Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
TANPA BAYANGAN
Oleh: Fiony Asmaya Jutri
Sebenarnya yang kita cari hanya keheningan, rasa tenang untuk bisa mengistirahatkan kebisingan dalam kepala. Pagi itu, mentari menggeliat malu di balik selimut kabut yang menyelimuti bukit-bukit. Kami berdiri di sebuah desa, memandangi megahnya Rinjani yang menjulang di kejauhan seperti dewa tidur yang menunggu dibangunkan. Dalam diam, aku bertanya pada diri sendiri, Kapan ya aku akan mendakimu, Gunung Rinjani?
Enam perempuan tangguh, berbalut percaya diri dan sejumput nekat, melangkahkan kaki dari titik registrasi. Mobil terbuka yang ditawarkan oleh laki-laki dengan rambut yang sudah memutih dengan kulit yang sudah mengkriput. Suasana dan kebersamaan membawa semangat yang masih utuh dan penuh tawa. “Jalan pintas,” katanya. Kami mengangguk setuju, menaruh kepercayaan pada suara asing yang terasa meyakinkan. Apakah ini sebuah keberuntungan atau sebuah kemalangan?
Ketika kami tiba di titik yang dimaksud, beberapa pendaki yang turun menyapa ramah. Mereka bahkan berbagi sisa makanan dengan hati tulus. “Lurus, belok kiri, nanti ada pagar—lompat saja,” ucap mereka, seolah itu rute yang sudah mereka hafal luar kepala.
Kami mengikuti petunjuk penuh percaya. Langkah demi langkah menyusuri belukar yang tinggi, dengan hati ringan dan menikmati pemandangan. Langit masih biru, meski sedikit mulai pucat. Namun waktu berjalan, kami tak kunjung menemukan pagar yang dimaksud itu. Yang terdengar justru lolongan anjing, yang berdiri gagah dengan suara nyaring di atas batu tepat di atas bukit. Jalan pun berakhir buntu. Tidak ada jejak kaki manusia. Tidak ada tanda kehidupan selain desir angin ringan dan dentingan ketakutan di dada.
"Apakah kita salah arah?" bisik salah satu dari kami.
“Tapi kita mengikuti arahan dari manusia yang muak merasakan kejayaan.” Dinda menyahut sambil meliak meliuk melihat keadaan sekitar.
“Kalau tau seperti ini, tak akan kubiarkan kaki mungilku melangkah menyusuri semak-semak ini, seharusnya kita tetap pada garis yang telah ditakdirkan.” Ucap Winda dengan nada kesal.
“Kita di sini sebagai pendaki pemula jadi kejadian seperti ini kita tidak tau dan jangan kalian saling menyalakan,” ucap Yasmin menenagkan suasana
Aku diam. Tapi suara dalam hatiku sudah lebih dulu menjerit. Apa kita sedang dipermainkan semesta?
“Kita balik ke tempat yang tadi dan ambil arah lain,” sahut Anggi menggiring kami menuju arah selanjutnya.
Kami berbalik. Melangkah kembali dengan peluh dan tanaman menyatu di tubuh. Ke kanan, kali ini. Melewati perkebunan kentang warga. Bukan tanaman liar yang menyelimuti tubuh kami melainkan debu dari tanah gembur. Perasaan yang bergejolak ketakutan kini sedikit lega. Menciptakan canda tawa untuk menutupi rasa ketidak tenangan yang kami temukan. Menikmati suasana, mendengar suara alam raya tanpa mesti berdesak-desakan. Perjalanan kami lanjutkan dengan jalur yang sudah menanjak, dibarengi dengan bebatuan. Keyakinan kami tak lagi utuh. Angin mulai menggila, matahari berdiri tegak di langit, menyilaukan dan menyiksa. Rasa haus, takut, dan penyesalan berdesakan dalam rongga dada.
Istirahat— mengatur rencana. Sedemikian kami mengatur strategi untuk mencapai titik kejayaan.
“Fio, Anggi, dan Dinda, naiklah ke atas apakah kita masih diberi kesempatan oleh semesta, saya di sini menemani mereka yang belum sanggup merasakan indahnya di atas sana.” Ucap Yasmin mengatur strategi.
“Oky, kami akan naik dan memohon kepada alam agar kita diberi jalan,” sahut Dinda.
Kami tercerai. Aku bersama dua kawan lainnya terpisah dari rombongan. Satu di sebelah kanan, dua sebelah kiri. Aku melangkah dengan titik kemiringan 45 derajat, berharap menemukan titik pandang sebuah arah. Tapi bukan puncak yang ku temukan, melainkan dihadapkan dengan beberapa gundukan tanah dengan batu nisan yang sudah kehilangan nama pemiliknya. Sepi dan sunyi, berdiri di perbukitan yang tak seharusnya menjadi rumah bagi keabadian. Hatiku porak-poranda. Keringat di pelipis berubah menjadi dingin.
Di antara semak dan pepohonan pendek, aku melihat siluet seseorang— jauh, samar, seolah hanya khayalan yang lahir dari keputusasaan. Tapi tak ada jalan menuju ke sana. Semak-semak melebihi tinggi tubuhku menjadi tembok tak kasat mata.
Aku kabarkan apa yang membuatku ragu untuk melangkah selanjutnya pada rombongan di bawah. Suaraku gemetar, tapi kukemas dalam kata yang setenang mungkin.
“Aku menemukan sejumput harapan namun tertutup dengan ciptaan yang kuasa. Ada orang juga di sana meski tidak sejelas aku melihat kalian.”
Tak ada jawaban segera. Suara yang tadinya lancar mendadak terputus-putus. Hanya hembusan angin yang menjawab.
Kabut tebal mulai turun perlahan, menyapa di antara pohon-pohon, membungkus kami dalam keheningan yang pekat. Mungkin ini bukan sekadar arah yang salah. Tetapi semesta ingin kami belajar tentang kepercayaan, kesabaran atau barangkali, tentang keberanian untuk tersesat. Kaki yang sudah tidak kuat menompang tubuh, aku berusaha menghampiri mereka yang berada di kiri dengan 180 derajat.
Berteriak seolah angin penjadi tukang pos. “Ayok naik kita coba takdir tuhan di jalur lain,” ucap anggi dengan penuh keyakinan bahwa kami bisa keluar dari ketersesatan ini.
Dengan kaki yang sudah tidak kuat menompang bahu, mereka yang di bawah berusaha menghampiri kami yang sudah berada di pertengahan bukit.
Sebagian dari kami mulai goyah. Beberapa suara lirih menyatakan ingin pulang, menyerah pada kabut, pada ketidakpastian yang mencekik. Tapi suara mayoritas, dengan napas yang masih tersisa, memilih untuk terus melanjutkan perjalanan. Meninggalkan rasa takut di belakang dan menaruh sisa keberanian di depan langkah.
Dan akhirnya kami bergerak kembali, lagi-lagi ke jalur kiri seolah segala yang benar tersembunyi di arah yang sempat kami ragukan. Seperti sebuah anugerah yang datang setelah ujian iman, harapan timbul kembali saat kami menemukan tiga buah ayunan yang menggantung di antara tiang kering nan kokoh. Angin membuatnya berayun pelan, seperti menyambut kami.
“Itu pasti titik puncak kejayaan” ujar Dinda yang penuh keyakinan, dan kami memungkinkan hal itu. Raut wajah yang semula pucat mulai terpancar dengan cahaya percaya.
Tak lama setelah itu, kami menemukan puncaknya. Senyum semeringah menghiasi wajah kami. Raut muka yang tadinya penuh cemas kini menatap cakrawala dengan semangat baru. Setibanya di puncak tidak lupa menciptakan memori yang full akan kenangan. Tapi seperti biasa, alam tak pernah membiarkan manusia merasa nyaman terlalu lama. Rintangan berikutnya datang dengan cara yang tak kami duga.
Seekor hewan yang suka menggelantung ke sana kemari, dari satu pohon ke pohon yang lain dan gemar sekali buah pisang. Kini menyergap kami, mengira hanya tiga ekor namun di balik rimbunnya pepohonan, puluhan hewan tersebut bersembunyi menyambut pendaki yang membawa beberapa makanan lezat. Tapi ini bukan monyet biasa. Satu dari tiga bagaikan pemimpin kawanan. Tubuhnya besar, kekar, dan terbalut bulu lebat dengan gagahnya dia mengaum. Matanya menyorot tajam, giginya runcing, kami terpaku. Berkeringat dingin.
“Bukan, itu bukan monyet biasa,” gumam Nila yang dihantui kepanikan.
“Iya, akankah kita menjadi santapan lezatnya kali ini?” kalimat Dinda yang membuat kami sedikit cengengesan.
“Tidak akan, kemungkinan dia hanya berlari bersama kita yang dipenuhi keringat, kita harus bagaimana ini?” ucapku penuh kebingungan.
Dia menatap kami seolah berkata, “Ini wilayahku.” Kami semua mundur perlahan, ketakutan, bahkan ada yang nyaris menangis, merengek ingin pulang. Kami lari ketakutan yang membara dan langkah kakinya bahkan setara dengan kami. Dengan napas yang terengah-engah, keringat yang selalu bertambah. Kami teperanjak, di hadapan kami seseorang berdiri dan entah bagaimana, hewan itu menghilang ke balik rimbun pepohonan, meninggalkan kami yang pucat penuh dengan keringat. Terima kasih keluar dari mulut manis enam perempuan, namun tidak ada balasan. Kami melangkah bersama namun tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Dia mendahului kami bak ditelan kabut.
Langit mulai menggelap, dengan jarak pandang yang amat minim. Meraba-raba dibalik kabut yang tebal berharap sebentar lagi sampai. kami menghembuskan napas lega. Seperti hadiah dari semesta yang tahu kami hampir menyerah.
Lelaki jangkung berbalut kulit putih itu telah lebih dahulu menjejak di Savana. Menyatu dengan bisu keindahan alam yang membentang, seolah dia bagian dari lukisan semesta yang tenang. Dia hanya duduk di hamparan makanan sapi yang hijau, sepasang matanya bagaikan memori kesunyian. Duduk? tidak membawa perlengkapan camping, ohh mungkin dia hanya ingin merasakan keindahan alam sesaat. Asumsi yang tergambar di benakku.
Tanpa curiga, kami mengajaknya bergabung. Ia menerima dengan senyuman santai. Tapi malam turun cepat dan ada yang mulai terasa janggal. Tidak ada pendakil lain. Tidak satu pun. Padahal hari Sabtu, dan tempat ini biasanya ramai.
Aku bertanya dalam hati, “Kenapa cuma kami?” dan pria itu sibuk mencari kayu bakar.
Angin malam berembus. Tidak lagi sejuk melainkan dingin yang menggelitik sampai ketulang kami. Tenda-tenda kami berdiri, dan laki-laki itu duduk di depan apinya. Wajahnya tenang. Terlalu tenang. Cahaya api menari di wajahnya tapi tak pernah memantulkan bayangan. Aku perhatikan lagi. Bahkan ketika ia bergerak, tak ada bayangan yang mengikuti.
Seseorang dari rombongan kami mulai berbisik, “Kalian lihat gak. Mengapa dia tidak membangun tenda. Aku tidak mendengar jeritan perutnya, apakah makanannya telah dilahap habis oleh raja bukit tadi?” ucap Dinda.
Yang lain menjawab, “tadi aku lihat dia berdiri di dekat pohon, seperti seorang peri yang tidak menampakkan kaki ke tanah. Namun aku tidak memberikan ruang untuk otakku berpikir negatif”
Malam semakin pekat. Suara jangkrik pun seperti enggan berbunyi, rasa dingin menyergap tulang yang belum kuat menampung cobaan dunia.
Kami menaruh curiga pada laki-laki itu. Beberapa kata mungkin keluar dari mulut mungil kami. Mungkin dia adalah bagian dari hutan ini. Penunggu. Mungkin dia tidak tahu jalan pulang, Mungkin pernah menjadi manusia, tapi kini hanyalah cerita yang belum selesai.
Aku memandangnya. Ia menoleh perlahan ke arahku dan tersenyum. Namun senyumnya berbeda, seolah dia menginginkan kami menemaninya. Menemani di alam lain barangkali.
Malam itu adalah malam yang panjang. Kami mencoba tidur, tapi angin membawa bisikan-bisikan asing yang menggores nalar. Tenda-tenda bergerak ringan dengan hembusan angin dingin. Api unggun kami berkedip, seolah ketakutan. Laki-laki itu masih di sana, duduk membelakangi kami, punggungnya tegak, terlalu tegak.
Aku mengintip dari celah tenda. Ia tak bergerak sedikit pun. Tidak makan, tidak minum, tidak berbicara. Hanya duduk seperti patung yang terbuat dari kabut dan kenangan. Kami terjaga sepanjang malam namun tidak dengan Winda. Dia terlalu lelah dan merasa sumua rumor itu tidak mungkin terjadi.
Pukul 02:12. Kami dibangunkan oleh suara riuh di tenda sebelah. Terbangun dari tidur yang terpaksa itu dengan serempak. Napasnya terengah-engah, keringat membanjiri dahinya. Matanya liar. Dia teriak dan menggeliak bagaikan cacing yang disiarmi air garam. Sepatah dua patah kata keluar dari mulutnya seakan memberikan isyarat. “Kalian harus keluar dari sini”. Semua ini rasanya seperti mimpi. Disaat teman-temanku menenangkan Winda aku keluar tenda dan memeberanikan diri melihat situasi sekitar. Ia masih di sana. Duduk. Tapi kali ini menoleh.
"Kenapa kalian membangunkanku, kenapa kalian semua tidur di tempatku?" katanya dengan suara yang terlalu datar, terlalu dalam untuk disebut manusiawi.
"Kita harus turun esok hari demi keselamatan kita semua," suaraku berusaha tegar.
Kali ini mataku melirik lagi ke arahnya. Dia bangkit berdiri. Tubuhnya tinggi, lebih tinggi dari yang kuingat untuk sesaat, aku melihat kakinya, dia memang sepeerti peri tidak menampakkan kakinya ke tanah. Bayangannya tetap tak ada. Aku berteriak, keringat dingin membasahi pelipis diwajahku. Seketika teman-temanku mencar dan mencoba membagi diri.
Ia menatapku mata hitam tanpa cahaya. Lalu ia masuk ke balik kabut. Tak meninggalkan jejak. Tak ada suara langkah. Hanya hening yang menggantung di udara.
Kami terus berjaga sampai matahari menyapa. Semua terasa seperti mimpi. Tapi satu hal yang pasti tak ada tenda lain di sekitar. Tak ada jejak kaki pria itu. Seolah ia tidak pernah ada.
Kami mulai meninggalkan hamparan rumput diselimuti kabut pagi. Suasana yang sangat tenang namun terpaksa kami tinggalkan demi kesehatan jiwa dan raga. Kami turun dengan langkah tergesa. Tak banyak bicara, semua membisu memberikan mulut kami untuk beristirahat. Sesekali saling pandang untuk memastikan kami masih nyata, bahwa malam itu bukan buah imajinasi. Namun saat kami melewati kembali tempat ayunan, salah satu dari kami menunjuk dibalik tanaman rambat menjulang tak jauh dari sana.
Tersembunyi, sebuah papan tua dengan tulisan pudar:
“Pendaki hilang, 2018. Pria muda, sendirian. Tak pernah ditemukan.”