Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Konon katanya semua tanah di bumi ini adalah milik Tuhan. Segala sesuatu yang ada di atasnya, di dalamnya, dan yang tumbuh darinya adalah milik Tuhan. Tidak pernah aku coba untuk menyangkal kebenaran akan hal itu. Aku mempercayai konon katanya itu dengan keyakinan amat besar. Akan tetapi, akhir-akhir ini aku melihat tanah-tanah, apa yang ada di atasnya, di dalamnya, dan tumbuh darinya diambil alih oleh ‘orang-orang yang aku tidak tahu disebut apa’. Mereka berkata dengan lantang, semua ini adalah milik negara. Tidak boleh ada yang menyangkal dan harus menerima segala bentuk perintah dan kebijakannya. Tidak perlu bertanya kenapa.
Aku banyak mendengar nama-nama ‘orang-orang yang aku tidak tahu disebut apa’ diteriakkan dengan bangga. Diagung-agungkan, dikerumuni bila datang dan direbutkan tangannya untuk disalami. Namanya begitu besar, ketika mereka berbicara, semua telinga terpasang. Tidak ada yang menyangkal, semua perkataannya adalah benar. Semua orang mempercayai itu. Semua omongannya adalah karunia yang akan memberikan dampak besar bagi orang-orang yang tunduk dan mau mendengarkannya.
Aku hanya memandang mereka dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan tenang. Aku tidak mengikuti mereka, tapi aku tahu apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka inginkan. Tidak ada berita yang sahih di sana, tidak pula ada perbuatan yang bersih di sana. Tangan-tangan kotor itu mulai mengeruk tanah-tanah kami. Apa yang terkandung dan yang tumbuh darinya dibabat habis oleh mereka. Ibuku turut diembatnya. Bapakku sudah lama menjadi pemuja mereka. Aku terluntag-lantung menarik ibuku dan bapakku dari jeratan tali yang mengikat keduanya. Sayangnya, tali itu dipegang dan dikendalikan oleh ‘orang-orang yang aku tidak tahu disebut apa’.
Aku baru puang dari rantauan. Dunia antah-berantah yang sebelumnya aku kenali kini berubah. Aamat banyak dan menghiasi kampung halamanku. Hampir aku tidak mengenalinya. Awalnya aku mengira aku tersesat, ternyata tidak setelah aku melihat ibuku melambaikan tangan di seberang jalan ketika aku menuruni mobil tempatku menumpang. Ibuku terlihat ringkih. Kulitnya semakin mengerut dan mencokelat. Mengerut dimakan waktu dan mencokelat dilumuri sinar matahari. Oh, ibuku sayang yang malang. Aku sedikit berlari ketika menyebrangi jalan, menghampiri ibuku, kemudian memeluknya erat. Ah, betapa aku merindukan orang tua ini.
“Selamat datang, Ibu!” ucapku girang seperti menyambut kedatangan orang penting. Ibuku mendelik dan terbahak. “Kau masih saja seperti Ikram yang sebelumnya. Padahal sudah empat tahun kau tak pulang. Ibu kira kau tak merindukan tanah ini dan orang-orang yang tinggal di sini. Syukurlah, kau masih ingat juga,” ceramah ibuku. Melupakan tanah ini? bagaimana mungkin. Aku sangat merindukan tempat ini selayaknya merindukan kekasih. Orang-orang di sini begitu menyayangi tempat ini, tanah ini. Hutan lebat di belakang rumahku adalah tempat sakral yang begitu dicintai orang-orang di sini. Di sanalah tempat mereka mengais rezeki. Aku pun ingin pulang karena sangat merindukan pengalaman berburu yang sangat memuaskan hasrat membunuhku. Ah, aku merasa tak sabar untuk melakukan perburuan lagi.
“Ibu, oh ibu. Aku sungguh merindukan rumahku seperti aku merindukan surga. tanah ini sudah menjadi bagian dalam diriku. Bagaimana mungkin aku lupa tentangnya. Sebenarnya aku juga merindukan seseorang di sini.” Sambil berjalan aku menceritakan tentang perasaanku pada kampungku kepada ibuku. Sungguh aku benar-benar mencintai kampung ini dan orang-orang di sini. Aku terkejut ketika ibuku tiba-tiba menghentikan langkah dan menarik tanganku sedikit kasar. Aku yang berjalan lebih dulu darinya mundur karena tarikan itu.
“Merindukan siapa maksudmu? Adakah kekasihmu di sini? Aku rasa kau tak pernah mendekati perempuan mana pun di kampung ini. Lagi pun, sejak kapan kau mulai menyukai perempuan?” Ibuku ini betul-betul meragukan performaku sebagai laki-laki. Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyukai perempuan? “Ah, ibu,” keluhku.
“Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyukai perempuan? Dan perempuan mana yang tidak bisa kubuat jatuh hati padaku?” Ibuku kali ini tertawa. Hampir aku membekap mulutnya. Kami dilihat oleh banyak pasang mata sepanjang perjalanan menyusuri jalan berbatu menuju rumah kami. Ada beberapa yang menyapa dan menanyakan apakah aku adalah Ikram atau bukan.
“Ibu, sebenarnya aku ini siapa? Mengapa mereka bertanya aku ini Ikram atau bukan? Apakah wajahku sudah berubah sehingga sulit dikenali? Mungkinkah wajahku sudah berubah seperti wajah artis?” gurauku pada ibuku setelah sampai rumah.
Ibu tidak menanggapi perkataanku. Aku masuk ke rumah dan menaruh barang-barang bawaanku. Kemudian aku keluar berkeliling rumah. Sebentar, aku melihat suatu perubahan di rumah ini, aku berkeliling kembali. Satu kali, dua kali, tiga kali. Aku berhenti tepat di belakang rumahku. “Pohon-pohon lebat di sana pada ke mana?” ucapku terheran. Aku rasa waktu masih belum terlalu sore untuk masuk hutan, tetapi tunggu. Mengapa ada pagar di sekitar sini? Aku mulai menyusuri jalan setapak di sana, jejak ban mobil besar tercetak di sana. Semakin ke dalam aku semakin terheran, ke mana perginya pohon-pohon besar dan kokoh yang selama ini aku kenali? Pohon-pohon yang tumbuh besar bersamaku. Jika umurku sekarang sudah dua puluh enam tahun, maka besar pohon dan tingginya akan sepuluh kali lipat besarku atau bahkan bisa lebih. Ke mana mereka?
Semakin jauh aku masuk ke dalam hutan, semakin banyak pohon-pohon seumuranku hilang. Semak-semak pun mulai menguning. Kenapa? Kepalaku penuh dengan tanya. Selama ini aku selalu merindukan kesejukan dalam hutan ini. Itulah yang sebenarnya aku rindukan. Bukan kekasih, bukan rumah, bukan orang-orang, tetapi hutan ini. sebab, di Eropa sana tidak ada hutan seperti di tempatku. Mungkin ada, tetapi aku tak pernah mengunjunginya. Apa yang terjadi selama kurang lebih empat tahun aku meninggalkan kampung ini? Aku memutuskan untuk kembali saja ke rumah sebelum gelap. Sepanjang perjalanan pikiranku dipenuhi tanya dengan perasaan terheran-heran.
Aku sampai di rumah dan duduk di teras depan rumahku. Di sana ada ibuku yang sedang membersihkan daun-daun kering di halaman rumah. Kepalaku masih penuh dengan pertanyaan. Belum ada berita yang kuterima sampai detik ini mengenai perubahan yang terjadi kepada hutan itu. Tidak ada yang pernah membahasnya, setiap kali aku menanyakan kondisi tanah ini ketika menelpon ibuku, tidak pernah ibuku membicarakan tentang kegundulan saudaraku itu. Sejak kapan sebenarnya semua ini berlangsung? Sungguh, aku benar-benar merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kampung ini.
“Ibu, sebenarnya apa yang terjadi di sini?” ibuku menoleh dan menatapku terheran. “Apa yang terjadi di sini? Maksudmu apa?” tanya ibuku heran. “Ibu, apa yang terjadi dengan hutan kita?” tanyaku frustasi.
“Hutan kita kau bilang? Kau kira tanah tempat pohon-pohon itu tumbuh punya kakekmu, kah? Sejak kapan hutan itu milik kita?” Jawaban ibuku yang berupa pertanyaan itu membuatku terkaget. Dulu hutan ini adalah hutan yang diakui milik ‘kita’ oleh orang-orang tua ini, tetapi sekarang mengapa ibuku berkata seperti itu? Aku semakin yakin ada sesuatu yang benar-benar terjadi di sini. Bukan hanya di sini, tetapi di dalam kepala ibuku juga. Aku berdiri dan menghampiri ibuku, membawanya duduk bersamaku di beranda rumah.
“Ibu, bukankah hutan yang tumbuh besar sejak sebelum aku lahir, entah berapa tahun lalu sebelum aku lahir adalah hutan yang sama dengan yang dilindungi oleh bapak dan orang-orang tua di kampung ini? Tetapi mengapa sekarang ibu bilang sejak kapan hutan itu milik kita? Dan memang hutan itu milik kakek! Dulu kakek selalu membawaku masuk hutan untuk menceritakan padaku bahwa dia bersama para kerabatnya menanam pohon di sini, pada saat itu juga hutan ini sudah ada. Ibu, hutan itu adalah kakek dari kakekknya kakekku. Bahkan lebih kakek lagi dari kakek kakeknya kakekku! Bagaimana mungkin ibu bisa bilang kalau itu bukan milik kita?” Nada suaraku meninggi. Aku melihat air muka ibuku datar dan mengeras. Itu tandanya ia marah. Mungkin ia marah ketika aku berkata dengan nada yang lebih tinggi, tetapi sungguh saat ini aku benar-benar marah. Namun, nampaknya ibuku lebih marah lagi.
“Ikram, kau tahu bahwa segalanya milik Tuhan, kan? Bukankah begitu?” tanya ibuku dengan nada rendah, hampir tak terdengar. “Semua ini milik Tuhan, bukan milik kita, apalagi orang-orang asing yang tidak tahu-menahu tentang sejarah tanah ini. Kalau kau mau tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi jangan pernah kau tanya bapakmu, tanya pada teman yang masih kau tahu dan kenal di sini. Mereka akan bisa menjelaskan padamu lebih baik dari aku dan bapakmu,” jelas ibuku panjang. Kemudian ia masuk meninggalkanku sendiri dirundung tanya yang semakin membesar.
Malam itu aku memutuskan untuk berkeliling kampung. Rasa lelah setelah perjalanan jauh tak membuatku gentar untuk mengusut apa yang sebenarnya terjadi di sini. Aku mendatangi kediaman kawan-kawanku waktu SMA dulu. Syukur mereka belum ada yang menikah. Kami berkumpul di sebuah pondok bambu tempat orang tua biasanya berjaga malam. Beruntung belum ada golongan tua yang menginvasi pondok itu.
“Ikram, sungguh aku tidak mengenalimu tadi ketika kau memanggilku di depan rumah. Suaramu masih Ikram sekali, tetapi aku ingatnya kau masih di luar negeri sana,” ucap Ucup membuka percakapan. Aku hanya diam dan tersenyum saja mendengar keluhan teman-temanku tentang kepulanganku yang tiba-tiba.
“Sudalah kawan, aku pulang bukan untuk menikah seperti yang kalian tuduhkan, aku belum berminat banyak kepada perempuan. Tunggu saja sampai sudah waktunya,” gurauku ketika Feri menuduhku pulang karena akan menikah. Ada-ada saja pikirku. “Lalu, apa?” sambung Budi.
Baiklah, saatnya percakapan serius akan dimulai. “Aku pulang karena merindukan kampung ini, sudah empat tahun aku tidak menghirup udara segar dari hutan yang tumbuh di belakang rumahku,” jawabku tanpa berpikir panjang. Mungkin mereka akan menganggapku gila karena merindukan suasana kampung yang sarat akan kemiskinan dan ketertinggalan. “Kalian tahu apa yang terjadi di kampung kita belakangan ini?” tanyaku telak dengan menatap intens mata dari masing-masing temanku ini. Mereka saling pandang. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka selama hampir satu menit.
Aku menyelisik setiap pergerakan mereka. Tidak ada yang berani membalas tatapan mataku. Aku menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang benar-benar terjadi. “Kau sudah bertanya pada orang rumah?” tanya Ucup. “Sudah, tetapi tak ada jawaban,” jawabku singkat.
Keheningan kembali menginvasi. Mereka tak ada yang membuka mulut. Aku melihat gurat ketakutan pada wajah Ucup. Budi tak bereaksi, Feri hanya memandangiku tanpa berkedip. “Siapa yang bersedia menjelaskan keadaan kampung kepadaku?” aku kembali menatap intens enam pasang mata itu. Kali ini kilatan api terpancar di sana. Tidak ada ketakutan. Aku mulai merasa hawa-hawa kengerian dalam tatapan itu. Mereka marah.
“Kau tahu Ikram? Kampung ini milik Tuhan, kan? Seperti yang kau bilang dulu. Kakekmu berkata seperti itu padamu dan kau menyampaikannya kepada kami dan kami percaya betul akan hal itu. Kemudian, kami mengikutimu merawat tanah ini, hutan ini, dan orang-orang di sini. Kami di sini semuanya, bapakmu, ibumu, bapakku dan ibuku percaya bahwa itu adalah milik Tuhan. Akan tetapi Ikram, sudah lama, dua tahun setelah kau pergi bersekolah di luar negeri, kampung ini milik orang lain. Coba saja kau masuk lebih dalam ke hutan itu, kau akan menemukan kamp-kamp milik yang katanya para pemilik hutan. Hutan ini di jaga oleh mereka. Tidak ada yang boleh memasuki wilayah itu meskipun ladangmu ada di sana.” Feri menjelaskan dengan kilatan api yang semakin menyala dalam matanya. Aku menatap Budi yang tertunduk dan aku beralih menatap Ucup yang diam bergeming. Baiklah, aku rasa hanya Feri yang mampu menjelaskan.
“Mengapa?” lirihku. Rasanya kilatan api yang berkobar dalam mata Feri mulai membakar tubuhku. Panasnya begitu ketara, hingga kaos yang ku kenakan terasa basah dibanjiri keringat.
“Kepala desa sudah menyerahkan surta izin pembangunan kepada pemerintah daerah, dan daerah naik ke pusat. Katanya ada potensi besar untuk membangun ekonomi negara melalui tanah ini. Aku tak cukup paham dan peduli pada waktu itu. Hingga hari ini aku hampir mati karena penyesalan. Aku kira pembangunan itu tidak akan dilakukan, ternyata salah. Pembangunan itu mulai dilakukan empat bulan lalu. Kau lihat pohon yang kau bilang ditanam waktu kau baru lahir? Mereka sudah gundul. Sudah tidak bersisa hanya dalam waktu empat bulan.” Feri menjelaskan dengan tubuh yang bergetar dirundung amarah. Ada guratan penyesalan dalam wajahnya.
Aku menatap ketiga kawanku lagi. Ucup masih membisu, Feri dengan keadaan yang penuh penyesalan mulai hening. Budi bergerak gusar, menatap sekeliling. “Tidak ada yang menyangkal Ikram! Tidak ada yang melawan, tidak ada yang menyelamatkan kampung ini selain kami bertiga. Kami hanyalah golongan kecil di dalam lingkarang orang-orang tua yang terpengaruh bualan iblis yang menjajikan surga.” Kali ini kemarahan betul-betul menguasai Budi. Ia yang sedari tadi terdiam mulai bersuara lantang. Marah. Tentu saja.
Keadaanku seperti Feri, marah dan penuh penyesalan. Kalau saja aku tidak meninggalkan kampung ini, aku akan berjuang bersama kawanku untuk membela kampung ini. Kalau-kalau berdatangan. Aku tak sanggup memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bila aku tak pulang kampung. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bila aku tak meninggalkan kampung ini terus berputar di kepalaku. Budi masih dikuasai amarah. Dadanya naik turun mengindikasikan api dalam dirinya masih berkobar. Kawan-kawan yang bersamaku keluar-masuk hutan, berburu dan meramu kini dipenuhi nelangsa. Kami semua diam.
“Warga menerima pembangunan ini karena mereka ditawarkan sesuatu yang mereka tak punya, Ikram. Termasuk ibuku.” Ucup mulai berbicara. “Dua tahun lalu setelah isu pembangunan itu menguar, banyak warga yang menentang, hingga bapakmu hampir membunuh salah seorang serdadu karena geram ketika dihalangi masuk hutan.” Pelan-pelan aku mulai menarik benang merah dari kejadian ini.
Ucup melanjutkan ceritanya, “Semua warga diberikan sembako gratis oleh para serdadu. Mereka menerima dengan senang hati karena para serdadu mengatakan sembako itu adalah bantuan dari presiden. Warga antusias kala medengar kata presiden. Semakin hari semakin banyak serdadu, semakin banyak pula barang bawaan mereka. Pemerintah desa membantu semakin banyak. Kau tahu? Kini mengurus berkas-berkas ke kantor desa itu sangat mudah, Ikram. Kalau dulu pada masa kau mengurus berkas beasiswamu, mereka pura-pura sibuk dan cuek.” Cerita ucup mulai membakar kembali bara yang sudah mereda tadi. Aku meihat Feri ingin sekali menimpali cerita Ucup. Budi pun seperti ingin sekali berbicara. Mereka punya cerita masing-masing.
Budi memulai ceritanya. “Awalnya mereka tidak melakukan apa-apa. Kampung ini tiba-tiba kedatangan tentara yang berkedok pengawasan dan pemeliharaan. Semua orang menyambutnya dengan senang hati karena orang-orang tua di sini kan dari dulu selalu menganggap tentara adalah pekerjaan yang bagus dan mulia. Namun, semakin hari semakin banyak yang datang. Satu sampai lima orang setiap hari. Semakin hari semakin bertambah. Pada awalnya mereka tidak membawa apa-apa. Akan tetapi, setelah dua hari mereka memulai pengawasan mereka melakukan pendekatan kepada ketua kampung. Bapakmu, Ikram,” tuturnya. Aku hanya diam menyimak ceritanya, dua orang lagi pun sama sibuknya mendengarkan penuturan Budi.
Kemudian ia melanjutkan. “Bapakmu menerima mereka dengan tengan terbuka. Menjamu selayaknya tamu dan berbincang santai. Mereka tak pernah sekalipun menyinggung tentang hutan dan tanah ini. mereka hanya datang bercerita dan bertanya-tanya mengenai aktivitas masyarakat sini. Hingga pada hari ke sepuluh secara berturut-turut mereka berkunjung, bapakmu mulai curiga. Mereka datang seolah-olah sebagai pahlawan di gurun yang siap membantu. Namun, mereka juga berkelakuan seperti pembantai.” Cerita Budi berhenti di situ. Dia tak melanjutkannya, aku bingung kenapa tidak dilanjutkan, hingga akhirnya aku memandangnya penuh tanya. Ia hanya menunjuk Ucup dengan dagunya.
Kali ini giliran Ucup yang berbicara. “Ikram, ceritanya rumit dan penjang. Aku rasa tak mudah selesai hanya dalam waktu satu malam, tetapi akan aku persingkat dengan padat dan jelas. Waktu itu bapakmu dan semua warga kampung belum sadar, tetapi makin lama mereka makin semena-mena. Mereka yang awalnya ramah mulai garang, tetapi kami mencoba melawan karena kami tidak mau diinjak-injak. Banyak warga yang memberontak. Kami semua melawan mereka, hingga salah satu dari mereka terluka karena terkena lemparan batu oleh salah satu warga. Keadaan saat itu kacau sekali, bahkan ada rumah yang terbakar. Oleh karena kejadian itu, pak kades melakukan rapat terbuka dengan semua warga kampung dan perwakilan serdadu. Kami sepakat melaukan damai dan para serdadu akan kembali ke barak. Pak kades memutuskan untuk tidak melanjutkan pembangunan itu. Ia berkata bahwa ia akan menyerahkan pembangunan kepada desa sebelah dan dia berkata bahwa dia sangat menyesali perlakuan para warga terhadap serdadu yang katanya sudah berbaik hati mau membantu kemajuan desa. Respon para warga tentu saja senang, tetapi ada beberapa yang tidak ikut senang karena mereka merasa pembangunan yang akan dilakukakn itu sangat menguntungkan kita kedepannya, tetapi karena jumlah warga yang menolak pembangunan lebih banyak, maka pembangunan itu tidak jadi dilakukan,” tutur Ucup panjang lebar.
“Namun, setelah suasana kampung cukup kondusif dan tenang, tiba-tiba para serdadu kembali lagi. Jaraknya padahal cukup lama. Sekitar dua setengah tahun setelah terakhir kali mereka terlihat di sini. Kala itu mereka tidak hanya datang dua atau tiga orang, mereka mulai datang berbondong-bondong dengan truk dan senjata lengkap. Kami warga kampung yang kolot ini merasa takut sebab mereka bersenjata lengkap. Mereka mulai memagari pinggiran hutan. Mereka melarang kami untuk memasuki hutan. Tentu kami melawan karena tidak terima akan hal itu. Mereka hanya menunjukkan sebuah surat izin kepada kami. Di sana tertera tanda tangan atas nama kepala desa. Kami marah besar, dan berbondong-bondong menuju rumah kepala desa. Namun, ada juga yang masih mencoba untuk melunakkan hati para serdadu dengan memohon-mohon di hadapan mereka. Serdadu-serdadu itu hanya tertawa melihat warga yang memohon iba mereka. Itu yang paling membuatku geram, Ikram. Aku melihat ibuku, bapak Budi, dan banyak warga kampung yang lain memohon untuk diizinkan masuk hutan karena pada saat itu waktu panen sudah tiba. Harapan hidup mereka satu-satunya.” Cerita ucup cukup panjang. Aku sudah menemukan titik awal konflik dalam cerita ini. Ada yang memonitor pergerakan para serdadu. Konyolnya, pemerintah desa bungkam dan tutup mata atas kejadian itu.
Aku menunggu cerita lanjutan dari Ucup. Sedikit lama. Tak ada suara yang keluar dari mulut si Ucup. Budi menyenggol lengan Ucup untuk membuatnya bersuara. Aku mengerti keterdiamannya, sebab ia masih memiliki hubungan keluarga dengan pengurus desa. “Ikram, sebebenarnya ada hal yang sangat penting yang dirahasiakan oleh orang-orang yang bekerja di kantor desa itu. Namun, aku belum memastikan apakah itu benar atau tidak sebab sampai hari ini hal yang dirahasiakan itu belum dilakukan,” jelas Ucup. Aku mendelik terheran. Hal rahasia macam apa yang belum dikerjakan sampai hari ini?” tanyaku.
“Mereka berencana memindahkan kita warga kampung ke tempat lain yang jauh dari kampung ini. mereka merasa dengan adanya kegiatan warga kampung ini menyebabkan mereka terkendala dalam urusan pekerjaan mereka. Entah pekerjaan yang mana, aku pun tak tahu,” terang ucup lebih jelas lagi. Aku semakin geram. Pekrjaan macam apa yang mereka lakukan di hutan itu dan mengapa kami warga kampung diminta untuk pindah padahal di sini rumah kami?
“Ikram, aku rasa sudah cukup kita membiarkan mereka semena-mena terhadap kita sebagai warga asli kampung ini. Aku baru ingat kalau mereka-mereka yang bekerja di kantor desa itu adalah orang luar kampung yang tak tahu menahu terkait kehidupan kita di sini. Memangnya siapa mereka bisa mengatur-mengatur kita? Enak saja.” Feri mengomel dengan nada sewot. Ucup hanya manggut-manggut saja membenarkan omelan Feri yang memang sangat merugikan posisi kami sebagai warga kampung sini. Aku berpikir bagaimana cara menghentikan eksploitasi yang dilakukan orang asing itu.
“Kau benar, kita perlu melakukan sesuatu untuk menghentikan kegiatan penggundulan itu. Mau sampai kapan kita mmebiarkan mereka merusak hutan kita? Aku mendengar berita bukan hanya hutan di sini saja yang mereka gunduli, tetapi sudah banyak hutan di luar sana yang mereka tebangi hingga habis. Mau menunggu sampai kapan untuk kita melakukan pergerakan?” kata Budi seolah dapat membaca pikiranku. Aku pun tersadar.
“Aku rasa kita perlu melakukan diskusi dulu dengan orang-orang penting di kampung ini. kalau kita-kita saja yang memiliki keinginan untuk melawan, akan snagat mudah bagi mereka untuk menyingkirkan kita. Kita harus bergerak pelan dan diam-diam supaya kita aman juga,” usulku. “Aku menyarankan seperti itu bukan karena tidak marah kita diperlakukan seperti itu, tetapi kita perlu strategi yang apik untuk melawan orang-orang seperti itu.”
Ucup, Budi, dan Feri menganguk mantap menyetujui usulanku. Kita mulai mnegatur strategi awal untuk melawan. Iya, hanya kami berempat. Kami sudah membahas segala macam kemungkinan yang akan terjadi jika kami melawan, apa yang akan dilakukan setelah rencana awal berhasil, dan kami tidak mengajak semua warga kampung untuk berdiskusi karena kami tidak tahu siapa saja yang satu pemikirna dengan kami. Maka langkah yang akan kita ambil juga adalah mencari tahu siapa saja yang setuju dan satu kubu dengan kami untuk melawan orang asing itu dan mengumpulkan mereka untuk ikut mengatur strategi lanjutan.
Keesokan harinya kami memulai pergerakan. Aku dengan Feri datang mengunjungi kediaman kepala desa yang berada di kampung seberang. Kepala desa kami memang bukan warga kampung kami, meskipun masih dianggap satu desa, tetapi dia bukan berasal dari jantung desa ini. kampung kamilah jantung desa itu. Budi dengan Ucup kami tugaskan untuk memata-matai para serdadu dan mencari tahu siapa saja yang satu pemikiran dengan kami. Aku datang ke rumah kepala desa karena masih memiliki hubungan kerabat jauh dengannya.
“Ikram, kapan kau pulang? Kenapa kau tak datang langsung setelah kau sampai rumah?” cecar pak kades setelah kami sampai di rumahnya. Ia pun mempersilahkan kami untuk duduk. Ia melanjutkan percakapan, “Kemarin aku datang ke rumahmu untuk membicarakan tentang kepulanganmu dengan Bapak, tetapi Bapak bilang kau belum selesai pendidikan di sana, maka kau belum boleh pulang. Aku sangat terkejut akhirnya kau pulang dan datang dengan sendirinya ke sini. Aku merasa beruntung.” Basa basi yang dilontarkan pak kades terdengar membosankan. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi. Feri yang duduk di sebelahku memandang datar kepala desa itu, kentara sekali ketidaksukaannya.
“Oh iya, Ikram. Aku punya pekerjaan untukmu. Sebenarnya aku sudah lama menunggu kepulanganmu karena aku merasa hanya kau yang cocok dalam pekerjaan ini. Bagaimana menurutmu?” Aku enggan menanggapi. Namun, Feri mengisyaratkan agar aku menjawab pertanyaan itu untuk tahu informasi lebih lanjut. “Pekerjaan seperti apa?” tanyaku singkat.
“Tidak berat dan tidak terlalu ringan. Kau hanya perlu mengawasi setiap truk yang mengangkut gelondong kayu setiap harinya. Kuota per hari hanya lima truk, kalau lebih dari itu kau perlu melaporkannya kepada pihak desa. Setelah itu kami yang akan mengurusnya. Satu lagi, semua truk pengangkut yang resmi memiliki stiker di bagian depan dengan logo perusahaan. Jika stiker itu berbeda kau perlu menyetop truk itu dan menyuruhnya kembali untuk menurunkan kayu-kayu itu. Bagaimana? Kau tertarik?”
Penjelasan dan pertanyaannya terdengar berani sekali, tidak ada kerahasiaan di sana, tidak ada ketakutan atau bahkan tidak ada perasaan menyesal dan bersalah dalam nada bicaranya. Padahal pekerjaan itu tentu saja akan merugikan kami sebagai warga kampung yang tinggal di pinggiran hutan. Banyak sekali kerugian yang dialami oleh warga kampung kami. Namun, orang biadab satu ini menawarkan pekerjaan haram seperti itu seolah menawarkan kue paling enak sedunia dengan nada bicara congkak.
“Tawaran yang menarik, akan aku pikirkan kemudian,” putusku.
Aku melihat Feri tersentak di tempatnya mendengar jawabanku. Aku tahu ia akan sangat kaget mendengar jawabanku barusan karena sebelumnya kami sudah merencanakan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh pak kades biadab ini. Jawabanku tadi tidak masuk ke dalam rencana. Aku berusaha tenang setelah melihat reaksi Feri barusan. Aku memandang kepala desa dengan lekat. Air mukanya masih terlihat menyebalkan. Ingin sekali rasanya kulempari wajahnya dengan gelas berisi kopi panas di depanku ini.
“Buat apa berpikir lama-lama adik? Tawaranku tadi sangat menguntungkan bukan? Kerjaanmu cukup ringan, tetapi gajinya begitu fantastis, Ikram. Kau dibayar setiap minggu dengan jumlah sekitar satu juta. Kalau kau kalikan empat minggu itu bisa kau dapat empat juta. Banyak itu, kalah gaji PNS. Sebentar lagi juga akan dibuka lapangan perkerjaan untuk warga desa, tetapi kami masih menunggu surat keputusan dan surat perizinan dulu baru boleh melakukannya dan warga tidak bolah menolak kali ini karena kehidupannya dipertahruhkan di sini.”
Aku memutar bola mataku malas. Kenapa orang ini begitu congkak? Astaga, padahal penawarannya sangat tidak menarik dan tidak menguntungkan. Dari segi uang memang iya, tetapi dari segi kemanusiaan benar-benar merugikan. Akan tetapi, lihatlah muka orang ini. Padahal ia sudah melakukan pekerjaan yang lebih jahat dari yang ia tawarkan padaku, tetapi mukanya masih terlihat baik-baik saja. Kalau dilihat muka setan lebih baik daripada mukanya dia ini. Aku melihat muka Feri yang sama masamnya dengan mukaku. Kami rasa sudah tidak ada gunanya kami di sini. Meskipun tidak mendapatkan informasi yang sesuai dengan yang kami inginkan, perkataan pak kades tadi sudah cukup menjelaskan situasi dan kondisi kampung kami dan desa ini. Jadi, kami memutuskan untuk pulang saja dan berkumpul bersama dengan Ucup dan Budi.
“Ikram, aku rasa percuma saja kita berbincang atau berunding dengan orang-orang yang memiliki kuasa di pemerintahan ini, sebab mereka bukan mengikuti kemauan sendiri, tetapi mereka mengikuti perintah juga. Jadi, aku rasa kita butuh untuk bergerak dan bersuara,” usul Feri.
Aku berusaha mencerna semua informasi dan kejadian yang ada. Benar juga kata Feri, akan sangat sulit melawan orang-orang yang memiliki kuasa. Mereka hanya memikirkan diri sendiri, tidak peduli dengan kelangsungan hidup warga, terutama warga kampungku. Aku berencana mengumpulkan semua warga kampung untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap orang-orang itu. Jika sudah ada kerugian yang dialami para warga mestinya warga kampung lain akan merasa bertanggung jawab atau setidaknya berempati terhadap kejadian ini. Aku harap banyak yang setuju dengan pergerakan ini.
Aku pun memberitahukan ketiga temanku ini untuk melakukan pemberontakan. Aku meminta mereka mengumpulkan semua warga di tempat kami berdiskusi semalam. Kemudian menyampaikan rencana kami. Kami betiga betul-betul berharap pergerakan ini akan membuahkan hasil, sebab jika tidak, kami akan terusir dari tanah kami sendiri. Sungguh hal itu tidak dapat kubayangkan. Aku sudah hidup lama sekali di kampung ini, tidak mungkin ada yang bisa mengusir kami bila kami bersikeras untuk menetap di sini. Hanya kata semoga yang aku selipkan di sela-sela keyakinan besar itu.
Kami memulai pergerakan pada hari ini, setelah berdiskusi sampai sore, kami mulai menjelajahi kampung sampai ke kampung sebelah memberitahukan semua orang tentang keresahan kami dan apa yang akan kami lakukan untuk menyelamatkan warga dan kampung ini. Setelah malam hari kami kembali berkumpul. Kami mengumpulkan pemuda-pemuda yang satu pemikiran dengan kami. Cukup banyak. Kami membagi tugas-tugas yang akan dilakukan demi kelancaran aksi ini. Tidak ada yang boleh membocorkan rencana. Kami hanya perlu bergerak, aku berperan sebagai pemimpin pergerakan ini. Sungguh, aku tidak pernah membayangkan akan memndapati kejadian seperti ini ketika pulang kampung. Aku kira aku akan mendapati kampungku yang empat tahun lalu aku tinggalkan masih berbentuk sama dengan terakhir kali aku melihatnya. Namun, ternyata aku salah, aku medapati banyak truk-truk mengangkut pohon-pohon dari dalam hutan lalu-lalang setiap harinya keluar-masuk hutan dengan bebasnya. Aku mendapati hutan rimbun di belakang rumahku sudah gundul. Sedikit sekali pohon-pohon yang tersisa. Kasihan sekali aku melihatnya. Namun, yang paling membuatku kasihan adalah keadaan warga. Mereka nelangsa, berkebun yang menjadi satu-satunya jalan mereka mencari rezeki untuk menyambung hidup kini lumpuh karena dirusak oleh ‘orang-orang yang tidak aku tahu disebut apa’ entahlah, aku merasa semuanya benar-benar seperti mimpi. Begitu tiba-tiba dan sangat menyakitkan. Melalui pergerakan ini aku berharap betul akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang kami harapkan.
Setelah dua hari kami melakukan pergerakan dan menyiarkan kepada para warga, kami pun menunggu hasilnya. kami sudan memutuskan untuk mengumpulkan warga pada malam itu. Kami pun berkumpul terlebih dahulu untuk saling memberikan dukungan. Kata semoga tak hentinya terlontar dari mulut kami. Lima menit menunggu belum ada tanda-tanda warga yang datang. Lima menit berikutnya ada tiga orang yang datang. Sampai lima menit ke tiga kali setelah tiga orang tadi datang, tak ada warga yang datang. Lima menit tadi berubah menjadi dua jam kemudian, masih tak ada yang datang. Aku mulai putus asa. Kebiasaan warga kampung jika sudah jam sembilan malam mereka akan diam di rumah dan beristirahat. Aku memandang satu persatu orang-orang yang ada di pondok bambu itu. Ada sekitar tujuh belas orang pemuda. Aku baru sadar bahwa yang ada di sini adalah golongan orang muda. Ke mana perginya para tetua kampung? Termasuk bapakku. Apa yang membuat mereka tidak mau melakukan pergerakan? Apa yang membuat mereka tidak mendukung pergerakan kami? Banyak hal yang aku pikirkan, terutama tentang pertanyaan kenapa dan apa. Akan tetapi, tak satupun dapat kujawab dan aku kehilangan petunjuk. Harapan besar masih terpancar dalam diriku. Namun, jika sudah tidak bisa bekerja sama dengan orang-orang penting di kampung dan desa ini bagaimana mungkin kami akan bisa melakukan perlawanan? Meskipun mungkin orang-orang kampung tidak setuju dengan adanya pekerjaan penggundulan itu, tetapi mereka tetap diam, itu sama saja dengan bunuh diri secara perlahan.