Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kaca jendela itu berembun oleh nafasnya yang pendek-pendek.
Ia menggambar lingkaran kecil dengan ujung jarinya, kemudian menghapusnya sendiri sebelum sempat selesai.
Kebiasaannya sejak kecil, mewakili kalimat-kalimat yang terlalu rumit untuk diucap, dan terlalu mudah dilupakan oleh orang dewasa.
Dari luar, terdengar suara ibu bicara di telepon.
Nadanya rendah. Kata-katanya cepat.
Ia tak marah, tapi juga tidak hangat. Mungkin sedang berbicara dengan orang kantor.
Atau tetangga yang baru kehilangan anak.
Atau guru yang merasa Rehan perlu “pendekatan emosional”.
Rehan tak peduli.
Yang membuatnya terpaku malam itu bukan karena suara ibunya, tapi karena suara lain yang tidak datang dari telinga, melainkan dari sesuatu yang lebih dalam.
Sesuatu seperti gema dari sumur lama.
Sesuatu seperti napas terakhir yang ditahan.
Sesuatu seperti…dosa manusia yang diam-diam sedang merayakan dirinya sendiri.
Ia memutar kepala, menatap langit-langit kamarnya yang menguning karena waktu.
Ia mencoba mendengar suara malam.
Bukan suara motor.
Bukan anjing tetangga yang menggonggong.
Bukan serangga yang menyanyi.
Tapi suara-suara yang tak pernah didengar oleh orang lain: suara ketakutan seorang ibu yang menyembunyikan rasa bersalah, suara guru yang mengajar bukan karena cinta, tapi karena gaji, suara anak-anak yang tertawa untuk mengusir sunyi mereka sendiri.
Dan semuanya sama.
Mereka bicara bukan untuk menyentuh, tapi untuk menutupi.
Di tempat lain, seorang anak ditampar karena tak bisa membaca.
Di masjid sebelah, doa dipanjatkan dengan lantang, tapi tangan yang menengadah esok paginya tetap mencuri.
Di televisi, seorang pejabat berkata bahwa anak muda adalah harapan bangsa tepat setelah ia menandatangani pemotongan anggaran untuk pendidikan inklusif.
Di ruang guru, ada seorang ibu yang menangis, karena anaknya seperti Rehan tapi lebih berani bicara, dan karena itu ia dihukum diam.
Dan di antara semua kebisingan yang diciptakan manusia, Rehan merasa: semua itu hanya kamuflase. Kebisingan adalah kostum bagi dosa-dosa yang tak ingin terlihat.
Ketika seseorang banyak bicara, belum tentu karena ia tahu banyak. Kadang, ia hanya ingin mengubur kebenaran dengan bunyi.
Ia membaringkan tubuhnya di kasur tipis yang sudah mulai turun busanya.
Matanya terbuka.
Langit-langit menatapnya kembali.
Dan di balik itu semua, ia mulai melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya:
warna.
Bukan dari lampu.
Bukan dari lukisan.
Tapi dari suara-suara itu.
Mereka mulai berubah bentuk, mengalir, melingkar, mewarnai udara dengan semburat aneh yang tak bisa dijelaskan.
Suara ibu dari ruang tengah memantul sebagai biru pekat, dingin dan mengambang.
Suara tertahan dari tangga atas d...