Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Tak Layak
1
Suka
1,414
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku bukan lagi penjaga neraka.

Bukan karena aku lelah. Bukan pula karena aku bertobat. Tapi karena aku muak.

Muak pada manusia.

Dulu, aku menyambut setiap jiwa yang dilempar ke jurang api dengan keteguhan. Ada aturan yang kutahu: siapa yang berdosa akan dibakar. Siapa yang membunuh akan digantung dalam azab. Siapa yang menyiksa akan disiksa balik.

Sederhana. Bersih. Tanpa basa-basi.

Tapi sekarang?

Kini manusia datang dalam bentuk yang bahkan api enggan menjamah.

Aku berdiri di batas neraka seperti biasa, menyaksikan barisan panjang arwah manusia datang dari dunia. Tapi mereka bukan lagi jiwa-jiwa berdosa seperti dulu.

Mereka adalah sisa dari dunia yang tidak lagi mengenal batas dosa. Mereka datang tanpa rasa takut, bahkan saat tubuh mereka dicabut dari bumi.

Sebagian tersenyum. Sebagian tertawa.

Beberapa bahkan berkata: “Apa bedanya di sini? Di dunia pun kami sudah terbiasa membakar yang hidup.”

Dulu, aku mengira tugasku adalah mengadili.

Ternyata aku hanya sedang menonton pertunjukan yang manusia ciptakan sendiri: Perang. Penghianatan. Penjualan kebenaran.

Dan kini, bahkan saat mereka datang padaku, mereka membawa kepastian bahwa mereka takkan merasa bersalah.

Aku, Irfan, diciptakan dari api dan amarah.

Aku adalah satu dari yang tertuduh sebagai makhluk pembangkang.

Tapi bahkan aku tahu batas.

Aku tahu dosa adalah sesuatu yang harus dihindari, atau setidaknya ditanggung.

Tapi manusia?

Mereka menghitung dosa sebagai kebanggaan.

Semakin besar luka yang mereka beri, semakin besar pula panggung yang mereka naikkan.

Aku menyaksikan dunia dari jauh, ratusan tahun. Tapi baru akhir-akhir ini aku memutuskan untuk turun langsung.

Bukan karena diperintah. Tapi karena aku ingin tahu: Benarkah manusia telah berubah menjadi lebih busuk dari aku?

Jawabannya kutemukan bahkan sebelum aku benar-benar menyentuh bumi:

Ya.

Aku tidak datang dengan tanduk.

Aku tidak menyamar sebagai ular atau makhluk kegelapan.

Aku datang sebagai sosok laki-laki, biasa. Tak mencolok. Tak tampan. Tapi cukup samar untuk tak diperhatikan. Karena aku tahu: Keheningan adalah pintu terbaik untuk menguping suara dunia.

Aku menjejak kota pertamaku: Asap, kelap-kelip lampu, dan suara-suara dari speaker tinggi yang berisi nasihat palsu dan motivasi kosong.

Setiap manusia berjalan cepat. Mereka bicara cepat. Tapi mereka tak pernah benar-benar mendengarkan.

Mereka saling tabrak. Saling potong.

Di antara keramaian, aku melihat anak kecil berdiri di pinggir jalan. Menyodorkan tangannya yang kurus dan semua mata memalingkan wajah seolah kemiskinan adalah bau busuk yang bisa dihindari.

Aku tak menyapa siapa-siapa.

Tapi aku melihat semuanya.

Seorang wanita muda duduk di halte. Tangannya gemetar memegang surat putusan sidang ayah kandungnya dibebaskan, karena "kurangnya bukti".

Ia diam. Tapi matanya adalah neraka yang tak bisa kulukis.

Di seberang jalan, seorang lelaki tua sedang menjual buku agama. Tapi saat malam tiba, ia menyelipkan narkoba di halaman belakangnya. Dan saat aku menatapnya… ia tersenyum padaku. Bukan karena ia tahu siapa aku. Tapi karena aku terlihat seperti dia.

Aku berjalan terus. Masuk ke lorong-lorong, pasar, rumah ibadah, pusat kota, dan tempat-tempat yang katanya suci.

Yang kudengar hanyalah satu hal berulang-ulang:

“Aku lebih benar darimu.”

“Aku lebih suci darimu.”

“Aku berhak menghukummu.”

Tapi tak ada yang benar-benar memeluk yang lemah.

Tak ada yang mau mencium luka.

Semua sibuk menunjuk dan mencaci.

Semua bicara tentang Tuhan tapi hanya sedikit yang bertanya, “Apakah Tuhan sedang menangis melihat ini semua?”

Di titik itulah aku tahu: Tugasku bukan lagi menjaga neraka.

Karena neraka telah bocor ke dunia, dan manusia berenang di dalamnya.

Dan yang paling menyakitkan? Mereka menyebut itu hidup.

Aku sempat duduk di bangku taman kota, pura-pura seperti mereka.

Mengamati. Mendengarkan.

Mereka bicara banyak tentang pasangan mereka yang selingkuh, tentang sahabat yang menusuk, tentang pemimpin yang korup, tentang anak muda yang “tak tahu diri”.

Tapi tak satu pun dari mereka yang bertanya: “Apa yang telah aku lakukan hari ini?”

Seorang ibu lewat dengan dua anak, menyuap yang satu dengan permen agar diam, dan membentak yang lain hanya karena jatuh. Wajahnya kelelahan bukan karena hidup, tapi karena terus mencoba tampak baik di depan kamera ponsel.

Seorang pria bersetelan rapi duduk tak jauh dari situ, berteriak-teriak lewat telepon, membela “hak perusahaan”, sambil meludahi sisa roti pengemis yang jatuh di dekatnya.

Dan aku?

Aku diam. Menatap mereka. Bertanya dalam batin yang sudah aus: "Apa kalian pernah tahu arti dosa, atau kalian hanya menyebutnya dosa ketika itu bukan perbuatan kalian?"

Malam itu aku berjalan menuju tempat ibadah.

Bukan untuk berdoa tentu tidak. Aku tak punya Tuhan. Aku diciptakan untuk menentang.

Tapi aku penasaran bagaimana manusia yang katanya "paling mulia" menyampaikan cinta dan pengampunan mereka.

Aku mendengar suara-suara indah.

Doa, kidung, seruan, ayat.

Tapi di antara gema itu, aku melihat tangan-tangan yang sembunyi di balik jubah suci: menghitung uang sumbangan, menyimpan kontak anak-anak altar, mengutuk yang tak sepaham.

Seorang pemimpin berdiri di mimbar dan berkata: “Cinta adalah cahaya bagi dunia.”

Tapi di luar, ia meludahi seorang wanita tua karena bajunya compang-camping dan wajahnya menua tanpa riasan.

Aku sempat berpapasan dengan seorang pemuda.

Ia menatapku. Lama.

Tatapannya kosong, tapi di matanya ada sesuatu yang aku kenal: amarah yang belum menemukan tempat.

“Apa kau tahu kenapa dunia begini?” katanya.

Aku tak menjawab.

Ia tersenyum miring. “Karena yang bersuara diam, dan yang diam disalahkan. Karena orang baik sibuk membenarkan diri, bukan membenahi luka orang lain. Karena manusia tak lagi ingin menjadi manusia. Mereka ingin menjadi Tuhan... atas manusia lain.”

Aku menatapnya. Untuk pertama kalinya, aku merasa kecil.

Malam semakin larut.

Aku kembali ke tempatku bukan neraka, bukan bumi. Tapi di antara keduanya.

Ruang diam, tempat aku tak bisa menangis dan tak bisa tertawa.

Di sana aku duduk.

Tangan kosong. Mata lelah.

Dan dalam benakku, satu kalimat berulang: “Kalau manusia lebih jahat dariku, siapa yang seharusnya dibuang?”

Aku bukan lagi penjaga neraka.

Aku telah menyerahkan oborku.

Biarlah manusia membakar dirinya sendiri. Karena kini aku tahu: neraka bukan tempat bagi yang berdosa tapi bagi mereka yang masih bisa merasa bersalah.

Dan mereka…tidak lagi punya rasa itu.

Di waktu yang tidak ditentukan, ketika manusia berhenti menunduk dalam doa, neraka mulai menolak.

Ya. Neraka tempat yang selama ini dikira paling haus, paling buas, mulai menutup pintunya.

Aku tahu, karena aku yang berdiri di gerbangnya.

Aku pernah menghitung dengan sabar: setiap pembunuh, setiap pendusta, setiap penipu, setiap penjarah, setiap pemerkosa, setiap pengkhianat, setiap pelupa yang pura-pura tak ingat janji.

Tapi kini, nama-nama itu datang tanpa rasa takut.

Mereka datang sambil tertawa.

Bahkan ada yang bersorak: “Akhirnya! Daripada terus pura-pura baik di dunia yang palsu ini, lebih baik masuk ke tempat yang jelas!”

Dan neraka menolak.

Ia berbisik: “Aku tak bisa membakar yang tak lagi punya rasa terbakar.”

Bayangkan: tempat terkutuk itu, yang selama ini jadi ancaman paling mengerikan bagi manusia…mundur. Karena manusia telah jadi sesuatu yang bahkan kegelapan pun tak mau sentuh.

Bukan karena mereka terlalu kuat. Tapi karena mereka telah kehilangan rasa takut.

Apa gunanya api, bila yang dilempar ke dalamnya sudah menganggap sakit sebagai candu?

Apa gunanya siksaan, bila mereka telah lebih dulu menyiksa dirinya sendiri dan menikmati tiap jeritannya?

Aku menyaksikan seorang wanita datang dengan tubuh penuh darah. Ia baru saja membakar satu keluarga hidup-hidup, demi uang pertanggungan asuransi. Tapi ia datang sambil melambai padaku, seolah aku ini pelayan pesta.

“Apa ruanganku sudah siap?” tanyanya.

Aku diam.

Neraka diam.

Lalu dari dalam terdengar suara berat dan sunyi:

“Pergilah. Aku tidak mengenalmu.” Wanita itu tertawa.

“Tak apa. Dunia pun sudah tak mengenalku lagi.”

Dan ia menghilang.

Ke mana? Aku tak tahu.

Tapi ia tak masuk neraka.

Dan ia tak layak masuk ke tempat lain.

Itu bukan satu-satunya.

Beberapa hari berikutnya atau mungkin abad berikutnya, waktu di sini tak punya angka aku melihat lebih banyak wajah-wajah datang.

Seorang pemimpin yang membakar desa atas nama pembangunan.

Seorang penyair yang menjual puisi suci untuk menyelipkan propaganda.

Seorang guru yang meniduri muridnya lalu menulis buku moral.

Seorang anak kecil yang tertawa setelah menjerat burung sampai mati.

Mereka semua datang.

Dan neraka menolak.

Bukan karena ia memilih-milih.

Tapi karena ia mulai mual.

Aku pernah berpikir, aku ini perantara.

Pengantar dari dunia manusia menuju dunia hukuman.

Tugasku sederhana: menghitung, menggiring, menyaksikan. Tapi sekarang? Aku berdiri sendiri di depan pintu yang tak lagi ingin terbuka.

Aku sempat bertanya pada nyala api di kedalaman, “Kenapa kau tolak mereka? Bukankah mereka milikmu?”

Dan api menjawab…dengan bisikan nyaris hilang:“Karena mereka tak datang sebagai pendosa. Tapi sebagai tuan rumah.”

Neraka, bagaimanapun, masih percaya pada rasa malu.

Ia masih mengerti arti penyesalan.

Ia menerima mereka yang menangis dalam diam, yang jatuh karena lemah, yang terbakar karena kecewa.

Tapi manusia hari ini?

Mereka datang tanpa luka, tanpa sesal, tanpa rasa salah.

Mereka datang dengan dada bangga dan tawa di bibir.

Mereka berkata,

“Aku membunuh karena harus.”

“Aku memfitnah karena itu hiburan.”

“Aku menyiksa karena mereka pantas.”

Dan aku…aku yang diciptakan dari nyala yang dulu diberi nama Iblis…aku yang menolak sujud karena kutahu nilai sejati tak bisa dipaksakan…aku gentar.

Aku melihat seorang anak perempuan dibimbing ayahnya menuju gerbang ini.

Ia baru berusia sembilan tahun.

Tangannya kecil. Tapi darah menetes dari jari-jarinya.

Ia telah menusuk adik kandungnya sendiri karena sang ibu memberi susu lebih banyak pada sang adik.

Sang ayah tertawa, “Lihat? Dia cepat belajar. Dunia tak butuh orang lembek.”

Aku memandang anak itu.

Ia tidak menangis.

Ia tidak meminta maaf.

Ia hanya berkata:

“Apakah di sini aku bisa membunuh lebih banyak?”

Dan api berkata: “Tidak, Nak. Bahkan kami punya batas.”

Batas.

Sebuah kata yang tak pernah kupikir akan keluar dari mulut neraka.

Aku, yang pernah menyaksikan perbudakan, genosida, penghancuran, perusakan, pengkhianatan…

Aku, yang dulu tak berkedip saat melihat manusia diseret dalam lingkar siksaan…

Kini mulai bertanya: “Kenapa mereka berubah?

Atau… sejak awal aku yang salah mengira?”

Di antara ribuan arwah yang datang, hanya segelintir yang ditelan.

Sisanya… menguap.

Entah ke mana.

Mungkin kembali ke dunia sebagai pemimpin.

Mungkin menjelma jadi guru.

Mungkin masuk ke rumah suci, lalu menjadi pembaca doa.

Karena kini aku tahu: dosa tak lagi punya wajah. Ia memakai topeng manusia. Dan manusia tak ingin melepasnya.

Di antara suara api yang meringkuk malu, aku duduk.

Sendiri.

Pintu neraka tertutup. Tak lagi mendesah, tak lagi meronta meminta jiwa.

Karena apa gunanya meminta, jika yang datang tak lagi membawa rasa?

Neraka adalah tempat penyucian.setidaknya begitu dulu kupikir. Tapi kini aku tahu: dunia telah menjadi neraka versi manusia.

Versi yang lebih dingin.

Versi yang penuh peradaban.

Versi yang memakai dasi dan jas.

Versi yang menulis puisi, tapi menyembunyikan pisau di sela kalimat.

Aku melihat seorang pendeta, seorang ustaz, seorang biksu, dan seorang ateis berdiri berjejer.

Mereka semua mati karena saling membunuh dalam satu ledakan. Dan saat mereka tiba di hadapanku, mereka tertawa seperti sahabat lama. “Akhirnya kita satu tempat juga,” kata si pendeta.

“Kau pikir Tuhan akan datang menjemput?” tanya si ateis sambil meludah.

Lalu si biksu berkata, “Mungkin kita terlalu suci untuk surga, dan terlalu busuk untuk tempat ini.”

Aku tak bicara.

Aku hanya menoleh pada neraka.

Dan ia…ia menghembuskan asap yang beraroma besi dan remuk, lalu berkata,

“Tidak. Kalian terlalu sadar bahwa kalian salah……tapi tidak pernah ingin berhenti melakukannya.”

Dan dengan satu desah sunyi, pintu itu tertutup kembali.

Di tempat ini, waktu bukan sekadar angka.

Ia adalah berat.

Dan waktu sekarang terasa sangat berat.

Bukan karena arwah yang datang, tapi karena makna dari setiap dosa yang dibawa menjadi hampa.

Dulu aku bisa tahu: yang membunuh akan menjerit, yang berzina akan menangis, yang menyiksa akan menyesal

Tapi kini…mereka datang seperti turis spiritual, mengira neraka adalah tujuan eksotis terakhir, dan aku hanyalah penjaga hotel yang kehilangan reservasi.

“Apa yang tersisa jika bahkan api pun menyerah?”

Tanyaku dalam hati.

Jawabannya:

Kehampaan.

Dan kehampaan itu lebih menakutkan daripada siksaan.

Karena di kehampaan, tidak ada rasa bersalah.

Tidak ada rasa apa pun.

Malam itu atau siang? entahlah aku berdiri di depan pintu neraka tanpa buku, tanpa obor, tanpa suara.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa lebih manusiawi dari manusia itu sendiri.

Karena aku masih tahu bahwa menyakiti adalah hal yang salah.

Sementara mereka…menyebutnya kemajuan.

Neraka tak menolak karena lemah.

Neraka menolak karena jijik.

Dan aku, Irfan yang katanya dilahirkan untuk menjerumuskan hari ini berdiri untuk menghindari disentuh oleh yang seharusnya kubakar.

Aku turun bukan untuk merusak, tapi untuk melihat.

Setelah neraka menutup pintunya, dan dosa tak lagi punya tempat berlabuh, aku ingin tahu ke mana semua itu mengalir.

Dari mana bau busuk itu berasal. Bukan bau darah, bukan bau bangkai tapi sesuatu yang lebih halus, lebih dalam, bau hati yang tak lagi punya rasa.

Dunia, tempat yang dulu kutinggalkan dengan jijik, kini kembali kupijak bukan dengan langkah kehormatan, tapi dengan curiga.

Aku datang ke sebuah kota besar.

Jalan-jalan seperti urat retak.

Gedung menjulang seperti tiang keangkuhan.

Lampu-lampu menyala, tapi tak ada yang benar-benar terang.

Aku melihat ribuan wajah lewat.

Sebagian membawa senyum, sebagian menyembunyikan luka.

Tapi yang paling menakutkan adalah: mereka semua berjalan cepat, seolah kalau mereka berhenti, mereka akan melihat diri mereka sendiri.

Dan melihat diri adalah hal paling mereka takuti.

Aku berdiri di sebuah perempatan, menyamar sebagai penjual kacang rebus.

Tak ada yang menoleh.

Tak ada yang melihat.

Mereka hanya lewat.

Sampai seorang anak kecil memungut satu dari gerobakku yang jatuh, menggigitnya diam-diam, lalu menangis. Bukan karena rasanya. Tapi karena itu adalah satu-satunya makanan yang ia miliki sejak kemarin. Dan ia tahu itu bukan miliknya.

Aku mengamati pasar. Tempat di mana harga lebih penting dari kebenaran.

Ibu-ibu tawar menawar dengan wajah kesal, sambil memaki pengemis yang berdiri di dekat tempat sampah.

Seorang lelaki menjual madu, tapi mencampurnya dengan gula dan air. Ia tersenyum manis sambil berkata: “Ini dari ladang paling suci.”

Dan setiap kali ia berkata “suci”, tangan kanannya menggenggam sisa kembalian yang ia curi dari dompet seorang pembeli tua.

Aku menyelinap ke sekolah.

Anak-anak duduk rapi.

Mereka disuruh hafal. Disuruh diam.

Disuruh tunduk. Disuruh percaya.

Tapi tak satu pun dari mereka diajarkan cara menjadi manusia.

Seorang guru berkata, “Siapa yang tak mengikuti aturan, tak pantas lulus.” Tapi ia lupa bahwa aturan yang dibuatnya dibeli dari proposal sponsor.

Di jalan, aku melihat seorang polisi menerima amplop kecil dari pengemudi. Lalu menepuk bahunya sambil berkata, “Jaga diri, ya.” Apa yang dijaga? Kebenaran atau sistem tipuan yang mereka semua sepakati bersama?

Aku melangkah lebih dalam ke dunia yang dulu katanya “tempat ujian”. Tapi dari apa yang kulihat…ini bukan ujian, ini pelanggaran massal yang dijustifikasi oleh aturan buatan sendiri.

Aku masuk ke rumah ibadah yang katanya tempat paling suci. Bangunannya megah, udara di dalamnya harum, orang-orang duduk tenang, dan suara pemimpin mereka terdengar lembut. Tapi di balik jubahnya ada nomor rekening.

Di balik doanya ada jadwal bisnis.

Dan di balik senyumnya, ada penghakiman sunyi untuk mereka yang berpakaian berbeda.

Seorang wanita masuk terlambat.

Mereka menoleh bukan dengan senyum, tapi dengan tatapan yang seolah berkata, “Kau tak pantas di sini.”

Lalu mereka berdoa bersama.

Bersatu. Seragam.

Tertib. Indah.

Tapi aku, Irfan, yang mengenali dosa bahkan dari langkahnya, mendengar suara lain dari doa itu: bisikkan rasa puas karena merasa lebih baik dari yang lain.

Aku tak menyela.

Aku tak menghukum.

Aku hanya melihat dan mencatat tidak dengan tinta, tapi dengan kebencian yang semakin mengeras di dadaku.

Lalu aku menyusup ke pengadilan.

Tempat di mana keadilan seharusnya berumah.

Tapi yang kulihat adalah panggung sandiwara.

Pengacara berdebat seperti aktor.

Hakim duduk seperti boneka.

Tersangka kaya tersenyum.

Korban miskin menangis… dan disuruh diam.

Aku menyaksikan seorang ibu kehilangan anaknya karena salah tangkap.

Ia membawa bukti. Ia membawa saksi. Ia membawa harapan.

Tapi yang ia bawa tak cukup tebal untuk dibaca: karena ia tak membawa uang.

Dan vonis dijatuhkan. Bukan atas nama kebenaran. Tapi atas nama aturan yang bisa ditekuk bila diberi pelicin.

Aku pergi. Aku muntah.

Bukan karena darah. Tapi karena semua ini begitu dingin.

Dosa yang dulu kulihat di neraka penuh jerit dan tangis kini hadir dalam bentuk yang lebih menakutkan: dosa yang tak merasa bersalah.

Aku berkeliling ke pelosok yang lebih dalam.

Bukan kota. Bukan desa. Bukan lembaga atau tempat ibadah.

Tapi hati manusia itu sendiri.

Dan yang kutemukan adalah hal paling sunyi, paling gelap, paling menakutkan dari semua yang pernah kulihat.

Bukan karena isinya kebencian.

Bukan karena dendam atau hasrat jahat.

Tapi karena isinya kosong.

Tak ada apa-apa.

Tak ada rasa bersalah.

Tak ada rasa malu.

Tak ada pertanyaan, tak ada tangisan, tak ada keraguan.

Yang ada hanya satu suara lirih, berbisik terus dari dalam dada mereka: “Aku benar. Aku berhak. Aku layak.”

Manusia hari ini tidak mengingkari dosa.

Mereka menyebutnya pilihan.

Mereka memanggilnya kebebasan.

Mereka menamakannya ekspresi.

Dan siapa pun yang menegur akan dianggap kuno, fanatik, atau terlalu rapuh untuk hidup di dunia nyata.

Aku menyaksikan seorang wanita tua yang mencuri satu bungkus nasi untuk cucunya.

Tangannya gemetar, matanya berair, bibirnya tak henti meminta maaf meski tak ada yang mendengarkan.

Ia dimaki. Ia dihina. Ia dibui.

Lalu di ruang sebelah, seorang pejabat dengan lima rumah dan enam mobil tersenyum saat wartawan bertanya soal dana yang hilang dari kas daerah.

“Sudah kami audit,” katanya.

“Tak ada bukti kebocoran.”

Lalu ia naik ke panggung hari kemerdekaan,

dan berkata: “Bangsa ini dibangun atas dasar kejujuran.”

Dan semua orang tepuk tangan.

Aku, Irfan, menyaksikan itu semua dengan tubuh menyaru sebagai manusia, tapi hati masih menyala sebagai api yang dulu dikenal sebagai laknat.

Tapi malam itu, untuk pertama kalinya…aku merasa bukan aku yang dilaknat.

Aku menatap langit dunia.

Tak ada bintang.

Yang kulihat hanya pantulan lampu-lampu kota yang meniru cahaya, tapi tak menghangatkan siapa-siapa. Aku mendongak dan berkata dalam hati: “Dulu aku diciptakan untuk menggoda. Tapi sekarang tak ada lagi yang perlu digoda. Karena manusia telah memilih kegelapannya sendiri dengan sukarela.”

Aku kembali ke tempatku, antara dunia dan neraka yang kini tertutup.

Dan untuk pertama kalinya, aku tak membawa satu pun nama untuk dilempar ke dalam api.

Bukan karena mereka suci.

Tapi karena mereka tidak lagi bisa disentuh oleh hukuman apa pun.

Hari itu, aku masuk ke dalam sebuah gedung tinggi, dindingnya putih, bersih, lantainya mengkilap, namanya: pengadilan.

Tempat di mana kebenaran katanya berdiri, dan keadilan katanya tidak buta hanya adil.

Tapi dari langkah pertama di ambangnya, aku tahu: ini bukan rumah kebenaran. Ini teater.

Dan panggungnya sempurna.

Para hakim duduk di atas kursi tinggi.

Wajah mereka tenang, tangan mereka bersatu di atas meja.

Tapi di bawah meja itu, ada kunci brankas.

Jaksa membacakan dakwaan seperti aktor membaca naskah.

Pengacara membela seperti penjual mobil bekas: “Klien saya bukan jahat, hanya manusia.”

Dan si terdakwa?

Bukan orang kaya.

Bukan pemimpin.

Bukan pengusaha.

Ia anak kecil.

Usianya baru sembilan belas.

Tubuhnya kurus.

Pipinya lebam.

Ia dituduh mencuri sepotong roti dan satu bungkus susu dari minimarket.

Sang pemilik toko menangis di ruang saksi. Bukan karena kehilangan. Tapi karena marah harga dirinya dilukai.

“Biar orang miskin tahu tempatnya!” katanya.

“Kalau hari ini kita biarkan, besok rumah saya disikat!”

Dan semua orang mengangguk.

Mengerti.

Maklum.

Karena di tempat ini, roti lebih mahal dari rasa lapar.

Anak itu tak membela diri.

Ia diam.

Ketika hakim bertanya, “Apa kamu sadar ini pencurian?”

Ia menjawab,

“Iya. Tapi…adik saya belum makan dua hari. Ibu saya sakit. Saya… saya tidak tahu harus bagaimana lagi.”

Ruangan menjadi dingin.

Tapi bukan karena hati mereka tergerak.

Tapi karena pendingin ruangan disetel rendah.

Dan hati mereka tak bisa disentuh, bahkan oleh tangisan.

Putusan dijatuhkan.

Dua tahun penjara.

Denda dua juta.

Kepala tertunduk.

Tak ada tepuk tangan.

Tak ada air mata.

Hanya protokol.

Satu dosa kecil dikunci oleh prosedur besar, karena sistem lebih senang menghukum yang tak bisa menyewa pengacara.

Tepat malam itu, di ruang sidang yang sama, seorang pejabat naik ke mimbar.

Kasus: penggelapan dana bantuan pendidikan.

Jumlah: sebelas miliar.

Pengacaranya berdiri percaya diri.

Membuka dengan lelucon.

Hakim tertawa.

Jaksa diam.

Pejabat itu tersenyum, lengannya dilapisi jam tangan mewah, sepatu mengkilap,wajah bersih seperti brosur kampanye. Ia berkata: “Saya hanya ingin menyelamatkan dana dari disalahgunakan.”

“Saya hanya memindahkan agar lebih aman.”

“Saya hanya manusia biasa.”

Lalu ia menyebut nama Tuhan.

Dan ruangan menjadi hening. Bukan karena kekhusyukan. Tapi karena semua tahu, menyebut Tuhan adalah senjata terakhir agar tak disentuh.

Hakim mengangguk.

Jaksa tidak banyak bicara.

Putusan ditunda.

Sidang diskors.

Tiga hari kemudian, ia dinyatakan tidak bersalah karena kurang bukti.

Kurang bukti?

Sementara rekeningnya buncit.

Sementara saksi sudah dua kali menghilang.

Sementara rakyat sudah tiga tahun menunggu beasiswa yang tak pernah datang.

Aku, Irfan, duduk di kursi pengunjung.

Tak ada yang melihatku.

Karena aku bukan manusia.

Tapi entah mengapa, hari itu aku merasa lebih manusia dari mereka yang berkuasa.

Aku keluar dari ruang sidang, masuk ke ruang tahanan di bawah tanah.

Aku melihat anak muda pencuri roti tadi duduk bersila, memandangi lantai yang basah.

Ia berkata lirih, “Saya tidak jahat, Pak. Saya hanya lapar.”

Dan aku ingin bicara, ingin mengatakan bahwa lapar bukan dosa tapi aku tak bisa. Karena aku bukan siapa-siapa di dunia ini. Aku hanya pengamat. Saksi yang tak pernah diundang ke sidang.

Di sisi lain penjara, ada ruang VIP bagi tahanan "istimewa".

Ada AC.

Ada TV kabel.

Ada kasur empuk.

Dan seorang pria yang dituduh menyuap aparat sedang tertawa menonton acara komedi.

Ia berkata pada penjaga: “Hukum itu lucu, ya?”

Dan penjaga tertawa bersama.

Tawa yang menggemakan kepastian: keadilan bukan tentang benar atau salah.

Tapi tentang siapa yang bicara lebih dulu, dan siapa yang mampu membayar untuk tetap bicara.

Di luar gedung, hujan turun.

Tapi tak ada yang basah. Karena semua berlindung di balik ego, jabatan, dan payung hukum.

Aku berdiri di trotoar.

Memandang ke belakang: Gedung besar itu, kokoh dan dingin, seperti nisan tanpa nama.

Lalu kulihat ibu dari anak pencuri roti itu.

Ia duduk memeluk lutut di depan gerbang, sambil menatap kosong ke dalam, seolah berharap keadilan bisa diserahkan lewat celah pagar.

Tak ada yang menghampirinya.

Tak ada yang bertanya apakah ia baik-baik saja.

Tapi ada seorang wartawan lewat, memotret wajah si ibu lalu menulis: “Pengemis menangis karena kalah di pengadilan.”

Dan ia tersenyum pada hasil jepretannya, lalu pergi, mencari air hangat dan koneksi Wi-Fi untuk mengunggahnya ke berita.

Aku menoleh ke langit.

Tak ada suara.

Tak ada pertanda.

Bahkan neraka pun diam.

Karena ini bukan dosa biasa.

Ini bukan sekadar pencurian, penipuan, atau penggelapan.

Ini adalah bentuk paling modern dari kejahatan: membungkus ketidakadilan dengan kata 'sah'.

Malam itu aku kembali ke lorong sepi antara dunia dan neraka.

Langkahku berat.

Bukan karena kelelahan tapi karena aku mulai kehilangan harapan.

Jika pengadilan bukan tempat untuk yang benar, dan hukum hanya alat jual beli, maka di mana manusia bisa berharap?

Mungkin bukan harapan yang mereka cari.

Tapi pembenaran.

Dan mereka akan terus mencarinya, di mana pun bisa dibeli.

Aku memutuskan mendatangi tempat yang katanya paling bersih.

Paling tenang.

Paling dekat dengan langit: tempat ibadah.

Gereja. Masjid. Wihara. Kuil. Kapel. Surau.

Bangunannya berbeda, tapi janjinya sama: tempat pengampunan, pengakuan, pertobatan, dan sujud.

Aku berjalan masuk.

Langkahku tak bersuara.

Bukan karena aku takut, tapi karena aku tahu: di tempat seperti ini, suara bukan alat komunikasi melainkan kedok.

Orang-orang duduk rapi.

Ada yang merapatkan tangan, ada yang mengangkatnya ke langit, ada yang meletakkannya di dada.

Dan mereka semua berbicara dalam bisikan.

Doa-doa, harapan, permintaan.

Air mata bahkan menetes.

Tapi ketika aku mendekat, dan mendengar apa yang mereka minta,

hatiku… terdiam.

“Ya Tuhan, beri aku keberuntungan… agar sainganku gagal.”

“Ya Tuhan, biarkan dia menyesal karena meninggalkanku.”

“Ya Tuhan, hancurkan bisnis mereka agar bisnisku tumbuh.”

“Ya Tuhan, biarkan aku dipuji, disegani, dicintai meski aku tak mencintai siapa-siapa.”

Aku tak mendengar penyesalan.

Aku tak mendengar rasa bersalah.

Yang kudengar hanyalah ambisi yang dibungkus ayat.

Mereka menyebut nama-Nya. Tapi dalam hatinya, mereka menyembah diri sendiri.

Aku masuk ke ruangan imam.

Ia duduk menyiapkan khutbah.

Di sampingnya, ada dua amplop.

Satu bertuliskan “donasi”, satu lagi “transfer proyek”.

Ia mengambil yang kedua dulu.

Lalu menulis: “Kita harus menjaga moral umat.

Dunia sedang rusak.”

Lalu ia membuka ponselnya, dan menekan “pesan terkirim” ke seseorang bernama “Lia 💋”.

Aku mengembuskan napas. Bukan karena marah. Tapi karena kesucianku dulu pun tak setebal kemunafikan yang kini kusebut manusia.

Mereka tidak takut kepada Tuhan.

Mereka meminjam nama-Nya untuk melindungi kehancuran yang mereka ciptakan.

Aku keluar dari bangunan megah itu.

Berpindah ke tempat ibadah kecil di pinggir kota: Langit-langit rendah, tikar berdebu, kipas yang berdecit.

Tempat ini tidak menawarkan kemegahan, tapi kesederhanaan.

Aku berharap semoga di sini, doa-doa yang dibisikkan lebih jujur, lebih polos, lebih… manusiawi.

Lalu kulihat sekelompok orang duduk melingkar.

Mereka menggenggam kitab, menyebut nama-nama suci, mengulang nasihat-nasihat luhur tentang kasih dan keikhlasan.

Di awal, semuanya terdengar indah. Hingga seorang pemuda baru masuk, duduk bersila di ujung tikar, wajahnya asing, pakaiannya kusut, dan senyumnya ragu-ragu.

Lalu seorang dari lingkaran itu berbisik ke temannya: “Dari mana lagi dia datang? Pasti bekas pecandu.”

Yang lain menimpali, “Jangan dekat-dekat, bisa mencemari niat kita.”

Aku menatap pemuda itu.

Matanya mengerjap.

Telinganya mendengar.

Hatinya… mulai kembali menutup.

Karena bahkan tempat yang katanya menerima semua, masih memilih siapa yang boleh didekap, dan siapa yang cukup duduk di sudut.

Pemimpin pengajian menyampaikan ceramah dengan suara mantap.

Tentang keikhlasan.

Tentang sabar.

Tentang rendah hati.

Lalu ketika doa selesai, ia menyalakan mobil mewahnya, menolak undangan makan dari jemaah tua, dan berkata pada sopirnya: “Orang-orang miskin ini makin malas. Kerja dikit, maunya dibantu.”

Dan aku ingin berteriak.

Tapi aku hanya diam.

Karena di dunia ini, teriakan dari mereka yang melihat terlalu banyak tidak pernah dianggap suci.

Keesokan harinya, aku masuk ke rumah seorang wanita tua.

Ia tinggal sendiri.

Tak punya anak.

Tak punya suami.

Tak punya siapa-siapa selain kitab yang sudah lecek dan suara doanya yang lirih setiap malam.

Ia tidak minta kaya.

Ia tidak minta panjang umur.

Ia tidak minta dilihat.

Ia hanya berkata: “Tuhan, jagalah mereka yang membenciku. Jangan hukum mereka karena aku. Aku juga tidak selalu benar.”

Dan malam itu…untuk pertama kalinya, aku Irfan, yang lahir dari api menangis.

Tangisku tidak terdengar. Tapi dunia mendadak terasa lebih hening.

Wanita tua itu melipat sajadahnya.

Matanya tak meminta balasan.

Tak menanti pujian.

Tak menuntut pahala.

Ia berdoa…karena ia tahu, dirinya masih bisa menyayangi, meski tak pernah disayangi balik.

Aku keluar dari rumah kecil itu.

Langkahku terasa ringan dan berat sekaligus.

Ringan, karena untuk sesaat aku melihat harapan.

Berat, karena kutahu: doa seperti itu hanya tinggal segelintir.

Sisanya?

Doa adalah alat.

Doa adalah transaksi.

Doa adalah pelindung palsu dari rasa bersalah. Dipakai untuk menutupi luka yang mereka ciptakan sendiri, untuk menyucikan perbuatan yang mereka tahu jahat sejak awal.

Aku pernah mengira, manusia akan minta ampun. Ternyata, mereka hanya minta diampuni.

Tanpa rasa ingin berubah.

Tanpa niat untuk menebus.

Tanpa niat untuk benar-benar menunduk, selain ketika dunia sedang menekan.

Dan ketika dunia longgar, mereka kembali berdiri, bukan untuk mengangkat yang tertindas, tapi untuk menendang lebih keras.

Malam itu aku menengadah ke langit.

Bintang-bintang redup, tapi masih ada.

Dan aku berkata pada diriku sendiri: “Mungkin dunia ini masih bisa diselamatkan……tapi bukan oleh mereka yang berteriak ‘Tuhan! Tuhan!’ melainkan oleh mereka yang diam-diam menangis, dan menyebut nama-Nya untuk orang lain.” Dan karena bisa… maka mereka merasa pantas.”

Aku duduk di antara reruntuhan masjid yang dibakar.

Satu sudutnya masih hangus.

Di atas lantai abu-abu, ada sajadah yang terbakar setengah.

Tepat di atasnya, bekas darah menggumpal seperti cap tangan dari langit yang tak sempat menyentuh.

Seorang anak lelaki berdiri di sana.

Ia mengangkat serpihan kitab suci, mencoba menyusunnya seperti puzzle. Tapi kertasnya sudah hangus di tepi.

Tak lagi bisa dibaca.

Tak lagi bisa disebut firman.

Anak itu tak menangis.

Ia hanya berkata pelan:

“Apa aku harus mati agar disebut suci?”

Aku pergi.

Hatiku panas. Tapi bukan karena murka. Karena untuk pertama kalinya, aku merasa api dalam diriku lebih murni dari nafsu manusia.

Aku tidak menciptakan perang.

Manusia yang menyulap rasa takut menjadi senjata, dan menyebut pembunuhan sebagai “langkah penyelamatan.”

Aku menyelinap ke ruang strategis.

Tempat para jenderal memetakan perang seperti permainan.

Meja dipenuhi peta digital, grafik korban, proyeksi logistik, dan satu folder bertuliskan: "Kerugian Sipil: Efek Samping Terkendali."

Mereka duduk nyaman, membicarakan bagaimana menembus opini publik, bagaimana mengontrol narasi, dan bagaimana mengatur agar pembunuhan terdengar seperti kebajikan.

Aku, Irfan, bukan lagi penjaga neraka.

Aku kini saksi yang menyimpan nama-nama yang tak akan pernah kutuliskan di kitab apa pun karena mereka sudah mencetak sejarahnya sendiri: sejarah darah yang tak pernah mengering, dan dosa yang tak pernah merasa bersalah.

Malam turun.

Langit terlalu bersih.

Tapi bumi...penuh noda yang tak ingin dicuci.

Dan aku bertanya, “Jika manusia bisa membunuh sambil menyebut nama Tuhan, lalu siapa yang benar-benar layak menyebut nama itu lagi?”

Aku menatap reruntuhan kota dari atas bukit.

Langit pagi bersinar, tapi yang tersentuh hanya debu, asap, dan bau daging yang tak sempat dimakamkan.

Di bawah sana, dua kubu saling menembak.

Saling mengutuk.

Saling menuding.

Dan ketika salah satu menang,

mereka menancapkan bendera, berlutut, lalu berdoa:

“Terima kasih, Tuhan, karena Engkau di pihak kami.”

Aku menutup mataku.

Bukan karena tak sanggup melihat, tapi karena aku mulai paham: Tuhan tak pernah hadir di medan perang. Yang hadir hanya manusia yang mengaku berbicara atas nama-Nya.

Aku duduk di antara mayat dan puing.

Lalu seseorang tubuh penuh luka, tulang pipi pecah, mata kiri rabun berbisik padaku: “Apa salah kami? Kami hanya ingin tinggal di tanah kami. Kami tak pernah minta disucikan, hanya… untuk tidak dibunuh.”

Dan ia mati dengan mata terbuka.

Bukan ke langit.

Tapi ke tanah seolah berharap dunia melihat.

Dunia tidak melihat.

Kamera sudah dipindahkan.

Narasi baru sudah disiapkan.

Malamnya aku kembali ke ruang sunyiku.

Dan untuk pertama kalinya sejak aku turun, aku berkata dalam hati: “Dulu, manusia membunuh karena dipaksa. Kini, mereka membunuh karena percaya itu benar.”

Setelah menyaksikan darah tak pernah dingin, aku beranjak ke tempat yang lebih terang: gedung-gedung pemerintahan, ruang rapat berpendingin, panggung orasi, panggung pujian, panggung pengaruh.

Karena jika darah dikucurkan oleh senjata, maka izin untuk menumpahkan darah lahir dari kekuasaan.

Dan kekuasaan itu…ada di tangan manusia-manusia yang berdiri dengan dada menengadah ke langit, tapi hati menenggelamkan siapa pun yang lebih rendah.

Aku menyelinap ke dalam konferensi besar.

Dinding kaca, karpet tebal, mikrofon bersuara jernih.

Di balik meja, duduk para pemimpin, yang katanya membawa damai, keadilan, dan perubahan.

Aku duduk di pojok.

Tak ada yang melihat.

Tapi aku mendengar.

Seorang pria dengan jas hitam dan dasi emas berdiri. Ia berbicara dengan bahasa paling halus, tentang “pembangunan”, tentang “pertumbuhan ekonomi”, tentang “pemerataan sosial”.

Tapi tangannya menunjuk ke peta: garis-garis merah dipotong, lembah hijau dilingkari, dan ia berkata: “Hutan ini kita perluas jadi kota, biar penduduk sekitar lebih mudah diatur.”

Yang lain tertawa. Bukan karena lucu. Tapi karena itu berarti bisnis akan hidup.

Di ruang sebelah, seorang wanita dengan gaun putih memimpin pertemuan amal. Ia berbicara tentang anak-anak, tentang pendidikan, tentang masa depan cerah. Tapi setelah acara, ia mengumpulkan stafnya dan berkata: “Pastikan semua foto anak-anak tadi tampil. Jangan lupa senyumanku ditaruh paling depan. Dan kita rekap donasi, potong dulu 30 persen, ya buat ‘operasional’.”

Aku keluar.

Berjalan ke pelataran pusat kota. Di sana berdiri patung besar, dengan ukiran: “Didedikasikan untuk Manusia Mulia, Penyelamat Negeri.”

Tapi saat kutanya pada seorang kakek tua di bangku, “Siapa dia?” Ia menjawab: “Dia membunuh 200 orang saat kudeta. Tapi sekarang dijadikan pahlawan.”

Kudongak ke langit.

Aku tak melihat Tuhan.

Tapi kulihat manusia yang mengaku wakil-Nya, menata neraka versi sendiri, lalu menyebutnya sistem.

Di atas layar-layar besar, mereka menampilkan wajah-wajah pemimpin.

Berkumis. Berkacamata. Berkerah tinggi.

Tersenyum palsu sambil berkata:

“Kami tahu apa yang terbaik.”

“Kami menjaga ketertiban.”

“Kami wakil Tuhan di bumi.”

Tapi di bawah layar itu, rakyat antri beras, sementara truk pengangkut logistik diarahkan ke restoran elit. Di ruang lain, seorang lelaki bersorban memegang mikrofon, disorot cahaya, dipuji jemaahnya.

Ia berteriak:

“Kami satu-satunya jalan keselamatan!”

“Siapa yang tidak tunduk, sesat!”

“Kami akan memurnikan umat ini!”

Namun setelah ceramah selesai, ia masuk ke mobil berlapis baja, duduk di jok belakang, dan memerintahkan: “Singkirkan yang menolak. Hapus datanya.”

Aku menyelinap ke rapat dewan.

Ruangan berpendingin mewah, air minum dalam gelas kristal, semua tersenyum sopan dan berbicara pelan.

Tapi dalam bisikan lembut itulah, jutaan nyawa dijatuhkan dari atas meja.

“Kita naikkan pajak. Kalau protes, sebut mereka anti-negara.”

“Buat satu konflik kecil. Biar publik lupa korupsi.”

“Sisipkan pasal untuk mengunci yang kritis. Tapi bungkus dengan nama ‘moralitas nasional.’”

Aku yang selama ini disebut setan duduk di sudut ruangan, dan dalam diam bertanya: “Kapan manusia berhenti jadi manusia, dan mulai bermain sebagai Tuhan… tanpa kasih-Nya, tanpa pengampunan-Nya hanya murka dan kehendak mutlak?”

Mereka menciptakan aturan seperti kitab. Tapi tak satu pun dari mereka bersedia ditimbang oleh hukum yang mereka buat.

Mereka mengangkat diri tinggi. Bukan dengan sayap. Tapi dengan tangga yang dibangun dari punggung orang-orang kecil. Dan dari atas sana, mereka menunjuk: “Kami mulia. Kalian hina. Kalian harus patuh. Kalian bukan siapa-siapa.”

Bagian ini menggambarkan dunia di mana kuasa bukan lagi tanggung jawab, tapi candu.

Dewa-dewa palsu berkeliaran bukan dari langit, melainkan dari rapat, panggung, dan akun-akun anonim yang mengatur pikiran publik.

Malam itu, aku mendatangi bangunan yang disebut “Menara Harapan”.

Dari luar, ia tampak seperti mercusuar zaman baru. Dinding kaca, tulisan motivasi menyala, dan suara-suara penyemangat berkumandang tiap jam.

“Kita sedang menuju era terang.”

“Manusia sedang berevolusi.”

“Tinggalkan keraguan, ikuti kemajuan.”

Tapi saat aku melangkah masuk, semua terasa lebih dingin dari neraka.

Di dalamnya, anak-anak dikumpulkan. Bukan untuk diajari kasih atau empati, tapi untuk dilatih menjadi efisien. Menjadi "berguna", menjadi "berdaya saing".

Mereka diberi angka.

Ranking. Statistik. Target.

Dan ketika satu anak gagal menjawab soal logika, seorang mentor berkata: “Kamu harus lebih keras. Jangan jadi beban.”

Anak itu menunduk.

Lalu duduk di sudut ruang, memeluk lututnya sendiri, dalam diam yang panjang.

Tak ada yang menyentuhnya.

Tak ada yang memeluknya.

Aku menatap pengelola menara itu.

Ia berkata padaku tak sadar siapa aku:“Kami membentuk generasi kuat. Yang tak cengeng. Yang tahan banting. Yang bisa menang di dunia baru.”

Tapi di balik layar, ia menghubungi psikiater. Bukan untuk anak-anak itu melainkan untuk dirinya sendiri, karena tak bisa tidur tanpa pil.

Aku keluar, dan menyusuri lorong kota digital.

Semuanya sibuk menciptakan “citra”.

Tak ada yang ingin terlihat sedih.

Tak ada yang berani terlihat gagal.

Semua bicara soal produktivitas, tapi lupa rasanya duduk diam, menatap langit, dan sekadar bernapas.

Mereka tak percaya Tuhan. Tapi menciptakan algoritma yang mengatur hidup layaknya ilahi.

Mereka tak sujud pada langit, tapi menyembah angka dan statistik.

Dan setiap kali satu orang berhenti karena lelah, mereka berkata: “Kamu malas. Kamu lemah. Kamu pantas ditinggal.”

Di akhir malam, aku menatap kota dari puncak gedung.

Cahaya menyala di jutaan jendela.

Tapi tak satu pun menerangi hati.

“Mereka telah menjadi Tuhan,” bisikku.

“Tapi Tuhan tanpa hati, tanpa maaf, tanpa pelukan. Tuhan yang memerintah, tapi tak mendengar doa.”

Aku, Irfan, yang disebut durhaka karena tak tunduk, kini berdiri sebagai satu-satunya yang tak ingin memerintah siapa pun.

Karena aku tahu: kuasa tanpa kasih bukanlah berkah tapi bencana.

Aku berdiri di atas kota yang setengah hidup.

Asap masih membubung, tapi tawa sudah kembali terdengar dari kafe, papan reklame sudah menggoda di setiap tikungan, dan berita pagi berkata: “Kondisi aman. Kehidupan kembali normal.”

Normal?

Apakah darah yang belum kering di gang kecil itu bisa disebut sebagai “normal”?

Apakah anak-anak yang memeluk jasad ibunya sebelum tim medis sempat datang adalah bagian dari “rutinitas”?

Atau...apakah manusia memang sudah belajar untuk tidak mendengar apa pun yang tidak menguntungkan?

Aku berjalan.

Melintasi jalan-jalan utama.

Melihat orang-orang kembali bekerja.

Karyawan berseragam.

Mahasiswa tergesa-gesa.

Anak-anak sekolah tertawa tanpa tahu bahwa di bawah taman tempat mereka bermain, ada sisa-sisa tulang dari pertengkaran generasi sebelumnya.

Lalu, aku melihat seseorang.

Rehan.

Dia tak istimewa.

Tak bercahaya.

Tak berkhotbah.

Tapi dia berbeda.

Ia duduk di bawah tiang lampu yang rusak, mendengarkan…bukan suara manusia, tapi suara yang nyaris tak terdengar: ratapan dari puing.

Seorang anak menangis.

Orang-orang lalu lalang tak peduli.

Tapi Rehan mendekat.

“Kamu sendirian?”

Anak itu tak jawab.

Tapi Rehan tak pergi.

Ia tak menasehati.

Ia hanya duduk.

Di dunia yang ramai dengan bising, kadang yang dibutuhkan bukan suara, tapi keheningan yang bisa menyentuh.

Rehan tak membawa ayat.

Tak membawa kamera.

Tak menulis status.

Ia hanya memeluk anak itu.

Aku mengamati dari jauh.

Dan di detik itu aku bertanya untuk pertama kali sejak turun: “Apakah ini… kebaikan? Atau hanya ilusi terakhir dari jiwa yang belum rusak sepenuhnya?”

Rehan lalu berdiri.

Ia tak tahu aku melihatnya.

Ia bukan nabi.

Bukan penyelamat.

Bahkan mungkin… esok ia akan jatuh dalam dosa juga.

Tapi hari itu, di kota yang penuh gema pujian palsu dan doa yang kosong,

ia mendengar.

Dan di tengah dunia yang memekakkan telinga untuk kebenaran,

mendengar adalah satu-satunya bentuk ibadah yang masih suci.

Setelah Rehan berlalu, anak kecil itu masih duduk di bawah tiang lampu yang patah.

Ia memeluk roti kering yang diberikan padanya, tapi bukan karena lapar. Ia memeluknya seperti kehangatan terakhir yang bisa disentuh, karena dunia telah membuat semua yang hidup terasa dingin.

Aku, Irfan, berdiri di atap sebuah gedung tinggi, menatap manusia dari kejauhan.

Dan untuk pertama kalinya, aku tidak ingin turun.

Bukan karena jijik…tapi karena aku ragu, apakah dunia benar-benar ingin diselamatkan.

Beberapa jam setelah kejadian itu, kamera datang.

Wartawan mengambil gambar anak kecil itu.

Menanyakan siapa yang membantunya.

Tapi Rehan tak ada.

Dan ketika diberitahu, mereka berkata: “Sayang, tak terekam ya. Bisa viral kalau ada footage-nya.”

Anak itu hanya menunduk.

Ia tak butuh viral.

Ia hanya butuh dilihat, didengar, dimanusiakan.

Hari berlalu.

Rehan kembali ke tempat itu.

Ia duduk di bangku kayu usang.

Ia tak banyak bicara.

Ia hanya membawa dua cangkir teh hangat dan sepotong kue basi.

“Aku tak tahu harus bantu apa, tapi… bolehkah aku menemanimu diam?”

Dan anak itu, untuk pertama kalinya, mengangguk.

Aku, sang penjaga sunyi, menyaksikan diam itu tumbuh menjadi ruang yang tak dibuat oleh tangan, melainkan oleh niat tulus yang tak ingin diabadikan.

Bukan sedekah yang difoto.

Bukan pidato yang disiarkan.

Hanya… keberadaan.

Sederhana.

Seperti embun di pagi hari yang tak minta dipuji, tapi menyejukkan siapa saja yang tersentuh olehnya.

Di sisi lain kota, aku mendengar ribuan doa kembali dibacakan.

Panggung motivasi dibuka lagi.

Lembaga sosial membuka donasi untuk korban yang “menyentuh hati.”

Tapi hati yang disentuh…hanya disinggahi, bukan ditinggali.

Dan setelah kamera mati, para pejabat kembali mencuci tangan, bukan dari dosa, tapi dari tanggung jawab.

Dan Rehan?

Ia tidak berbicara banyak.

Ia hanya mendengarkan.

Bukan hanya anak itu.

Tapi lorong-lorong kota, bayangan dari gedung runtuh, dan suara yang tidak pernah dimasukkan ke berita.

Malam itu turun dengan pelan, seolah langit sendiri ikut mendengarkan. Tidak ada angin. Tidak ada berita. Tidak ada apa pun selain dua sosok diam di bangku tua, dan satu bayangan di atas atap gedung.

Rehan duduk dengan kepala bersandar ke belakang. Matanya tak menatap anak itu, tapi juga tak pergi darinya. Ia hanya ada di situ. Membiarkan keberadaan menjadi bentuk paling sederhana dari cinta.

Anak kecil itu menggenggam kue basi yang perlahan hancur di tangannya. Ia tak memakannya. Ia hanya menatapnya, seperti kenangan yang terlalu keras untuk ditelan.

“Dulu, aku suka kue… sebelum semuanya hancur,” bisiknya, hampir tak terdengar.

Dan Rehan hanya mengangguk. Tak ada “aku turut sedih”, tak ada “yang sabar ya.” Yang ada hanya kehadiran yang tak menuntut.

Aku, Irfan, masih di atas sana. Angin kini mulai bergerak, mengangkat debu dan dosa-dosa kota ini. Dan aku bertanya pada diriku sendiri: Jika cinta adalah mendengarkan…maka kenapa dunia begitu bising, tapi tak satu pun suara didengar?

Hari demi hari berlalu. Tak ada perubahan besar. Tidak ada revolusi sosial. Tidak ada viral yang menyentuh nurani publik.

Tapi setiap sore, Rehan datang lagi. Kadang bawa biskuit. Kadang bawa buku gambar. Kadang hanya duduk dan berbagi langit.

Anak itu mulai menggambar lagi. Bukan karena dunia sudah baik, tapi karena seseorang pernah duduk bersamanya di saat dunia tak baik.

Dan pada suatu hari, anak itu menggambar dua sosok: satu laki-laki muda tanpa wajah yang duduk, dan satu anak kecil yang memegang sesuatu yang menyerupai hati.

Di pojok kertas itu, tertulis tulisan miring: “Telinga yang tidak menilai.”

Di antara riuh kota yang sibuk membangun citra, dua manusia ini membangun sesuatu yang lebih sunyi: kepercayaan.

Tak ada selebrasi. Tak ada tepuk tangan. Tapi malam itu, langit lebih cerah dari biasanya.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku turun dari atap. Bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk belajar mendengar kembali.

Karena dunia mungkin tidak selalu ingin diselamatkan, tapi masih ada yang ingin didengar.

Dan itu cukup.

Irfan menyerah dan menghilang. Manusia telah menjadi terlalu gelap… lebih gelap dari dirinya sendiri.

Aku pernah mencoba.

Demi Tuhan, aku benar-benar pernah mencoba.

Mendengar ketika dunia saling meneriaki.

Diam ketika semua ingin bicara.

Mencatat kepedihan yang tidak layak ditayangkan, dan menampung air mata yang dianggap tak penting.

Tapi hari ini…aku menyerah.

Karena aku menyadari satu hal yang paling menyesakkan: Manusia telah menjadi lebih gelap dariku.

Bukan karena mereka tak punya cahaya, tapi karena mereka menutup matanya sendiri.

Aku pernah berdiri di atap, berharap bisa menjaga dari kejauhan.

Kini, aku berdiri di tempat yang sama, tapi bukan untuk mengawasi, melainkan untuk mengucapkan selamat tinggal.

Rehan masih datang ke bangku tua itu.

Tapi tak ada lagi anak kecil di sana.

Tak ada roti kering.

Tak ada teh basi.

Tak ada suara.

Hanya keheningan yang menyisakan jejak.

Aku menulis untuk terakhir kalinya, bukan di kertas, bukan di layar, tapi di udara, agar siapa pun yang benar-benar mendengar bisa membaca dengan hati:

"Jika suatu hari dunia kembali belajar diam, dan keheningan tak lagi ditakuti, maka di sanalah aku tinggal bukan sebagai penjaga, tapi sebagai luka yang tak ingin dilupakan."

Mereka akan bilang aku hilang.

Padahal aku hanya kembali ke tempat yang tak bisa dijangkau oleh kebisingan.

Dan jika kalian merasa sepi di tengah keramaian…barangkali itu aku.

Bersama kalian.

Mendengarkan.

Untuk terakhir kalinya.

Cerita ini tak punya akhir yang bahagia. Tapi mungkin, ia punya akhir yang jujur.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
SEDARAH
Ahmad Gali Prayoga Nasution
Cerpen
Tak Layak
Muhamad Irfan
Novel
Don't Love Me, Please!
Karene Quinta Xena
Novel
Pesawat Impian dari Buma
Yosa Herlanda Kusumastuti
Novel
Bronze
Tangguh Perkasa
Rival Ardiles
Cerpen
Bronze
Bentuk Hadiah dari Takdir
Winter
Cerpen
Penebusan Dosa Kucing
Adinda Haifa Febru
Novel
Bronze
Jalan Setapak Chalondra
dhsers
Skrip Film
24/7
Kata Aksara
Novel
ANAK TEKNOLOGI
Nana
Novel
I Thought Was
Adrian Syaputra
Cerpen
Bronze
Sekuntum Mawar Berdarah
Imajinasiku
Cerpen
Wanita Tiang Pancang
Chrstin
Skrip Film
Romantika
Wahid Irawan
Flash
Vey
Rolly Roudell
Rekomendasi
Cerpen
Tak Layak
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Tak Terdengar
Muhamad Irfan
Cerpen
Sepotong Roti Hangat di Ujung Hujan
Muhamad Irfan
Cerpen
BISU
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan yang Tidak Pernah Pulang
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Jaket Merah yang Tak Pernah Dikembalikan
Muhamad Irfan
Cerpen
Bukan Lagi Kita
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bunga yang Tak Pernah Ditaruh di Vas
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Jejak yang Hilang di Lorong 4
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan di Meja Sebelah
Muhamad Irfan
Novel
Harapan
Muhamad Irfan