Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Mengapa kemari, kau seorang Belanda, bukan?”
“Dasar pribumi, pergilah!”
Lahir sebagai Indo-Belanda alias berdarah campuran adalah takdir terburuk di masa perang—dan Marie adalah salah satunya. Sang ayah bekerja untuk Julio Samuel de Capellen, seorang prajurit berpangkat letnan kolonel sekaligus komandan dari Batalyon Infanteri IX KNIL yang bertugas di Purwoasri. Kemudian, dia memiliki kekasih seorang Belanda.
Saat Marie berusia sembilan tahun, ayahnya kabur begitu saja dan meninggalkan sang putri di kantor tempatnya bekerja. Di saat bersamaan, sang ibu juga tiba-tiba menghilang. Sejak saat itu, Marie dirawat oleh Julio.
"Tuan Julio adalah orang yang baik. Selain kau, Putra, hanya dialah yang mau menjagaku.” Marie tersenyum, mata bulatnya sedikit tenggelam dalam pipi, begitu manis. Dia gadis nan lembut. “Bagi anak yang tak punya tempat di mana pun sepertiku, memiliki seseorang yang mau menerima ... itu sangat berharga."
Lelaki seumuran di sebelah, menjadi menunduk lesu. "Dia sama sekali tak melawan ... tiga setengah tahun lalu, ketika Nippon berhasil mengalahkan Pasukan Infanteri IX KNIL dan mengusir para Belanda yang berpengaruh, dari Purwoasri. Dia bahkan ... tampak murung. Apa-apaan itu? Padahal dia adalah orang asing yang merebut tanah ini, mengapa dia harus pergi dengan tatapan seolah-olah hendak meninggalkan tanah kelahiran yang dicintainya?"
"Mungkin tanah kelahiran adalah istilah yang kurang tepat, tetapi kurasa memang ada sesuatu semacam itu dalam dirinya. Seperti yang kukatakan, bukan? Tuan Julio adalah orang yang baik."
"Andai saja dia juga bersikap demikian kepada para pribumi, mungkin kedua bangsa dapat hidup berdampingan."
"Itu mustahil." Marie tertawa kecil. "Lagi pula, Tuan Julio kebanyakan bertindak di bawah perintah Komandan KNIL. Menunjukkan sikap baik kepada pribumi, hanya akan membuatnya kesulitan menyelesaikan tugas."
"Takdir yang keji."
Marie tak punya pilihan selain merelakan Julio. Toh, sekarang dia sudah remaja, ditinggalkan oleh Julio tak akan memberinya banyak masalah. Kini Belanda yang tersisa di Purwoasri hanyalah orang-orang biasa, sedangkan kekuasaan dipegang oleh Jepang. Mereka memang berjanji akan menguasai Purwoasri selama tiga setengah tahun sebagai balasan atas permintaan dari pribumi untuk mengusir Belanda.
Semua terasa tak ada yang salah. Marie bahkan mengakui bahwa dia dikelilingi oleh orang-orang luar biasa, Putra dan pemuda-pemuda lain begitu ramah dan akan membantu siapa pun tanpa ragu. Bahkan ketika pada akhirnya terkuak bahwa Jepang mengkhianati janji—ingin berkuasa lebih lama—dan pertempuran pecah kembali, semua tetap berakhir dengan baik, bahkan lebih daripada sebelumnya.
Putra mengumpulkan pemuda dan membentuk Tentara Sukarela untuk mengusir Jepang, dan dengan kegigihan yang begitu kuat, mereka berhasil. Purwoasri kini berada di tangan pribumi. Bekas mes anggota Batalyon Infanteri IX KNIL diserahkan kepada Marie, mengingat dia adalah yang paling akrab dengan tempat itu setelah Julio, sang komandan.
Marie hanya mengambil sebagian kecil dari bangunan luas itu untuk membuka sebuah toko roti, sedangkan sisanya diserahkan lagi kepada Putra yang kemudian dimanfaatkan sebagai markas Tentara Sukarela.
Marie tak tahu apakah ini mimpi buruk atau sebaliknya, ketika kotak-kotak misterius tiba-tiba dikirimkan ke seluruh toko di Purwoasri, termasuk toko roti miliknya. Saat itu sudah cukup larut malam, Putra dan para pemuda Tentara Sukarela kebetulan ada di sana, dan tak seorang pun mengetahui dari mana kotak-kotak itu berasal.
Sampai kecurigaan mereka terus menjadi-jadi dan sebuah bambu runcing ditusukkan ke dalam salah satu kotak. Sesaat tak ada apa pun terjadi. Namun, kemudian, darah mulai merembes keluar. Putra membuka kotak tersebut dan seketika Marie melangkah mundur dengan wajah memucat. “Tuan Julio….”
“Semua itu....” Pria tersebut berjalan keluar menjauh dari kotak dengan sempoyongan, lalu berdiri menyandar dinding toko. “Pasti bohong, bukan? Marie… kau dan teman-temanmu… sama sekali tak menjadi budak, ‘kan?”
Londo Ambon, pasukan khusus dari KNIL yang berisi orang-orang Ambon, mereka didatangkan kemari akibat laporan dari Jepang—lebih tepatnya hasutan akibat dendam kepada Tentara Sukarela yang telah mengusir—bahwa sisa orang-orang Belanda yang masih berada di Purwoasri, dipaksa untuk menjadi budak oleh para pribumi. Julio bukan bagian dari mereka, dia hanya ikut karena merasa begitu khawatir.
Marie menggeleng berkali-kali, begitu ingin melepaskan kekhawatiran dari pria itu. “Tidak… sama sekali tidak, Tuan….”
Pria itu tersenyum lega, wajahnya pucat pasi dan sayu. “Sudah kuduga. Kalau begitu, aku bisa menjadi jauh lebih tenang. Juga… setelah sekian tahun, aku sangat senang bisa melihatmu lagi.”
Namun, itu bukan untuk waktu yang lama. Demi membela negeri, Tentara Sukarela membakar kotak-kotak yang ada. Londo Ambon sesungguhnya diperintahkan untuk keluar dari kotak pada pukul satu tengah malam. Namun, begitu menyadari keadaan di luar dugaan, sebagian dari mereka—yang belum sempat dibakar—keluar lebih awal. Akibatnya, pertempuran terancam akan pecah kembali.
“Marie, bersembunyilah di dalam toko," kata Putra tegas.
Marie terlalu egois bila menolaknya, tetapi tatapannya tak bisa lepas dari Julio. Dia belum selesai mengira-ngira apa saja yang telah berubah dari pria itu selama hampir empat tahun. Sayangnya, pintu toko tertutup dan tatapan pria itu yang begitu sayu tertuju hanya padanya, mengakhiri itu semua.
“Untuk terakhir kalinya, kupikir aku bisa melihat Marie kembali, tetapi... sepertinya aku memang tak pantas untuk mendapatkan itu.”
Parahnya lagi, itu adalah kalimat perpisahan yang sangat-sangat tak ingin didengar oleh Marie.
Di balik etalase yang gelap, gemuruh pertempuran terasa lebih kencang kali ini; seruan perintah, bunyi tembakan, teriakan kesakitan. Bahkan ketika beberapa menit kemudian di luar tiba-tiba sunyi—tetapi begitu dingin lantaran pimpinan kedua pihak sama-sama terpojok—Marie justru makin tak bisa tenang. Kemudian, sesaat sesaat perdebatan panas begitu mengusik telinga untuk sesaat dan satu suara tembakan menghentikannya, Marie justru tiba-tiba meninggalkan tempat berlindung.
Pimpinan Londo Ambon telah terbunuh, tetapi mereka tak terima, sampai Julio menggertak kencang dengan begitu marah, “Kalian tak memiliki alasan untuk mengelak! Kita mundur sekarang juga! Tuduhan itu terbukti palsu! Pribumi Purwoasri tak bersalah! Kita tak memiliki alasan untuk melanjutkan misi ini!” Lantas dia beranjak pergi.
Melihat pria itu menjauh, para Londo Ambon saling menatap rekannya. Kemudian, satu per satu dari mereka mulai mengikuti langkah Julio.
Pria itu tetap berjalan meninggalkan tempatnya semula, kemudian menoleh belakang, menatap gadis di sana dengan sendu. “Marie.”
“Tuan Julio....” Marie seperti ingin menahannya, tetapi dia tak bisa melakukan apa pun.
“Maaf karena aku tak bisa menjagamu lebih lama lagi…,” katanya dengan sangat lirih, kemudian kembali menatap depan—dan tak menoleh lagi.
“Jangan bercanda…," dia merintih. "Hingga kelak kembali kemari lagi, aku tak akan memaafkan Anda....” Suara lembut gadis itu tak pernah terdengar menghujam begitu dalam, menanggung berjuta-juta pesan yang masih ingin dikatakan, tetapi tak akan pernah bisa.
Putra di dekatnya tampak kewalahan lantaran nyaris dihabisi oleh lawan, tenaganya habis. Meski demikian, dia tampak lega. Sementara para pemuda lain bersorak merdeka, begitu kencang, seakan-akan tak ada esok untuk merayakannya. Semua bahagia, tetapi Marie tak tahu bagaimana caranya untuk ikut bersukaria.