Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di desa kecil di pinggir Jawa Barat, Talang Sawah bukan lagi tempat ngaji seperti dulu, melainkan warung makan kekinian yang ramai dikunjungi anak muda. Lampu-lampu gantung menerangi meja kayu di tepi sawah, aroma sate bakar bercampur dengan suara air dari kolam kecil penuh ikan yang berenang mendekati pelanggan, seolah menyapa dengan ketenangan. Konon, aura damai itu tersisa dari masa lalu, saat Talang Sawah adalah tempat anak-anak belajar Al-Qur’an. Kini, warung itu jadi saksi tawa, musik, dan cerita baru—termasuk cerita antara aku dan Cahaya.
Cahaya, mantan paskibraka berperawakan tinggi dengan mata besar yang tajam, adalah cahaya malam bagiku. Dia cerdas, sedikit sinis, tapi punya hati hangat yang membuat anak-anak ngaji yang dia ajar selalu tersenyum lebar saat menyapanya. Aku, cowok usil yang baru pulang dari kota setelah merantau, selalu punya cara untuk membuatnya kesal, seperti dulu saat kami kecil, bermain di talang sawah dekat rumah. “Cah, masih ingat lagu Mangu? Yang tentang cinta beda arah kiblat?” tanyaku malam itu di warung, sengaja memancing.
Cahaya mendengus, matanya menyipit. “Kamu ini kenapa tiba-tiba nongol? Kayak jelangkung, datang tak diundang.”
“Aku datang karena rindu ngusilin kamu, Cah. Lagu Mangu itu aku ubah, lho. Bukan perpisahan lagi, tapi ‘kau di sampingku, cinta kita mudah dicerna, selalu sama cara berdoa’,” candaku, lalu pura-pura sibuk menusuk sate.
Cahaya menggeleng, tapi sudut bibirnya naik. Senyuman kecil itu selalu menerangi malamku, meski aku tahu ada tembok yang dia bangun—keyakinan bahwa kami sulit bersama, meski kiblat kami sama.
---
Aku makin sering muncul di Talang Sawah, membantu Cahaya membawa Al-Qur’an untuk anak-anak ngaji atau duduk di warung, melempar candaan. “Cah, foto kamu di dinding warung boleh aku pajang di ruang tamu gak?” tanyaku, menunjuk foto candid Cahaya yang diambil pemilik warung.
“Jangan, nanti ada yang marah,” jawabnya cepat, nada sinisnya tak sepenuhnya serius.
"Siapa yang marah? Mamahmu kan bilang aku ganteng,” balasku, mengedipkan mata.
Cahaya tertawa kecil, tapi matanya tiba-tiba gelap. “Bukannya kamu dekat sama anak pak ustadz? Katanya sholehah, cocok buat kamu.”
Aku tersedak sate. “Hah? Anak pak ustadz? Itu cuma candaan temen-temen! Kamu percaya gosip begitu?”
Cahaya mengangkat bahu, tapi aku tahu dia cemburu. Di balik cemburunya, ada keraguan yang tak dia ucapkan. Aku khawatir, menebak-nebak apa yang membuatnya menjaga jarak. Apakah karena aku pernah pergi merantau tanpa pamit? Atau luka lain yang tak pernah dia ceritakan?
Suatu malam, saat ikan-ikan di kolam Talang Sawah berenang tenang, aku mencoba mencairkan suasana. “Cah, kalau kita ditakdirkan bersama dan punya anak, nanti anaknya ngaji di mana, ya?” tanyaku, sengaja usil.
Cahaya menoleh, alisnya terangkat. “Mekkah,” jawabnya enteng, tapi matanya penuh canda.
Aku tertawa. “Mekkah? Jauh amat! Tapi aku tahu, kamu pasti mampu ngajarin anak kita kelak. Guru ngaji terbaik, kan?”
Cahaya hanya tersenyum tipis, tapi aku melihat kilau kecil di matanya. Candaan itu entah kenapa terasa seperti janji.
---
Keresahanku memuncak saat aku mendengar dari Kelvin, temenku, bahwa ada cowok baru, Dani, anak kota yang kaya, mulai mendekati Cahaya. Dani sering datang ke Talang Sawah, duduk dekat kolam ikan, dan “ngobrol” dengan Cahaya, seolah dia punya hak atas senyumannya. Aku tak suka caranya memandang Cahaya, seperti trofi yang bisa dimenangkan.
Malam itu, hujan turun deras di Talang Sawah. Aku sengaja datang, meski tahu Cahaya sedang mengajar ngaji di ruang belakang warung, tempat dulu kami belajar ayat-ayat suci. Saat anak-anak pulang, aku melihat Dani di meja Cahaya, menawarkan jaket mahalnya untuk melindunginya dari hujan. Dadaku panas.
“Cah, aku anterin pulang, yuk,” kataku, menyela tanpa basa-basi.
Cahaya menoleh, alisnya terangkat. “Aku bisa pulang sendiri. Lagian, Dani udah nawarin.”
Dani tersenyum, tapi aku tak peduli. “Dani mungkin punya mobil bagus, tapi aku tahu jalan pintas ke rumahmu yang gak banjir. Ayo, Cah.”
Cahaya mendesah, tapi akhirnya mengangguk. Dani tampak kesal, tapi aku tak mempedulikannya. Di bawah payung pinjaman dari warung, kami berjalan menyusuri sawah yang basah. Ikan-ikan di kolam Talang Sawah seolah mengintip, memberikan ketenangan di tengah hujan. Tapi hatiku tak tenang.
“Kenapa kamu tiba-tiba protektif?” tanya Cahaya, nada sinisnya kembali. “Takut aku direbut Dani?”
Aku berhenti di tengah jalan, payung hampir jatuh. “Iya, takut,” jawabku, tanpa candaan. “Aku takut kehilangan kamu, Cah. Aku tahu aku usil, suka bercanda, tapi soal kamu, aku serius.”
Cahaya memandangku, matanya besar dan penuh keraguan. “Serius? Kamu bilang gitu, tapi aku gak yakin kita bisa bersama. Kita… beda arah, meski kiblat kita sama.”
Kata-katanya seperti petir. “Beda arah? Cah, apa maksudmu? Aku gak paham kenapa kamu selalu bilang gitu!” Aku merasa khawatir, menebak-nebak apa yang dia sembunyikan.
Cahaya menunduk, air hujan membasahi wajahnya. “Aku gak bisa ceritain sekarang. Aku cuma… takut kecewa lagi.”
Aku meraih tangannya, dingin dan basah. “Cah, aku tahu aku dulu bodoh, pergi ke kota tanpa pamit. Aku pikir merantau bakal bikin hidupku lebih baik. Tapi tiap malam, aku cuma ingat kamu. Talang Sawah ini, candaan kita, senyummu.”
Cahaya menggeleng, air mata bercampur hujan. “Aku gak mau jadi pelarianmu, Aku. Aku gak mau kamu balik cuma karena gagal di kota.”
Aku menarik napas dalam, tahu ini momen penting. “Kamu bukan pelarian. Kamu cahayaku, Cah. Aku balik ke desa karena aku mau mulai dari awal—bersama kamu. Aku ubah lagu Mangu itu, ingat? Bukan tentang perpisahan lagi, tapi tentang kau di sampingku. Cinta kita mudah dicerna, selalu sama cara berdoa. Itu janjiku.”
Hujan makin kencang, tapi kami tak bergerak. Cahaya menatapku lama, mencari kebohongan. Angin membawa suara anak-anak ngaji dari kejauhan, bernyanyi “Mangu” dengan cengkok yang khas, lagu tentang cinta beda arah kiblat. Tapi aku tahu, cinta kami tak beda arah—hanya Cahaya yang takut mempercayainya.
“Ingat dulu di Talang Sawah, kita belajar ngaji bareng?” kataku, suaraku hampir tenggelam oleh hujan. “Aku selalu salah baca, tapi kamu sabar ngajarin. Sekarang, aku minta kamu ajarin lagi—ajarin aku cara buktikan bahwa aku serius. Aku bakal bantu ngajar ngaji, perbaikin kolam ikan di warung, apapun, asal kamu tahu aku gak bakal pergi lagi.”
Cahaya terdiam. Ikan-ikan di kolam dekat kami berenang pelan, seolah mendengar. “Aku takut, Aku,” bisiknya akhirnya. “Aku takut percaya lagi.”
“Aku tahu,” jawabku lembut. “Makanya aku gak minta kamu percaya sekarang. Aku cuma minta kesempatan. Biar aku buktikan, kayak ikan-ikan di Talang Sawah yang selalu balik ke tempat aman.”
Cahaya menunduk, tapi tangannya tak menolak genggamanku. “Kamu gak bakal nyanyi Mangu yang asli di depan anak-anak, kan?” tanyanya, nada sinisnya kembali, tapi dengan senyum kecil.
Aku tertawa, lega. “Janji, cuma nyanyi versi aku: kau di sampingku. Seumur hidup.”
---
Hujan reda saat kami sampai di depan rumah Cahaya. Lampu teras menyala, menerangi wajahnya yang basah tapi lebih ringan. Aku tahu dia belum sepenuhnya luluh, tapi senyuman kecilnya adalah langkah pertama.
Beberapa minggu kemudian, Talang Sawah masih ramai, ikan-ikan di kolam tetap menyapa pelanggan dengan ketenangan. Aku jadi asisten tetap Cahaya di kelas ngaji, meski anak-anak sering tertawa karena aku salah baca ayat. Cahaya masih menyindirku, tapi kini ada kehangatan di matanya. Suatu malam, saat anak-anak bernyanyi “Mangu”, Cahaya bersenandung versi ku: “Kau di sampingku, cinta kita mudah dicerna…”
Dia menoleh padaku, tersenyum. “Apa?” tanyaku, pura-pura tak tahu.
“Gak apa-apa,” jawabnya, tapi senyumnya berkata lain.
Malam itu, aku tahu: Cahaya bukan hanya menerangi malamku, tapi juga masa depanku. Dan lagu Mangu, yang kini tentang kami, akan selalu terngiang.
-Tamat