Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
TAN MALAKA
4
Suka
368
Dibaca

Langit Manila sore itu berwarna jingga tembaga. Di pojok ruangan kecil berukuran tiga kali empat meter, seorang pria kurus duduk menunduk di depan meja kayu reyot. Kacamata bundarnya memantulkan cahaya lampu minyak yang bergoyang ditiup angin dari jendela. Di atas kertas lusuh, tangannya menari cepat menulis kalimat demi kalimat — pikirannya jauh melampaui ruang sempit itu.

Tan Malaka.

Nama yang ia simpan rapat-rapat di balik samaran. Di paspor palsunya tertulis “Elias Fuentes”. Tapi di dadanya, semangat yang membara masih sama: Indonesia harus merdeka, dengan pikiran yang merdeka pula.

Sudah bertahun-tahun ia hidup berpindah-pindah. Dari Belanda ke Filipina, dari Tiongkok ke Singapura. Setiap kota menyisakan luka dan kenangan. Ia pernah jadi buruh pelabuhan, guru matematika, bahkan pekerja pabrik — semuanya demi bertahan hidup sambil terus menulis tentang kemerdekaan bangsanya.

Malam itu, ia menulis lagi. Judul di halaman pertama: Madilog — Materialisme, Dialektika, dan Logika. Tulisan itu bukan sekadar buku, tapi perlawanan. Ia percaya, kemerdekaan takkan bertahan kalau rakyatnya masih dijajah oleh kebodohan dan takhayul.

“Revolusi tidak cukup dengan senjata,” gumamnya pelan, menatap kata-kata yang baru ia tulis.

“Rakyat harus merdeka dalam berpikir.”

Ketika jarum jam menunjuk pukul dua dini hari, suara langkah kaki terdengar di luar. Tan Malaka menutup bukunya cepat, meniup lampu, dan menyelinap ke bawah ranjang. Dua orang pria berseragam masuk, membawa lentera. Mereka berbicara dalam bahasa Tagalog, mencurigai ada penyusup komunis dari luar negeri.

Jantung Tan berdetak keras. Setiap kali seperti ini, ia tahu satu langkah salah bisa berarti mati atau penjara seumur hidup. Tapi ketika mereka akhirnya pergi, ia hanya tertawa kecil dan kembali menulis.

“Tak ada yang bisa menangkap ide,” bisiknya.

Beberapa minggu kemudian, ia bertemu seorang pemuda Filipina di pelabuhan — Ramon namanya. Anak itu sering membantu Tan membeli kertas dan tinta. Tapi suatu sore, Ramon datang dengan wajah panik.

“Pak Elias, mereka tahu Anda bukan orang sini! Ada intel Belanda datang dari Batavia!”

Tan Malaka hanya tersenyum tipis.

“Kalau begitu, waktunya berpindah lagi,” katanya.

Ia menatap laut lepas di depan mereka. Ombak menggulung perlahan, seperti mengundang. Di sanalah arah barunya menunggu — mungkin ke Hong Kong, mungkin kembali ke tanah air yang ia rindukan setiap malam.

Dalam hati, Tan tahu: Indonesia mungkin belum siap menerimanya, tapi ia tidak bisa terus bersembunyi. Setiap berita tentang rakyat yang tertindas, setiap kabar tentang pemuda yang disiksa, menyalakan bara di dadanya. Ia tidak mau hanya menjadi bayangan yang berteriak dari jauh.

Sebelum naik ke kapal malam itu, Ramon memeluknya.

“Apakah Anda tidak takut, Pak?”

Tan menepuk pundaknya.

“Takut itu manusiawi. Tapi menyerah itu dosa bagi pejuang.”

Kapal pun berlayar perlahan meninggalkan pelabuhan Manila. Lampu-lampu kota makin kecil, lenyap di balik kabut laut. Di dek kapal, Tan membuka buku catatannya satu kali lagi. Ia menulis baris terakhir sebelum menutupnya:

> Aku bukan pengecut yang bersembunyi di negeri orang. Suatu saat, aku akan kembali. Dan jika aku harus mati, biarlah di tanah yang melahirkanku.

Namun di perjalanan menuju Hong Kong, malam kembali jadi saksi sunyi. Ombak keras mengguncang kapal, hujan turun deras. Dalam guncangan itu, Tan menatap laut yang gelap, seolah melihat bayangan dirinya sendiri.

“Apakah aku masih berarti bagi bangsaku?” gumamnya lirih.

Ia teringat masa-masa muda di Deli, mengajar anak-anak desa menulis huruf pertama mereka. Terbayang wajah mereka yang lugu, tawa kecil saat ia menggambar peta dunia di papan tulis. Dulu ia percaya bahwa pena bisa lebih tajam dari senjata, tapi kini dunia berubah. Perang dunia bergolak. Jepang mulai menekan Belanda. Ia tahu, badai besar akan segera sampai ke tanah airnya.

Di Hong Kong, ia tinggal di kamar sempit di lantai tiga sebuah penginapan Cina. Siang hari mengajar, malam menulis dengan lampu minyak kecil. Dari jendela, ia bisa melihat laut yang sama — laut yang memisahkan dirinya dengan rumah.

Setiap malam ia menulis surat-surat yang tidak pernah dikirim. Surat untuk bangsanya, untuk murid-muridnya, untuk masa depan yang belum lahir. Salah satu suratnya berbunyi:

> Jika suatu hari kalian membaca ini, ketahuilah aku tidak pernah berhenti mencintai tanah airku, walau dari jauh. Aku hanyalah bayangan di negeri orang, tapi bayangan pun punya cahaya di belakangnya.

Surat itu ia simpan di dalam buku Madilog yang masih belum selesai. Kadang ia berpikir, mungkin tulisannya tak akan pernah sampai ke siapa pun. Tapi ia tetap menulis — karena di situlah satu-satunya cara ia merasa masih hidup.

Suatu pagi, kabar datang dari pelaut asal Jawa yang menumpang di kapal dagang Inggris.

“Belanda sudah kalah oleh Jepang,” katanya.

“Tanah kita kini dikuasai penjajah baru.”

Tan Malaka diam. Ada amarah, tapi juga peluang. “Kalau begitu, saatnya aku kembali,” ujarnya mantap.

Malam itu, ia berdiri di tepi pelabuhan Hong Kong. Angin laut menerpa wajahnya, membawa aroma asin yang sama seperti di Sumatera dulu. Ia tahu, mungkin ini bukan perjalanan pulang yang aman. Tapi di balik ketakutannya, ada keyakinan yang ia genggam erat: bahwa perjuangan tidak pernah berhenti — hanya berganti tempat dan waktu.

Ia menatap laut yang luas, menatap bayangannya sendiri di permukaan air.

“Bayangan di negeri orang,” katanya pelan.

“Tapi sebentar lagi… bayangan ini akan pulang.”

Angin laut makin kencang malam itu. Tan Malaka menarik mantel lusuhnya lebih rapat, matanya masih menatap ke arah utara — arah tanah air yang seolah memanggil dalam diam. Di balik suara ombak dan derit kapal, ia seperti mendengar gema masa lalu: suara murid-muridnya di Deli, tawa teman seperjuangan di Bandung, dan teriakan massa di pelabuhan Semarang dulu, “Hidup Tan Malaka!”.

Ia tersenyum getir. Semua itu kini tinggal bayangan. Tapi bayangan, pikirnya, hanya ada kalau cahaya masih menyala. Dan selama semangat kemerdekaan belum padam, ia belum kalah.

Dari saku dalam mantelnya, ia mengeluarkan selembar foto kecil — gambar hitam putih dirinya bersama dua sahabat lama di masa pergerakan. Sudah lama mereka tak bersua. Entah masih hidup atau tidak. Ia menatap wajah-wajah itu lama, sebelum akhirnya melipat foto itu dan menyelipkannya di antara halaman terakhir Madilog.

“Jika aku tak sempat kembali,” bisiknya lirih,

“biarlah pikiranku yang pulang lebih dulu.”

Kapal terus melaju di bawah langit kelabu. Hujan tipis turun, membasahi dek. Tan Malaka menatap ke arah barat — arah Indonesia. Dalam benaknya, ia sudah menyusun rencana. Ia tahu Jepang akan memanfaatkan rakyat, tapi ia juga tahu, di sela kekacauan itu, ada celah bagi api revolusi untuk menyala lagi.

Ia menulis beberapa catatan singkat di buku kecil:

> Rakyat bukan alat. Rakyat adalah tujuan.

“Kemerdekaan tidak diberi. Ia direbut.”

Tinta di pena hampir habis, tapi ia tetap menulis. Ia ingin setiap kata jadi saksi bahwa sekali pun tubuhnya jauh, pikirannya tetap berjuang.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari belakang. Seorang pria paruh baya, pelaut dari Jawa, berdiri dengan wajah ragu.

“Pak Elias... saya dengar Jepang akan masuk Batavia bulan depan,” katanya pelan.

Tan menoleh, menatap matanya tajam tapi tenang.

“Maka waktuku tidak banyak,” jawabnya singkat.

Laut di depan mereka bergemuruh, seolah menelan kalimat itu. Tan menutup bukunya perlahan, lalu menatap cakrawala. Ada cahaya samar di kejauhan — mungkin lampu kapal lain, mungkin bintang yang malu-malu muncul di sela awan. Tapi bagi Tan, itu seperti isyarat.

Ia menarik napas panjang. “Setelah ini,” gumamnya,

“tak ada lagi tempat untuk bersembunyi.”

Kapal berlayar semakin jauh, meninggalkan jejak panjang di air laut yang hitam. Dan di tengah kesunyian itu, seorang pejuang tanpa tanah, tanpa nama, menatap ke masa depan yang masih berkabut.

Bayangan itu belum lenyap.

Belum.

Karena suatu hari nanti — bayangan itu akan kembali membawa cahaya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)
Rekomendasi dari Sejarah
Novel
PENGUASA ANTAH BERANTAH
After Future
Cerpen
TAN MALAKA
Klein Ma
Novel
Takdir yang Tak Pernah Kusepakati
Shinta Puspita Sari
Novel
Gold
Saat-Saat Terakhir Bersama Soeharto
Bentang Pustaka
Novel
Ikatan Tanpa Cinta
Dara Apriliani
Novel
Bronze
SURAT CINTA AGAM
Embart nugroho
Novel
Gold
Digital Nation Movement
Bentang Pustaka
Flash
Surat dari Batavia ke Soerabaya
Lentera jingga
Novel
Bronze
Badai Kupu-Kupu
Sarah lufiana
Novel
Bronze
Maya
sukadmadji
Novel
Sialang dan Kubu Terakhir
Eko S. Ayata
Cerpen
Si Merpati
Tadashi
Novel
Serpihan Identitas
M. Sadli Umasangaji
Novel
Warisan Perempuan Terbuang
Shinta Larasati Hardjono
Flash
Footprints in the Sands of Time
Rizky Yahya
Rekomendasi
Cerpen
TAN MALAKA
Klein Ma
Cerpen
TIORA 1986
Klein Ma