Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ada satu tamu yang sekalipun kau undang untuk bertandang ke rumah atau sekadar menapaki berandamu, ia tak akan datang. Sekalipun kau menunggunya, ia juga tak akan datang. Namanya karma.
Aku tak tahu kalau ia tak akan pernah datang. Bahkan aku terlambat menyadari kalau ia tak pernah ada. Ia hanyalah buah dari imajiku.
Karma tak pernah datang ke rumah ini untuk menghukum orang yang aku rasa pantas mendapatkannya, sekalipun aku menunggunya dengan sabar, sesabar seorang gadis yang menunggu surat dari kekasihnya. Sesabar pengantin baru menunggu detik-detik malam pertama.
Tapi, tetap saja, karma tak pernah datang. Barangkali juga tak sudi.
...
Aku tak percaya ilmu hitam, santet, ilmu iblis, dan semacamnya. Bagiku itu tak ada. Penyakit yang tidak diketahui penyebabnya tak boleh lantas dikatakan sebagai teluh atau kutukan. Manusia memang lucu. Ia yang membuat narasi tentang teluh dan santet, mereka pula yang mengaku tahu obatnya, dan mereka sendiri yang ditemukan sebagai pelakunya. Bagiku, segala yang ada di alam semesta bisa dijelaskan secara ilmiah, secara sains, dan dalam sains tak ada yang namanya santet. Ia hanyalah keyakinan yang diyakini sebagian orang, dan tak akan jadi pengetahuan jika tak dibuktikan kebenarannya, tapi tetap saja, aku mengalami hal-hal yang kata orang di luar nalar.
Pertama, toko kami dibikin tidak kelihatan oleh seseorang. Ia menaburkan tanah kuburan suatu malam ketika toko kami tutup, dan keesokan harinya toko kami sepi, tak ada pelanggan yang mampir, tak ada sepeserpun pemasukan, keesokan harinya, ada satu pelanggan yang mampir dan bilang: Pak, kemarin nggak jualan, ta? Kok saya ke sini tokonya tutup. Ayah dan Ibuku saling tatap, bingung sekaligus kaget. Dengan badan yang gemetar, ayahku bilang: Kemarin kami buka, Mas, seperti biasa, dari setengah delapan pagi sampai jam tujuh malam, dan kemarin memang sepi sekali, kami nggak dapat pemasukan kemarin, tapi tetap tutup jam tujuh seperti biasa. Lalu pelanggan itu menampakkan wajah yang bingung dengan dahi mengerut. Ia lalu bilang: Tapi kemarin saya ke sini, dan toko Bapak nggak buka. Benar-benar tutup, Pak. Sayang sekali, kemarin nggak saya foto.
Ayah dan Ibuku tak bisa menjawab, aku dan adikku saling tatap dan mengangkat bahu tanda kami juga tak tahu jawabnya. Lalu si pelanggan itu berkata: Kayaknya toko Bapak sengaja "ditutup" sama orang yang ndak suka sama keluarga Bapak. Biasanya kayak gitu pakai tanah kuburan, Pak, disebar saja di depan toko Bapak, dan setelah itu tokonya kelihatan tutup walaupun sebenarnya buka terus. Saran saya, lebih baik Bapak dan Ibu ke orang pintar cari penangkal. Sebaiknya juga toko ini dipagari dengan doa-doa dan selamatan. Biasa, Pak, Bu, hal yang begitu sudah biasa, sebagai orang yang juga cari uang di pinggir jalan, yang semacam itu sudah berkali-kali saya alami.
Mereka bercakap-cakap agak lama, sebelum akhirnya si pelanggan itu pergi setelah beli barang yang ia perlukan dan membayar dengan uang pas. Malam itu setelah toko kami tutup, Ayah dan Ibu langsung bergegas ke orang pintar yang terkenal bisa membentengi toko kami agar ilmu hitam macam itu tak bisa masuk. Mereka pergi ke rumah orang itu diantar salah satu kenalan mereka yang saudaranya pernah mengalami hal yang sama, sementara aku dan adikku di rumah saja tidak peduli. Setelah kami mengadakan ritual dan selamatan kecil-kecilan, toko kami berjalan sebagaimana mestinya. Kami melupakan kejadian itu, tak berusaha menebak siapa yang melakukannya sebab tak ada CCTV di sekitar toko kami yang bisa menjadi bukti, tapi Ayah tak bisa melupakan kejadian itu. Dalam diamnya, ia selalu berpikir tentang siapa saja yang mungkin melakukan hal tak sepatutnya kepada keluarganya. Kadang ia bergumam sendiri, apakah si ini, apakah si itu yang melakukannya, sebab dulu waktu ia mau pinjam uang, aku tak mau meminjamkannya lalu ia dendam atas kesuksesanku sekarang, atau mungkin rekanku dulu saat masih jadi polisi, yang aku laporkan karena dia menilep uang anggota yang lain, jangan-jangan dia yang mengirimkan teluh untuk keluargaku, dan gumaman itu berlangsung sampai seminggu ke depan, membuatnya tak nafsu makan, sering melamun, dan seperti orang yang pandangannya selalu kosong, raganya di tempat itu, tapi pikirannya melayang entah.
Satu waktu ia kemudian mengundang pendeta untuk membersihkan tokonya, dan kami berempat sembahyang di sana agar mantranya bekerja lebih mantap memagari toko dan keluarga kami. Tapi tetap saja, ia masih asyik main tebak-tebakan berdua dengan pikirannya tentang siapa gerangan pelakunya.
Tujuh tahun berlalu dan tak ada yang melakukannya lagi. Walaupun begitu, Ayah tak pernah lupa. Ia masih ingat, hanya saja tak melamun dan hilang nafsu makan seperti dulu. Ia kembali menemukan semangat hidup, tak seperti orang linglung.
Kejadian kedua adalah yang aku dengan mata kepalaku sendiri. Ayah sering menyimpan uang di galon-galon kosong, katanya untuk tabungan darurat kalau suatu hari nanti diperlukan. Ia lalu menyimpan galon-galon itu di kamarnya. Ada sekitar lima galon yang sudah penuh sebab ia menabungkan uangnya di sana semenjak kami membuka toko, jadi tak heran jika jumlahnya telah banyak. Kutegur singkat suatu hari: kenapa tak disimpan di bank saja supaya lebih aman, di galon-galon siapa tahu dimakan tikus nanti. Ia santai bilang: bank akan selalu memotong sekian ribu setiap bulan kalau Ayah simpan di sana, lebih baik di sini. Ya sudah. Suatu hari, ia ingin beli motor baru untuk adikku yang sudah SMA karena kami tak mungkin mengantar-jemputnya—Ibu dan Ayah sibuk di toko, motor yang satu dipakai aku ke kampus.
Sudah ada rencana di kepala Ayah untuk menggunakan uang di galon-galon yang ia kumpulkan dengan sabar selama ini untuk membeli motor, kalau kurang akan ia tambah sendiri. Tapi alangkah terkejutnya kami sekeluarga kala membuka kelima galon itu yang isinya telah berubah menjadi uang mainan. Semuanya. Tanpa terkecuali. Tak ada selembar uang pun yang tak berubah jadi uang mainan. Terakhir kali Ayah menghitungnya adalah sebulan yang lalu, jumlahnya sudah genap sepuluh juta, dan wujudnya masih uang asli, lalu sekarang kami melihatnya benar-benar berwujud uang mainan. Licin, memang tidak bergambar kartun seperti uang mainan zaman aku kecil, uang itu didesain dengan gambar menyerupai uang sungguhan, hanya saja ditambahkan keterangan UANG MAINAN di bagian atas nominalnya yang tertulis dengan angka.
Satu keluarga lemas. Kami menggigil. Ayah limbung dan menolak dibopong kami bertiga menuju kamarnya. Ia kembali seperti dulu. Tak berselera makan, banyak melamun, tatapan kosong, dan tak bisa tidur. Kali ini berlangsung selama empat minggu. Dan setelah satu bulan, ia tiba-tiba marah tak terkendali, menyalahkan aku, Ibu, dan adikku. Katanya, kami bertigalah yang telah mengambil uang itu diam-diam dan menggantinya dengan uang mainan. Aku tak terima, aku melawannya dan aku ditampar. Ibu yang kaget lalu maju dengan tubuh gemetar dan menggigil, menyodorkan tubuhnya sebagai tameng, sambil bilang: Bunuh saja aku! Bunuh! Jangan kau sakiti anak-anakku! Bunuh aku saja! Sementara adikku menangis menggeru-geru memegangi kaki Ayahku sambil bilang: ampun, Yah, ampun. Ampuni kami, Yah, ampun. Seolah ia sedang bersembah kepada orang yang lebih tinggi daripadanya. Semenjak saat itu, keluarga kami berantakan.
Ayah menjalankan toko sendirian, dan hasilnya tak dibagi dengan Ibu. Ia tak diberi nafkah, Ayah pun akhirnya pilih pisah ranjang, tapi pendidikan kami berdua masih ditanggungnya. Ia mogok makan dan bicara. Hanya bicara pada angin, benda-benda mati, dan dengan pikirannya sendiri. Ia seperti orang waras yang linglung. Linglung tapi masih waras. Untuk bisa makan, Ibu bergegas mencari pekerjaan. Ikut temannya, ia bekerja di salah satu pabrik mi instan yang letaknya satu jam perjalanan dari rumah kami. Setiap hari ia berangkat jam lima pagi dan pulang jam lima sore bersama temannya karena motor di rumah hanya dua—dipakai olehku ke kampus setelah mengantarkan adikku ke sekolah. Pulang sekolah, adikku kadang nebeng temannya, kadang naik angkot kalau aku tak bisa menjemput. Sementara Ayah ke toko menggunakan motor satunya yang lebih butut. Pagi hari teman Ibu yang akan bawa motor, pulangnya giliran Ibu. Penghasilannya lumayan, setidaknya bisa menutup kebutuhan makan kami, tapi tetap saja harus berhemat. Supaya beras lebih awet, kami mencampurkannya dengan butiran jagung, jadilah nasi jagung yang jauh lebih mengenyangkan. Ketika Ibu libur, kami akan makan nasi karak—sisa nasi yang telah dijemur sampai kering kemudian dicuci bersih dan dimasak lagi dengan tambahan parutan kelapa. Lauknya ikan asin, tempe, dan sambal korek. Tujuannya untuk hemat beras. Ibu juga sediakan mi satu kardus—dimakan hanya saat tak ada sayur atau lauk. Rumah kami boleh saja mewah, bertingkat dua, dan tak ada orang yang akan percaya bahwa kami ceritakan yang sebenarnya, maka kami diam, berbohong tentang Ibu ingin cari kesibukan dengan bekerja di pabrik.
Ibu kelihatan senang kembali bekerja di pabrik seperti saat ia masih bujang. Ia bertemu banyak teman dan selalu ada cerita yang ia bagikan kepada kami ketika pulang bekerja. Ia bilang, yang bernasib sepertinya banyak. Bahkan buruh pabrik perempuan yang usianya lebih tua selalu minum bodrex campur kopi supaya tak mengantuk saat bekerja. Mereka makan apa saja saat istirahat. Nasi dengan garam dan tahu dua biji pun jadi. Walaupun begitu, Ibu yang sudah tak muda lagi kerap jatuh sakit. Memang hanya demam dan pusing, tapi kami takut sakit yang macam itu tak membuatnya bangun lagi. Kami lebih baik kelaparan daripada kehilangan Ibu. Dan setiap kali melihatnya dikeroki oleh adikku karena sayang kalau uangnya dipakai ke dokter dan hanya minum obat warung, hanya menempelkan koyo di bagian yang terasa nyeri dan pegal, hanya pijat ketika badannya tidak terasa enak, aku secara sadar mengutuk Ayahku yang saat itu sudah tak mogok makan, tapi tetap mogok bicara. Ia makan dari hasil keringat dan pegal-pegal tubuh istrinya, dengan lahap, bahkan pernah saking laparnya ia makan dua piring, dan tidur dengan lelap, sampai ngorok dan ngiler di bantalnya, bangun pagi dengan segar dan ceria, jogging seperti biasa, dan berangkat ke toko sambil bersiul-siul riang. Aku memarahinya, tapi dalam hati. Kupupuk rasa benci yang kemudian naik level jadi dendam dan ujungnya adalah keinginan untuk membalasnya.
Suatu hari, sepulang dari kampus, tanpa sepengetahuan siapapun, aku ke kantor polisi. Duduk di kursi yang berhadapan dengan polisi yang akan mendengarkan keluhan dan mencatat laporanku. Kubilang padanya: Aku ingin melaporkan Suryo Atmojo, ayah kandungku atas tuduhan KDRT. Ia memukulku dan membentak Ibuku. Ia mengatai kami dengan sebutan anjing, setan, babi, keparat, dan bangsat. Dahinya mengernyit, kemudian menjawabku: Suryo Atmojo? Aku mengangguk. Ia bilang: bukankah ia pensiunan polisi? Aku mengangguk lagi. Tak salah lagi! Ia adalah abang letingku! Ia pernah bekerja di sini sebelum pensiun dulu! Kau pasti anaknya yang sulung! Tapi, Nak, kenapa kau melaporkan ayahmu sendiri? Ia adalah polisi yang teladan dan jujur. Ia tak neko-neko seperti kebanyakan temannya. Saat mengawasi kelab malam, ia tak minum-minum, tak karaokean dengan perempuan seksi, tak ke rumah pelacuran, ia tak bisa disogok dalam bentuk apapun, dan mengerjakan pekerjaannya dengan penuh dedikasi. Kau tahu kasus tabrak lari yang dilakukan tentara kepada seorang nenek pemulung dan cucunya yang sempat ramai itu? Ia yang memecahkan kasus itu dan menyeret si pelaku ke meja sidang! Walaupun kasusnya dimenangkan oleh si tentara, tapi ialah yang memugar kuburan si nenek dan cucunya, melapisinya dengan keramik supaya tak ambles dikikis air saat musim penghujan. Tak cuma itu prestasinya, masih banyak lagi. Kau tanya saja pada yang lainnya tentang ia, maka kau akan mendengar cerita yang sama, jadi, Nak, sungguh di luar dugaan kalau ia melakukan itu padamu, tapi, apa kau punya bukti tindakan KDRT-nya? Maka aku membuka tasku, menyerahkan sebuah buku harian bersampul biru dari kulit imitasi. Semua lembarnya sudah aku tulisi sampai habis.
Aku mencatat semua kekerasan yang ia lakukan di sini. Ia tak sekali melakukannya, tapi beberapa kali, dan kami tak sempat merekamnya karena terlalu gemetar dan ketakutan. Ia lalu jawab: Jadi, hanya ini? Sama sekali tak ada bukti rekaman CCTV, video, atau rekaman suara? Aku menggeleng. Kalau begitu, maaf sekali, Nak, kasusmu tak bisa kami proses karena kurangnya bukti, tapi kalau kau masih keukeuh, kami tetap bisa melakukannya asalkan ada uang pelicin. Berapa yang Bapak minta? Ia nyengir dan bilang: delapan juta dan kasus ini akan kami usut sampai tuntas. Dan dengan uang itu, Bapak bisa menjamin ia masuk penjara? Wah, kalau untuk menjebloskannya ke penjara, kau harus tambah uang pelicinnya. Mungkin kisaran belasan juta, atau puluhan juta kalau mau tuntas benar. Aku ingin sekali menampar si polisi plontos itu, atau minimal membuat tulang hidungnya patah, tapi aku yang rugi kalau melakukannya, jadi aku meninggalkan kantor polisi tanpa sepatah kata pun, dan tak ada yang menahanku dan memberiku jalan keluar tanpa sepeserpun uang. Aku terkekeh pahit, lupa bahwa di negara ini, apapun bisa kau beli. Keadilan, cinta, kebahagiaan, jabatan, dan hukum.
Saat tak ada manusia yang bisa menolongku, orang bijak bilang aku bisa berpasrah kepada Yang Maha Kuasa. Maka aku menjelma menjadi gadis yang rajin beribadah. Setiap pagi aku sembahyang, siang, dan sore pun begitu. Bahkan aku juga sembahyang tengah malam dan sepertiga malam. Menangis diam-diam. Menceritakan semuanya pada Yang Maha Kuasa, meminta dengan serius dan tidak sabaran agar Ayahku dihukum dengan segera. Di beranda rumah, aku menunggu karma datang. Setiap Ayahku pulang, aku selalu menyempatkan diri melihat ke arahnya—apakah ia pulang dengan babak belur dihantam karma, atau bahkan pulang hanya tinggal nama sebab karma telah membuatnya mati tertabrak truk di jalan. Aku mengamati bagaimana ia makan dan minum, apakah karma bekerja di sana, membuatnya tersedak sampai mati, ah ternyata tidak, atau barangkali belum. Tengah malam aku sempatkan mengintip dari pintu kamarnya yang terbuka, apakah karma sedang menindih dan mencekiknya sampai kesusahan napas dan meregang nyawa, tapi kulihat dadanya masih naik turun, ia masih napas, masih ngorok, ngiler, dan kentut seperti biasa.
Aku adalah penunggu yang setia. Bahkan ketika ia telah bicara lagi pada kami, menyuruh Ibu berhenti kerja di pabrik dan kembali menjadi kacungnya di toko, memberinya nafkah walaupun tetap pisah ranjang, mengajak aku dan adikku mengobrol, aku masih setia pada penantianku. Sebab selain karma, maafnya adalah satu hal yang kutunggu. Tahun-tahun berlalu. Aku dan adikku telah sama-sama bekerja. Ibu dan Ayah sama-sama menua, dan aku masih bersetia menunggu karma di beranda sekalipun aku telah berulang kali jatuh cinta pada beberapa lelaki. Lelaki terakhir yang aku cintai bertandang ke rumah, bermaksud melamarku pada suatu ketika, tapi sekonyong-konyong aku menolaknya, aku bilang tak siap menjadi istri dan ibu, tanpa bilang padanya bahwa aku masih menunggu karma datang ke rumah ini.
Bagaimana kalau nanti aku menikah dan tinggal bersama suamiku kemudian karma datang ke kamar Ayahku dan aku tak menyaksikannya secara langsung. Itu momen yang harus aku abadikan dengan mata kepala sendiri. Pada akhirnya, lelaki yang aku sukai menikah dengan perempuan lain dua tahun kemudian dan pindah ke kota yang baru. Aku patah hati dan murung, tapi hanya tiga minggu, sebab menanti karma datang adalah yang terpenting. Tahun-tahun berikutnya, adikku dilamar kekasihnya, dan tidak sepertiku yang mengecewakan orang tua karena menolak lamaran pertama yang diyakini adalah pantangan sebab tak akan ada yang melamarku setelahnya, adikku menikah. Setahun kemudian ia diberi anak perempuan, aku turut senang dan menimang bayi mungil itu di beranda sambil sesekali melihat ke arah Ayahku, apakah karma sudah datang menghadap ia, ah, ternyata belum. Adikku hamil lagi empat tahun kemudian, anak keduanya lelaki. Kami bersuka cita.
Sementara itu, Ibu dan Ayah berusaha mencarikanku jodoh, mengenalkanku pada beberapa lelaki, tapi begitu mereka melamarku, aku menolaknya dengan alasan yang masih sama: aku belum siap, tanpa bilang kalau ada lebih aku tunggu dibanding lamaran, pernikahan, malam pertama, bulan madu, dan punya anak, yaitu karma. Ibu dan Ayah semakin cemas karena aku tak kunjung menikah di usiaku yang genap 40 dan hanya giat bekerja menabungkan uang-uangnya dan membelanjakannya hanya untuk buku-buku serta baju-baju lucu buat keponakanku. Adikku melahirkan anaknya yang ketiga, seorang bayi lelaki, jaraknya terpaut lima tahun dari anak kedua. Kini kami benar-benar seperti keluarga besar. Dan karma masih belum terlihat di beranda.
Dan kini, aku ada di penghujung kehidupan. Aku mengalami kecelakaan mobil, mobilku disundul dari belakang ketika akan pulang setelah dinas dari luar kota, dan karena tak bisa mengendalikannya, aku menabrak pembatas jalan, dan dari arah belakang ada minibus yang menggencet mobilku. Tubuhku remuk, tapi aku masih sempat dilarikan ke rumah sakit. Masuk ICU dengan harapan hidup yang tipis. Pada tubuh renta dan wajah keriput Ayah dan Ibu, kulihat mereka tak henti-hentinya meneteskan air mata. Ayah menangis walau tak minta maaf atas perbuatannya dulu. Mungkin ia lupa, dan aku satu-satunya yang tidak. Aku ingin bertanya pada mereka, apakah karma sudah datang ke rumah kita dan menghukum Ayah, tapi kalimat itu tak keluar. Sialan benar. Aku terkekeh dalam diam. Seharusnya Ayah yang ada di posisiku sekarang dan aku ada di posisinya, berdiri menatapnya dengan kesedihan yang dibuat-buat. Adikku dan suaminya datang, anak-anak mereka dititipkan ke Ibu suaminya, dan ia menangis kemudian memelukku hati-hati. Tangisan mereka yang kencang membuatku merasa kalau luka di tubuhku telah sangat parah dan waktuku hanya sisa hitungan menit. Kini aku bisa menyaksikan sekelebat hitam di ambang pintu ICU. Sialan, kataku. Karma tak datang. Tak sudi, atau memang karena ia tak pernah ada. Bahkan di saat semuanya gelap dan tubuhku terasa ringan, karma tak hadir. Dan Ayah masih hidup dengan baik sedang aku mendahuluinya.