Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Taman Kanak-Kanak
0
Suka
684
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Beberapa dari kita mungkin pernah dianggap lebih dewasa daripada teman-teman yang lain. Mungkin, hal tersebut hadir dari bagaimana kita berbicara dengan mereka, cara kita memecahkan persoalan, atau sekadar dari sikap berdiam diri layaknya orang suci yang sedang bertapa. Akan tetapi, orang-orang seperti kita juga tidak dapat memungkiri akan hadirnya sikap kekanak-kanakkan yang bisa saja muncul, kapanpun ia mau. Mungkin, kebanyakan dari mereka menganggap percakapan yang kita keluarkan bak firman Tuhan yang datang langsung tanpa perantara Jibril. Ada rasa kagum, sekaligus takut menyertai setiap perbincangan yang melibatkan kehadiran orang-orang seperti kita. Akan tetapi, tidak semua dari mereka mengetahui bahwa kita memiliki sikap kekanak-kanakkan, yang tentunya kita sembunyikan dari orang lain. Namun percayalah, hal-hal tersebut perlu dibiarkan hadir sejenak, dan kini Aku membiarkan kekanak-kanakkan tersebut kembali datang dalam bentuk seorang anak kecil nakal yang terpanggil melalui kesendirian.

“Brashhh, brashhh, brashhh…” ombak lautan menjilati kakiku yang kini telah terendam hingga sebatas betis. “Ahh, suara paling merdu di dunia. “ Suara tersebut datang dari ombak yang bertepi, serta angin laut yang terasa cukup kencang melewati daun telingaku. Namun, suara paling merdu itu kembali terabaikan karena hadirnya kebisingan yang datang dari rengekan anak kecil di dalam sikap kekanak-kanakkanku. "Biarlah, ia jarang keluar akhir-akhir ini," pikirku.

“Kak, kita mau ke mana? Aku lelah mengikuti kakak, Aku mau main!“

“Kak, kita sudah jauh. Nanti mama mencariku!“

Mendengarnya mulai mengoceh, Aku mencoba sedikit menyepelekannya melaluisatu tarikan napas panjang yang terasa agak berdecit karena terlalu banyak menghisap rokok.

“Diamlah, Aku ingin agar kau tidak berisik!“

"Kau boleh keluar sebentar, selagi tidak ada orang. Ku harap kau tidak menggangguku lewat ocehan-ocehanmu." Tambahku.

Namun, suara anak itu masih tetap berputar-putar di telingaku, “Main! Main! Main!“

Aku tidak mengghiraukannya.

Aku sedang berada di sebuah pulau terpencil, di ujung Jakarta, berteman lampu kepala yang ku sorot ke arah laut, serta kilauan bintang yang sedang berusaha tampak. Aku memang tidak datang sendirian, tetapi Aku memisahkan diri dari kawan-kawanku. “Barangkali mereka sedang asyik berswafoto, atau sekadar menangkap kepiting malang yang keluar ketika laut sedang surut. Ah, tidak perlu dipikirkan, lagipula Aku juga tidak benar-benar sendirian. Masih ada anak kecil cerewet yang menemani suara deburan ombak.“ Kini anak kecil tersebut berusaha bertanya.

“Kak, bagaimana hubungan kakak dengannya? Apakah masih begitu-begitu saja?“

“Halah, kamu itu anak kecil. Kamu tidak perlu tahu urusan orang dewasa.“

“Loh, kemarin kakak membicarakannya denganku, bukannya kakak yang memberitahuku akan datangnya kabar gembira. ‘Hei, hari ini Aku bertemu dengannya, sepertinya dia menyukaiku,’ .“

“Jangan kau ungkit-ungkit. Aku benci mengenangnya.“

Kepalaku menjadi pusing setelah mendengar kalimat yang mengingatkanku pada wanita sialan yang berani-beraninya hadir di sepertiga malam. Ternyata benar, satu tulang rusuk saja dapat berkuasa atas seluruh tubuh yang mencarinya. Padahal, tulang tersebut belum tentu benar-benar cocok. Lantas, Aku mencoba mempertanyakannya kepada Tuhan malam.

“Mengapa harus kau adakan pertemuanku dengannya?“

“Hei, jawab! Wahai pencipta lidah yang tak pernah kuketahui bentuknya.“ Tambahku membentak.

Bodoh, bagaimana bisa orang sepertiku berbicara dengannya. Manusia semulia Musa saja pingsan saat akan melakukan meet & greet di belakang Gunung Sinai.

“Mungkin Tuhan sudah terlalu dewasa. Ia tidak akan berbicara untuk hal-hal sepele seperti jatuh cinta.“

Namun, bagiku jatuh cinta benar-benar bukan hal yang dapat diabaikan. Ia berkuasa atas segala sesuatu yang ku bawa selama mengunjungi taman kanak-kanak.

Tiba-tiba saja, tubuhku berangkat menuju tenda untuk mengambil secarik kertas dan sebuah bolpoin. Ternyata anak kecil nakal itu yang mengendalikan tubuhku, “Aku ingin menulis puisi!" Anak itu meminta. Entah mengapa, menulis puisi tentang kezaliman seorang wanita benar-benar membuat ruang di tubuhku menjadi semakin luas, katanya. Kini ia mulai menulis mantra-mantra itu.

Aku tersingkir

Tersingkir kesendirian dalam kegelapan

Aku terjebak

Terjebak dalam perasaan yang tak berkesudahan

Aku tertikam

Tertikan kesetiaan yang ku genggam sendiri

 

Apakah Aku akan terus menjadi tiada?

Untukmu yang selalu terpatri dalam luka-luka

 

Aku tidak pernah tahu,

Tapi Aku tidak ingin berhenti

 

Biarkan Aku menjadi mati

Dalam kesengajaan milikku sendiri

 

“Hore! Puisi yang bagus!“ Ia berteriak.

Dia memang agak aneh, pikirku. Bisa-bisanya dia tertawa atas mantra gaib yang ia buat dengan tumbal hatiku sendiri. Tiba-tiba, suara petik gitar berbunyi dari paha kananku. Rupanya, bunyi itu datang dari dering telepon, Aku mencoba mengangkatnya.

“Tirta, Ayo kembali ke tenda, kita harus segera masak.“ Kata temanku.

“Iya, sebentar lagi Aku ke sana.“

Ah, padahal Aku masih ingin berada di sini, me-lobby hatiku yang berani-beraninya jatuh cinta di saat seperti ini. “Namun harus bagaimana lagi, Aku tidak ingin terlambat makan malam. Aku harus segera bergegas.“ Kini ku berangkatkan tubuh beserta anak kecil nakal ke pertendaan kami.

Aku mengira jika anak kecil di tubuhku benar-benar sudah masuk ketika kami sampai di pertendaan, ternyata belum. Rupa-rupanya ia terperangah dengan lampu-lampu kapal yang terlihat dari kejauhan, dahinya mengeryit.

“Kak, lihat ada kapal yang datang ke sini. Ia pasti membawa wanita kesukaan kakak!“

“Hush, bicara apa sih! Menghayal saja!“ Jawabku.

By the way, kakak itu sebenarnya menyukai atau membencinya sih?“

“Entahlah, kakak juga bingung. Terkadang ia datang dengan kerinduan, terkadang ia juga datang dengan kepiluan.“

“Kasihan betul nasib kakak.“ Sahutnya.

Aku tidak menghiraukan perkataannya. Biarlah ia keluar sejenak. “Setelah ini kau akan kembali terkurung, dan sikap bijak itu akan kembali hadir,“ gumamku mendendam.

Kini, Aku telah kembali berada di dalam kelompok kami. Layaknya forum-forum yang dibuat dadakan, kami mencoba untuk membangun pembicaraan. Tentunya, Aku juga mengabaikan anak kecil itu.

“Di sana bagaimana? Menyeramkan?“

“Tidak, mataharinya tenggelam tepat didepanku.“

“Bagaimana dengan kalian? Apa yang tadi kalian lakukan di sisi sana?“ Tanyaku berbalik.

“Tidak ada yang kami lakukan. Kami hanya berswafoto sebentar, lalu kembali menikmati matahari tenggelam.“

Pikirku, “bahagia sekali mereka, anak kecil di dalam tubuh mereka sudah dewasa, sudah mampu mencari uang sendiri. Lebih-lebih, lingkungan yang kini mereka lihat bukan lagi taman kanak-kanak, melainkan perpustakaan kampus, atau sekat-sekat di meja kantor.“

Mereka kembali menikmati malam panjang di pulau kosong tersebut. Sementara Aku sibuk menerka-nerka bagaimana caranya menangkap anak kecil nakal itu. “Besok sudah hari Senin, Aku harus kembali bekerja. Bagaimana pun caranya, anak kecil itu harus segera ditangkap. Jangan sampai ia menganggu aktivitasku.“

“Aku tidak mau masuk, kecuali jika kakak mau melupakannya!“

“Siapa?“ Tanyaku.

“Wanita cantik yang kerap kakak banggakan di depan teman-teman.“

“Memangnya kenapa?“

“Semenjak kakak mengenalnya, kakak mengabaikanku.“

“Loh, bukannya setiap kali bertemu, kamu selalu memeluknya?“

“Iya, tapi bukan Aku yang mau. Hati kakaklah yang menyuruhku!“

Aku hanya bisa terdiam. Biar bagaimana pun, Aku tidak memiliki kuasa untuk memberhentikan sikap kesewenang-wenangan hatiku sendiri.

“Aku juga tidak ingin! Dia tidak hanya menyuruhmu, tetapi juga menyuruhku untuk memilikinya!“ Bentakku.

"Mau bagaimana lagi? Aku tidak mampu berkuasa. Benda tersebut adalah satu-satunya gawai milik Tuhan yang masih tertinggal di tubuhku. Sejauh apapun Aku berusaha, Tuhan selalu memperingatkanku lewat benda itu."

Kini Aku menangis.

           Melihat Aku menangis, anak kecil itu berusaha menenangkanku.

“Sebenarnya anak kecil itu Aku atau kakak sih! Sudah dong, jangan menangisinya terus!“

“Aku juga tidak ingin menangis. Rasanya mataku seperti ingin keluar, tetapi dia selalu saja….“

Pembicaraanku kembali terputus karena isak tangis yang berubah meraung-raung sambil membaca mantra-mantra gaib.

“Ya sudah kak. Aku masuk ya, tapi besok-besok kakak tidak boleh menemuinya, atau Aku akan mencari taman kanak-kanak lain!“ Ancamnya.

“Iya, Aku janji.“ Kataku meyakinkannya.

Kini anak kecil itu telah kembali masuk ke dalam tubuhku. Namun, kalian sudah bisa menebaknya. Pada kemudiannya, Aku kembali menemui wanita tersebut. Sebab, Tuhan kembali mengirimkan pesan ke hatiku untuk segera menemuinya.

“Kakak tidak bisa menepati janji. Lagipula, taman kanak-kanak milik kakak tidak cocok untukku! Lebih baik Aku pergi!“

"Ini pesan dari Tuhan, Aku harus melakukannya!"

Anak kecil tersebut terdiam sejenak.

"Kali ini Aku lebih memilih pergi. Setelah ini sudah tidak ada lagi anak-anak sepertiku di tubuh kakak. Sebaiknya, kakak merenovasi taman kanak-kanak tersebut menjadi panti jompo saja." Katanya seraya menghilang dari hadapanku.

"Aku bisa saja merenovasinya menjadi panti jompo. Asalkan wanita sialan itu tidak hadir di sepertiga malamku. Namun Aku pun tidak punya kuasa. Tuhan, melalui hatiku selalu saja mengingatkanku untuk mencintai si brengsek itu," gumamku.

Kini, semenjak kepergian anak kecil nakal itu, Aku masih melihat taman kanak-kanak, walau tanpa hadirnya anak-anak di dalamnya. Keadaan tersebut telah memaksaku untuk bersikap "sok" tua dan pendiam, kendatipun ada wanita lain yang mencoba mendaftarkan anak-anak mereka untuk bermain di taman kanak-kanakku.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Taman Kanak-Kanak
Achmad Afifuddin
Cerpen
Seorang Asing
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
Ibu Jangan Mati
Siti Soleha
Cerpen
Gubuk Kecil di Kota Kuning
Rafael Yanuar
Cerpen
Entitas
Oscar Zkye
Cerpen
04 Dia Tabib
Bima Kagumi
Cerpen
Bronze
Berjuta-juta Jalan Menuju Kematian
Bonari Nabonenar
Cerpen
Hari Kepulangan
Rinona
Cerpen
Harapan
Cassandra Reina
Cerpen
JANGKA JAZ
Kiki Isbianto
Cerpen
Bronze
KE MANA SI MBAK?
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Submerge
Faisal Susandi
Cerpen
Sebentar
eSHa
Cerpen
Tentang Teman dan Waktu
Aura R
Cerpen
Buruk Cermin Muka Dibelah
hyu
Rekomendasi
Cerpen
Taman Kanak-Kanak
Achmad Afifuddin
Novel
Bronze
Jangan Lekas Pulih, Ingatan-Ingatan Itu
Achmad Afifuddin
Novel
Jalan Pulang Lain
Achmad Afifuddin
Novel
Romansa Dunia Berikutnya
Achmad Afifuddin