Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Nyatanya menjadi dewasa juga merelakan kepergian. Meski itu sudah lama terjadi, tapi sisa perasaannya masih menyangkut di sela-sela hatiku. Aku ingat ketika masih di pondok, seorang kakak kelas mengoper satu eksemplar buku karya Mary Wollstonecraft kepadaku yang masih mengenakan mukena. Ba’da subuh waktu itu, aku menatapnya kebingungan, bukannya membawa buku bacaan dilarang? Tapi aku tetap membukanya secara diam-diam. Membacanya saat orang tertidur, atau saat hari libur di mana aku bisa bersembunyi dari orang-orang, tiduran santai di bawah jemuran dan cahaya matahari. Perkenalanku dengan sastra bermulai dari sana, meskipun kakak kelas yang kusebutkan tadi lulus di tahun aku naik kelas, tapi mana bisa aku melupakan jasanya? Karenanya, aku melihat secercah pengetahuan dari dunia luar, sesuatu yang malu diakui oleh aku yang tumbuh dengan pendidikan agama yang ketat, tapi itu malah mendefinisikan karirku.
Aku bekerja sebagai editor lepas, yang sehari-hari menyunting naskah penulis nasional maupun internasional—meskipun ‘belum’ cukup membanggakan orang tuaku yang patokan suksesnya ketika jadi hafizah, mengisi pengajian di mana-mana, lulusan Kairo, seperti Hasya, adikku. Dia tiga tahun lebih muda dariku, tapi prestasinya luar biasa. Mungkin penyebabnya adalah dia berani tampil sehingga keluarga besarku sangat menyayanginya. Dia selalu lebih besar dari aku; tubuhnya, kedermawanannya, pemikirannya, kepercayaan dirinya, hampir semua. Saat dia di pondoknya (kami sama-sama mondok tapi di pondok yang berbeda), dia selalu jadi yang membuka diskusi, mendapat nilai tertinggi saat ada penilaian menjadi da’i. Sementara aku…
“Haima, minggu depan angkatan kita mau menampilkan tari modern. Kamu kan ukurannya masih sama kayak adik-adik SMP tuh, kamu mau ya ikut tampil sama mereka?” tanya salah satu teman angkatanku saat aku masih kelas 11.
“Hah?” Mataku bergerak ke samping. “Mendadak banget gini. Memang bajunya apaan?” tanyaku yang sejak dulu sangat mementingkan penampilan.
“Entahlah, yang yang jelas pakai jilbab bergo warna-warni, tenang aja, nanti aku yang cariin,” jawabnya cepat.
“Eh? Nggak usah repot-repot. Aku saja belum mengiyakan, kan?”
Tapi setelah itu aku menarik diri dari latihan menari. Karena rasanya selalu sulit untuk menolak sesuatu di depan muka orangnya, dan selalu geli membayangkan kalau aku menari dengan jilbab bergo warna-warni. Masalahnya, aku selalu memakai jilbab segi empat dengan warna netral, yang mana setiap bagiannya selalu aku tata agar simetris.
Sebenarnya, menjadi rapi adalah sesuatu yang membuatku berkebalikan dengan suamiku. Yah, dia rapi, sih, tapi dalam rencana-rencana licik di kepalanya. Pernah suatu kali aku berpikir, kenapa Mas Abdulbari “Barry” (suamiku) tidak berjodoh dengan Hasya saja? Mereka sama-sama ekstrovert, pandai memengaruhi orang. Hasya dengan para hadirin majlis ta’limnya, dan Mas Barry dengan para mahasiswanya.
Cerita kami bertemu sangat panjang, tapi singkatnya, Mas Barry bertemu aku di acara bedah buku perempuan pesantren, di mana aku menjadi editor buku itu, dan Mas Barry mengajukan pertanyaan yang ‘out of the box.’
Dia berdiri, bertanya menggunakan pengeras suara. “Nama saya Abdulbari Faqih Alam, saya seorang dosen. Saya sudah membaca bukunya, dan merasa immerse dengan kedalaman batin karakter utamanya. Saya penasaran, kenapa Anda memilih gaya eksistensialis penulis Rusia Dostoyevsky sebagai inspirasi?”
Aku tersenyum. Kamprettt… susah amat pertanyaannya. Kemudian aku menoleh pada kawanku—si penulis, dengan senyuman mengayomi: kamu bisa, kamu bisa jawab—tapi dengan cepat aku melihat bahwa tubuhnya gemetar. Aku bisa menangkap tanda-tanda kecemasan padanya. Sehingga aku buru-buru membelanya, mengambil alih audiens, menjawab sebisaku, dengan tetap menghargai kawanku itu yang menulis dengan sedikit kesalahan.
Setelah acara selesai, Mas Barry yang belum jadi suamiku—berbincang denganku, bertanya apa aku mengenal Izzhasya Amalia Mahrus, seorang da’iyah? Karena saat di acara aku bilang asalku dari Tuban, dan nama belakangku Mahrus. “Iya, kenal.” jawabku, karena yang dia sebutkan adalah nama lengkap adikku.
Satu hal yang membuat Mas Barry memilihku daripada adikku adalah karena sifatku yang tenang. Tenang, nggak cari perhatian, dan hati-hati, bukankah itu kualitas yang dicari pria yang hidupnya penuh ambisi? Meski begitu, aku juga bisa mempertanyakan ucapan Mas Barry yang kadang terlalu blak-blakan. Terutama ucapannya semalam.
“Emma, wow,” Mas Barry mengangguk-angguk bersemangat, “kayaknya kamu bisa aja deh bikin spreadsheet sendiri tentang rasa bersalah. Kayak; ‘Day 7—khawatir salatnya nggak sah, ‘Day 8—panik takut dosanya overload—hahaha!” Ia menggelengkan kepala, tak habis pikir, “kamu tuh kelewat keras sama dirimu sendiri, Emma, haidmu kan bisa datang kapan aja semaunya Allah.”
Begitulah suamiku, selalu sarkastik dan minim validasi emosional, memanggilku dengan panggilan ‘Emma’, karena dia dulu ngefans Emma Watson. “Tapi Mas, istihadhah itu urusan syar’i, bukan bahan candaan,” balasku defensif.
“Ya, setidaknya kamu harus ngerti, Emma… Allah bukan dosen pelit yang dikit-dikit kasih kamu nilai D karena lupa catat siklus haid. Kamu bikin aku mikir kayak kamu hidup dalam bayang-bayang takut kena SP dari Tuhan.”
“Stop, Mas. Aku sakit kamu bilang begitu. Kamu bilang kayak aku anak yang takut kena SP. Padahal aku beneran takut dosa. Aku beneran sakit.”
Kejadian semalam membuatku belum menyentuh naskah klien di laptop depanku, walau tenggat waktunya malam ini. Andai saja Mas Barry tidak menganggap gampang masalahku lagi, mungkin aku bisa fokus mengedit tanpa terusik dengan ingatan tentang masa kecilku. Berada di bawah bayang-bayang adik yang lebih sukses sangat menguliti self-worth-ku. Aku memaknai ucapan Mas Barry tadi malam sama saja dengan ucapan umiku di kampung, “halah, mengko yo ora luwih apik teko Hasya.” (Alah, nanti juga nggak sebagus Hasya) saat aku mau ikut lomba menulis esai karena dipuji Ustazah, dan umik malah membanding-bandingkan aku dengan adikku.
Aku menghela napas, memejamkan mata.
“Mama, Mama kalau diam itu mikirin apa sih? Apa Mama juga mikirin kenapa bintang di langit nggak bisa ditembak kayak di Star Wars?” suara polos Damai, anakku.
Mataku terbuka, senyum di mulutku. Nah kan, kamu nggak sadar melamun lagi, Ruhaima. Aku berhenti sejenak. “Mama juga mikir kayak gitu waktu nonton Star Wars, tapi Mama nontonnya pas udah SMA. Damai keren masih kelas satu udah sepenasaran itu. Nah, Mai, Mama lagi mikirin…” aku terdiam, akankah aku apa adanya atau membual? “…Papa.”
“Papa lagi kenapa, Ma? Mama dan Papa nggak kelihatan saling ngomong,” tanyanya.
Memang, tadi pagi aku hanya menyaliminya dan bilang mau punya waktu berdua sama anak lanang, mumpung hari libur, dan meski wajahnya bertanya-tanya dia membolehkan kami pergi tanpa mengatakan apapun. Nggak mungkin kalau aku jawab aku sakit hati dengan ucapannya semalam, jadi aku membuat ucapanku lebih halus. “Kita nggak papa, kita cuma lagi saling figuring out, apa kita pernah salah berkata. Sehingga kita tahu ucapan kita bisa berdampak pada orang lain. Misalnya kayak Damai di sekolah sama anak yang suka bully, Damai bilang ‘kamu harus berhenti jadi nakal!’ Itu akan berbeda dampaknya jika Damai bilangnya dengan lemah lembut. Bisa jadi dia malah tambah mengabaikan atau malah tersentuh hatinya. Duh, maaf ya, Mai, hari ini Mama nggak bisa jelasin lebih mudah.”
“Nggak papa, Ma,” jawab anakku, dari wajahnya terlihat bahwa dia bisa memahamiku. Aku mengelus punggung tangannya di atas meja kafe hari itu, di dekat apartemen kami di Tangsel. Pada meja terdapat laptopku, botol air, dan kentang goreng dalam wadah bowl plastik.
Kami tiba di apartemen. Aku membuka kunci pintu dan Damai langsung lari menyerobot masuk ke kamarnya sendiri. Suamiku duduk rileks di kursi ruang makan, dengan tablet di tangannya, nyengir karena membaca sesuatu yang sudah bisa kupastikan dari aplikasi Reddit. Matanya tertuju padaku. Aku berusaha datar sebisa mungkin.
“Emma, lihat nih, India sama China gagal jadi power couple. Kayak kita kemarin pas adu argumen, tapi ujung-ujungnya malah kangen.”
Aku tak menggubrisnya, duduk di sofa dan melepas peniti hijabku. Melihat itu, Mas Barry mengambil mug favoritku, mengisinya dengan air dari dispenser, duduk di sampingku dengan santai, lalu mengulurkan mug itu kepadaku. Aku menerimanya, tapi mataku masih lurus ke depan.
Diam sejenak. “Kamu tuh ngingetin aku sama negara adikuasa labil deh: gampang perang dingin, tapi lupa buat traktat damai.”
Aku mengerutkan dahi, ekspresiku nggak terima. “Mas. Apaan sih?”
“Ihh… nggak ngaku lagi…” Mas Barry menaruh lengannya melingkupi tubuhku. Pipinya bersender di leher dan telingaku. “Atau, sebenarnya, Emma… kamu nambahin kolom baru di spreadsheetmu? Kolom pertama: nyuekin Barry terus nyesel, nangis diem-diem. Kolom kedua: nunggu Barry nyadar. Kolom ketiga: pingin dipeluk tapi gengsi ngomongnya.”
“Ah, Mas, jangan ngawur deh…” protesku tersinggung. Mas Barry menarik tubuhnya agar bisa melihatku.
“Setidaknya minta maaf lah, Mas…” kataku menghapus sesuatu yang menetes di mataku.
Wajah Mas Barry kaget dan menyesal. “Ow, maafin aku, Emma. Aku memang suka cengin kamu, tapi waktunya lagi nggak tepat ya...” Aku berakhir di rangkulannya. “Minum dulu deh biar kamu tenang.” Dia membantuku minum.
Setelah tenggorokanku nggak kelu lagi, aku mengatakan sesuatu padanya. “Besok aku mau ke psikolog. Tadi pas jelasin—kita kenapa gak saling tegur sapa—ke Damai aja aku nggak mampu. Aku takut banget nurunin sifat burukku ke Damai. Dia masih terlalu kecil buat tahu kadang aku sesedih ini.”
“Tapi Emma, kamu luar biasa lho. Pasti semua orang ada lah, sifat buruk. Tapi sifat buruk apa yang bikin kamu khawatir itu bakal nurun ke Damai?”
“Kayak ketika aku peduli berlebihan ke hal yang gak semua orang perhatiin dan jadi rugi sendiri. Dan ketika aku selalu berakhir jadi satu yang menjaga emosi orang lain.”
“Aihh, luar biasa ya,” kata Mas Barry meresapi, tapi malah kelihatan kayak orang jatuh cinta.
Aku yakin Mas Barry jatuh cinta denganku, berkali-kali. Itu kenapa dia selalu cengin aku, nggak ada hari tanpa bikin aku nangis, atau ketawa. Mungkin itu bagian dari insecurity-nya sebagai seorang yang berperasaan dingin, tapi intelektual-aktif. Orang yang selalu mengutamakan logika akan sama terpukaunya pada orang yang cerdas secara emosional. Seperti orang emosional terpukau dengan orang yang cerdas logika.
“Aku ikut kamu ke psikolog deh, Emma,” imbuh Mas Barry tiba-tiba. “Ya, kita harus ke sana sama-sama,” tegasnya.
Jam setengah enam pagi, Mas Barry bangun ketika aku sudah tak ada di sampingnya. Rutinitasnya selalu aneh: melek, ambil hape dari atas laci tempat lampu tidur, baca-baca tentang politik di X, nge-tweet sesuatu, terus kalau bosan langsung cari aku. Kebetulan aku sudah bangun sejak sebelum subuh. Baca doa dan nangis diam-diam. Lagi nggak salat.
“Emma,” sebutnya mencariku.
“Hadir, Mas,” jawabku dari balkon—udara dingin, warna langit masih dongker.
“Gimana? Siap hari ini, Sayang?”
“Pasti,”
“Ah, pasti seru ya bisa nemenin kamu. Tapi sayangnya jam sepuluh ini ada mahasiswa yang minta bimbingan. Apa kamu ikhlas jika aku cuma nganterin sambil Zoom?”
“Ikhlas, Mas. Nggak papa. Emma juga tahu rasanya jadi mahasiswa semester akhir. Mas lebih baik kasih bimbingan, Emma bisa masuk ke ruangan jalanin sesi pertama sendiri.”
Sebenarnya, malam sebelumnya aku sempat riset apa yang perlu disiapkan untuk sesi pertama ke psikolog. Jawabannya kebanyakan ‘gong’, dong, menurutku. Katanya, siapkan diri dan mental saja, tidak ada yang perlu dipersiapkan, semuanya akan mengalir dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan psikolog. Jujur saja, keadaan bebas seperti itu menambah rasa cemasku. Namun, aku juga senang, karena saat kami berangkat ke klinik naik Grabcar, Mas Barry dengan suaranya yang tegas dan terdengar terus—menggenggam tanganku sepanjang perjalanan. Dia tahu kalau aku gugup hari ini.
Mas Barry mengatur proses pendaftaranku, dan aku seperti memperhatikan sesuatu. Aku mengenal nama psikolog yang akan menangani sesi pertamaku. Menjadi dewasa juga merelakan kepergian, tapi bagaimana dengan kemunculan seseorang yang kamu rindukan setelah lama tak bertemu? Akankah semuanya menjadi lebih baik, atau malah membawa musibah? Wajahku tak ubahnya serius dan fokus, memikirkan hal itu saat berjalan di lorong menuju ruang tunggu.
“Oke, kita break lima belas menit, saya lagi di klinik sama istri,” ucap Mas Barry pada mahasiswa di Zoom-nya saat kami duduk di ruang tunggu. Kami duduk bersebelahan dengan canggung sebelum akhirnya Mas Barry mencairkan suasana: “Kamu tahu, Emma, kamu terlihat glowing di momen seperti ini. Aku tahu, kita nggak selalu dalam keadaan terbaik, tapi aku janji akan terus ngebersamain kamu.”
“Ibu Ruhaima Sabira…” panggil perawat. Aku mengangkat tangan spontan dan tersenyum. “Silakan masuk, Bu.”
Aku menoleh ke Mas Barry dengan wajah ledek semi malu-malu yang ada lesung pipitnya mirip Rooney Mara. “Semangat, Cantik,” katanya sambil dadah.
“Selamat siang, Bu Ruhaima,” sapa Bu Psikolog saat aku masuk dan menutup pintu.
“Selamat siang, Bu,” balasku seraya duduk.
“Tunggu sebentar, saya ketik sesuatu dulu ya,” lirik Bu Psikolog sambil tersenyum, lalu kembali menatap layar komputer di depannya. Suara ketikan keyboard.
Aku memikirkan sesuatu dalam hati sambil memerhatikan psikolog di depanku: Aku ingat betul wajahnya, tak berubah bahkan sejak belasan tahun. Apa dia ingat aku juga? Reaksinya minim sekali. Kemungkinan dia lupa. Tapi apakah benar begitu? Bisa jadi ini karena dia terikat profesionalisme di tempat kerja. Kamu jangan mudah tertipu, Ruhaima.
“Baik… ini kali pertama Bu Ruhaima ke sini ya? Jadi, apa nih yang membawa Bu Ruhaima datang ke sini…?” tanya Bu Psikolog.
“E…” ucapku tegang, “Mungkin banyak orang di luar sana yang butuh bantuan lebih dari saya. Saya bukan orang yang… ngalamin hal besar atau tragis. Tapi… akhir-akhir ini saya merasa jadi istri yang menyebalkan buat suami saya: saya terlalu banyak mikir, terlalu banyak takut, katanya. Kadang saya akui sih, saya memang suka repot sama hal-hal kecil, kayak salat saya sah apa enggak, haid saya udah berhenti betulan atau belum… atau kenapa saya mudah ngerasa bersalah.” Aku membuang napas. “Mungkin, itu yang bikin saya mudah baper pas suami saya bercanda. Walaupun omongannya rada nyelekit tapi ada benernya. Cuma, sayanya aja yang… terlalu bising di kepala saya sendiri. Saya nggak mau bikin orang lain ikut capek karena saya, itu saja.”
Kuperhatikan Bu Psikolog mencatat di kertas pasien dengan tulisan sambung yang apik.
“Terima kasih, Ruhaima… ingat, dengan datangnya kamu ke sini kamu sudah memilih keputusan yang tepat. Sekarang, saya ingin tahu dong, sekilas tentang masa kecil Ruhaima… dari situ kita bisa cari akar masalahnya,” minta Bu Psikolog yang urung memanggilku dengan ‘Anda” dan ‘Bu’ lagi setelah tahu usiaku. Sopan sekali caranya.
“Mmm…” Aku tertawa kecil karna gugup.
“Saya pernah dibawa ke bidan waktu kecil. Katanya saya stunting. Tapi bilangnya sambil ketawa-ketawa, jadi semua orang ikut ketawa. Termasuk saya… tapi setelah itu saya mikir sendiri, apa tubuh saya ada yang nggak beres, ya?”
Aku meremas tangan sendiri di atas rok.
“Adik saya... lebih hebat. Dia berani tampil, pintar ngomong, hafalannya cepat. Waktu dia ikut lomba pidato, saya hanya berdiri di pojokan, bawa roti sobek. Nyemangatin, tapi dari jauh.”
“Saya nggak pernah iri, kok. Cuma kadang... ada rasa yang nggak bisa dijelasin. Apalagi kalau umik saya mulai bandingin prestasi adik, gaya bicaranya, semuanya.”
Aku menarik napas, pelan. “Itu yang bikin saya lama takut nikah, sebenarnya. Saya takut jadi ibu yang seperti itu juga, yang nggak tahu cara menyayangi anak secara adil. Saya takut saya paham itu gaboleh tapi tetap menurunkan kesalahan pengasuhan saya secara tidak sadar.”
“Hm…, baik… itu sangat jujur, Ruhaima. Terima kasih sudah membagikannya. Kamu menyebutkan kalau kamu takut mengulangi kesalahan yang sama, kesalahan yang mungkin pernah kamu rasakan waktu kecil, tapi sebenarnya, apa yang kamu takutkan dari pernikahan itu sendiri?”
“Berarti menyangkut keraguan saya untuk menikah ya?” tanyaku memastikan.
“Benar,”
“Saya ragu karena… saya takut nggak bisa memberikan yang terbaik. Saya takut jika suami saya, anak saya, melihat saya kebingungan sama tubuh saya… sama ibadah dan salat saya… sama hal-hal kecil yang nggak penting. Saya takut jadi ibu yang kurang baik, jadi istri yang kurang baik. Karena saya dulu juga merasa jadi anak yang kurang baik.”
Tatapan Bu Psikolog sangat fokus, matanya sedikit membesar, aku duga karena dia kagum aku bisa menjawab pertanyaannya.
Dia mengangguk, hening sejenak. “Ruhaima, boleh saya tanya secara langsung?”
Wajahku ceria. “Ya, tentu saja boleh.”
“Apa kamu tahu, dari semua ini, apa pola besarnya?”
Butuh waktu lama untuk memikirkan jawabannya, tapi aku mencoba menjawabnya dengan percaya diri sesuai pemahamanku. “Saya belum pernah memikirkan bagaimana semua ini berkaitan. Tapi, mungkin secara garis besar…” Tiba-tiba saja aku menjadi ragu, isi kepalaku kosong. Aku tak bisa memikirkan lanjutannya.
Melihatku menunduk, Bu Psikolog menambahkan. “Seperti ketika kita menulis skripsi nih, ada pendahuluan ada kesimpulan. Apa kira-kira yang bisa Ruhaima simpulkan? Kenapa Ruhaima jadi sering merasa takut, khawatir, dan nggak tenang?”
“Kayaknya saya nggak ada ide deh kenapanya,” jujurku dengan suara menurun.
“Karena…?” ajak Bu Psikolog, lalu menjawab pertanyaannya sendiri: “kamu takut gagal berfungsi, baik sebagai seorang ibu, seorang istri, maupun seorang perempuan secara umum. Karena kamu tidak pernah merasa cukup baik ketika jadi anak perempuan.”
Itu benar, dan itu menyakitkan.
Masa lalu yang menyesakkan muncul seperti mozaik di benakku. Entah kenapa hari ini yang muncul adalah yang terberat:
Hasya menggeret koper merah mudanya dari rumah kami untuk berangkat ke Kairo, sementara aku harus menggantikan umik jualan nasi kapau.
“Kamu jaga warung ya, nasinya udah mateng,” kata umik padaku.
Meski aku berjaga-jaga di depan etalase, mataku tetap memantau situasi depan rumah, di mana para tetangga, sanak saudara, dengan bangga melepas kepergian Hasya. Aku melihat umik menangis haru, mendengar bapak mengatakan, “Cah wedok iso ngubah zaman lek ngaji tenan.” (Anak perempuan bisa mengubah zaman jika belajar betulan)
Pelanggan pertama datang. Aku menuangkan kuah ke nasi di dalam kertas minyak, tapi kebanyakan dan tumpah. Panas di tanganku. “Maaf, Bu,” ucapku spontan.
“Mbaknya nggak hati-hati,” komentarnya frontal.
Astaghfirullah, who are you bilang begitu?
Setelah pelanggan pertama berhasil kulayani, aku berbalik badan membelakangi teras warung. Terdiam, mati rasa, dengan napas yang tak karuan. Entah, sudah dipenuhi penyakit hati apa saja diriku ini.
Ketika aku lumayan bisa mengendalikan diri, aku berbalik badan ke depan lagi. Aku terkejut. Hasya yang harum di depanku, memelukku tiba-tiba. Gimana aku bisa benci kamu, Hasy? Kamu selalu ‘lebih’ dari hanya sekedar ‘baik.’
Hatiku dipenuhi perasaan yang berkecamuk dan tak dapat kumaknai satu persatu. Tubuhku bergetar hebat. Sebelum menangis, aku mewanti-wanti ke Bu Psikolog. “Maaf, saya rasa sebentar lagi pertahanan saya akan runtuh. Saya hanya butuh waktu sebentar.”
Bu Psikolog mengangguk satu kali tapi dalam, ekspresi mukanya miris. Ia memberikan aku selembar tisu. Aku memejamkan mata, meringis dalam kepedihan, menutup muka dengan tisu saat air mata berjatuhan.
“Tidak apa-apa menangis, tidak ada yang melihatmu di sini. Insya Allah setelah ini kamu akan merasa lega.”
Terkadang, tak semua perasaan bisa dijelaskan. Itu hanya keluar dengan sendirinya di saat semua terasa berat. Tapi, mengapa aku menangis? Mungkin karena aku yang idealis merasa kecewa dengan diriku sendiri, yang harus dibantu untuk menyadari ketakutannya sendiri? Atau karena semua di kepalaku kacau—seperti tak masuk akal? Karena selama ini aku ditipu oleh kecemasan dan kegelisahan yang menyembunyikan bagian tersensitifku? Kemungkinannya banyak sekali, tapi aku yakin dengan satu hal: aku sudah masuk pada tahapan kesadaran.
Menangisku 30 menit sendiri. Kalau ada Mas Barry di ruangan ini, pasti dia sudah mengeloniku, membantuku menelan semuanya perlahan. Tapi aku hanya berdua di sini. Dengan Bu Psikolog, Tsaniya Indy.
Ah... aku teringat sesuatu. Entah akan bagaimana responnya, jika aku bakal malu-maluin, aku sudah siap menanggung dan memaafkan diriku. Jadi, aku merasa harus mengonfirmasi satu hal ini, yang mencakup identitas Bu Psikolog sendiri.
“Ingin sampai sini saj—”
“Kalau boleh tahu—"
Bu Tsaniya dan aku berkata di waktu yang sama. Kami tertawa karena kerecehan itu.
“Silakan, silakan,” kataku,
“Enggak, tadi Ruhaima mau bilang apa?” mintanya.
“Ini agak di luar topik,” jelasku akhirnya. Bu Tsaniya menunggu dengan tenang. “Apa benar Bu Tsaniya ini lulusan pondok Al-Baqir?” tanyaku.
Wajah Bu Tsaniya tetap tenang, tapi aku bisa melihat keheranan di matanya.
“Ya, saya lulusan sana.” Matanya lurus ke depan.
Mungkin, mungkin setelah aku melontarkan perkataan ini, aku akan menyesalinya di kemudian hari. Tapi, aku sudah tidak tahan dengan rasa penasaran yang memenuhi diriku:
“Mbak,” panggilku pelan. “Apa Mbak Tsaniya ingat saya?” tanyaku hopeless. “Sampeyan yang dulu kasih saya buku The Feminist Papers, yang nerima saya di tim majalah, yang kasih tahu Ustazah kalau saya bisa menulis esai?” (Sampeyan: Anda (Jawa Sopan)).
“Haima…” sebutnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Aku menegaskan. “Jadi tolong kasih tahu, apa yang bisa saya lakukan untuk membayar kebaikan Mbak?”
“Tidak perlu, Haima,” jawabnya cepat, meskipun keheranan itu masih ada.
“Tapi saya merasa harus.”
Pandangan Mbak Tsaniya beralih pada catatannya di meja, lalu kembali menatapku saat bertanya. “Apa yang Haima ingat dari buku Mary Wollstonecraft yang saya beri?”
Mataku mengarah ke bawah. Mencoba mengingat, tapi karena aku tidak jago mengingat, jadi aku mengimprovisasi. “…Kita harus memiliki kendali atas pikiran, emosi, bahkan ingatan atau trauma kita sendiri. Seperti Wollstonecraft pernah menulis, ‘I do not wish women to have power over men; but over themselves’—aku tidak berharap perempuan memiliki kuasa atas laki-laki; tapi atas dirinya sendiri.” Aku merasakan momen aneh, saat aku mengucapkan kata-kata, kutipan Wollstonecraft mengalir dengan sendirinya. Itu berarti nilai-nilai pada buku itu melekat di hatiku lebih daripada yang kukira.
“Sejak dulu aku mengamati kalau kamu orangnya deep—peka. Meski kamu butuh waktu sunyi, dan memiliki masa kecil tak sempurna—tapi kamu memiliki kelebihan emosi. Maafin Mbak hanya bisa kasih kamu buku itu,” ucapnya di penghujung percakapan ini.
Aku menata buku sesuai warna dan temanya di lemari pada malam harinya, mengemocenginya setelah usai. Aku menghampiri Damai di kamarnya. Anak itu mengangkat kepalanya—menatapku saat aku masuk. Aku tersenyum. Dia sudah mengenakan piyama warna biru lembut dengan motif Stormtrooper. Aku duduk bersandar di dipannya.
“Ma, Damai boleh main Grow Garden nggak?”
“Sudah malam, Sayang. Waktunya istirahat,” jawabku sambil mengelus kepalanya.
Damai meletakkan tabletnya, wajahnya sedikit lesu. “Mama, Mama tahu nggak? Damai cuma seneng kalau Mama terus sayang sama Papa. Walaupun Papa kalau ngomong suka nggak dikontrol.”
“Hihihi, bisa aja,” kataku seraya mengacak-acak rambut Damai yang bergelombang.
Cekreeek… Pintu kamar Damai terbuka. Mas Barry berdiri di kerangka pintu. Saat melihatku, senyumnya mengembang. “Lha di sini rupanya cantikku. Damai, Papa nungguin Mama sampe nyelesain lego baby Yoda punyamu lho,” katanya dengan nada pamer.
“Yodha siapa, Mas? Mantanku?”
“HEH!” bantah Mas Barry seolah aku ngomong sesuatu yang buruk. “Uhuk, bisa-bisanya kamu, Em. Baby Yoda karakter Star Wars ini, Emma... Nih lihat…” Mas Barry menunjukkan lego sebesar genggaman berbentuk alien dengan telinga panjang, mata bulat hitam, tubuh hijau, dibalut pakaian warna karung.
Aduh, malu banget, mana aku kira Yodha mantanku.
“Damai bobok ya, Papa mau ke kamar atas sama Mama.”
“Dia lagi berusaha tidur,” jawabku dengan pelan, takut mengusik Damai.
“Oke… met bobok, Pa, met bobok, Ma,” katanya setelah mengancungkan jempol. Aku tersenyum, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, lalu mencium keningnya.
Kami naik tangga ke kamar atas. Aku menjatuhkan tubuh ke kasur, memandang langit-langit kamar, Mas Barry naik ke kasur juga, di sampingku.
“Aku tadi lihat kamu menata buku-buku, dari samping cantik banget, apalagi dari depan. Tapi, Em, kamu nggak punya intrusive thoughts—pikiran-pikiran merusak, kan?”
“Nggak usah khawatir,”
“Jadi kamu punya?”
“Lebih ke pingin tenang, jadi harus sesuai pada tempatnya. Lagipula, aku ingat gimana tatapan Mas kalau aku lupa nggak bersihin mainan Damai.”
Pipi Mas Barry kemerahan. Mungkin kecintaan sama aku. “Ngomong-ngomong, Em. Besok Rabu ada seminar tema ‘Perempuan dan Kecerdasan Emosional di Ruang Publik’, itu ngingetin aku sama kamu banget, Em, ikut ya!”
“Wait,” kataku, mengambil hape dari belakang, mengecek kalender. “Rabu aku hectic, Mas, ada dua esai dan satu novel yang harus diedit.”
“Bisa kok sambil ngedit di sana, duduk aja di paling belakang biar nggak ganggu fokusmu. Jangan lupa ajak Damai,” ujar Mas Barry.
“Damai kan ada les bahasa Rusia kalau Rabu. Gimana sih, katanya ambisius pingin anaknya ada yang jadi penerjemah Putin?”
“Penerjemah Putin sama Xi Jinping.”
“Susah dong karena dua?”
“Anaknya tambah lagi,” ucap Mas Barry seenaknya. Aku mendorong-dorong dadanya, dan dia mulai mengelitikiku. Kami terkikik-kikik di malam hari.
Hari Rabu itu tiba. Aku mengenakan blus berpotongan lurus berwarna pucat-semu lavender, rok abu tua, hijab segi empat satin doff warna taupe gelap, dengan sisi depan dibentuk rapi dan bagian belakang dijatuhkan lepas. Sementara Damai mengenakan pasangan baju dan celana bahan linen dengan tone bumi. Kami duduk di belakang. Aku membuka laptopku, mengetik, sesekali melihat ke acara melalui layar proyektor.
Proyektor menampilkan para mahasiswa, kemudian suamiku yang berdiri, memegang pengeras suara.
“Saya sering ngomong ke mahasiswa saya, pengaruh itu nggak melulu ditentukan oleh struktur sosial, orang biasa juga bisa kasih pengaruh, terutama kalau dia kuat bertahan tanpa butuh validasi,” presentasi Mas Barry.
“Jadi, saya kenal seorang perempuan, dia nggak punya gelar kehormatan, nggak pernah unggah jurnal, tapi dia hidup dengan satu prinsip: aku harus bisa kasih yang terbaik, walau dia punya keraguan dan rasa khawatir yang besar.”
“Dia berjuang melawan rasa khawatir. Khawatir salatnya nggak sah, sambil nangis pas tengah malam,”
Proyektor menampilkan aku yang duduk tegak dengan tatapan penuh konsentrasi tapi lemas.
“…sambil takut jadi ibu.”
Aku tampak sederhana, bening, canggung. Aku tahu semua ini disengaja. Dasar Abdulbari!
“Tapi sekarang, dia berhasil membuktikan anaknya berprestasi,” lanjut Mas Barry, “tapi itu bukan prestasi biasa.”
Mas Barry baru lihat aku dan Damai ada di layar. Dia tersenyum sambil mengatakan: “Ya, itu istri saya dan putra saya! Putra saya baru saja dapat apresiasi ‘siswa paling peduli’ di sekolahnya. Terima kasih sedalam-dalamnya untuk istri saya, Ruhaima Sabira Mahrus.”
Hadirin bertepuk tangan, bersorak sorai gembira. “Jadi…, jika kalian mengira kontribusi harus besar… pikir lagi.”
Damai tersenyum menggoda ‘cie-cie’ ke arahku, aku tersenyum ngempet malu dengan lesung pipit ke arahnya.
Ternyata, aku tak sebanding ‘bintang’ karena aku memiliki cahayanya sendiri.