Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Tamu dirumah PEJABAT
2
Suka
59
Dibaca

Namaku Rika. Aku baru diterima kerja sebagai pembantu di rumah keluarga Pak Dirga, seorang anggota DPR terkenal.

Gajinya besar, syaratnya ringan: tinggal di tempat, menjaga kebersihan, tidak keluar rumah setelah jam sembilan malam.

Aku pikir, ah, aturan kecil begitu wajar — rumah pejabat pasti banyak rahasianya.

Rumah itu megah, tapi anehnya… sepi.

Terlalu sepi.

Hanya ada aku, Pak Dirga, dan seorang penjaga tua bernama Pak Tarman.

Istrinya katanya sudah lama meninggal, anaknya kuliah di luar negeri.

Namun sejak malam pertama, aku merasa seperti tidak sendirian.

Jam dua dini hari, aku terbangun karena mendengar bunyi ketukan pelan di dinding kamarku.

Tok… tok… tok…

Aku mengira tikus, tapi ritmenya terlalu teratur, seperti seseorang yang memberi kode.

Keesokan paginya aku bertanya pada Pak Tarman.

“Pak, rumah ini sering ada suara aneh, ya?”

Pak Tarman menatapku lama, wajahnya serius.

“Kalau dengar suara begitu, jangan jawab, Nduk. Diam saja. Kalau kamu jawab, dia bakal tahu kamu bisa dengar.”

Semakin lama, suara itu makin sering muncul.

Kadang di dinding, kadang di jendela, bahkan pernah dari dalam lemari piring.

Suara ketukan disertai bisikan kecil, seolah ada seseorang yang berbisik langsung di telingaku:

> “Tolong… bukakan pintu…”

Aku hampir gila menahannya.

Suatu malam, listrik rumah padam.

Aku menyalakan lilin dan berjalan ke dapur.

Di sana, aku melihat seorang perempuan berpakaian putih lusuh, rambut panjang menutupi wajahnya, berdiri membelakangiku.

Tangannya gemetar, dan di lantai kulihat tetesan darah mengalir ke arah kulkas.

Aku hampir menjerit, tapi perempuan itu berbisik:

> “Dia menyimpanku di sini…”

Tangannya menunjuk ke lemari pendingin besar.

Aku membuka kulkas itu dengan tangan bergetar.

Bukan makanan di dalamnya, melainkan bungkus plastik hitam — dan di dalamnya…

wajah manusia, pucat, dengan mata terbuka lebar seolah baru saja menatap maut.

Tiba-tiba dari belakang, suara berat menggema:

“Kenapa kamu buka itu, Rika?”

Pak Dirga berdiri di pintu dapur, setengah wajahnya gelap oleh bayangan, tapi di tangannya ada pisau dapur panjang.

“Aku cuma bersihin kulkas, Pak…”

“Sudah kubilang, jangan buka apa pun tanpa izin,” katanya tenang, menutup pintu dapur dari dalam.

Aku mundur pelan, tapi perempuan berbaju putih tadi menghilang, hanya menyisakan bekas darah di lantai.

Lalu aku sadar — dari semua foto keluarga yang tergantung di ruang tamu, tidak ada satu pun foto istrinya.

Malam itu adalah malam terakhirku.

Aku berlari keluar lewat jendela kamar dan tidak pernah kembali.

Besoknya, aku melapor ke polisi, tapi saat mereka datang ke rumah itu…

Rumahnya sudah kosong total.

Tidak ada tanda orang tinggal di sana — bahkan debu pun tidak.

Namun di tembok dapur, adaPejaban besar dari darah kering:

> “Tamu baru diterima setiap malam Jumat.”

Sampai sekarang, setiap kali aku lewat daerah itu, aku masih bisa melihat rumah besar dengan lampu gantung menyala samar.

Dan dari jendela lantai dua…

seseorang selalu melambai — memakai baju putih lusuh, menatapku dengan mata istrinya Pak Dirga.

Namaku Dimas Adyatma, wartawan muda dari majalah investigasi MataPublik.

Sudah seminggu aku menelusuri kasus pembunuhan misterius yang terjadi di rumah keluarga Pak Dirga, anggota DPR yang dulu dikenal bersih — sebelum tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

Polisi menutup berkasnya dengan alasan “kurang bukti”.

Tapi aku tahu, ada sesuatu yang mereka sembunyikan.

Ada laporan dari warga: suara perempuan menangis setiap malam Jumat dari rumah kosong di Jalan Dahlia No. 17.

Maka malam itu, aku pergi sendiri.

---

Rumahnya tampak biasa dari luar, tapi udara di sekitarnya dingin tidak wajar.

Aku menyalakan senter dan mulai merekam.

Pintu depan tidak terkunci.

Begitu aku masuk, bau amis logam langsung menusuk hidungku — seperti darah yang belum kering.

Dindingnya penuh goresan nama-nama:

“Rika”, “Santi”, “Lina”, “Tati”…

semua nama perempuan.

Di ujung lorong, kulihat sebuah meja makan masih tertata lengkap, seolah seseorang baru saja makan malam.

Tapi piring-piringnya kosong — kecuali satu yang berisi sepotong daging mentah, masih meneteskan darah segar.

---

Aku melangkah mundur pelan.

Lalu tiba-tiba, terdengar suara televisi menyala sendiri di ruang tamu.

Layar menampilkan berita lama — liputan tentang kasus hilangnya seorang pembantu bernama Rika, pekerja di rumah keluarga Pak Dirga.

Suara pembawa beritanya bergetar:

> “Pihak berwenang belum menemukan jasad korban…”

Dan lalu… wajah Rika muncul di layar, menatapku lurus — lalu tersenyum.

Televisinya langsung mati.

---

Aku lari ke arah dapur, berharap menemukan jalan keluar belakang.

Tapi di sana kulihat kulkas besar dengan pintu sedikit terbuka.

Dari dalam, terdengar detak jantung pelan, duk… duk… duk…

Keringat dingin membasahi tengkukku.

Aku buka perlahan.

Di dalamnya — bukan makanan, tapi potongan tubuh dibungkus rapi dengan label nama yang sama dengan di dinding tadi.

Dan di bagian atas, satu ruang kosong dengan label baru bertuliskan:

> “Dimas.”

---

Senterku padam.

Gelap total.

Lalu terdengar suara berat dari belakangku, pelan tapi jelas:

> “Akhirnya ada yang datang lagi…”

Aku menoleh — Pak Dirga berdiri di ambang pintu, wajahnya setengah busuk, matanya putih semua.

Tangannya membawa pisau besar berlumuran darah.

Tapi yang paling membuatku gemetar — di belakangnya berdiri Rika, pembantu yang hilang itu, dengan senyum yang sama seperti di TV.

> “Kami butuh wartawan baru di rumah ini,” katanya lembut.

“Yang bisa menulis cerita kami… dari dalam.”

Besok paginya, polisi menemukan mobilku parkir di depan rumah itu, mesinnya masih panas.

Tapi aku… tak pernah ditemukan.

Kini, setiap Jumat malam, redaksi MataPublik menerima email misterius dari alamat tak dikenal.

Isinya hanya satu file berita — dengan tanda tangan reporter:

> “Ditulis oleh Dimas Adyatma — dari Rumah Pejabat.”

Aku tak tahu sudah berapa lama aku di sini.

Setiap hari, jam berdetak mundur… tapi tidak pernah berhenti.

Rumah ini hidup — bernafas, berdenyut, seperti tubuh besar yang menelanku perlahan.

Aku masih punya buku catatan dan perekam suara.

Semuanya merekam hal yang sama: bisikan dari dinding.

> “Tulislah tentang kami, Dimas… tulislah sampai dunia tahu…”

Awalnya aku kira itu halusinasi.

Tapi kemudian aku sadar — tinta di penaku mulai menulis sendiri.

Menuliskan nama-nama pembantu yang hilang.

Menuliskan kalimat yang tak pernah aku pikirkan.

Dan setiap kali satu nama selesai ditulis… aku mendengar jeritan dari bawah lantai.

---

Suatu malam aku memutuskan menggali ruang bawah itu.

Di bawah ubin dapur, kutemukan sebuah pintu kayu kecil, ditutup dengan rantai berkarat.

Kuncinya?

Kutinggalkan di kamar Pak Dirga — atau mungkin dia yang meninggalkannya untukku.

Aku membukanya dengan tangan gemetar.

Di bawah sana, ruang itu seperti kuburan massal.

Penuh tulang belulang dan kain seragam pembantu yang masih ada namanya.

Dan di tengahnya… duduk seorang perempuan.

Rambut panjang, kulitnya kelabu, matanya kosong.

Dia menatapku sambil berbisik lirih:

> “Kami semua hanya ingin keluar, Mas Dimas… tapi setiap kali ada yang tahu rahasianya… kami harus menggantikannya.”

Aku mundur pelan.

Lalu kudengar langkah kaki lain — berat dan perlahan.

Pak Dirga muncul di belakangku.

Wajahnya setengah hancur, tapi matanya masih penuh kesadaran.

> “Aku tak mati, Nak. Aku cuma menjaga rumah ini. Kau tahu… setiap cerita butuh saksi. Dan sekarang kau saksi berikutnya.”

---

Aku mencoba berlari, tapi lantainya seolah menelan kakiku.

Dinding rumah menutup, seperti daging yang menutup luka.

Rika berdiri di depan pintu keluar, tersenyum dengan mata berlinang darah.

> “Tenang, Mas… sekarang kau bagian dari kami.”

Lalu semuanya hitam.

Mereka menemukanku tiga hari kemudian — atau tepatnya, sesuatu yang menyerupai aku.

Tubuhku kaku di meja makan, pena masih di tangan, mataku terbuka.

Di buku catatanku, ada kalimat terakhir yang ditulis dengan tinta merah:

> “Mereka tidak mati.

Mereka hanya menunggu orang berikutnya…

yang berani mengetuk pintu.”

Rumah di Jalan Dahlia kini dijual murah, tapi tak ada yang berani membelinya.

Malam Jumat, lampunya selalu menyala sendiri.

Dan dari jendela ruang tamu, terlihat seseorang menulis di buku catatan dengan tangan berdarah.

Jika kau lewat sana dan mendengar bisikan pelan memanggil namamu…

jangan jawab.

Karena begitu kau menjawab, rumah itu tahu bahwa kau bisa mendengar.

Dan rumah itu akan memanggilmu —

untuk jadi tamu berikutnya.

Laporan Kepolisian Daerah Jakarta Timur

Nomor Kasus: 17/DH/2024

Tanggal: 12 November 2024

Tempat Kejadian: Jalan Dahlia No. 17, rumah milik almarhum Dirga Wicaksana, mantan anggota DPR.

Isi Laporan Singkat:

Pada pukul 03.27 dini hari, tim patroli menemukan sumber cahaya dan aktivitas tidak wajar di rumah kosong milik keluarga Dirga.

Setelah dilakukan pengecekan, petugas menemukan:

Sebuah buku catatan lusuh di atas meja makan, berisi tulisan tangan reporter bernama Dimas Adyatma, wartawan MataPublik, yang dilaporkan hilang seminggu sebelumnya.

Tulisan terakhir di halaman buku berbunyi:

> “Aku bisa dengar mereka berjalan di atas plafon. Mereka tahu aku menulis. Aku bukan penulis lagi — aku naskahnya.”

Tidak ditemukan jasad Dimas di lokasi, namun sidik jarinya tercetak di seluruh dinding, seperti seseorang mencoba keluar tapi tidak pernah berhasil.

Di bawah dapur, terdapat ruang tersembunyi berisi 12 set pakaian dengan label nama yang sama dengan daftar korban hilang selama 10 tahun terakhir.

Catatan Tambahan:

Ketika ruangan itu disegel, salah satu petugas melaporkan mendengar suara perempuan berkata pelan:

> “Satu lagi sudah datang…”

Petugas tersebut kini dirawat di rumah sakit jiwa dan menolak berbicara sejak malam itu.

Potongan Berita dari MataPublik, edisi 20 November 2024

> RUMAH PEJABAT BERDARAH: WARTAWAN KAMI BELUM KEMBALI

Setelah hilangnya jurnalis muda kami, Dimas Adyatma, pihak redaksi menerima email terakhir dari alamatnya sendiri pada 11 November 2024, berjudul “Liputan Terakhir — kirim segera sebelum mereka datang.”

File yang dikirim berisi naskah cerita lengkap tentang pembunuhan dan roh-roh yang menghuni rumah milik keluarga DPR tersebut.

Anehnya, metadata dokumen menunjukkan waktu penulisan: 12 November 2024 pukul 03.27, waktu yang sama dengan laporan polisi diterima.

Tidak ada yang tahu siapa yang benar-benar menulisnya.

Namun setiap kali file itu dibuka…

komputer redaksi selalu menampilkan pesan yang sama di layar:

> “Terima kasih sudah membaca. Sekarang giliranmu mendengarkan.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Tamu dirumah PEJABAT
matthewjashton
Cerpen
Bronze
Nadia
Artmeza
Flash
Sebuah Lelucon?
Noer Eka
Cerpen
Bronze
Rahasia Batu Misterius
Mochammad Ikhsan Maulana
Flash
Sosok yang Lain
Jasma Ryadi
Cerpen
Jasa Ojek Hantu
Kingdenie
Cerpen
Bronze
Aku Saksi Semuanya
Christian Shonda Benyamin
Komik
NOCTURNAL
Alien Witchcraft
Flash
Bronze
Hujan
Lirin Kartini
Cerpen
Bronze
Teka Teki Pembunuh Misterius
Saputra
Cerpen
Bronze
Membunuh Benci
Aneidda
Novel
Bronze
Pendekar Sarang Demit
Raxl Sri
Skrip Film
Hotel Angker
Kelana Kaheswara
Cerpen
Bronze
Menuju Jalan Keluar
Nabilla Shafira
Cerpen
Bersembunyi Bersama
Oscar Zkye
Rekomendasi
Cerpen
Tamu dirumah PEJABAT
matthewjashton