Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ada luka-luka yang tak pernah berdarah.
Luka yang tak terlihat, tak terdengar, tapi perlahan memakan kita dari dalam.
Luka itu bernama kesepian.
Dan kadang, pedihnya melampaui kehilangan apa pun yang pernah kita genggam.
Namun barangkali, dari luka yang tak pernah terobati itu, justru sesuatu yang indah tumbuh diam-diam. Seperti bunga liar yang menyembul dari celah beton yang retak, kehidupan menemukan jalannya, bahkan di tempat yang paling tak diharapkan.
Aira berjalan menyusuri koridor sekolahnya seperti bayangan.
Tak ada yang menyapanya. Tak ada yang menoleh.
Orang-orang melewatinya seolah ia hanyalah debu yang terbang di udara, hadir di ruang yang sama, tapi tak pernah dianggap keberadaannya.
“Permisi…” suaranya pelan saat mencoba lewat di antara dua teman sekelasnya yang sedang tertawa.
Tak ada jawaban. Mereka bahkan tak berpaling.
Sudah bertahun-tahun seperti itu.
Sejak pindah ke kota Malang dua tahun lalu, dunia Aira terasa seperti ruang kosong yang hanya berisi dirinya sendiri.
Ia bukan tak ingin punya teman, justru ia mengetuk berkali-kali: dengan senyum, dengan sapa, dengan hadir. Namun kata-katanya selalu saja seakan terjerat di udara, tak pernah menemukan telinga untuk berlabuh. Bagai sinyal radio yang lenyap ditelan derasnya hujan.
Di rumah pun sama.
Ayahnya sibuk bekerja di luar kota, ibunya terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Kadang Aira berpikir, kalaupun ia menghilang tiba-tiba, mungkin butuh waktu lama sampai ada yang menyadarinya.
Akhirnya, ia memilih untuk diam.
Bukan karena ingin, tapi karena dunia membuatnya percaya bahwa suaranya tak layak terdengar.
Hari itu, setelah pelajaran terakhir selesai, Aira tidak langsung pulang.
Entah kenapa langkahnya membawanya menaiki tangga belakang sekolah, tangga yang jarang dilalui siapa pun. Pintu besi tua di ujung tangga itu berderit saat ia dorong.
Dan di baliknya… sebuah dunia terkuak.
Atap sekolah terbentang luas.
Angin sore menyapu rambutnya, langit Malang merona jingga di ufuk barat. Di sini, tak ada tawa yang menertawakannya. Tak ada mata yang mengabaikannya. Hanya sunyi… dan dirinya sendiri.
Aira duduk di lantai beton, sementara langit di atasnya melukis pergantian senja. Dan di antara gradasi cahaya itu, dadanya menemukan ruang kosong, tempat napas bisa beristirahat.
Esoknya, ia kembali.
Lalu esoknya lagi. Dan lagi.
Tempat itu menjadi pelariannya. Tempat di mana ia bisa menangis tanpa ditanya, tertawa tanpa ditatap aneh.
Sampai suatu hari, tanpa sadar, ia membawa sesuatu: sebuah pot kecil berisi bibit bunga yang ia beli di pinggir jalan. Ia menaruhnya di pojok atap, menyiramnya dengan air botol minumnya.
“Aku ingin kamu tumbuh di sini,” gumamnya pelan pada bibit itu. “Supaya aku tidak sendirian.”
Bibit itu pun bertunas.
Esoknya, ia membawa pot lain.
Lalu satu lagi.
Dan satu lagi.
Dalam diam, perlahan-lahan, atap sekolah itu berubah menjadi taman kecil. Bunga matahari, mawar, lavender, tumbuh berdampingan di antara genting dan beton. Di sanalah Aira duduk setiap sore, berbicara pada tanaman-tanamannya seolah mereka mengerti.
“Mungkin… begini rasanya punya teman,” bisiknya saat senja menyentuh langit.
Suatu sore yang berangin, langkah kaki lain terdengar di tangga.
Aira terkejut, karena tak pernah ada orang lain yang datang ke sini selain dia.
Pintu berderit terbuka. Seorang anak laki-laki muncul, memegangi tasnya dengan satu tangan. Ia terlihat sama terkejutnya ketika melihat Aira duduk di tengah taman kecil itu.
“Oh… maaf, aku gak tahu ada orang di sini,” ucapnya terburu-buru, hendak berbalik.
“Tunggu…” Aira bersuara, begitu pelan hingga hampir tak terdengar. “Kamu… mau di sini juga?”
Anak itu menoleh, matanya ragu. “Boleh?”
Aira mengangguk pelan.
Dan begitu saja, mereka pun duduk berdampingan dalam jarak, disatukan oleh sunyi, membiarkan keheningan menjadi bahasa pertama mereka.
Setelah beberapa menit, anak itu berkata, “Tempat ini… agak aneh, ya. Tapi entah kenapa rasa tenangnya sulit dijelaskan.”
“Itu sebabnya aku ke sini,” jawab Aira pelan. “Dunia terlalu bising.”
“Aku nggak nyangka ada taman di atas sekolah. Jadi kamu yang ngerawat semua ini?” tanya anak itu sambil menggaruk tengkuknya.
Aira menatap bunga matahari di depannya. “Iya.”
“Sendiri?”
“Sendiri.”
Anak itu terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Keren. Rasanya… tenang banget di sini.”
Setelah itu, mereka kembali diam.
Namanya Raka.
Murid dari kelas sebelah, yang seperti Aira, ia juga tak punya banyak teman. Ayah-ibunya baru berpisah, dan rumahnya hanya penuh dengan pertengkaran.
“Aku cuma… butuh tempat buat sendiri sebentar, tempat yang gak menimbulkan luka” ucapnya sambil memandang bunga-bunga yang bergoyang pelan.
Aira menatapnya lama. Untuk pertama kalinya, ia mendengar seseorang mengucapkan kata-kata yang sangat mirip dengan yang selalu ia rasakan.
Beberapa menit kemudian, Raka berdiri. “Terima kasih ya. Aku… bakal balik lagi kalau boleh.”
Aira tidak menjawab, tapi Raka menganggap diamnya Aira itu sebagai izin.
Sejak hari itu, Raka sering datang.
Kadang ia hanya duduk diam dan membaca buku. Kadang ia membawa roti dan membaginya dengan Aira, meski Aira jarang menyentuhnya. Dan kadang, mereka hanya duduk berdampingan tanpa satu kata pun, membiarkan angin sore berbicara untuk mereka.
Mereka memang jarang bertukar kata, tapi hening mereka terasa penuh arti.
“Lucu ya,” kata Raka di suatu sore. “Dulu aku yakin cuma aku yang merasa benar-benar sendirian.”
Aira melirik, senyumnya tipis namun hangat. “Mungkin… kesepian itu ada di kita semua. Kita hanya pandai menyamarkannya.”
Hari demi hari berlalu. Entah bagaimana, kabar tentang taman di atap itu menyebar diam-diam.
Dari tempat pelarian yang hanya dimiliki Aira seorang, kini ia menjadi ruang sunyi yang menyambut jiwa-jiwa lain yang terluka.
Nadya, gadis ceria dari kelas sebelah yang selalu tertawa keras, datang ke sana suatu sore dan menangis karena diam-diam menyimpan luka dari tekanan keluarganya yang perfeksionis.
“Aku benci nilai sempurna,” ujarnya sambil memeluk lutut di antara bunga lavender. “Soalnya mereka nggak pernah lihat aku… yang mereka lihat cuma angkanya.”
Bayu, murid yang sering dianggap pembuat onar, ternyata tiap hari tetap datang ke sekolah meski malamnya harus kerja paruh waktu.
“Orang-orang kira aku malas,” katanya. “Padahal aku cuma capek.”
Heru, kapten tim basket yang tampak kuat, datang dan menulis surat untuk ayahnya yang pergi sejak ia kecil.
Bahkan Pak Andi, guru matematika yang terkenal galak, suatu hari muncul dan duduk diam selama setengah jam, hanya memandangi bunga matahari tanpa berkata sepatah kata pun.
Mereka semua datang dengan alasan berbeda.
Tapi di taman itu, tak ada yang perlu berpura-pura. Tak ada topeng yang harus dipakai.
Aira tidak pernah mengusir siapa pun. Ia membiarkan siapa saja datang. Karena ia tahu, luka punya banyak wajah. Dan taman itu, entah bagaimana, selalu punya ruang untuk mereka semua.
“Rasanya… tempat ini kayak rumah yang sesungguhnya,” ucap Nadya di suatu sore.
Aira hanya tersenyum. Ia tak menyangka taman kecil yang dulu ia bangun untuk melarikan diri, kini menjadi tempat orang-orang menemukan diri mereka sendiri.
Namun semakin banyak yang datang, semakin sering Aira bertanya-tanya:
Apakah tempat ini masih miliknya?
Apakah taman ini masih menjadi ruang aman seperti dulu?
Hari itu, Raka datang terlambat. Wajahnya tampak murung.
“Ada apa?” tanya Aira.
Raka terdiam lama. “Aku mungkin bakal pindah sekolah.”
Aira berhenti sesaat. “Kenapa?”
“Orang tuaku mau pindah kota,” jawab Raka pelan. “Jadi… aku nggak punya banyak pilihan.”
Kata-kata itu menggantung berat di udara.
Tiba-tiba, taman itu terasa sunyi kembali, seperti dulu sebelum siapa pun datang.
“Kalau aku pergi… taman ini tetap ada, kan?” kata Raka hati-hati.
Aira berusaha menjawab, tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya ia hanya menunduk dalam diam.
Keesokan sorenya, Aira kembali ke atap sendirian.
Ia duduk di tengah taman yang dulu memberinya kehidupan, tapi kini terasa seperti tempat yang akan kehilangan segalanya.
“Kenapa semuanya selalu pergi…” bisiknya.
Dan untuk pertama kalinya sejak taman itu lahir, Aira berpikir untuk tidak datang lagi.
Beberapa hari kemudian, langit Malang diguyur hujan deras.
Atap sekolah kosong. Tak ada tawa, tak ada suara. Hanya Aira, duduk sendirian memandangi tanaman-tanaman yang basah kuyup. Ia merasakan sesuatu di dalam dirinya retak. Seluruh alasan ia membangun taman ini kembali menghantuinya: kesepian, rasa tak dianggap, ketakutan ditinggalkan.
“Mungkin… semuanya bakal hilang juga,” gumamnya. “Bahkan taman ini.”
“Tapi kamu nggak sendirian.”
Suara itu datang dari belakang. Nadya berdiri di sana, basah kuyup, payung kecil di tangannya lebih mirip pajangan daripada pelindung.
Satu per satu, wajah yang pernah datang ke taman itu muncul.
Bayu dengan termos teh hangat.
Anak-anak lain yang dulu pernah duduk diam di antara bunga-bunga.
Mereka berdiri di tengah hujan, mengelilingi Aira.
“Kamu yang bikin kami tahu tempat ini ada,” kata Nadya.
“Jadi jangan sampai kepikiran kayak gitu lagi, oke?”
Dan untuk pertama kalinya, Aira menangis bukan karena kesepian… tapi karena ia menyadari sesuatu, bahwa ia tidak sendirian lagi.
Hari terakhir semester pun datang.
Raka berdiri di tengah taman, memandangi bunga matahari yang dulu mereka tanam bersama.
“Aku tetap harus pergi,” katanya pelan. “Tapi… aku akan kembali suatu hari nanti.”
Aira mengangguk. “Taman ini bakal nungguin kamu.”
Sebelum pergi, Raka mengulurkan sebuah amplop kecil.
“Buka nanti aja, pas aku udah pergi,” katanya sambil tersenyum.
Hari berganti. Raka pergi. Dan taman itu tetap berdiri.
Anak-anak lain tetap datang, bahkan membawa teman-teman baru. Bunga-bunga baru ditanam. Catatan-catatan kecil mulai muncul di pot bunga. Berisi pesan sederhana tentang rasa sakit, harapan, dan mimpi yang mereka titipkan di sana.
Dan suatu sore, ketika matahari tenggelam, Aira membuka amplop itu.
Isinya hanyalah selembar kertas bertuliskan tulisan tangan Raka:
“Kamu mungkin mengira taman ini cuma tempat pelarian, Aira.
Tapi sebenarnya, ini rumah.
Rumah yang kamu bangun bukan dari tanah atau bunga… melainkan dari luka yang kamu terima, yang kamu peluk, dan akhirnya kamu ubah jadi kehidupan.
Luka itu tak pernah memenjarakanmu. Justru dari situlah sesuatu tumbuh. Dan sekarang, bahkan ketika aku pergi, rumah itu akan terus hidup. Karena kamu pernah cukup berani untuk menyembuhkannya.”
Aira tersenyum sambil menahan air mata.
Angin sore bertiup pelan, menggetarkan kelopak bunga matahari yang menghadap langit. Ia menatap taman yang dulu ia bangun untuk melarikan diri dari dunia. Sekarang, taman itu bukan lagi tempat untuk bersembunyi. Ia telah menjadi ruang di mana dunia akhirnya menemukan dirinya.
Beberapa tahun kemudian, sekolah itu membangun taman resmi di atap.
Namanya Taman Pelukan Luka. Dinamai oleh murid-murid yang dulu menemukan ketenangan di sana.
Tak banyak yang tahu bahwa taman itu bermula dari tangan seorang gadis penyendiri bernama Aira. Dan mungkin memang tidak perlu. Karena pelajaran terbesar dari taman itu adalah:
Luka tidak selalu berarti akhir. Ia bisa menjadi tanah tempat sesuatu yang indah tumbuh.
Karena keindahan hidup bukanlah hidup tanpa luka.
Keindahan hidup adalah saat kita menyadari… bunga terindah selalu tumbuh dari tanah yang pernah retak, tawa yang lahir dari air mata, dan pertemuan yang berawal dari kesepian. Semuanya menunjukkan satu hal yang sama. Kita tidak rusak karena pernah terluka. Kita tumbuh karena luka itu pernah ada.