Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suara mesin fotokopi itu lagi. Berisik, monoton, dan selalu mengingatkan Raka pada satu hal—bahwa hidupnya tidak banyak berubah sejak lima tahun lalu. Di sudut kantor pelayanan publik itu, di ruangan berukuran sempit yang dipenuhi tumpukan kertas dan bau toner, Raka berdiri membungkuk, memperbaiki baki kertas yang macet.
“Mas Raka, ini juga tolong difotokopi, ya. Lima rangkap,” suara bu Ratih dari meja administrasi terdengar ceria, seperti biasa. Ia meletakkan berkas yang dilipat dua dengan kertas warna merah muda di atas tumpukan lainnya.
“Iya, Bu.” Raka mengangguk singkat tanpa senyum. Tangannya bergerak otomatis, seperti sudah tertanam chip pekerjaan tetap.
Pukul 10 pagi. Matahari menyelinap malu-malu lewat jendela kaca buram yang berdebu, menerangi debu-debu halus di udara. Kantor itu sepi dari gairah. Para staf menjalani rutinitas dengan ekspresi datar, berbincang seperlunya, tertawa seperlunya, dan diam lebih banyak dari yang perlu.
Raka kembali duduk di kursi plastik biru yang satu kakinya sedikit lebih pendek. Kursi itu bergoyang tiap kali ia menggesernya. Ia menyandarkan kepala ke dinding, menatap langit-langit dengan ventilasi rusak. Di dalam kepalanya, terngiang suara ayahnya yang dulu berkata: “Jangan jadi orang yang hidup cuma buat mengisi absen.”
Tapi ternyata, mengisi absen itu nyaman. Aman. Tidak berisiko.
Tiba-tiba pintu terbuka, dan seorang gadis muda dengan ransel besar masuk tergesa-gesa. Rambutnya dikuncir dua, matanya besar dan cerah, wajahnya penuh rasa ingin tahu.
“Permisi… Ini ruang fotokopi, ya?” tanyanya.
Raka mengangguk. “Iya. Ada yang bisa saya bantu?”
“Aku Luna. Mahasiswa magang. Disuruh Bu Ratih bawa berkas ke sini,” katanya sambil tersenyum lebar. Senyuman yang membuat ruangan itu terasa tidak begitu abu-abu untuk sesaat.
Raka mengambil berkas dari tangannya, lalu mulai memproses. Tapi matanya diam-diam memperhatikan gadis itu—semangatnya, caranya memperhatikan detail ruangan, dan ekspresi ingin tahu saat melihat alat fotokopi bekerja.
“Kak, ini mesin generasi lama ya?” tanyanya sambil mengintip.
Raka tersenyum kecil, “Bisa dibilang begitu. Sudah lebih tua dari saya, mungkin.”
Luna tertawa. “Aku suka benda-benda lama. Rasanya punya cerita sendiri.”
“Benda lama, cerita lama. Kadang nggak semua cerita mau diingat,” gumam Raka pelan.
Gadis itu menatapnya, seperti ingin bertanya lebih jauh, tapi hanya diam. Ia mengambil kembali dokumennya dan berpamitan. Setelah pintu tertutup, Raka menarik napas panjang dan kembali duduk. Suara mesin mulai lagi. Klik. Tarik. Cetak. Klik.
Ia membuka laci meja dan mengambil selembar kertas kosong. Tangan kirinya membuka pulpen biru yang tinta ujungnya hampir habis. Tanpa sadar, ia mulai menggambar—pola-pola acak yang perlahan berubah menjadi sebuah wajah. Wajah anak kecil, tersenyum, dengan mata lebar seperti sedang menatap langit.
Lima tahun lalu, tangan yang sama ini pernah melukis mural setinggi lima meter di dinding selatan kota. Wajah anak-anak yang tersenyum, burung-burung berwarna emas, dan langit yang pecah oleh cahaya. Dulu, kota ini adalah kanvas. Sekarang, hanya ruang 3x4 dengan aroma kertas terbakar.
Sebuah suara notifikasi dari ponselnya memecah lamunannya. Grup keluarga: "Jangan lupa arisan minggu ini, Kak. Bawa foto kopi KK ya."
Ia menghela napas. Pelan. Dalam. Panjang.
Di sisi lain kota, dinding tempat muralnya dulu berdiri kini dicat ulang jadi abu-abu. Dan di dalam dirinya, ada sesuatu yang terasa mati tapi belum dikubur sepenuhnya.
Bab ini berakhir di situ—datar, seperti hidup Raka. Tapi di antara barisan kertas dan toner yang membekas di tangannya, pelan-pelan sesuatu mulai bergerak. Entah mimpi, entah kenangan, entah penyesalan yang belum selesai.
Malam itu hujan turun perlahan, seperti ragu-ragu untuk membasahi bumi yang sudah letih. Raka berjalan pulang dari kantor dengan langkah pelan menyusuri gang sempit menuju rumah kontrakannya yang berlokasi di pinggiran kota. Jaket tipisnya tak cukup menahan dingin, tapi ia tak peduli.
Sesampainya d...