Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan mengguyur lebat malam itu. Petir sesekali menyambar langit, memecah keheningan di desa kecil bernama Cihiyang. Angin menerobos celah-celah jendela, membuat daun pintu tua rumah Pak Darsa berderit pelan. Di dalam, lelaki tua itu duduk di kursi rotan, ditemani secangkir kopi hitam dan lampu minyak yang temaram.
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam.
Biasanya pada jam segini, Pak Darsa sudah terlelap. Namun entah kenapa malam itu matanya enggan terpejam. Ada kegelisahan yang mengendap sejak senja. Perasaan tak nyaman yang tak bisa dijelaskan dengan logika.
Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu.
Tok… tok… tok…
Pak Darsa mengerutkan dahi. Siapa yang datang malam-malam begini, apalagi di tengah hujan deras? Ia bangkit perlahan, langkahnya tertatih karena rematik yang menyerang lutut. Dengan hati-hati, ia mendekati pintu.
“Siapa di luar?” tanyanya, suaranya serak.
Tak ada jawaban.
Hanya deru hujan dan gemuruh petir. Tapi ketukan itu kembali terdengar.
Tok… tok… tok…
Ia mengintip dari lubang kecil di pintu. Gelap. Tak terlihat apa-apa.
Dengan waspada, ia membuka pintu perlahan. Di ambang pintu berdiri seorang perempuan muda, tubuhnya basah kuyup, rambut panjangnya menempel di wajah pucatnya.
"Maaf, Pak... boleh saya berteduh sebentar?" suaranya pelan, hampir tenggelam oleh hujan.
Pak Darsa tertegun. Perempuan itu tampak asing, tapi ada sesuatu yang aneh... matanya. Pandangannya kosong, seperti menembus kegelapan malam.
“Masuklah,” ucap Pak Darsa akhirnya, meski hatinya masih diliputi curiga.
Perempuan itu melangkah masuk, meninggalkan jejak air di lantai kayu rumah tua itu. Ia duduk diam di sudut ruangan, tak berkata apa-apa. Hanya menatap api lampu minyak yang bergoyang ditiup angin.
Pak Darsa menyuguhkan selimut dan secangkir teh hangat. “Namamu siapa, Neng? Rumahmu di mana?”
Perempuan itu tak segera menjawab. Lama ia diam, lalu akhirnya berkata lirih, “Saya tersesat, Pak…”
Jawaban yang tak memuaskan, tapi Pak Darsa tak mendesak. Ia hanya mengangguk pelan, lalu kembali duduk di kursinya. Dalam hati, ia berjanji akan mengantar perempuan itu ke kantor desa besok pagi.
Namun malam itu, sesuatu yang tak biasa mulai terjadi.
Lampu minyak tiba-tiba redup, meski tangkinya masih penuh. Angin berhenti bertiup, membuat udara di dalam rumah terasa pengap. Pak Darsa mulai merasakan hawa dingin yang menusuk, lebih dingin dari sekadar hujan malam.
Dan ketika ia menoleh ke s
udut ruangan, perempuan itu sudah tak ada.
Pak Darsa terperanjat. Ia berdiri, matanya menyisir seluruh ruangan. "Neng? Di mana kamu?"
Tak ada suara. Tak ada jawaban. Hanya suara rintik hujan di atap dan gelegar petir yang menggetarkan dinding.
Ia melangkah ke kamar tamu, membuka pintunya perlahan. Kosong.
Lalu ke dapur. Tak ada siapa-siapa.
Perempuan itu hilang seolah lenyap begitu saja. Tapi jejak air yang tadi ada di lantai… juga telah mengering. Tak masuk akal, mengingat hujan masih turun di luar.
Pak Darsa mengusap wajah. Ia kembali ke ruang depan, duduk di kursinya, mencoba menenangkan diri. "Mungkin aku mengigau… terlalu tua…" gumamnya.
Namun sebelum sempat berpikir lebih jauh, suara ketukan kembali terdengar.
Tok… tok… tok…
Ia membeku. Perlahan menoleh ke arah pintu. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap lubang intip. Perempuan itu kembali berdiri di sana. Basah kuyup, sama seperti sebelumnya. Ekspresinya tetap kosong.
Pak Darsa tak membuka pintu kali ini. Ia berseru dari dalam, "Siapa kamu sebenarnya?"
Perempuan itu hanya menatapnya.
Dan tiba-tiba, tanpa membuka pintu, dia berada di dalam ruangan.
Seolah tak pernah berdiri di luar tadi.
Pak Darsa tersentak mundur hingga menjatuhkan kursinya. Perempuan itu berdiri di tengah ruangan, tubuhnya tak lagi meneteskan air. Rambutnya kini kering. Tapi matanya… matanya merah, seperti terbakar.
“Aku bukan tamu biasa, Pak Darsa,” bisiknya.
Pak Darsa tergagap. “Apa… apa maumu?”
“Aku ingin kau mendengar ceritaku.”
Ia tak bisa menolak. Tak bisa bergerak. Entah kenapa tubuhnya terasa lumpuh, sementara perempuan itu mulai berbicara.
Namaku Lestari. Dulu aku tinggal di desa ini. Tapi tak ada yang ingat. Wajahku telah terhapus dari sejarah, dari ingatan penduduk. Aku tinggal di pinggir hutan, di rumah kecil bersama ibuku yang sakit-sakitan.
Ayahku meninggal waktu aku kecil. Ibu mencuci pakaian penduduk untuk menghidupi kami. Aku sering membantu, meski usia masih belasan.
Sampai malam itu datang.
Malam yang sama seperti ini.
Hujan. Petir. Angin ribut.
Dan seseorang mengetuk pintu kami. Seorang lelaki asing. Mengaku kehabisan bensin dan butuh tempat berteduh. Ibu yang baik hati menerimanya masuk.
Kami menyuguhkan teh hangat. Tapi dia tak banyak bicara. Hanya tersenyum... senyum yang sekarang masih bisa kuingat — penuh kepalsuan.
Malam semakin larut. Ibu menyuruhku tidur. Tapi aku tak bisa. Ada firasat buruk.
Dan benar saja. Tengah malam, aku mendengar suara ribut dari ruang depan. Suara ibu menjerit, lalu suara tubuh dibanting. Aku mengintip dari celah pintu.
Lelaki itu… membunuh ibuku. Dengan pisau dapur.
Aku menahan napas, tubuhku menggigil. Tapi ia mendengarku. Ia menemukan aku. Ia menyeretku keluar, dan di situlah malam terakhirku sebagai manusia.
Ia membunuhku juga. Lalu membakar rumah kami untuk menghapus jejak.
Tak ada yang tahu.
Api dianggap kecelakaan. Kuburan ibu dan aku ditandai batu tak bernama. Tak ada yang mencari tahu. Tak ada yang peduli.
Sampai aku kembali. Sebagai roh. Menunggu seseorang yang mau mendengar. Seseorang yang pernah… membiarkan ini terjadi.
Pak Darsa menggigil.
“Kenapa… kenapa aku?” bisiknya.
Lestari menatapnya dalam-dalam.
“Karena kau melihat. Malam itu kau lewat depan rumahku. Kau dengar jeritan. Tapi kau menutup jendela dan pergi tidur.”
Pak Darsa menahan napas. Kenangan lama tiba-tiba muncul — samar, tapi nyata. Ia memang pernah lewat depan rumah yang kini sudah jadi semak belukar. Ia memang dengar suara teriakan, tapi ia mengira itu hanya suara dari radio atau anak kecil main-main.
Ia tak melapor. Tak menengok. Ia hanya pergi.
“Satu tindakan bisa menyelamatkanku,” ujar Lestari. “Tapi kau memilih tidak peduli.”
Pak Darsa menunduk, air matanya mulai jatuh.
“Apa… kau ingin membalas dendam?” tanyanya lirih.
Lestari tak menjawab. Ia hanya mendekat, perlahan. Tapi wajahnya tak lagi menyeramkan. Sorot matanya bukan amarah… melainkan luka yang belum sembuh.
“Aku hanya ingin dikenang,” bisiknya.
Pagi harinya, penduduk desa dikejutkan oleh suara lonceng darurat dari rumah Pak Darsa. Beberapa tetangga mendobrak masuk.
Mereka menemukan Pak Darsa tergeletak di lantai, masih bernapas tapi tak sadarkan diri. Di sampingnya, selembar kertas bertuliskan:
> “Namanya Lestari. Ia dibunuh. Rumahnya terbakar. Ia butuh keadilan.”
Tulisan itu mencengangkan. Beberapa warga mulai menggali informasi lama. Akhirnya, setelah penggalian dan investigasi ulang oleh aparat desa dan polisi, ditemukan tulang belulang dari bekas rumah tua di pinggir hutan.
DNA forensik membuktikan bahwa tulang itu milik dua perempuan: seorang dewasa dan seorang remaja.
Desa Cihiyang kembali berduka. Kali ini, untuk mereka yang dilupakan.
Sebuah tugu kecil dibangun di lokasi rumah Lestari, dengan batu nisan bertuliskan:
> “Lestari dan Ibunya — Korban Keheningan.”
Sejak saat itu, setiap malam hujan, warga menyalakan lilin di jendela, sebagai tanda bahwa mereka tak akan menutup mata lagi.
Pak Darsa, setelah siuman, hidup beberapa tahun lagi, namun tak pernah sepenuhnya pulih. Ia habiskan waktunya membersihkan makam Lestari, membawa bunga, dan berbicara pada angin.
Ia tahu, setiap malam, Lestari masih datang.
Tapi kali ini, bukan untuk menuntut.
Melainkan untuk didengar.