Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kabut tebal turun lebih cepat dari seharusnya di kaki Gunung Bawakaraeng. Hembusan angin dari arah puncak membawa aroma tanah basah bercampur getah pohon pinus. Malam itu, Andi menatap jalur pendakian resmi yang sudah mulai lengang—hanya ada sisa-sisa pendaki yang turun sambil menggigil kedinginan. Namun, jalur itu bukan tujuannya malam ini.
“Lo yakin kita harus lewat sini, Di?” tanya Raka, memegang senter yang sinarnya bergetar karena tangannya ikut bergetar. “Orang-orang bilang jalur resmi aman. Kenapa kita mesti lewat jalur yang bahkan nggak ada di peta?”
Andi merapikan jaketnya. “Itu dia justru. Jalur resmi udah biasa. Kita mau dapet foto yang beda, footage buat vlog. Katanya di jalur sebelah timur ada padang rumput yang belum banyak orang lihat.”
Rani satu-satunya perempuan di tim itu mendengus pelan. “Gue sih ikut aja, tapi jangan sampe kayak berita pendaki ilang itu ya. Tahun lalu ada rombongan yang nggak pernah turun.”
Bayu, yang memanggul carrier terbesar, tertawa kering. “Ah, itu mah mitos. Gunung mana sih yang nggak punya cerita hilang-hilangannya?”
Mereka berlima: Andi (si pemimpin), Raka (penakut tapi setia kawan), Rani (doyan tantangan), Bayu (pembawa perlengkapan), dan Udin (pendaki lokal yang mereka bayar sebagai pemandu). Mereka berangkat pukul delapan malam, berbekal senter, kompas, dan peta fotokopi yang didapat dari forum pendaki.
Udin berjalan paling depan, wajahnya kaku. “Saya sudah bilang, jalur ini bukan jalur resmi. Orang-orang sini nyebutnya Lereng Sunyi.”
“Kenapa?” tanya Rani sambil mengatur napas.
“Karena nggak pernah ada yang rame lewat sini. Katanya… jalur ini dilewati T...