Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
TANGAN-TANGAN KECIL
3
Suka
1,035
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Layar kecil itu terekmbang mewakili dunia kecil mereka, sementara tangan-tangan kurus mereka menari lincah di bawah sorotan sinar kuning. Kulihat bayangan itu menggeliat dengan anggun, menandakan kepiawaian Bapakku yang memang terkenal terampil dalam memainkan replika punakawan dari kulit itu.

 

Aku duduk di barisan paling depan bersama segelintir pria-pria usia senja yang terkadang memerkan gigi ompong mereka dalam tawa singkat ketika Bapak berhasil memukau penonton dengan humor segarnya yang tersimpan di setiap tangan-tangan kecil itu.

He, Petruk, yen kowe arep hurip minulya, kowe kudu tansah usaha lan dedonga,” Bapakku berbicara dalam suara rendah khas Bagong, sementara Petruk hanya manggut-manggut.

Aku tersenyum kagum. Betapa hebat Bapakku bisa memerankan berbagai karakter hanya dalam satu panggung. Terkadang aku mengira orang dalam busana adat Ngayogyakarta itu bukan Bapakku. Bukan pula laki-laki dengan kumis tipis yang menatap dunia dengan tabah, melainkan sesosok artis yang tidak pernah muncul di kotak televisi. Tapi siapapun beliau, aku kagum.

Itu adalah hari di mana angin member inspirasi dari Alloh SWT untukku sebagai calon penyelamat budaya di masa depan.

Tangan-tangan renta yang penuh goresan waktu itu bertepuk tangan, semeriah yang bisa didengar dari kerumunan yang terdiri dari tak lebih tiga puluh orang, sementara aku juga turut hanyut dalam suara sinden yang mulai bersimfoni mengiringi gunungan di depan sana.

***

Aku tertidur terayun-ayun di pundak bapakku, seirama dengan ayunan tas dari anyaman rotan tempat tokoh-tokoh pementasan tadi tergolek. Aku dapat mendengarkan irama detak jantung dari orang yang telah mendidikku tentang kehidupan ini.    

Malam sudah sangat larut ketika kami tiba di gubiuk kami yang berdiri doyong di tepi pantai Parangtritis.

Bapakku meletakkan aku di ranjang satu-satunya di rumah kami itu, setelah sebelumnya meletakkan keranjang rotannya di centelan dekat pintu.

“Dapet uang berapa jam segini baru pulang?” kudengar sayup-sayup Emak menyambut Bapak dengan suara beliau yang kasar dan sinis, seperti biasanya.

“Mbokya suaranya dikecilin dikit. Udah ,malem. Lagian ndak lihat apa, anak sedang tidur?” BApakku menanggapi dengan sabar sembari melepas blangkon dan pakaiannya.

“Masa bodoh. Sekarang mana duitnya?” todong emak dengannada yang tidak menurun sama sekali. Kulihat sayup-sayup Bap[ak mengeluarkan lembaran uang lecek dari saku baju dalangnya.

“Hah, semalem cuma dapat segini? Gimana mau nyekolahin Ridwan tinggi-tinggi, buat ganjal perut saja kurang,” sergah Emak tidak puas.

“Sabar, Buk. Bapak yakin Alloh akan membantu hamba-Nya yang senantiasa berusaha dan berdoa.” Seperti biasanya Bapak menanggapi murka Emak dengan sabar.

“Sabar sabar! Makan tu sabar!” Emak menyibak gorden kamarnya dengan jengkel yang teramat sangat, sementara BApak hanya geleng-geleng kepala, bertanya-tanya kapan istrinya tercita itu akan menjadi sosok istri yang penuh kesabaran.

Kupaksa mataku terpejam lagi, namun baying-bayang kemegahan panggung pedalangan tadi begitu sulit untuk dicampakkan begitu saja dari dalam otak kecilku, walaupun untuk sejenak.

***

Aku tidak bias menerima pelajaran dengan baik hari ini. Perkenalanku dengan dunia pedalangan sudah membiusku. Bagaimana bias selama ini aku tidak tahu kalau Bapakku memiliki pekerjaan yang begitu hebat? Ah, mungkin karena anak kelas I SD ini terlalu sibuk bermain.

Kuputuskan sepulang sekolah nanti ak tidak akan bermain, pergi mencari kepiting, atau melakukan aktifitas apapun di luar sana. Aku ingin membarntu Bapakku mempersiapkan wayang-wayangnya.

Sesampainya di rumah, kembali kudengar Emak sedang mencerca wayang-wayang Bapak. Saat itu BApak membersihkan wayang-wayangnya.

Entah kenapa aku merasa siang itu adalah saat terakhir aku akan melihat Bapakku bergelut dengan wayang-wayangnya lagi.

“Pak, wayangnya kok disimpan di koper?” tanyaku polos sembari membantu Bapak memberesi boneka-boneka kulit itu.

“Oh, sudah pulang to anak Bapak,” kata beliau sembari mengelus pelan kepalaku, tanpa berniat untuk menjawab pertanyaanku. Akupun tidak ingin mengulangi pertanyaanku. Segan.

Akhirnya kuturuti saja perkataan Bapak. Ganti baju. Setelah itu aku akan membantu Bapak mempersiapkan pemenytasannya nanti malam. Aku berharap Bapak mau mengajakku lagi malam ini.

Sembari membantu Bapak mengemasi wayang-wayangnya, yang tumben tidak beliau masukkan ke dalam tas rotamnnya yang biasanya, aku angkat bicara lagi.

“Pak, nanti malam Ridwan ikut Bapak pentas lagi, ya?”tanyaku dengan mata berbinar-binar sementara sosok paruh baya di hdapanku hanya menatapku penuh makna sebelum akhirnya berujar.

“Bapak sudah tidak akan bermain dengan tangan-tangan kecil ini lagi,” kata Bapak sembari menggerakkan salah satu tangan Gareng yang dibawanya.

Bagiku ini terdengar sebagai sebuag eksekusi. Bagaimana mungkin aku bisa tidak melihat Bapakku beraksi lagi sementara aku sudah terlanjur bercita-cita ingin menjadi seorang dlang yang hebat seperti beliau.

Tanpa kata-kata kutinggalkan begitu saja Bapak dan wayang-wayangnya.

“Ridwan! Ridwan!” panggil Bapak, namun tak kuacuhkan sama sekali. Aku terus berlari ketepi karang, berniat untuk menangis.

Harusnya bapak mengerti kalau anak semata wayangnya ini ingin menjadi seperti dia, ego kecilku berbicara. Bukankah kemarin aku sudah bercerita panjang lebar selama perjalanan pulang? Tapi kenapa tiba-tiba Bapak malah ingin mengakhiri karirnya di dunia pedalangan.

Aku merutuk pada ombak yang terus mengiba pada bebatuan karang yang menerimanya dengan sabar, karena hanya itu yang ia perbuat, sperti aku sekarang ini. Mungkin hanya ini yang bisa kuperbuat. 

Bapak duduk di sampingku dalam diam, sementara aku mulai memalingkan wajahku. Pura-pura tabah.

“Bapak jahat,” itu adalah kata-kata pertama yang terlontar dari bibir mungilku.

“Ridwan, dengarkan Bapak, Nak,” kata beliau sambil mendekapku. Aku diam, masih ngambek. “Bapak memutuskan untuk berhenti mendalang karena ingin melihat Ridwan bersekolah tinggi-tinggi.”

“Memangnya kenapa?” lirihku. “Ridwan hanya ingin menjadi dalang.”

Sepertinya Bapak enggan menjawab. Alih-alih menjawab beliau mendongakkan kepalakuke arah wajahnya yang selalu teduh dan berstyruktur lembut sekaligus kasar.

“Untuk menjadi dalang itu kamu harus bersekolah tinggi-tinggi,” katanya.

“Bapak hanya lulusan SD,” selorohku.

“Tapi kalau kamu ingin menjadi dalang yang hebat, dalang yang dikenal di seluruh penjuru dunia kamu harus bersekolah tinggi-tinggi,” kata Bapak. Aku hanya diam. “Dengar Bapak, Nak. Kamu masih bisa menjadi dalang. Dalang yang jauh lebih hebat daripada Bapak. Untuk itulah kamu harus menggantungkan ciota-cita setinggi awan-awan itu. Dan untuk itulah Bapak berhenti menjadi dalang. Dan,” Bapak berhenti sesaat, memancangkan tatapannya pada batu karang yang menjulang diseberang,” Bapak ingin melihat, suatu saat nanti, kamu menjadi orang yang sukses.” Kata beliau dengan nada yang dapat menggugah sukma.

Kuikuti pandangannya tanpa sepatah katapun, membiarkannya mengetuk-ngetuk dadaku. 

Dan kulihat siang itu bapak mempersiapkan kapal dan perlengkapan berlayar lainnya bersama paman Gimin.

Entah kenapa siang itu aku hanya ingin duduk-duduk saja, memandangi kerja Bapak dan Pakde Gimin. Bahkan aku sampai mengabaikan ajakan Mimin dan Paijo bermain gundu. Sesuatu yang selama ini belum pernah aku lakukan kecuali saat sakit.

Kemudian malam harinya kulihat pria berpunggung lebare itu meninggalkan daratan, mengiringi Parangtritis yang dingin, bersama sejuta harapan yang kami titipkan kepadanya. Walaupun demikian Emaklah yang paling berharap akan mendapatkan rupiah dari kepergian Bapak mala mini.

Kemudian dengan sedikit tarikan dari Emak kutinggalkan pesisir, juga titik yang semakin mengecil di telan malam itu.

Mendung mengintai kejam dari puncak-puncak cakrawala, membuatku cemas pada tengokkan terakhir, sementara jejak kecilku semakin meninggalkan bibir ombak.

Alloh, lindungilah Bapak…

***

Biru itu menyakitkan

Biru itu ujung

Biru itu tangis

Biru itu kosong

 

Angin tidak memberikan kabar apapun kepadaku. Begitupula ombak. Aku berdiri, selalu berdiri menatap hamparan biru zamrud yang menyesakkan itu. Dari sana belum ada kabar secuilpun dari Bapak. Sudah lebih dari setahun sejak kepergian Bapak, dan beliau belum juga membawa senyumnya kembali.

 

Harusnya aku tahu tidak ada yang bias melawan badai sedahsyat itu, apalagi keadaan Pakde Gimin yang baru sembuh dari kecelakaan yang hampir saja merenggut nyawanya setelah dengan sial terjatuh dari pohon kelapa. Untung dari bawahnya pasir lembut setiamenangkapnya. Kalau tidak, mungkin beliau tidak akan hilang di laut seperti ini.

 

“Ridwan! Ridwan!”

 

Emak ingin memanggilku dengan suara jutek di tengah hiruk pikuknya melayani pelanggan. Oh iya, karena kami tidak mungkin terus menunggu kabar dari Bapak, akhirnya Emak memutuskan untuk meminjam uang dan membuka kedai makan kecil-kecilan di tepi pantai Parangtritis.

 

“Ya, Mak,” seruku sambil berderap-derap kecil kearah kedai yang tak lain juga gubuk kecil kami, berharap besok tidak perlu berdiri menantang biru yang menyakitkan itu lagi.

***

 

Tujuh tahun kemudian…

 

Hujan menjalari atap-atap gubuk, lambung-lambung kapal yang dianggurkan di dekat karang, dan menutupi pantai dengan tirai kelabu yang bergaris-garis. Radio kecil di ruang tamusedang memberitakan kedatangan badai bulan Maret ini. Aku terentang, nyalang menatap wayang-wayang Bapak yang kubariskan di dinding kamarku. Sesekali kulirik bayangan Emak yang sedang menghitung untung hari ini dari balik gorden kamrku. Sesekali kudengar suara omelan beliau karena pendapatan yang menurun di musim penghujan ini, berdesing melawan radio dan rintihan hujan.

Kupandangi Arjuna dkk di dinding sana, merenung…

Mungkinkah aku masih bisa menjadi dalang seperti engkau? Tapi Emak melarangku untuk menjadi seorang dalang. Emak pikir dunia dalang tidak menjanjikan masa depan.

Tapi aku harus tetap kukuh untuk menjadi dalang, seperti bapak, yang mengutarakan jalan Alloh lewat tangan-tangan kecil itu. Walaupun penghasilannya memang tidak seberapa, tapi aku, begitupula dengan Bapak, percaya bahwa ada ganjaran yang lebih besar daripada sekedar segelintir rupiah yang segera hilang di perut. Namun sepertinya Emak belum bias memandang dari sudut ini. Lagipula di sana ada cita-cita luhur untuk melestarikan budaya bangsa. Tidak peduli tentang orang-orang yang menganggap rendah dunia pedalangan. Yang penting aku, Bapak, dan Alloh tahu.

“Ridwan!” Emak memanggil dari luar. Aku bangun dari renunganku dengan rada malas, dan segera menyahut. Takut kalau tidak segera menyahut, panggilan tersebut akan diikuti omelan.

“Ya, Mak,” jawabku sembari bergegas menghampiri beliau di ruang tamu.

“Antar pesanan Bu Darmisih sana.”

Mendengar perintah itu langsung kuarahkan pandanganku ke luar jendela yang dipenuhi oleh butiran-butiran ganas, dan berpikir, mungkinkah Emak memang sudah tidak menginginkanku lantaran aku terlalu membangkang? Ah, bagaimanapun aku dan beliau mempunyai ikatan darah. Seburuk-buruknya seorang ibu tetap tidak menginginkan keburukan bagi anaknya.

Emak sudah mempersiapkan pesanan Bu Darmisih dan menyodorkan rantang itu sementara tangan yang satunya menyodorkan payung. Satu-satunya payung di ruamah ini yang sudah penyok.

Tak kuasa menolak aku-pun menantang hujan dengan hanya berbekal sekuncup payung rudak dan keberanian melawan badai yang telah menghilangkan sosok Bapak dari diriku delapan tahun silam.

***

“Mak, Ridwan ingin meneruskan sekolah di pedalangan,” kataku akhirnya pada suatu petang di penghujung bulan pertama musim panas, di mana ijazah kelulusanku baru saja turun.

Emak berhenti menghitung untung hari ini dan menatapku dalam-dalam. Aku menunggu.

“Sudah berapa kali Emak bilang, jangan pernah bermimpi untuk kuliah. Apalagi menjadi dalang. Emak tidak akan pernah mengijinkannya, samapi kapanpun!” tandas Emak dengan suara super tinggi yang membuatku sedikit gentar juga untuk mengucapkan sekenario yang sudah kulatih sebelum saat ini tiba.

“Tapi, Mak, tidak semua dalang seperti yang Emak pikirkan. Banyak di luar sana yang bekerja tinggi-tinggi dengan jurusan yang berprospek tinggi tetapi malah tidak segera mendapat pekerjaan yang mereka inginkan,” lawanku dengan berusaha tetap menjaga suara agar tidak menyakiti hati Emak.

“Pokoknya Emak tidak setuju kamu menjadi dalang. Udah sana, pergi cuci piring,” kata emak dengan nada m,engakhiri sembari meneruskan menghitung laba hari ini.

Aku segera beranjak pergi dari tempat itu, tak kuasa menahan tirani yang menggema di setiap sudut ruangan di dada ini.

Apakah aku harus merelakan cita-citaku, atau aku harus meraihnya dengan konsekuensi mendurhakai seseorang yang telah melahirkanku dengan bertaruh nyawa?

Ah, andai aku punya duit, pasti urusannya tidak akan serumit ini, pikirku picik.

***

Tiga tahun kemudian…

Siang itu hari pertama aku melihat pasangan pria berbaju kantoran itu datang ke rumah kami dengan membawa sejuta pertanyaan.

Tapi tentu saja aku yang sekarang sudah menjadi pria dewasa ini tidak mungkin tidak menyadari masalah apa yang sedang dihadapi oleh Emakku. Sambil mencuci piring di belakang warung kuserap perbincangan emak dan dua pria berjas itu.

Intinya mereka ingin Emak segera melunasi hutang-hutangnya plus bunganya. Ya, segera!

Kulihat Emak mengiba-iba, memohon untuk diberi kelapangan waktu lagi, namun sepertinya pihak kedua tidak mau mengerti kondisi keuangan keluarga kami.

Melihat kondisi ini aku jadi berpikir dua kali untuk meneruskan sekolah di pedalangan. Sepertinya pertimbanganku jadi sangat belah sebelah.

Ya, mungkin aku tida akan pernah menjadi seorang dalang…

***

Sore yang lain masih di bulan April, ibuku berniat menjual wayang-wayang BApak untuk menambal hutang-hutang beliau dengan Bank. Kuhalangi niat Emak dengan sekuat tenaga. Tapi apa daya, kekuatan seorang Ibu memang sulit untuk didefinisikan.

Aku yang sudah dewasa ini hanya bias meratapi kepergian tokoh-tokoh bertangan kecil itu.

`Maaf, Pak, aku tidak bisa menepati janjiku untuk menjaga wayang-wayang itu. Maafkan Ridwan, Pak.

Butiran asin meleleh dari kedua indera penglihatanku.

Namun rupanya hasil penjualan wayang-pun hanya sanggup untuk menutupi bunga pinjaman saja, sementara nilai hutang yang ditanggung ibu masih murni dengan bulatan tujuhnya.

Ini yang membuatku semakin berpikir logis untuk menyudahi perjuanganku menjadi seorang dalang. Menjadi seperti laki-laki yang selalu membisikan kata-kata optimis di telingaku.

Ini sudah bukan musim penghujan lagi. Namun ada butiran-butiran halus yang membasahi bumi.

Sampai jumpa cita-cita

Sampai jumpa…

***

Aku memutuskan untuk ikut berlayar bersama Pakde Tumidjan. Bagaimanapun aku tidak akan pernah rela membiarkan rumah kecil kami di sita. Itu adalah rumah yang Bapak bangun dengan keringatnya mendalang. Dan walaupun Emak tidak bisa dibilang sosok Ibu yang baik, akan tetapi aku tetap tidak tega melihat peluh di tubuh beliau yang tak pernah kering.

Akhirnya sore itu aku mengarungi laut yang bersahabat sekaligus mematikan. Dan untuk pertama kalinya kulihat Emakku melambaikan tangan. Baru pertama kali juga kulihat airmatanya, bahkan sejak ditinggal Bapak sebelas tahun yang lalu.

Ya, Alloh, jangan biarkan takdir yang menghampiri Bapak menghampiriku juga.

***

Perjalanan sebagai nelayan sudah kulalui hamper satu tahun. Dan untuk itu aku sudah bias menambal sedikit banyak hutang-hutang Emak. Seiring brgulirnya waktu aku-pun mulai melupakan cita-citaku untuk menjadi seorang dalang. Mungkin memang jalanku tidak pada angan-tangan kecil itu, tapi dilautan yang maha luas ini.

Sekarang aku merasa biru itu sahabat. Tapi tetap saja biru adalah pilu bagiku.

Namun sore itu bunga-bunga yang sempat layu itu kini perlahan-lahan mekar kembali setelah aku melihat kertas yang sepertinya baru saja ditempel di papan-papan pengumuman sepanjang jalan pulang. Kertas abu-abu itu berisi tentang beasiswa kuliah di luar negeri, di sebuah institute deni di Italia.

Aku melongo tidak percaya. Geletar-geletar menjalari setipa nadiku. Apalagi di sana tertera keterangan bahwa siapa saja bias mengikuti program beasiswa ini. Tidak peduli lulus tahun berapa asalal umurnya masih di bawah dua puluh lima tahun. Dan aku baru duapuluh dua tahun jadi peluang ini masih sangat terbuka bagiku.

Ya Alloh, terima kasih atas kesempatan yang telah Engkau berkian kepadaku ini. Terima kasih ya Alloh.

Kubaca dan kuingat semua yang tertera pada kertas bernuansa seni itu, kemudian aku berlari pulang. Sudah tidak sabar ingin kuberitahu Emak. Ikan dalam gendonganku berayun-ayun tidak memberikan beban.

Namun rupanya manusia memang tidak bisa menebak rencana-Nya. Saking girangnya diriku sewaktu menyeberang jalan raya aku tidak sempat menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan yang kudengar terakhir kali adalah suara klakson sebuah truk tronton yang menghantam telingaku.

Kulihat tanganku yang berlumuran darah telah mati rasa, samar-samar dan semakin terurai secara cepat menjadi hitam kelam.

***

Beberapa tahun kemudian…

Aku sudah tidk mungkin menjadi dalang. Itulah kenyataan pahit pertama yang menghampiriku setelah tahu aku kehilangan kedua belah tanganku dari kecelakaan di hari yang seharusnya menjadi hari yang menggembirakan itu.

Tapi terus mengeluh dan meratap hanya akan membawaku tenggelam semakin dalam. Biarlah aku tidak menjadi dalang. Mungkin memang ini jalanku. Menjadi penyiar Islam di pinggiran pantai, sembari menyelamatkan budaya bangsa dengan menjual replika-replika bertangan kecil yang dipergunakan oleh Sunan Kali Jaga untuk menyebarkan Islam di Tanah ini.

Terima kasih Alloh, Engkau memang sanggup melihat apa yang tidak hamba lihat. Terima kasih.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@darmalooooo : 😊
Sama-sama Akak😊
@darmalooooo : Wah, terima kasih sudah mau menyempatkan waktu untuk membaca tulisan saya . 😊
menarik
@arieindienesia : Terima kasih :)
@ahmadjayadi : Terima kasih :)
Naratif sekali.
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
TANGAN-TANGAN KECIL
Rian Widagdo
Novel
Bronze
Kutitipkan Wajahmu Pada Bulan (Edisi Cerbung)
Khairul Azzam El Maliky
Novel
Suatu Ketika di Mulhouse
Adella
Flash
Bronze
Peniru Ulung
Athea Magnolia
Novel
Gold
A [ Aku, Benci & Cinta ]
Coconut Books
Novel
The Playmaking Defender
Fajar R
Novel
Bronze
Falling Amongst The Stars
de Baron Martha
Novel
Bronze
Muara Rindu
Amaliaafaraa
Novel
Kisah yang Tak Bisa Dipercaya
Alif Mahfud
Novel
Gold
Karena Aku Perempuan
Mizan Publishing
Novel
ALFA
Alfasrin
Novel
Sang Kelana
Fadhli Amir
Novel
Bronze
Yang Hilang Takkan Kembali
Chendy Afra Ghinna
Novel
Bronze
Sujud Terakhir Bapak
Alfian N. Budiarto
Flash
Listrik UGD 24 Jam
Martha Z. ElKutuby
Rekomendasi
Cerpen
TANGAN-TANGAN KECIL
Rian Widagdo
Novel
Bronze
PADA 1000 BANGAU KERTAS
Rian Widagdo
Cerpen
O2
Rian Widagdo
Novel
Bronze
MR. LAWANA
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
ROTI ISI MATAHARI
Rian Widagdo
Cerpen
BONEKA-BONEKA YANG MENARI DI MALAM SEPI
Rian Widagdo
Cerpen
FISIKA oh FISIKA
Rian Widagdo
Cerpen
JANGAN REBUT SENJA TERAKHIRKU
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
SOBO DAN LENDIR AJAIBNYA
Rian Widagdo
Cerpen
JEJAK LANGKAH
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
JUTAAN WAKTUKU MENUNGGUMU
Rian Widagdo
Cerpen
TENTANG GRAVITASI YANG HILANG DI DESA KAMI
Rian Widagdo
Cerpen
NENEK MOYANGKU SEORANG PERAUT
Rian Widagdo
Cerpen
ASAP
Rian Widagdo
Cerpen
BU BENI MINTA MATI
Rian Widagdo