Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Tangan Kasar Pendidik
2
Suka
120
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di seberang jalan, kulihat seorang bapak sedang berseteru dengan seorang pemuda.

Usianya tampak belia, masih di masa pencarian jati diri—masa ketika dunia rasanya bisa dilawan, tapi belum paham apa yang sebenarnya harus diperjuangkan.

Tangan bapak itu menghujam berulang ke tubuh si pemuda. Bukan tinju yang mendidik, tapi juga bukan pukulan yang membunuh.

Hanya cukup keras untuk menyisakan memar, dan dendam. Si pemuda mencoba bertahan, lebih banyak dengan diam daripada perlawanan.

Sementara si bapak, seperti sedang mengadili bukan hanya anaknya, tapi juga segala kecewa yang pernah dunia limpahkan padanya.

Dasar anak nakal!” Bentaknya. Suaranya membelah udara—seperti palu hakim yang tak lagi punya belas kasih.

Lalu ia pergi, menyisakan si pemuda dengan tubuh tertunduk dan kepalan tangan yang bergetar. Bukan karena takut.

Tapi karena api yang mulai menyala dalam dadanya. Api yang kutahu pasti, suatu hari akan membesar dan membakar akar pohon yang dulu menumbuhkannya.

Ini kopinya, Mas,” suara lembut dari balik warung menghalau lamunanku.

Iya, Buk. Terima kasih.” Aku menyambut cangkir itu seperti menerima undangan untuk kembali ke masa lalu.

Itu tadi, kenapa ya, Buk?” tanyaku, pura-pura tidak tahu, sambil menunjuk ke arah pemuda tadi.

Itu anak dan suamiku, Mas. Suamiku marah karena anakku udah tiga hari nggak mau sekolah.

Yah, Mas... suamiku memang keras orangnya. Begitulah caranya mendidik anak.” Ujarnya, sambil menunduk. Entah karena malu atau karena lelah.

Aku hanya mengangguk. Tidak perlu menebak, wajah mereka terlalu mirip kalau dibilang bukan darah yang sama.

Guratan itu terlalu nyata untuk dipalsukan.

Aku kembali menyesap kopi. Masih panas, tapi tidak sepanas ingatan yang muncul tiba-tiba.

Pemuda itu masih duduk, masih tertunduk. Di balik gerimis yang mulai turun, aku melihat diriku sendiri.

Aneh?

Tidak sama sekali. Aku ingin menjadi pemuda itu.

Bukan karena kasihan. Tapi karena iri. Aku ingin dipukul. Ingin dimarahi. Ingin dinasihati oleh bapak itu.

Seandainya pemuda itu adalah aku...

Tak akan sekali pun aku melawan. Tak akan berani membantah.

Bahkan aku akan bersujud di kakinya, menciumi debu di telapak sepatunya, asal dia bersedia terus menasehatiku—dengan suara serak, dengan nada tinggi, dengan cinta yang keras kepala.

Dulu aku seperti dia. Nakal, arogan, sok dewasa, dan paling alergi jika diceramahi.

Dunia kulawan, rumah kutinggalkan, dan orang tua kucampakkan seperti bungkus permen yang tak lagi manis.

Aku pergi. Diam-diam. Tanpa pesan. Tanpa salam.

Kupikir aku hebat. Kupikir dunia menyambutku dengan karpet merah dan tepuk tangan panjang.

Ternyata hanya jalan sunyi dan pelajaran yang menyakitkan.

Nyatanya hidup menamparku lebih keras dari bapakku yang tak pernah mengangkat tangan.

Nyatanya dunia lebih bengis daripada keluarga yang kutinggalkan.

Dan di tengah terombang-ambingnya aku mencari arah, bapak pergi. Diam-diam. Tanpa pesan. Tanpa salam. Persis seperti aku dulu meninggalkannya.

Bedanya, dia tak kembali.

Dan aku... belum sempat meminta maaf. Bahkan sekadar mencium tangannya untuk terakhir kali pun tidak.

Jadi, aku iri pada pemuda itu. Iri yang tidak bisa disembuhkan oleh waktu atau usia.

Karena dia masih bisa dipukul oleh bapaknya. Sementara aku... tidak akan pernah lagi merasakannya.

Itu wujud cinta mereka. Cinta yang tidak berbunga, tidak bersyair, tidak berbasa-basi.

Tapi menampar, memukul, membentak, agar anaknya tidak jadi manusia yang gagal tumbuh.

Kamu mungkin kecewa sekarang. Tapi kelak, kamu akan mengerti. Dan pada saat itu, kamu akan menangis bukan karena sakit, tapi karena rindumu sudah tak bisa lagi kamu hantarkan.

Tanpa perlu penjelasan dariku.

*******

Epilog

Pemuda itu akhirnya bangkit. Pelan-pelan, seperti seseorang yang baru sadar dari mimpi buruk, atau mungkin dari kenyataan yang terlalu keras untuk diterima.

Ia berjalan menjauh, memunggungi warung, memunggungi jalan, memunggungi aku—yang masih duduk dengan kopi yang kini hambar di lidah.

Aku menatap punggungnya lama. Seakan berharap, mungkin, ada aku di balik jaket lusuhnya.

Tapi tidak. Itu bukan aku. Ia masih punya waktu. Masih punya kesempatan untuk berbalik, pulang, meminta maaf, atau sekadar mengatakan, “Maafkan aku, Pak.

Dan aku hanya bisa duduk di sini. Menjadi saksi yang tak diundang atas cinta yang disalahpahami, atas luka yang sebenarnya ingin menguatkan, bukan menghancurkan.

Di langit yang kini mendung sepenuhnya, aku merasa ada yang turun.

Bukan hujan, tapi sesuatu yang lebih hangat. Mungkin doa. Mungkin penyesalan. Mungkin cinta seorang anak, yang terlambat mengerti arah.

Jika kau membaca ini, Nak—atau siapa pun yang pernah merasa jadi musuh ayahmu sendiri—pulanglah. Jangan tunggu sampai doa jadi batu nisan, dan pelukan hanya bisa kau beri pada sepi.

Karena tak semua bapak bisa berkata “Aku menyayangimu.” Tapi beberapa dari mereka, menampar dunia lebih dulu agar anaknya tidak tertampar olehnya.

Dan itu... bentuk cinta yang paling jujur yang pernah kukenal.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Bronze
Pria Buta dan Kuda Putih
Kemal Ahmed
Cerpen
Tangan Kasar Pendidik
Temu Sunyi
Novel
I'm Beautiful In My Way
Dewi
Novel
Gold
KKPK Kembaran Mama
Mizan Publishing
Novel
Dari Reiner untuk Raina
Rika Kurnia
Novel
Amarnos Memento
duke loner
Skrip Film
Maot: Main-main Sebelum Ajal
Wicak Hidayat
Skrip Film
Bulan Tak Pernah Berdusta (Sebuah Skenario Film)
Imajinasiku
Skrip Film
Bukti&Bakti
Tryztania aurora de viola
Skrip Film
Apa Aku Boleh Bahagia?
Billy Yapananda Samudra
Skrip Film
SENJA DI JENDELA MELUKIS HARAPAN
Muhammad Fadhel
Flash
Bronze
Berakhirnya Pesta Karaoke
Gita Sri Margiani
Cerpen
ARUNIKA
Rizki Mubarok
Novel
Pengakuan Setiap Masa
Ajis Makruf
Novel
Di Balik Kilauannya
Rijaluddin Abdul Ghani
Rekomendasi
Cerpen
Tangan Kasar Pendidik
Temu Sunyi
Cerpen
Anak Di Tanah Konflik
Temu Sunyi
Cerpen
Negeri Pemurah Sosial
Temu Sunyi
Cerpen
Sabda Tuan Tanah
Temu Sunyi
Novel
Tubuhku Tak Salah, Tapi Dunia Menghakimi
Temu Sunyi
Novel
Tempat Terakhir Namamu Kucuri
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Air Mata Yang Diharamkan
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Keheningan Ditikam Jeruji
Temu Sunyi
Novel
Malam Yang Menghapus Nama
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Anak Diujung Pelukan
Temu Sunyi
Cerpen
Kopi Peradaban
Temu Sunyi
Cerpen
Pencari Kursi Suapan
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Kenangan Yang Terbenam
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Bersalah Sebelum Bernapas
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Keanggunan Dipeluk Takdir
Temu Sunyi