impian yang kubuat untuk pekerjaan sebelumnya dari kata-katanya padaku,
"Orang itu yang biasa aja. Nggak usah menjangkau yang besar-besar. Nanti kalau nggak kuat, kamu tau, bisa gila!"
Agak terkejut saat mendengarnya. Tapi tahu kan aku poker face? Entah ekspresi apa yang kutampilkan saat itu, ibu menambahkan,
"Pakai acara mau menghajikan orang tua segala ... kerja aja nggak bisa."
Sedih sekaligus ingin membela diri. Bahwa aku mungkin tidak akan pernah menulis seratus daftar impian itu kalau tidak disuruh manager saat masih bekerja menjadi Sales. Aku hanya mengerjakan tugas!
Lagipula, apalagi yang harus kutulis sebagai impian?
Sepuluh-dua puluh daftar mungkin masih masuk akal, tapi seratus?
Barangkali aku juga menambahkan membeli jet pribadi segala.
Tapi sudahlah. Tidak ada gunanya. Lagipula ibuku hanya kecewa.
Sementara tanteku ....
"Yang ingin jadi penulis di Indonesia ini bukan cuma kamu aja. Tapi ribuan orang di luar sana."
Maka, mengingat bagaimana penghakiman orang lain terhadapku, mungkin terbayar sudah.
Tapi akan selalu ada hal baru untuk dihakimi jika orang itu memang tidak menyukaimu.
Bagiku, karena sering dibicarakan di belakang oleh tetangga—setidaknya itu yang kukira—efeknya pernah sangat buruk, dan menetap, setidaknya sampai sekarang.
Patah hati membawaku pada keadaan yang mengarah pada depresi. Entah bagaimana bisa, aku mendengar suara-suara yang mengomentariku dari jauh. Berujung mencurigai banyak orang. Kehilangan konsentrasi. Juga marah-marah sendiri.
Singkatnya, aku sempat tersadar karena tidak ada orang di depan rumahku.
Lagipula, siapa yang membicarakanku sampai malam begitu?
Kucari tahu lewat Google. Halusinasi auditori, jawabnya. Mengarah pada gangguan mental berat.
Aku tidak mau ke dokter, psikiater, atau apapun itu. Ini tidak bisa dibenarkan. Tapi aku mencoba mengatasinya dengan usaha menyeimbangkan Dopamin dan Serotonin dalam otak dengan cara yang lebih alami seperti, makan Vitamin C dan biji bunga matahari—kesimpulan yang kudapatkan setelah menganalisa banyak artikel kesehatan di internet.
Aku merasa jauh lebih tenang, setidaknya setelah tahu suara-suara itu tidak nyata. Dan barangkali karena kondisiku memang tidak parah.
Mencoba menggunakan logika, mana suara yang ada sumbernya dan tidak. Sampai sekarang aku masih mengabaikannya. Tapi pernah beberapa kali kesal juga sekalipun tahu itu tidak nyata.
Saat bekerja di Jakarta, sepertinya suara-suara itu hanya muncul sekali, saat membuat rekening di bank. Lucunya, di tengah kota yang mayoritas orang memakai bahasa Indonesia, suara itu berbahasa Jawa. Sudah tertebak, tapi masih kucari kalau-kalau ada orang "Jawa" juga. Selebihnya, aku tidak pernah mendengarnya lagi. Mungkin kuncinya kesibukan, dan hal yang benar-benar kita sukai.
Sebab pernah juga kutemukan dalam karya Paulo Coelho. Dengan kata-kata yang kurang lebih menggambarkan kekhawatiran seorang anak terhadap ayahnya, yang dipikirnya akan menjadi depresi saat pensiun karena tidak bisa lagi mengerjakan hal yang disukai.
Membacanya membuatku menyimpulkan, depresi mungkin saja terjadi karena kita tidak bisa mengerjakan hal yang kita sukai.
Maka, mari tetap mengerjakan hal yang kita sukai! Setidaknya selama tidak merugikan.
Meski begitu, masih sering terbersit pertanyaan, untuk apa, dan mau dibawa ke mana semua usaha ini?
Tapi, mungkin itu memang tantangannya.