Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Tangan yang Tak Terlihat
0
Suka
50
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Intan menatap kosong ke langit kelabu di balik jendela kecil ruang tamu kontrakannya. Hujan turun pelan, menetes di sela-sela daun yang bergoyang tertiup angin. Suara gemericik itu terasa seperti irama yang mengiringi suasana hatinya yang sendu. Satu minggu terakhir ini, hidupnya berputar dalam lingkaran kelabu yang tak kunjung usai.

Beberapa hari lalu, Intan kehilangan pekerjaannya di toko kelontong tempat ia bekerja selama tiga tahun. Bosnya bilang toko harus tutup karena sepi pembeli dan utang menumpuk. Intan tahu, tidak ada yang bisa disalahkan selain keadaan yang semakin sulit. Tapi hati kecilnya tak bisa menahan perasaan hampa yang semakin mengganjal.

Sementara itu, suaminya, Arif, memutuskan pergi tanpa pesan. Tak ada kata pamit, tak ada alasan yang jelas. Intan hanya menemukan sebuah pesan singkat di ponsel yang membuatnya bertambah terpuruk: "Maaf, aku butuh waktu sendiri."

Kini, Intan harus berjuang sendiri, menghidupi dirinya dan anak kecilnya, Dita, yang baru saja memasuki usia tujuh tahun. Dengan gaji seadanya dan tabungan yang mulai menipis, setiap hari adalah perjuangan agar Dita tetap bisa sekolah dan makan dengan layak.

Meski lelah, Intan tak pernah menunjukkan kelemahannya di depan Dita. Ia tahu, anaknya masih terlalu kecil untuk ikut merasakan beban hidup yang berat. Maka, setiap pagi, dengan senyum yang dipaksakan, Intan membangunkan Dita, menyiapkan sarapan seadanya, dan mengantar sekolah meski langkahnya berat.

Suatu sore, ketika hujan mulai reda, Intan bergegas pulang dari pasar kecil tempat ia berjualan kue keliling. Ia membawa tas plastik berisi beberapa potong kue dan sisa bahan masakan yang belum habis. Dalam perjalanan, langkahnya terasa semakin lelah. Ia duduk sejenak di bangku taman yang sepi, menghela napas panjang.

Ketika itu, seorang pria tua duduk di bangku tak jauh darinya. Wajahnya penuh garis waktu, tapi matanya bersinar hangat. Ia tersenyum pelan dan menyapa, “Bu Intan, ya?”

Intan terkejut, “Iya, Pak. Kenal?”

Pria itu mengangguk, “Aku sering melihatmu lewat sini setiap hari. Melihatmu berjuang untuk anakmu. Tidak mudah, ya.”

Intan menatap pria itu, merasa ada sesuatu yang berbeda. “Terima kasih, Pak. Memang sulit, tapi aku harus kuat.”

Pria tua itu mengangguk lagi, “Kadang tangan yang tak terlihat itulah yang membantu kita, Bu. Jangan pernah menyerah.”

Intan merasa hangat oleh kata-kata sederhana itu. Ia tak tahu siapa pria itu sebenarnya, tapi kalimat itu mengisi sedikit ruang kosong di hatinya.

Hari-hari berikutnya, Intan mulai merasakan hal-hal kecil yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Pagi itu, saat ia hendak berangkat mengantar Dita ke sekolah, ia menemukan tas sekolah Dita yang biasanya sudah usang, kini tergantikan dengan tas baru yang sederhana tapi rapi. Intan terkejut, ia tak ingat pernah membelinya.

“Ini dari siapa ya?” gumamnya, memegang tas itu dengan hati-hati. Dita tersenyum malu, “Aku juga nggak tahu, Bu. Ada di depan pintu tadi pagi.”

Keheranan itu menggelitik rasa penasaran Intan. Ia mulai memperhatikan kejadian lain yang seakan-akan seperti ‘tangan tak terlihat’ yang membantunya tanpa pamrih. Setiap kali ia pulang dari pasar, ada makanan hangat yang sudah tersedia di meja, padahal tak ada yang tinggal bersamanya.

Salah satu tetangga, seorang ibu paruh baya bernama Bu Lina, mengajak Intan minum teh dan bercerita, “Aku perhatikan kamu sering sendiri. Kadang aku kirim makanan buat kamu dan Dita, semoga tidak keberatan.”

Intan tersentuh, “Terima kasih banyak, Bu Lina. Saya sangat terbantu.”

Namun, ia merasa masih ada yang misterius selain Bu Lina. Misalnya, uang kecil yang tiba-tiba masuk ke dompetnya beberapa kali tanpa penjelasan. Meskipun kecil, itu sangat berarti bagi Intan.

Di tengah kesibukannya, Intan juga mulai membuka hatinya untuk berbagi kepada orang lain, walau hanya dengan hal kecil. Ia membantu anak tetangga belajar, membawakan sayur ke rumah-rumah yang membutuhkan, dan menguatkan sesama dengan senyum dan doa.

Satu hari, ketika hujan rintik-rintik turun, Intan bertemu kembali dengan pria tua yang beberapa waktu lalu memberinya semangat. “Bagaimana kabarmu, Bu Intan?” sapa pria itu dengan hangat.

“Lebih baik, Pak. Banyak yang membantu, dan aku mulai percaya bahwa masih ada kebaikan yang tak terlihat.”

Pria tua itu tersenyum bijak, “Itulah hidup, Bu. Kita kadang jadi tangan tak terlihat bagi orang lain, walau tak pernah tahu siapa yang kita bantu.”

Beberapa bulan berlalu sejak Intan mulai merasakan sentuhan kebaikan dari tangan-tangan tak terlihat. Meski kehidupannya belum sepenuhnya membaik, ia sudah tidak lagi merasa sendirian. Kebaikan-kebaikan kecil itu memberinya kekuatan yang tak terduga.

Dita yang dulu terlihat murung mulai menunjukkan senyum cerah setiap pagi. Ia makin rajin sekolah dan bercerita tentang teman-temannya yang baru. Intan bangga, tapi hatinya juga tetap waspada agar tidak terlalu berharap banyak.

Satu hari, Intan mendapat kabar dari tetangga bahwa ada program bantuan pelatihan kerja untuk ibu-ibu rumah tangga. Tanpa ragu, ia mendaftarkan diri, berharap bisa mendapat keterampilan baru agar dapat meningkatkan penghasilan.

Pelatihan itu berjalan cukup berat di awal, dengan materi yang tak pernah ia pelajari sebelumnya. Namun, Intan gigih. Ia selalu ingat pesan pria tua yang menginspirasinya: “Tangan yang tak terlihat itu ada, dan mungkin kamu juga akan menjadi salah satunya bagi orang lain.”

Saat jeda pelatihan, Intan bertemu dengan beberapa ibu lain yang punya kisah hidup tak jauh berbeda. Mereka saling menguatkan, berbagi cerita, dan mendukung satu sama lain. Intan merasa seperti menemukan keluarga baru.

Di malam hari, setelah Dita tidur, Intan menulis di buku catatannya tentang mimpi dan harapan yang dulu sempat hilang. Ia ingin kelak, hidupnya tidak hanya bertahan, tapi juga memberi manfaat untuk orang-orang sekitar.

Namun, ujian tak berhenti datang. Suatu sore, ketika Intan pulang dari pelatihan, ia melihat rumah kontrakannya sedang dikunjungi beberapa orang yang mengancam akan menggusur.

Dengan dada berdebar, Intan menghadapi kenyataan pahit itu. Uang sewa yang belum dibayar selama dua bulan membuatnya terancam kehilangan tempat tinggal.

Di saat genting itu, suara-suara hati mulai bergema, dan kembali teringat sosok pria tua itu. “Jangan menyerah, Bu Intan. Setiap tangan yang tak terlihat bisa mengubah arah hidup.”

Dengan tekad yang baru, Intan berjanji pada dirinya sendiri untuk berjuang lebih keras, tidak hanya untuk bertahan, tapi untuk membalikkan nasib.

Hari-hari setelah ancaman penggusuran, Intan hidup dalam ketegangan dan kecemasan. Namun, semangatnya tidak padam. Ia berusaha mengumpulkan uang dengan mengerjakan pekerjaan kecil di lingkungan sekitar, mulai dari menjahit, membantu belanja, hingga menjual makanan ringan.

Kebaikan yang dulu ia terima kini mulai bergulir kembali. Tetangga yang dulu hanya memberikan senyum kini turut membantu dengan memberi pekerjaan dan dukungan moral. Intan belajar bahwa hidup memang penuh dengan siklus, kadang memberi, kadang menerima.

Dita pun semakin ceria. Ia rajin belajar dan berjanji kepada ibunya bahwa kelak ia akan membahagiakan Intan dengan prestasinya. Janji itu menjadi pendorong bagi Intan untuk terus berjuang.

Suatu malam, Intan kembali bertemu dengan pria tua yang selama ini menjadi inspirasinya. Kali ini pria itu membawa kabar baik: seorang donatur lokal ingin membantu keluarga mereka agar bisa menetap dan membuka usaha kecil.

Air mata haru mengalir di wajah Intan. Bantuan itu datang sebagai jawaban atas doa dan perjuangannya selama ini. Ia merasa tangan tak terlihat itu nyata, bukan sekadar angan.

Dengan penuh syukur, Intan dan Dita memulai lembaran baru. Mereka membuka warung kecil di depan rumah, tempat yang dulu hampir hilang dari genggaman.

Setiap hari, Intan mengingat bahwa kebaikan sekecil apapun, bila diberikan tanpa pamrih, mampu mengubah hidup seseorang. Dan dia pun bertekad untuk menjadi tangan tak terlihat bagi orang lain, meneruskan cahaya harapan yang dulu ia terima.

Cerita Intan dan Dita menjadi pengingat bahwa dalam gelap sekalipun, selalu ada cahaya yang menunggu untuk ditemukan—dengan keyakinan, doa, dan tindakan nyata.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Tangan yang Tak Terlihat
Penulis N
Cerpen
Politik Industri
Luluk Mujiati☑️
Flash
Bronze
Gigi-gigi yang Jatuh-jatuh karena Kata-kata
Jie Jian
Novel
Bronze
Kisah Tauladan Nabi dan Rasul
silvi budiyanti
Novel
Bronze
Di Tepian Kehidupan 1
Mfathiar
Novel
MENCARI SURGA 2
memia
Novel
Madah Rindu Maria
Hadis Mevlana
Novel
'Ain Sin Qaf
Nurillah Achmad
Novel
Gold
Tuhan, Maaf, Kami Belum Bersyukur
Bentang Pustaka
Novel
SATARUPA
Nawasena Afati
Novel
Bronze
BUCIN
M habibbul haq
Novel
Bronze
Godaan Sang Mantan
Biru Tosca
Novel
The Silence Between Bombs
ohinisarah
Novel
SYAHADAT BERSAMA SENJA
N. HIDAYAH
Novel
Jilbab (Love) Story 2
Redy Kuswanto
Rekomendasi
Cerpen
Tangan yang Tak Terlihat
Penulis N
Cerpen
Titik Kembali
Penulis N
Cerpen
TITIAN MASA LALU
Penulis N
Flash
Hujan di Ujung Telepon
Penulis N
Novel
Sah Iya, Cinta Nanti!
Penulis N
Novel
Kanvas Hati
Penulis N
Flash
Kopi Terakhir di Stasiun 12
Penulis N
Cerpen
Pembisik di Atap
Penulis N
Flash
Surat dari Masa Depan
Penulis N
Cerpen
Sore Terakhir di Kaliwungu
Penulis N
Flash
Langkah Pertama
Penulis N
Cerpen
Alamat yang Tak Pernah Ada
Penulis N
Cerpen
Tiket Sekali Jalan ke Diri Sendiri
Penulis N
Novel
Lihatlah Dunia Sekali Lagi!
Penulis N
Cerpen
Satu Meja, Dua Rasa
Penulis N