Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Tanda Gelap Di Perbukitan
1
Suka
2,576
Dibaca

Ibu kota Jakarta, adalah tempat yang begitu padat akan penduduknya, keramaiannya, dan kemacetan di jalan. Tentu, hal ini adalah hambatan bagi para pejuang karir yang berada di daerah ini. Dan aku salah satu dari pejuang itu. Namaku Ali, aku bekerja di pabrik kertas dan baru saja dipindahkan tempat kerjanya ke sebuah desa terpencil di daerah Karanganyar, Jawa Tengah.

Aku bingung, apa yang harus kukatakan kepada istriku tentang hal ini. Istriku bernama Zulaikha. Sekarang dia mengandung calon buah hatiku dan umur kandungannya delapan bulan. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Kami menikah setelah dijodohkan oleh kyai di pesantren tempat kami berdua belajar dahulu.

Aku pulang ke rumah saat sore hari. Saat aku sampai di rumah, aku disambut hangat oleh zulaikha dengan memeluk tubuhku dan mencium tanganku. Aku sangat bahagia kalau hubungan kami sangat harmonis karena saat kami masih di pesantren, diam-diam Zulaikha suka padaku dan hanya teman dekatnya yang tahu. Aku juga tidak tahu kalau ada permaisuri di pesantrenku yang diam-diam menyukaiku sejak lama. Aku bersyukur pada Allah karena bisa dipersatukan oleh Zulaikha.

Setelah menaruh tas kerjaku, aku pergi mandi untuk menyegarkan badan karena lelah seharian bekerja. Saat aku keluar dari kamar mandi, aku melihat baju dan sarungku telah disiapkan di atas kasur. Mungkin ini ulah Zulaikha. Dia memang seorang wanita yang rajin dan perhatian, tetapi dia sangat manja terhadapku. Dia sering meminta banyak hal yang belum pernah ia rasakan, seperti naik ke gunung, jalan-jalan ke kota-kota besar, dan sering meminta jajanan yang kekinian. Hal itu memang membuatku sedikit kewalahan, tetapi aku tetap bahagia bersamanya karena ia adalah seseorang yang paling istimewa selain kedua orang tuaku.

Selesai ganti baju, aku menuju ke dapur. Aku lihat Zulaikha masih memasak untuk makan malam nantinya. Aku mengendap-endap dan memeluknya dari belakang. Dia terkejut dan tersenyum padaku, lalu mencium pipi kananku. Dengan perasaan yang gelisah aku memberitahu hal tentang perpindahan lokasi kerjaku. Zulaikha justru senang mendengarnya.

“Mas, di Karanganyar kan tempat pesantren kita dulu. Kok malah sedih pindah?”

“Berarti kamu suka dengan perpindahan kita ke sana?”

“Iya. Justru nanti kita bisa berkunjung ke pesantren kita dulu dan bersilaturrahim dengan Kyai Fatah dan bu Nyai Salamah.”

“Kamu benar. Terima kasih ya, sudah menerima keputusan ini”

“Sama-sama Mas. Kamu salat Asar dulu, gih. Keburu waktunya habis.”

“Iya, iya,” aku mencium kening Zulaikha dan pergi untuk menunaikan salat Asar.

Keesokan paginya, kami berangkat menuju Karanganyar dan sampai disana di desa yang begitu terpencil di atas perbukitan. Desa tersebut dikelilingi oleh hutan lebat dan perbukitan yang mistis, tetapi penduduk desa terkenal ramah dan baik hati. Aku dan Zulaikha menyewa sebuah rumah kecil yang terletak agak terpencil di lereng bukit. Pemandangan di sekitarnya memang indah, tetapi ada kegelapan yang terasa di udara.

Suasana malam di desa itu sangat sunyi, hanya disela-sela suara angin sepoi-sepoi dan riak dedaunan yang terdengar. Aku dan Zulaikha memutuskan untuk tidur lebih awal, namun aku sering terbangun oleh suara-suara aneh di malam hari. Suara langkah kaki di luar jendela, bisikan-bisikan yang samar-samar, dan sesekali ada bayangan yang melintas di tengah kegelapan.

Beberapa minggu berlalu, aku dan Zulaikha semakin merasa nyaman dengan kehidupan kami di desa perbukitan. Zulaikha bahkan semakin bahagia karena lokasi kerjanya yang baru sangat dekat dengan pesantren tempat kami pernah belajar. Hal ini memungkinkan kami untuk bersilaturrahim dengan kyai dan teman-teman lama kami. Suasana di pesantren terasa penuh kehangatan, dan Kyai Fatah dan bu Nyai Salamah menyambut kami dengan tulus. Kyai menceritakan tentang perkembangan pesantren dan juga mengajakku dan Zulaikha untuk menghadiri acara-acara keagamaan dan kebersamaan di pesantren. Namun, kebahagiaan kami diwarnai oleh kejadian-kejadian aneh yang terus menghantui kami di rumah. Suara-suara aneh semakin sering terdengar, dan bayangan-bayangan misterius muncul di sudut-sudut gelap rumah kami. Meskipun begitu, Aku dan Zulaikha berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut.

Suatu malam, ketika kami tengah bersiap-siap untuk tidur, terdengar suara langkah kaki yang tidak biasa di luar rumah. Aku keluar untuk melihat apa yang terjadi, namun ia tidak menemukan siapa-siapa. Hanya langit yang penuh bintang dan suara desir angin yang mengiringi malam. Keesokan paginya, Zulaikha merasa sangat lelah dan pucat. Aku mencoba menemani dan menjaganya, khawatir bahwa kejadian-kejadian aneh itu mungkin berdampak pada kesehatan istriku yang sedang hamil.

Suatu malam, aku terbangun oleh suara tangisan bayi yang terdengar begitu dekat. Padahal, belum ada bayi di sekitar kami. Aku pun berlari keluar kamar dan menemukan Zulaikha masih tidur pulas. Aku membuka pintu depan dan berjalan ke arah suara tangisan itu.

Dalam kegelapan malam, aku mengikuti suara itu hingga mencapai sebuah pohon besar di tengah perbukitan. Di bawah pohon itu, kutemukan sebuah kuburan kecil yang baru digali, dengan seorang bayi yang menangis di atasnya. Aku kaget melihat bayangan perempuan tua yang mengenakan gaun putih di samping kuburan.

"Anakku... bawalah dia pulang," bisik perempuan tua itu, sebelum lenyap begitu saja.

Aku segera kembali ke rumah dengan bayi itu, dan kami merawatnya seperti anak kandung kami sendiri. Namun, kejadian aneh dan suara-suara misterius tidak pernah berhenti. Malah, semakin sering.

Setelah genap satu bulan berada di sini, Zulaikha sudah melahirkan, dan aku menemukan bukti yang mengungkap sejarah kelam desa itu. Dalam buku catatan tua, tertulis bahwa perempuan tua yang muncul di bawah pohon adalah istri seorang dukun yang meninggal secara tragis karena dituduh melakukan sihir hitam. Aku menyadari bahwa bayi yang kami rawat adalah anak dari pasangan itu. Di saat siang hari, kami membawa bayi itu kembali ke pohon besar di perbukitan, memberinya damai, dan menemukan jalan keluar dari desa itu secepat mungkin.

Saat malam tiba, Aku terbangun oleh suara teriakan. Aku bergegas keluar kamar dan menemukan Zulaikha terbaring di lantai, tubuhnya dipenuhi oleh luka-luka yang tidak wajar. Darah mengalir dari luka-luka tersebut, dan di dinding rumah, terdapat tulisan aneh yang terlihat seperti mantra sihir. Aku panik dan segera membawa Zulaikha ke rumah sakit terdekat. Para dokter tidak bisa memberikan penjelasan pasti tentang penyebab luka-luka tersebut. Setelah Zulaikha sadar, dia bercerita tentang pengalaman menyeramkan yang dialaminya malam itu. Dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang memasuki tubuhnya dan menyiksa jiwanya.

Aku dan Zulaikha memutuskan untuk kembali ke pesantren dan meminta bantuan kepada Kyai Fatah. Malamnya, Kyai Fatah mengadakan ritual khusus untuk membersihkan kami dari kekuatan gelap yang menghantui. Dalam proses tersebut, Kyai menemukan bahwa bayi yang kami bawa pulang dari perbukitan masih terhubung dengan kekuatan gelap yang kuat. Dengan bantuan kyai dan doa-doa yang mendalam, kami berhasil memutuskan ikatan itu dan membersihkan rumah kami dari keberadaan jahat tersebut. Kami bersyukur memiliki Kyai Fatah dan pesantren sebagai tempat perlindungan spiritual kami. Kehadiran pesantren dan dukungan kyai membantu kami melewati fase sulit dalam hidup kami, meskipun kenangan tentang kejadian-kejadian mengerikan itu akan tetap terpatri di dalam hati kami selamanya. Namun, sesuatu tetap menghantui pikiranku dan Zulaikha. Suara tangisan bayi masih terdengar dalam mimpi kami, mengingatkan kami pada malam-malam yang penuh dengan kegelapan di desa terpencil di perbukitan itu. Kami pun memutuskan untuk pindah dan berusaha melupakan hal-hal kelam yang sudah terjadi.

Beberapa bulan berlalu sejak Aku dan Zulaikha meninggalkan desa perbukitan yang penuh misteri itu. Kami menetap di kota kecil yang jauh dari bayangan teror masa lalu kami. Kehidupan kami mulai pulih, dan kami bahagia dengan kedatangan putri kecil kami yang kami beri nama Kirana. Namun, kedamaian itu hanya bersifat sementara. Setelah beberapa bulan, aku dan Zulaikha sering kali mengalami mimpi buruk yang menghantui. Suara tangisan bayi, bisikan-bisikan gelap, dan bayangan perempuan tua kembali muncul dalam mimpi kami. Setiap kali kami bangun, kami merasa tubuhnya terasa dingin dan penuh keringat.

Suatu malam, aku terbangun oleh suara tangisan Kirana yang tiba-tiba terhenti dengan cepat. Dia bergegas menuju kamar bayi dan mendapati Kirana tidur pulas. Namun, ketika aku melihat ke cermin di dinding, aku meringis ketakutan. Bayangan perempuan tua itu muncul di belakangnya, dan dengan cepat, dia menjerat leherku dengan seutas tali. Aku berjuang untuk berteriak, tetapi suaranya terdengar samar. Merasa napasku terengah-engah, dan dunia di sekitarnya mulai berputar.

Zulaikha terbangun oleh suara desisan dan langkah kaki cepat di lorong rumah kami. Dia berlari menuju kamar bayi dan menemukan diriku tergantung di udara. Kirana berdiri di samping tubuhku dengan mata yang menatap dingin. Tangisan bayi itu beralih menjadi tawa mengerikan yang membuat bulu kuduk Zulaikha merinding. Zulaikha berusaha melarikan diri, tetapi pintu rumah tertutup sendiri dengan kekuatan yang tak terlihat. Bayangan perempuan tua itu mendekatinya dengan senyuman sadis di wajahnya. Tanpa kata, dia mengeluarkan sebilah pisau yang berkilauan di tangan dan mengarahkannya pada perut Zulaikha

Keadaan menjadi semakin mencekam saat Kirana menciptakan suara-suara aneh yang membuat aku dan Zulaikha bergerak layaknya boneka. Dengan gerakan yang halus, Kirana mengarahkan tubuhku yang tergantung ke arah Zulaikha. Pada saat yang bersamaan, pisau itu menusuk perut Zulaikha, menyebabkan darah segar mengalir deras. Dalam keadaan terluka dan terbayang-bayang, Zulaikha berusaha mencapai pintu yang masih terkunci. Bayangan perempuan tua itu menertawakannya dengan kejam sambil mematikan lampu rumah, menyelimuti kami dalam kegelapan total. Dalam keheningan, suara tangisan bayi, tawa mengerikan, dan jeritan kami meresap ke malam yang dingin, menyisakan kengerian yang menguasai rumah itu. Sejak malam itu, desa perbukitan itu pun kembali tersembunyi dalam misteri dan kegelapan, menjadi tempat yang menakutkan bagi siapa pun yang berani mendekat.

~TAMAT~

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Tanda Gelap Di Perbukitan
Hilmi Azali
Cerpen
Bronze
Detak Terbalik Tragedi Jam Antik
muhamad jumari
Novel
RANDU GEDE
Embart nugroho
Flash
Bronze
DENDAM ARWAH RATIH
paypena
Flash
Wanita Berbaju Putih
Desi Ra
Flash
Bronze
Rintih
Bakasai
Novel
SITINGGIL PETILASAN KERAMAT
Heru Patria
Flash
Perempuan di Jendela
irishanna
Flash
Kembalikan Mataku, Mama!
anjel
Novel
Perjanjian Terlarang Mbah Karto dengan Iblis
muhammad haryadi
Novel
Parasomnia
Alfian N. Budiarto
Novel
Janji Untuk Pergi
langit.eileen
Flash
Malam Jum'at
Arlindya Sari
Flash
Bronze
Kembalikan
Ron Nee Soo
Flash
Pasar Bola Mata
Carolina Ratri
Rekomendasi
Cerpen
Tanda Gelap Di Perbukitan
Hilmi Azali
Cerpen
Tragedi Malam Jumat
Hilmi Azali