Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari itu seperti biasa. Pagi datang dengan langkah yang pelan tapi pasti, seperti seorang ibu yang membuka jendela perlahan agar anaknya tak terbangun kaget. Langit biru muda mengembang di atas perkebunan sawit, dan burung-burung gereja meloncat-loncat dari pelepah satu ke pelepah lain sambil berkicau riang. Cahaya matahari turun seperti tirai keemasan, melumuri tanah merah dan batang-batang sawit yang berbaris seperti prajurit sabar.
Aku berdiri di bak belakang truk angkutan sekolah, berjejer bersama teman-teman dari blok Dewata. Kami sudah terbiasa berdempetan setiap pagi—bau minyak solar, kayu bak truk yang mulai lapuk, dan angin kebun yang kadang membawa aroma tanah basah. Tidak ada yang mengeluh. Justru di sinilah tempat paling ramai dan paling hidup di antara hari-hari kami yang kadang membosankan.
Di sekitar kami, suara tawa pecah seperti kaca dilempar batu kecil. Beberapa anak berdiri sambil menggoyang-goyangkan badan mengikuti lagu yang kami nyanyikan bersama. Di pagi itu, lagu yang kami pilih adalah Emang Dasar dari Wali—entah kenapa, anak-anak Dewata selalu memulai pagi dengan lagu-lagu cinta yang sedang hits, seolah kami semua sedang memahami patah hati padahal umur kami belum cukup untuk tahu sakitnya dicuekin.
“Emang dasar…!” teriak Rijal, mengangkat tangan seperti orang konser. Anak-anak lain ikut. Kami bernyanyi dengan ketukan yang tidak pernah pas, beberapa vokal fals, beberapa terlalu bersemangat.
Tapi itulah kami. Dan itu sudah cukup.
Semua orang terlihat bahagia. Atau setidaknya, di dalam truk ini, kami seperti menemukan alasan kecil untuk bergembira setiap pagi. Mungkin udara kebun membuat kami waras. Mungkin nyanyian itu yang membuat kami lupa PR matematika. Atau mungkin karena di sinilah kami merasa sederajat—tidak ada yang paling pintar atau paling kaya. Kami hanya anak-anak yang naik truk sama-sama pagi-pagi buta dan pulang sama-sama sore, menyeberangi jalan yang kadang kering, kadang berlumpur, kadang penuh lubang hingga membuat badan terguncang seperti ikan di ember.
Truk melaju perlahan mengikuti jalur tanah yang memanjang seperti ular. Dari kejauhan, suara mesin lain terdengar. Bukan suara mesin berat jonder ataupun traktor, tetapi suara yang sudah sangat kami kenal: truk angkutan anak Puhus.
Aku menoleh. Teman-temanku spontan bangkit berdiri, wajah mereka berubah seperti prajurit yang siap perang. Tidak serius-serius amat sebenarnya—lebih mirip anak kecil yang siap-siap saling mengejek.
Dan benar saja, beberapa detik kemudian, truk Puhus muncul dari belokan. Warnanya sama kusamnya dengan truk kami, tapi entah kenapa, tiap kami melihatnya, rasanya seperti melihat musuh bebuyutan. Ada sesuatu yang tidak pernah tuntas antara anak Dewata dan anak Puhus. Kami tidak tahu mulai dari mana, dan mungkin tidak ada alasan sungguh-sungguh. Tapi begitulah tradisi yang terjadi bertahun-tahun: Dewata dan Puhus selalu saling menggoda, saling huuu, saling ejek, saling merasa paling hebat.
“Hooooo!” teriak anak-anak Dewata serempak, berdiri dan mengacungkan jempol ke bawah.
Anak-anak Puhus membalas, wajah mereka memanjang karena tertawa sambil berteriak, “Weeeeee!” dan mengangkat tangan dengan gaya-gaya yang membalas ejekan kami.
Rijal, yang paling semangat di antara kami, menarik napas dan berteriak, “Kalau berani, salip, woi!”
“Ayo, salip! Jangan cuma berisik!” tambah Eby yang terkenal jagonya urusan ejek-mengejek.
Dari truk Puhus, suara anak laki-laki—sepertinya pemimpinnya—balas berteriak, “Cemen kalian!”
Kami sontak riuh, sebagian tertawa, sebagian tambah panas.
Truk Puhus semakin mendekat dari belakang. Yang terjadi berikutnya adalah ritual yang biasa: arak-arakan teriakan, tawa, ejekan yang kadang sulit dimengerti, dan wajah-wajah yang sengaja dibuat seram padahal kami masih memakai seragam putih merah.
Saat truk Puhus menyalip, kedua kubu saling berseru lebih keras, seakan bagian itu menentukan siapa yang lebih berani hari itu.
Ketika truk mereka akhirnya berhasil berada di depan kami, Rijal berteriak keras sambil memberi ancaman, “Awas kalian pulang nanti!”
Anak Puhus membalas dengan gaya sok jagoan. Kami sama-sama tertawa—sedikit tersinggung, sedikit terhibur.
Begitu truk itu menjauh, suara ejekan memudar. Truk kami tiba-tiba senyap. Rasanya seperti panggung yang tiba-tiba kehabisan musik. Hanya suara mesin truk yang terdengar, berat dan menderu.
Saat suasana mereda, aku sadar bahwa jalanan yang kami lalui berbeda dari biasanya. Truk tergelincir sedikit ke kiri, lalu ke kanan, seperti orang tua yang berjalan di atas batu licin. Ketika aku mengintip ke samping, aku melihat tanahnya basah, bercampur lumpur yang tampak masih segar—jalan ini pasti baru saja diguyur hujan.
Aku menelan ludah. Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Jalan berlumpur adalah musuh besar bagi truk angkutan sekolah. Kalau ban sampai terjebak, kami bisa tertahan berjam-jam. Dan sekolah kami—SD Long Jenew—masih jauh di depan.
Benar saja.
Ketika truk belok di sebuah pertigaan, tiba-tiba truk berhenti. Mesin tetap menderu, bahkan terdengar makin keras, tapi badan truk tak bergerak. Kami saling pandang. Anak-anak yang tadinya berdiri, kini meremas pegangan besi.
“Waduh…” gumam seorang teman di belakangku.
Kenek turun. Sopir tetap memaksa gas. Ban belakang berputar kencang, tapi hanya memuntahkan lumpur. Truk seperti tenggelam dalam genangan tanah liat lekat yang tak mau melepaskan.
Rijal memegangi kepala. “Waduh, mampus kita.”
“Libur, ini mah libur,” ucap anak lain dengan nada setengah senang, setengah panik.
Aku turun dari truk, mengikuti yang lain. Tanah di bawah benar-benar lengket, menempel di sandal seperti beban tambahan. Kami berdiri di bawah pohon sawit, menonton truk kami menggeram tanpa hasil. Sopir mulai kesal, kenek berusaha memeriksa ban.
Beberapa anak mulai bosan. Ada yang membuat alas dari pelepah sawit. Ada yang duduk-duduk sambil membuka bekal. Bahkan ada yang pergi sedikit ke belakang, berdiri di pinggir genangan dan… ya, melakukan hal yang perlu dilakukan. Kami semua tertawa geli melihatnya.
Tapi setelah satu jam berlalu dan tak ada jonder atau mobil lewat, rasa bosan berubah menjadi lelah. Lalu berubah menjadi lapar.
Ketika akhirnya diputuskan bahwa anak-anak laki-laki harus membantu mendorong truk, kami semua langsung siap bekerja. Sopir mengangguk, menyalakan mesin. Kami berkumpul di belakang truk, kaki menancap ke lumpur.
“Satu… dua… tiga… dorooong!” seru kenek.
Kami menahan napas, mendorong sekuat tenaga. Lumpur muncrat dari ban, mengenai seragam kami. Dalam beberapa menit, baju putih merah kami berubah menjadi cokelat. Ada yang tertawa, ada yang mengeluh, tapi kami terus mendorong.
Truk hanya maju sedikit, lalu mundur tergelincir lagi.
Kami mengulang. Lagi. Dan lagi.
Lengan kami pegal, wajah kami kotor. Rambut kami meneteskan lumpur seperti tentara kecil yang baru merangkak dari rawa.
Ketika jam menunjukkan pukul 13.00, perut kami mulai berbunyi keras. Bekal sudah habis sejak pagi. Energi kami terkuras. Sementara truk tetap tak bergerak.
Akhirnya sebuah keputusan diambil: kami akan berjalan kaki mencari afdeling terdekat untuk membeli makanan.
Tidak ada yang tahu arahnya. Tapi kami berjalan juga. Mengikuti jalan, mengikuti insting. Kalau salah? Ya, tersesat. Tapi diam di sana rasanya lebih menakutkan.
Langkah kami terhuyung, tapi harapan seperti naik sedikit demi sedikit ketika angin kebun mulai terasa lebih sejuk.
Seperti mukjizat, kami menemukan sebuah papan: Selamat Datang di Afdeling 8 Puhus 2.
Kami bersorak kecil—begitu kecil, tapi begitu tulus.
Warung itu tidak besar. Hanya sebuah bangunan kayu dengan atap seng yang nyaris berlubang. Tapi bagiku, saat itu, warung itu adalah tempat paling indah di dunia.
Ada roti. Ada es lilin. Ada jajanan berwarna-warni. Ada mie bungkus. Ada apa saja yang bisa membuat kami bertahan hidup.
Aku membeli roti dan es lilin. Temanku membeli minuman dingin. Ada yang membeli permen meski laparnya belum hilang. Anak-anak memang aneh, tapi begitulah.
Ketika aku keluar, suara lembut memanggil namaku.
Aku menoleh. Seorang gadis berjalan mendekat, wajahnya familiar. Rambutnya dikepang. Seragamnya masih rapi, hanya sedikit kusut. Dia tersenyum—senyum yang membuatku sedikit kaget.
Mirna.
Teman sekelasku. Anak Puhus. Tapi tidak seperti yang lainnya.
“Hay,” sapanya pendek.
“Hay,” jawabku, agak canggung.
“Kok nggak masuk sekolah?” Ia bertanya sambil memiringkan kepala sedikit.
“Trukku terjebak lumpur di pertigaan tadi,” jawabku.
Mirna mengangguk. “Ohh… iya.”
“Kamu tinggal di sini?” tanyaku balik.
“Iya. Dekat situ.” Ia menunjuk ke arah rumah-rumah kecil di ujung afdeling.
Lalu ia berkata dengan nada seperti orang dewasa, “Ayo mampir.”
Aku buru-buru menggeleng. “Nggak, temen-temenku sudah jalan duluan.”
Mirna menatapku sebentar, lalu berkata, “Tunggu di sini.”
Ia lari. Sambil memegang rok seragamnya agar tidak terinjak. Aku berdiri memandanginya, bingung apa yang sedang ia lakukan. Tidak lama kemudian ia kembali, membawa sebuah cepuk makan yang ditutup kain kecil.
“Ini buat kamu,” katanya sambil menyodorkannya.
Aku terkejut. “Buat aku?”
“Iya. Ambil aja.”
“Nggak usah repot-repot. Aku udah beli roti,” kataku malu.
“Tapi rotimu kecil. Kamu lapar kan? Ini buatmu. Anggap aja terima kasih karena kamu selalu baik sama aku di kelas.”
Aku ingin menolak, tapi ia memegang tanganku, menekan cepuk itu agar aku menerimanya.
Akhirnya aku menyerah.
“Ya sudah… makasih ya.”
Mirna mengangguk dan tersenyum pelan.
Aku berjalan pergi. Saat aku menoleh sekilas, Mirna masih berdiri di sana, memandangi langkahku menjauh.
Di antara anak-anak Puhus yang sering mengejek kami, Mirna seperti dunia yang lain—lebih lembut, lebih hangat, dan entah kenapa terasa lebih dekat dari siapa pun.
Perut kenyang, tenaga kembali, kami mulai berjalan ke arah truk lagi. Jalan terasa lebih mudah ditempuh ketika badan sudah tidak selemah tadi. Kami bercanda sedikit, saling menceritakan bagaimana Mirna memanggilku, bagaimana roti rasanya, bagaimana lumpur menempel di rambut seperti gel murahan.
Saat kami melewati tikungan kecil, suara mesin terdengar dari jauh.
Aku berhenti.
Teman-temanku pun berhenti.
Kami saling pandang.
“Itu… truk kita?” tanya seorang anak.
Kami menajamkan telinga. Suara itu… suara mesin tua truk Dewata. Kami hafal betul.
Tanpa berpikir panjang, kami berlari.
Dan benar saja—truk kami muncul dari balik belokan, dengan badan masih berlumur lumpur, tapi bergerak. Bergerak!
“Wooooooiiii!” Kami bersorak seperti memenangkan pertandingan besar.
Beberapa anak melompat-lompat. Ada yang menepuk-nepuk bahu temannya. Ada yang mengangkat tangan ke langit.
Kami naik dengan seragam kotor, wajah belepotan, tapi hati seratus persen bahagia.
Walau hari itu kami tidak sekolah, walau tubuh kami lengket lumpur, walau kami sempat merasa seperti tersesat di tengah kebun sawit yang luas, tapi rasanya seperti petualangan yang tidak akan pernah kami lupa.
Dan di antara semua itu, aku masih memikirkan wajah Mirna yang menatap kepergianku tadi. Seolah hari itu, di tengah lumpur dan terik matahari, aku menemukan sesuatu yang lebih mewah dari pulangnya truk kami.
Sesuatu yang membuat hari itu bukan sekadar hari ketika truk terjebak lumpur.
Tapi hari ketika dunia kecilku di kebun sawit terasa sedikit lebih besar.
Dan jauh lebih hangat.