Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Tak Perlu Bilang Orang Tua
0
Suka
14
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Malam kedua kami menginap di hotel, tiba-tiba saja Aliyah berkata, “Aku lupa ngurus masalah BPJS kesehatan. Ya ampun, seharian ini nggak keinget!”

Dia segera meraih ponselnya yang sedang dicas di dekat dinding. Padahal ponsel itu baru saja diletakkan di atas lantai untuk diisi baterainya yang mulai melemah. Maklum saja, colokannya berada lebih dekat dengan lantai daripada dengan permukaan meja di kamar hotel kecil yang kami pesan selama dua malam terakhir.

Mau tak mau, setiap kali mengisi daya baterai ponsel, kami akan membiarkan ponsel kami tergeletak di atas lantai begitu saja tanpa alas. Untungnya setiap ponsel sekarang dilengkapi pelindung khusus seperti hardcase/softcase agar bodinya tidak mudah tergores.

“Ada masalah apa sama BPJS kesehatan?” tanyaku penasaran. Seingatku, Aliyah sudah cukup lama resign dari pekerjaannya di Kota Batam, kira-kira sudah hampir setengah tahun lebih. Jadi aku yakin masalah iuran BPJS kesehatannya sudah tidak lagi ditanggung oleh pihak perusahaan tempat dirinya pernah bekerja dulu.

“Aku mau ngaktifin BPJS kesehatanku lagi. Salah aku juga sih, sempat berhenti bayar iuran bulanannya abis berhenti kerja.”

“Bukannya kalau gitu bakalan kena denda, ya?”

“Nah, itulah aku yang nggak tau bakalan kena denda berapa. Yang penting aku urus dulu supaya BPJS-nya aktif.”

“Kenapa baru sekarang diurus? Ada keperluan apa?”

Aliyah meletakkan ponselnya kembali di atas lantai, membiarkan ponsel itu kembali dicas. Sebuah senyum terukir di wajahnya yang manis. Satu senyum getir.

“Aku mau ngejalanin check up kesehatan,” jawabnya pelan.

“Tiba-tiba?”

“Bukan tiba-tiba, lho. Lupa ya aku pernah cerita soal benjolan di dada aku?”

“Oh, iya! Aku baru ingat! Sori, sori,” kataku seraya menepuk jidat.

Aku beringsut menuruni tempat tidur dan memilih duduk di lantai di samping Aliyah yang siap menceritakan kisahnya.

“Sebelum aku masuk kerja di Batam, kan, aku ngejalanin tes kesehatan. Dari hasil tes kesehatan aku, dokter udah nyampein juga kalau ada benjolan di dada aku. Malah sebelumnya aku mikir kalau benjolan itu cuma perasaan aku aja. Ternyata emang makin lama dia makin besar.”

“Jadi, sekarang beneran udah makin besar?”

Aliyah mengangguk cepat. “Aku ngiranya bakal hilang sendiri. Biasalah, kita berharap benjolannya bisa hilang sendiri seiring berjalannya waktu supaya kita nggak perlu repot-repot periksa ke dokter. Eh, ternyata nggak hilang-hilang. Nasib, deh.”

“Emang ada beberapa kasus benjolannya hilang dengan sendirinya kok.”

“Ya, ‘kan? Aku benar?”

“Yah, kalian beda nasib aja.”

“Makanya, aku harus aktifin BPJS kesehatan lagi biar biaya periksa dan pengobatan aku ditanggung sama mereka. Lumayan beda jauh bayarnya kalau nggak pake asuransi.”

“Terus, ayah kamu tahu, Li?”

“Buat apa?”

“Eh?”

“Ngapain bikin cemas ayah aku? Temen aku ada juga kok ngalamin hal yang sama kayak aku. Dia juga nggak bilang-bilang ke orang tuanya. Dia pergi periksa ke rumah sakit sendiri, terus dia pergi jalanin operasi sendiri. Pas udah selesai operasinya, baru dia bilang ke orang tuanya. Tapi, kan, operasinya udah selesai dan dia udah kembali sehat. Jadi, orang tuanya nggak perlu ngerasa cemas.”

“Iya, sih. Aku paham,” ucapku sambil mengangguk pelan.

Namun, aku sendiri tidak pernah membayangkan bahwa aku akan menjalani semua itu seorang diri. Aku bahkan tidak ingin membayangkannya.

“Aku yakin kamu bisa kuat ngelewatin masalah ini, Li,” ucapku akhirnya sambil memegang bahu kanan Aliyah yang begitu kurus. Tak ada tanda-tanda lemak di area itu sedikit pun. Irinya.

“Anak perempuan pertama di keluarga emang harus kuat.”

“Setuju.”

Sebagai sesama anak perempuan pertama di keluarga yang juga sama-sama berasal dari empat bersaudara dan hidup dengan ekonomi serba pas-pasan, aku sangat memahami bagaimana perasaan Aliyah saat ini.

Memang berat karena tidak akan ada yang menemani dirinya nanti. Tapi, dia masih punya aku yang akan selalu mendukungnya dari belakang. Ketika aku sendiri punya kesibukan yang harus dijalani, hanya doa-doalah yang mampu kukirimkan untuk Aliyah selanjutnya. Semoga cepat sembuh, Teman!

“Itu bukan penyakit parah. Paling tumor jinak. Temen aku pas KKN pernah operasi yang sama juga. Makanya dia sering ngingatin kami setiap kali mandi buat mijat-mijat dada sendiri, apakah ada benjolan atau enggak. Alhamdulillah, aku nggak ada,” ceritaku berusaha mencairkan suasana agar kembali ceria

“Syukurlah. Lega aku dengarnya. This is not a big deal-lah seharusnya. Kita pasti bisa melewatinya.”

“Iya, seperti Tuhan yang nggak akan ngasih cobaan melebihi kekuatan hamba-Nya.”

Aku dan Aliyah saling menatap dengan senyum merekah.

Tunggu, hubungan kami sama sekali tidak seperti yang kalian pikirkan. Kami hanya berteman baik, tidak lebih. Tak ada romansa yang timbul di antara kami. Amit-amit!

“Ya udah, aku mau cuci muka dan gosok gigi sebelum tidur. Kita harus tidur cepat malam ini. Besok mau lanjut jalan-jalan lagi, kan.”

“Iya, gih, beres-beres sana!” perintahku.

“Heh, abis ini elu ya yang harus bebersih diri!”

“Iya, siap! Aman, Bunda!”

Hampir saja aku kena timpuk bantal kalau tidak segera menghindar.

“Kan, emang udah cocok jadi bunda-bunda yang seumuran kita ini. Otewe jalan kepala tiga.”

Aku tertawa keras sekali.

“Hus, ribut! Ganggu orang sebelah yang mau istirahat aja!” ujar Aliyah memperingatkan lalu dirinya berjalan masuk ke kamar mandi.

Kamar hotel tempat kami menginap memang minimalis, tapi bersih dan nyaman. Menurutku, harganya juga tidak terlalu murah, termasuk mahal bagi kami yang punya anggaran terbatas.

Besok pagi rencananya kami akan berjalan-jalan di pinggir pantai. Menikmati indahnya pemandangan batu-batu besar yang berjejer di pinggir pantai tersebut. Semilir angin yang sejuk akan menerpa wajah lelah kami yang selama ini berusaha menghasilkan uang demi bertahan hidup.

Sungguh enak sekali menghabiskan uang! Menghasilkannya yang setengah mati!

Di saat kita tidak mungkin mengharapkan uang jatuh dari langit. Akhirnya, mau tak mau, kita memaksa diri untuk terus bekerja keras. Ketika kepala dan hati merasakan penat tak tertahankan, kita mulai menghitung berapa jumlah di dalam tabungan. Apakah sebagiannya bisa dipakai pergi berlibur barang tiga sampai empat hari? Tidak perlu pergi jauh-jauh ke pulau lain. Cukup pergi ke provinsi sebelah yang kebetulan punya banyak tempat wisata.

Beruntunglah kami berdua tinggal bersebelahan dengan Provinsi Sumatra Barat. Kapan saja kami merasa bosan dan butuh sedikit refreshing, tinggal pesan mobil travel menuju Sumatra Barat. Paling dekat, kami bisa menikmati wisata di Kota Payakumbuh seperti Lembah Harau.

Sebenarnya, aku paling menikmati bagian perjalanannya dengan mobil. Sepanjang jalan, mataku terberkati oleh pemandangan hijau sawah dan pegunungan.

Namun, kali ini, kami berdua memutuskan untuk mengunjungi Kota Padang, yang tidak kalah menariknya dibandingkan kota-kota lain di Sumatra Barat.

“Bersihin diri sana!” teriak Aliyah setelah dirinya keluar kamar mandi.

“Sombong banget yang udah siap buat tidur!” kataku sewot dan segera beranjak meninggalkan kasur yang empuk.

Sebelum kami berdua tertidur lelap, tidak lupa kami saling mengucapkan, “Good night.

Aliyah akan baik-baik saja. Selama aku mengenal sosoknya, dia bukanlah tipe yang suka mengeluh. Sesekali dia pernah menunjukkan kesedihannya di hadapanku, tapi dia tidak pernah membiarkan kesedihan mengelilingi dirinya terlalu lama.

Dia menyukai pelangi. Apalagi pelangi yang muncul setelah hujan badai. Baginya, pelangi itu melambangkan dirinya yang ingin tetap tegar setelah berhasil menghadapi berbagai badai masalah kehidupan.

Pelangi juga akan menyukaimu, Aliyah.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Tak Perlu Bilang Orang Tua
Amanda Chrysilla
Novel
Mantri
Nova ari ismawan
Novel
Setelah Kepergianmu
YENI AMALIA ILAHI
Novel
Andai
Iyut Raihana
Flash
Sehari Empat Ribu
Martha Z. ElKutuby
Flash
SETENGAH PRIA SETENGAH WANITA
DENI WIJAYA
Flash
Bronze
Khayalan Pembaca Ayat-Ayat Cinta
Daud Farma
Cerpen
Bronze
Terima Kasih Pernah Singgah Di Hati
Daud Farma
Novel
MANTRA CINTA Si Anak LASANG
Poloria Sitorus
Novel
Aku, Kamu, Dia, dan Mereka Adalah Kita
Neo Kaspara Widiastuti
Cerpen
MENDEKAP MARAPI
Shinta Puspita Sari
Novel
PawsLova
Regina Mega P
Flash
Hujan Setelah Pelangi
Rahmawati
Flash
Enam Bulan Seumur Hidup
L
Flash
JAS REMBULAN
Faisal Syahreza
Rekomendasi
Cerpen
Tak Perlu Bilang Orang Tua
Amanda Chrysilla
Flash
Pertemuan Kita
Amanda Chrysilla
Novel
Forever Just Friends
Amanda Chrysilla
Novel
Cinta Halal Arina
Amanda Chrysilla
Flash
Satu Hati yang Patah
Amanda Chrysilla