Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Tak Pernah Selesai di Ujung Kalimat
1
Suka
160
Dibaca

Sudah tujuh hari sejak terakhir kali Shana mendengar suaranya.

Bukan karena mereka bertengkar, bukan karena ada yang memutuskan pergi. Mereka masih saling mengirim pesan setiap hari. Tapi hanya itu. Tak lebih.

Dan anehnya, bagi Shana, itu terasa seperti kehilangan yang pelan.

Siang itu, ia duduk di bangku kayu balkon kamarnya, menggenggam cangkir teh yang sudah tak lagi hangat. Angin menyentuh wajahnya lembut, tapi tak membawa apa-apa. Tidak ada kabar dari Elric, tidak ada suara. Hanya satu pesan pendek yang masuk sejam lalu: “Jangan lupa makan siang, ya.”

Kata-kata yang manis, tentu. Tapi kosong. Karena Shana tahu, Elric tidak akan bertanya apakah ia benar-benar makan, atau apa yang membuat matanya sembab pagi ini.

Ia membaca ulang pesan itu, kemudian menaruh ponsel di meja. Menatap langit yang sedikit mendung, lalu menunduk. Ada yang perlahan memudar dalam hatinya, seperti tinta yang tercampur air.

Dulu, Elric adalah suara yang paling Shana tunggu. Sapaan pertamanya di pagi hari bisa menghapus letih, dan panggilan singkat menjelang tidur cukup untuk membuat dunia terasa lebih ringan. Tapi entah sejak kapan, Elric mulai berubah. Bukan pergi, tapi menjauh perlahan. Tetap hadir, tetap menyapa, tapi tanpa napas. Tanpa hati.

Mereka sudah bersama selama enam tahun. Hubungan jarak jauh bukan sebuah alasan bagi Shana. Ia tahu, tidak bisa berharap segalanya hadir dalam bentuk nyata. Tapi ia percaya, cinta akan selalu menemukan jalannya. Meski dari jarak ratusan kilometer, suara masih bisa menjangkau, perhatian masih bisa terasa kalau ada niat.

Namun kini, perhatian itu hanya hadir dalam bentuk teks. Kata-kata seperti rangkaian bunga yang dikirim dalam amplop kosong.

“Apa aku terlalu bergantung?” gumam Shana pelan, seperti bertanya pada angin.

Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali Elric menelepon tanpa diminta. Kapan terakhir kali ada jeda hening di antara mereka yang bukan karena sinyal buruk, tapi karena mereka menikmati diam bersama.

Yang tersisa sekarang hanyalah notifikasi. Satu atau dua pesan, kadang lebih, tapi semua terasa seperti formalitas. “Selamat tidur, ya.” “Hari ini sibuk banget, nanti aku kabarin.” “Selamat pagi sayang”

Kata-kata yang benar. Tapi tak menghibur. Seperti membaca instruksi dari buku manual, bukan cinta.

Shana tidak bisa menjelaskan dengan logika mengapa rasanya seperti ditinggalkan, padahal ia masih disebut “sayang”, masih diberi emoji hati. Tapi ia tahu, hatinya tak lagi merasa dirangkul.

Malam harinya, Shana menulis pesan panjang. Tangannya gemetar sedikit, karena ini bukan sekadar teks, ini adalah jeritan yang tak pernah ia ucapkan sebelumnya.

“Sayang, aku nggak tahu apakah ini cuma perasaanku, tapi aku selalu merasa sendirian. Aku tahu kamu sibuk. Aku tahu hubungan jarak jauh nggak gampang. Tapi aku rindu… bukan hanya pada suaramu, tapi pada cara kamu dulu membuatku merasa begitu berharga. Sekarang, kamu tetap hadir… tapi entah kenapa rasanya kamu jauh. Mungkin aku terlalu sensitif. Atau mungkin… ada yang mulai berubah. Aku nggak nuntut apa-apa. Aku cuma ingin tahu… apakah aku masih benar-benar penting di hidupmu?”

Ia menatap pesan itu cukup lama. Lalu menghapusnya.

Karena ia tahu, kalau harus meminta kehadiran, mungkin ia sudah tak memilikinya lagi.

Tiga hari kemudian, Shana memutuskan untuk tidak membalas pesan dari Elric. Bukan karena ingin membuatnya khawatir, tapi karena ia ingin tahu apakah Elric akan menyadari keheningannya?

Hari pertama, tak ada reaksi. Hari kedua, Elric mengirim satu pesan: “Sayang, kamu lagi ngapain?”

Hari ketiga, Elric menelepon. Tapi hanya satu kali. Tak diulangi lagi saat tidak diangkat.

Shana membaca notifikasi panggilan tak terjawab itu dengan jantung berdebar. Tapi bukan karena harap, melainkan karena sedih. Karena dia tahu, telepon itu bukan bentuk kepedulian yang mendalam, hanya karena Elric penasaran. Atau mungkin terganggu oleh ketidakhadirannya.

Malamnya, Shana membuka catatan kecil yang ia simpan sejak awal hubungan mereka. Di halaman pertama ada kutipan yang dulu ditulis Elric: “Apapun halangannya nanti, aku akan tetap bersamamu dan memilihmu. Jadi jangan pernah meninggalkanku.”

Ia menangis. Bukan karena kata itu tidak benar, tapi karena kata itu tidak lagi hidup.

Pada minggu kedua, Shana mengirim pesan:

“Aku harap kamu baik-baik saja. Aku nggak akan mengganggumu dulu. Mungkin kita memang butuh waktu untuk fokus dan untuk tahu apakah kita masih saling mencintai, atau cuma terbiasa saling menyapa.”

Tak ada balasan malam itu. Tidak juga keesokan harinya. Dan entah kenapa, Shana merasa lebih tenang.

Ia berjalan ke taman dekat rumah, membawa bukunya, duduk di bangku yang menghadap danau kecil. Angin sore menyapu rambutnya, dan ia memejamkan mata.

Ia mulai belajar menerima, bahwa cinta yang sejati bukan sekadar hadir dalam bentuk kata. Tapi dalam usaha. Dalam waktu. Dalam rasa ingin tahu yang tulus: apakah kamu bahagia hari ini? Apakah kamu sedang lelah? Apakah aku bisa menemani?

Dan Elric, meski penuh kata-kata, telah lama tidak menanyakan itu.

Shana membuka halaman kosong di belakang bukunya, dan mulai menulis bukan untuk Elric, tapi untuk dirinya sendiri:

“Aku pernah percaya, bahwa cinta yang paling kuat adalah yang bertahan meski hanya dengan kata. Tapi sekarang aku tahu… kata-kata bisa indah tanpa makna. Dan cinta tak pernah selesai hanya dalam kalimat. Ia harus hadir, meski hanya sebentar. Ia harus bertanya, meski dengan gemetar. Karena jika tidak, ia hanyalah puisi yang tak pernah dibaca hingga akhir.”

**

Hari-hari setelahnya berlalu seperti potongan waktu yang tidak utuh. Elric tetap bangun pagi, tetap bekerja, tetap bertemu orang-orang. Tapi semuanya seperti salinan buram dari rutinitas yang dulu pernah hidup.

Kadang, saat menunggu lift, ia membayangkan Shana selalu menunggunya. Menatap layar ponsel menunggu notifikasi yang mencemaskannya. Kadang, ia menyentuh sakunya, seolah menemukan pesan masuk, padahal hanya detak jantungnya sendiri yang ia dengar.

Elric tidak yakin apakah ini rindu atau hanya kebiasaan yang mendadak patah. Ia tidak yakin apakah hatinya benar-benar kehilangan Shana atau hanya kehilangan dukungan emosional yang dulu menenangkannya.

Shana bukan perempuan pertama yang pernah hadir dalam hidup Elric. Tapi ada sesuatu yang ia bawa, yang tidak bisa dijelaskan dengan kata “indah” atau “baik”. Ia tidak mengubah hidup Elric secara dramatis, tidak juga membuatnya merasa seperti lelaki paling beruntung. Tapi ia ada dengan cara yang tidak menuntut, tapi juga tidak pernah ragu.

Hujan turun rintik saat Eldric membuka kembali buku catatan lama milik Shana.

Buku yang dulu selalu ia biarkan tergeletak di meja, berisi potongan kalimat, gambar tanpa makna, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ditujukan padanya.

Di halaman kelima belas, ia menemukannya.

Kalimat yang mengganggu pikirannya malam ini.

“Percaya atau tidak, bahwa aku tidak pernah berniat untuk mencintai orang lain selain dirimu.”

Shana menulisnya dengan tinta biru, sedikit miring ke kanan, seperti ia menuliskannya sambil menahan perasaan. Entah bahagia, entah takut. Eldric tak pernah tahu pasti.

Elric tidak tahu apakah Shana masih menunggunya. Ia tidak tahu apakah cinta mereka bisa disusun kembali, atau hanya akan tinggal sebagai serpihan puisi yang tak selesai. Ia juga tidak tahu apakah ia ingin memperjuangkannya lagi atau hanya ingin menyesali dengan cara paling diam.

Tapi satu hal yang ia tahu:

Ia pernah mencintai Shana.

Dan itu bukan karena Shana sempurna. Tapi karena ia hadir, saat Elric bahkan belum tahu cara menyambut kehadiran siapa pun.

Sekarang, Shana memilih diam.

Dan Elric, untuk pertama kalinya, benar-benar merasakan apa itu kehilangan tanpa suara.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Tak Pernah Selesai di Ujung Kalimat
Shavrilla
Novel
BINTANG RINDU
Oki Syadau Ramdani
Flash
Cerita Tentang Hujan
bomo wicaksono
Flash
Bronze
Perasaan
Pluvia
Novel
Tentang Kamu
Lina Apriyanti
Cerpen
Senandung Tanah Lado
Wulan Ews
Novel
Bronze
Neighbor's Secret
Husni Magz
Novel
Memorable Classroom
Nur Annisa
Komik
Alice & Mad Hatter
Scarlet Hyne
Flash
Bronze
Di Ujung Senja
Yasin Yusuf
Cerpen
Bronze
Puisi yang Menggantung di Tiang Kasau
Supriyatin Yuningsih
Novel
AKU BUKAN ORANG KETIGA
Ikhaqueen
Novel
PERJANJIAN CINTA SUAMIKU
Neny yuliati
Novel
Bronze
Harmonisasi Rasa
Karang Bala
Novel
Gold
Find a Way to My Heart
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Tak Pernah Selesai di Ujung Kalimat
Shavrilla
Cerpen
Di Antara Dua Sunyi
Shavrilla
Novel
The Morning Sky After Pain
Shavrilla