Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku bukan lagi penjaga neraka.
Bukan karena aku lelah. Bukan pula karena aku bertobat. Tapi karena aku muak.
Muak pada manusia.
Dulu, aku menyambut setiap jiwa yang dilempar ke jurang api dengan keteguhan. Ada aturan yang kutahu: siapa yang berdosa akan dibakar. Siapa yang membunuh akan digantung dalam azab. Siapa yang menyiksa akan disiksa balik.
Sederhana. Bersih. Tanpa basa-basi.
Tapi sekarang?
Kini manusia datang dalam bentuk yang bahkan api enggan menjamah.
Aku berdiri di batas neraka seperti biasa, menyaksikan barisan panjang arwah manusia datang dari dunia. Tapi mereka bukan lagi jiwa-jiwa berdosa seperti dulu.
Mereka adalah sisa dari dunia yang tidak lagi mengenal batas dosa. Mereka datang tanpa rasa takut, bahkan saat tubuh mereka dicabut dari bumi.
Sebagian tersenyum. Sebagian tertawa.
Beberapa bahkan berkata: “Apa bedanya di sini? Di dunia pun kami sudah terbiasa membakar yang hidup.”
Dulu, aku mengira tugasku adalah mengadili.
Ternyata aku hanya sedang menonton pertunjukan yang manusia ciptakan sendiri: Perang. Penghianatan. Penjualan kebenaran.
Dan kini, bahkan saat mereka datang padaku, mereka membawa kepastian bahwa mereka takkan merasa bersalah.
Aku, Irfan, diciptakan dari api dan amarah.
Aku adalah satu dari yang tertuduh sebagai makhluk pembangkang.
Tapi bahkan aku tahu batas.
Aku tahu dosa adalah sesuatu yang harus dihindari, atau setidaknya ditanggung.
Tapi manusia?
Mereka menghitung dosa sebagai kebanggaan.
Semakin besar luka yang mereka beri, semakin besar pula panggung yang mereka naikkan.
Aku menyaksikan dunia dari jauh, ratusan tahun. Tapi baru akhir-akhir ini aku memutuskan untuk turun langsung.
Bukan karena diperintah. Tapi karena aku ingin tahu: Benarkah manusia telah berubah menjadi lebih busuk dari aku?
Jawabannya kutemukan bahkan sebelum aku benar-benar menyentuh bumi:
Ya.
Aku tidak datang dengan tanduk.
Aku tidak menyamar sebagai ular atau makhluk kegelapan.
Aku datang sebagai sosok laki-laki, biasa. Tak mencolok. Tak tampan. Tapi cukup samar untuk tak diperhatikan. Karena aku tahu: Keheningan adalah pintu terbaik untuk menguping suara dunia.
Aku menjejak kota pertamaku: Asap, kelap-kelip lampu, dan suara-suara dari speaker tinggi yang berisi nasihat palsu dan motivasi kosong.
Setiap manusia berjalan cepat. Mereka bicara cepat. Tapi mereka tak pernah benar-benar mendengarkan.
Mereka saling tabrak. Saling potong.
Di antara keramaian, aku melihat anak kecil berdiri di pinggir jalan. Menyodorkan tangannya yang kurus dan semua mata memalingkan wajah seolah kemiskinan adalah bau busuk yang bisa dihindari.
Aku tak menyapa siapa-siapa.
Tapi aku melihat semuanya.
Seorang wanita muda duduk di halte. Tangannya gemetar memegang surat putusan sidang ayah kandungnya dibebaskan, karena "kurangnya bukti".
Ia diam. Tapi matanya adalah neraka yang tak bisa kulukis.
Di seberang jalan, seorang lelaki tua sedang menjual buku agama. Tapi saat malam tiba, ia menyelipkan narkoba di halaman belakangnya. Dan saat aku menatapnya… ia tersenyum padaku. Bukan karena ia tahu siapa aku. Tapi karena aku terlihat seper...