Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
25 tahun yang lalu anda tidak dikenal oleh orang-orang, 25 tahun yang lalu semakin diungkap oleh tuhan siapa dirimu sebenarnya, 25 tahun yang lalu dihilangkan paksa tanpa rekam jejak, dan 25 tahun karya anda tak pernah kunjung padam bagi orang yang masih ada sepucuk keadilan di hatinya.
Silih berganti para pemimpin di bumi ibu pertiwi, tak ada satupun niat untuk menegakkan para keluarga korban, yang menjadi korban keegoisan dari para pemimpin yang hanya semata-mata mengejar kursi jabatan yang tidak seberapa.
Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo tak lupa dari sergapan dari para demonstran "Aksi Kamisan" yang terjadi sejak tahun 2007 hingga saat ini. Janji demi janji tak lupa dikumandangkan sejak tahun-tahun pemilu dari para calon kandidat presiden. Masyarakat terlalu polos dalam buaian janji demi janji yang dilontarkan dari para calon presiden.
***
Siti Dyah Sujirah atau panggil sapaannya Sipon istri Widji Thukul, Widji salah satu orang yang menjadi korban hilangnya para aktivis pada 1998. Sipon yang telah menjadi korban dari salah satu buaian janji daripada presiden Joko Widodo. Joko Widodo pernah mengatakan kepada khalayak publik dihadapan para awak media bahwasanya
"Ya jelas harus ditemukan. Bisa ditemukan hidup, bisa ditemukan meninggal, harus jelas. Tentang nanti ada rekonsiliasi dari fakta-fakta yang tidak soal. Tapi harus jelas masak sekian lama yang 13 orang itu." ucapnya.
Lalu Joko Widodo menambahkan "Kebetulan saya kenal baik dengan Widji, dia kan orang Solo. Sama keluarga saya juga kenal, saya tahu rumahnya ada dimana."
***
CATATAN KEHIDUPAN SANG PENYAIR REVOLUSIONER
Widji Widodo lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada 1963. Nama Thukul ia disematkan oleh Cempe Lawu Warta anggota bengkel teater yang diasuh oleh penyair W.S. Rendra sekaligus guru teater Jagat dari Widji Widodo sendiri, Widji Thukul yang bermakna biji tumbuh. Widji lahir dari keluarga yang beragama kristen katolik dengan keadaan ekonomi yang sangat sederhana. Ayah Widji seorang profesi penarik becak sedangkan ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga. Widji yang lahir di lingkungan Kampung Sorogenen, yang umumnya mayoritas para pekerja buruh dan tukang penarik becak, maka dari itu di awal cerita sang ayah Widji bekerja sebagai tukang penarik becak.
Widji tertarik menulis puisi sejak duduk di bangku Sekolah Dasar dan mulai tertarik dengan seni teater sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Surakarta, lalu Widji melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Surakarta, dengan jurusan seni tari. Widji yang hanya mampu menyelesaikan sekolahnya sampai kelas dua, karena prahara kendala ekonomi yang menimpa keluarganya. Widji yang mempunyai adik harus merelakan sekolahnya dengan memilih bekerja sebagai loper koran dan tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel antik.
Widji yang sangat menyukai teater sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, dia mencoba masuk dengan kelompok teater Jagat (Jagalan Tengah) di Surakarta. Bersama rekan teater Jagat, Widji mengamen sebuah puisi dibalut dengan iringan sebuah musik. Para rekan teater Jagat keluar masuk kampung menjajakan sajak-sajak ciptaan mereka bukan hanya di Surakarta, melainkan juga di Klaten (Jawa Tengah), Yogyakarta (D.I. Yogyakarta), bahkan hingga Surabaya (Jawa Timur).
Pada tahun 1988 Widji menikah dengan Siti Dyah Sujirah atau kerap disapa Sipon yang dikaruniai dua anak yakni Fitri Nganthi Wani pada 1989 lalu Fajar Merah pada 1993. Bersama sang istri yakni Sipon dan rekan teaternya yakni Halim H.D. mulai mendirikan Sanggar Suka Banjir sebagai wahana belajar teater anak-anak di kampungnya.
Widji yang mempunyai rekam jejak yang cukup baik dalam mengolah kosa kata berupa puisi, lalu membuat karya-karyanya menyebar di berbagai media cetak, baik dalam negeri maupun luar negeri. Ada pula karangan puisinya yang tidak diterbitkan dan hanya tersebar di antara teman-temannya dalam bentuk fotokopi. Selain pandai dalam mengolah kosa kata dalam bentuk puisi, Widji juga pandai membuat karangan cerita pendek, esai, dan resensi puisi.
Pada 1993 Widji bersama rekan seninya membentuk sebuah kelompok kesenian bernama Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER), dimana kelompok kesenian ini diinisiasikan untuk jaringan kebudayaan terkecil pada sanggar seni basis dari para buruh dan petani di kampung-kampung, sekaligus mewakili kelompok kesenian yang belum terjamah oleh dewan-dewan kebudayaan dari para elitis di perkotaan. Dengan ide seperti itu tetap dapat mengekspresikan kekaryaan dari para pekerja seni mulai dari lapisan terbawah. Jaker bergerak di bidang daya cipta dan kreativitas, khususnya yang bergerak pada minat seni, sastra, filsafat, budaya populer, hingga agama. Widji sendiri selaku ketua umum dari kelompok kesenian Jaker pada saat itu.
***
PESTA DEMONSTRASI, PUNCAK POLITIKUS, DAN AKHIR PERJALANAN HIDUP
Kehidupan Widji yang kian hari melihat masyarakat dengan lingkungan sekitar kampungnya, yang dimana dirinya merasa ada suatu hal yang tidak wajar sedang terjadi. Dimana pada 1992 Widji ikut demonstrasi para buruh dengan memprotes pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna, Surakarta. Belum merasa puas atas suatu hal ketidak adilan yang terjadi, pada 1994 Widji bersama para petani berdemonstrasi di Ngawi (Jawa Timur), ia dipersilahkan oleh para demonstran untuk memimpin massa jalannya orasi, para aparat keamanan melihat secara jelas ketika Widji memimpin jalannya orasi secara mengebu-ngebu yang dapat membuat identitasnya merasa terancam, Widji sempat ditangkap dan dipukuli oleh aparat keamanan.
Pada 1995 Widji mengalami cedera yang cukup serius di area matanya akibat dirinya sewaktu ikut dalam demonstrasi. Berawal dari dirinya bersama rekannya memprotes pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna di Surakarta pada 1992, karena Widji selalu dipukuli ketika ikut demonstrasi, itu membuat area sekitar tubuh Widji khususnya bagian mata memperparah cedera tersebut yang berawal 2 tahun lamanya.
***
Sisi lain dari kebiasaan Widji yang rajin berkarya, yakni Widji berhaluan langsung dengan politik praktis. Meskipun itu menjadi jalan akhir dari Widji yang kelak akan menjadi suatu kemisteriusan dari dirinya yang menjadi target buronan dari para penguasa.
Widji sempat masuk partai politik dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang bermarkas di Jakarta (D.K.I. Jakarta). Widji nekat ke Jakarta dengan bergabung ke partai PRD pada 1996, Widji yang pada saat itu masih belum lama sembuh dari cedera matanya, dimana hampir terancam buta akibat sering bentrok dengan aparat keamanan pada saat demonstrasi berlangsung.
Widji yang memiliki kekuatan di kelompok Jaker, berusaha membenturkan seni dengan politik praktisnya. Mulanya Jaker memang berdikari di kaki sendiri tanpa dibentuk dan dibenturkan dengan politik, tetapi karena Widji di kelompok itu sebagai ketua umum berusaha menggalang kekuatan dan solidaritas sesama seniman, sehingga tindakan represif dari pemerintah Orde Baru yakni Soeharto dapat dibendungnya. Sang guru teater Jagat Widji yakni Cempe Lawu Warta, sempat mengingatkan Widji untuk tidak terlibat secara langsung dari praktik politik praktis pilihannya, karena itu akan mempersempit gerak kreativitas dari dirinya dan juga bisa mengancam nyawanya. Pernyataan dari Lawu membuat Widji sempat adu cekcok dengan gurunya itu
"Lawu kamu itu tidak berani, karena itu kamu dan teater Jagat sampai kapan pun tidak akan bisa merombak keadaan." ucap Widji terhadap Lawu. (Penjelasan Lawu di SERI BUKU TEMPO Prahara-Prahara Orde Baru)
Sejatinya teater Jagat yang menempa Widji hingga menjadi penyair yang pemberani dan radikal. Pada akhirnya Jaker yang berawal sebagai kelompok kesenian independen berakhir menjadi kaki tangan dari partai PRD yang diusulkan oleh Widji sendiri.
***
Ketika Widji keasikan bernyanyi dalam kicauan puisi yang puitis, dia lupa bahwasanya pada 1996 presiden Soeharto sedang berkuasa 30 tahun lamanya di Republik ini yang terhitung sejak 1966, dibawah kekuasaan otoriter dan tendensi militer yang ia bawa. Soeharto pada masa itu sedang berada di puncak kekuasaan otoriternya yang merasa, bahwasanya tidak ada orang yang berani menggesernya di puncak kekuasaan dan ia memanfaatkan latar belakang militernya dengan melucuti sebagian besar orang-orang yang berusaha menggesernya. Para aktivis mulai muncul daratannya dari pergolakan Partai Politik, Pengusaha, Seniman, Buruh, hingga Mahasiswa. Widji yang termasuk dari golongan pengurus pusat Partai PRD dan ketua Jaker menjadi momok yang besar, karena Widji termasuk salah satu tokoh sentral pada saat itu dan ia termasuk salah satu orang yang menjadi buronan daripada aparat militer khususnya jaringan Tim Mawar dan Petrus (Penembakan Misterius) pada tahun 1998.
1998 menjadi tahun operasi besar-besaran yang dilakukan pemerintah dibawah kekuasaan Soeharto. "Disuap, diancam, ditindas, dihilangkan, bahkan sampai dibunuh!" dengan berbagai macam cara yang dilakukan pemerintah, agar para oposan bisa musnah dari peredaran yang ada. Widji yang menjadi pusat sentral dari tim oposisi partai PRD, menjadi target buronan selanjutnya dari kekuasaan partai Golongan Karya (GOLKAR), yang pada saat itu masih menjadi penguasa di Republik ini dari kaki tangan Soeharto.
Para aktivis mulai dari oposan Partai Politik, Pengusaha, Seniman, Buruh, dan Mahasiswa mulai banyak yang disuap, diancam, ditindas, dihilangkan, bahkan dibunuh. Partai PRD dan Jaker pun juga termasuk golongan-golongan dari Widji Thukul yang nantinya termasuk dalam lingkaran penghilangan bahkan dibunuh.
Kalau dari golongan Partai ada PRD yakni Suyat dan Bimo Petrus (perwakilan sektor buruh), lalu ada Widji Thukul (perwakilan sektor budaya dan seniman), dan Herman Hendrawan (perwakilan sektor tani) mereka masuk target dari lingkaran pemerintah yang akan dihilangkan. Tak luput juga dari golongan mahasiswa yakni ada Budiman Sudjatmiko dari Universitas Gadjah Mada yang berani membombardir pemerintah pada saat itu, Budiman yang terlalu vocal pada aksinya berakhir divonis 13 tahun penjara dan hanya menjalani 3,5 tahun di penjara, karena dianggap sebagai dalang insiden pada peristiwa 27 juli 1996. Budiman hanya menjalani hukuman selama 3,5 tahun setelah diberi amnesti pada 10 November 1999.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tak luput dari sergapan pemerintah, ketika saat itu Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau kerap disapa Megawati ketua umum dari PDI sebagai oposan yang getol untuk menyuarakan demokrasi serta menyuarakan pemilu, agar negara Republik Indonesia tidak menjadi negara monarki. Ada beberapa orang yang dihilangkan paksa mulai dari pendukung Megawati bahkan anggota partai politik PDI sendiri, diantaranya ada Yani Arif seorang sopir yang pro PDI ia juga sempat ikut pemilu pada 1998, lalu ada Sonny seorang sopir juga yang pro PDI sahabat karib dari Yani Arif, tak lupa juga golongan mahasiswa yang pro PDI pada masa itu ada Petrus Bima Anugrah dari Universitas Airlangga, yang ketahuan menyebarkan kampanye Megawati-Bintang.
Setelah partai PDI yang di obrak abrik oleh penguasa partai GOLKAR, kini giliran Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjadi sasaran empuk selanjutnya. PPP yang diperkasai oleh Ismail Hassan Metareum tidak mau ketertinggalan dalam upaya pelengseran dari kaki penguasa Soeharto pada saat itu. Dedi Hamdun seorang pengusaha, yang aktif di dalam partai PPP serta juga terlibat secara langsung dalam kampanye Megawati-Bintang, tak luput dari sergapan korban penghilangan paksa dari kaki tangan penguasa, lalu ada Noval Al Katiri sahabat karib dari Dedi Hamdun yang juga berprofesi sebagai Pengusaha serta aktivis dalam PPP termasuk dalam lingkaran penghilangan, bahkan Ismail yang hanya menjalankan sebagai sopir dari Deddy Hamdun pun termasuk radar-radar penghilangan.
Lalu golongan dari Mahasiswa lebih banyak yang terbunuh diakibatkan penembakan dari aparat militer pada saat demonstrasi 1998 berlangsung. Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Harfidin Royan, dan Hendrawan Sie dari Universitas Trisakti, yang dimana 4 mahasiswa tersebut tewas akibat dari penembakan aparat militer. Hari itu diperingati sebagai peristiwa kelam dari "Tragedi Trisakti" yang diperingati setiap tanggal 12 Mei 1998.
Kerusuhan pada tahun 1998 juga sangat berdampak bagi etnis Tionghoa khususnya di daerah Jakarta (D.K.I. Jakarta) yang paling cukup parah, meskipun juga ada yang terjadi di beberapa daerah lain. Bagi etnis Tionghoa, tragedi kerusuhan pada 1998 menjadi hari yang sangat kelam bagi mereka. Bagaimana mungkin seorang perempuan benar-benar tidak ada martabatnya bagi orang pribumi pada masa itu, mulai dari disiksa, diperkosa, bahkan sampai dibunuh. Tak lupa juga banyak rumah-rumah dijarah, lalu dihancurkan ataupun dibakar. Dengan begitu membuat mereka harus mengungsi terlebih dahulu dari negara ini sampai benar-benar suasana mulai damai. Kejadian kelam itu dinamakan "Kerusuhan Mei 1998".
Lalu ada "Tragedi Semanggi" yang menunjuk kepada 2 kejadian protes yang dilakukan masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang dimana para demonstran kontra dengan pilihan MPR atas penetapan pengganti presiden Soeharto yakni Bacharuddin Jusuf Habibie, dimana masih menjadi rentetan dari kaki penguasa Soeharto bukan dari pemilihan atas kedaulatan rakyat sendiri. Kejadian pertama dikenal dengan "Tragedi Semanggi I" pada 11-13 November 1998, yang mengakibatkan tewasnya warga sipil, lalu "Tragedi Semanggi II" pada 24 September 1999 yang mengakibatkan tewasnya beberapa mahasiswa dan 11 orang warga sipil lainnya, dengan ditambah 217 korban luka-luka.
Banyaknya tragedi yang terjadi pada 1998, termasuk kasus didalamnya ada Widji Thukul yang dihilangkan secara paksa pada saat itu. Sampai kini antah berantahnya tidak diketahui sama sekali wujudnya. Sipon istri dari Widji Thukul, yang sempat terpukul atas keadaan sang suami yang melihat, lalu mendengar dan membaca secara langsung, bahwasanya suami tidak bisa membersamainya lagi. Widji yang sampai kapanpun akan menjadi ikon penyair revolusioner, berkat kata-katanya membuat auman yang terancam bagi penguasa, yang terlalu lelap dalam pangkuan kursi yang nyaman.
***
ANTARA WIDJI DENGAN KERTAS-KERTAS
Karya-karya sang penyair revolusioner dalam mengukir kertas yang kosong menjadi auman para penguasa. Dimana sang penguasa terlalu lelap menghadapi sebuah kursi yang empuk dengan segudang uang dan asupan yang terjaga tanpa perlu repot memandang dan mendengar dari sebuah jeritan rakyat. Karya Widji yakni ada Puisi Pelo (1984), Puisi Peringatan (1986), Puisi Apa Yang Berharga Dari Puisiku (1986), Puisi Catatan Hari Ini (1986), Puisi Catatan Suram (1987), Puisi Bunga dan Tembok (1987), Puisi Suti (1988), Puisi Kuburan Parwoloyo (1988), Puisi Tong Potong Roti (1989), Puisi Tentang Sebuah Gerakan (1989), Puisi Darman (1994), Puisi Mencari Tanah Lapang (1994), Puisi Baju Loak Sobek Pundaknya (1996), Puisi Nonton Harga (1996), Puisi Puisi Sikap (1997), Puisi Gentong Kosong (1997), Puisi Catatan (1997), Puisi Tujuan Kita Satu Ibu (1997), Puisi Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa (1997), Puisi Kota Ini Milik Kalian, Puisi Sajak Tiga Bait, Puisi Otobiografi, Puisi Aku Dilahirkan di Sebuah Pesta Yang Tak Pernah Selesai, Puisi Dalam Kamar 6 x 7 Meter, Puisi Puisi Untuk Adik, Puisi Di Bawah Selimut Kedamain Palsu, Puisi (Tanpa Judul), Puisi Hari Itu Akan Bersiul-siul. Begitulah kurang lebih karya-karya Widji dalam menghadapi secarik kertas yang kosong, lalu Widji isi dengan tinta hitam yang kelak karya-karyanya akan banyak dikenang. Manusianya boleh tiada tapi karyanya akan selalu terkenang.
***
ANTARA WIDJI DENGAN PIALA KOSONG MILIKNYA
Kiprahnya sebagai penyair maupun pejuang hak asasi manusia diakui, lalu terbukti dua penghargaan ia dapatkan. Yang pertama, pada 1991 ia menerima Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting di Belanda. Dua penyair berasal dari Republik Indonesia yakni Widji Thukul dan W.S. Rendra penerima award pertama sejak yayasan itu didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda yakni W.E. Wertheim.
Lalu yang kedua, Widji memperoleh Yap Thiam Hien Award ke-11 pada 2002 atas jasanya dalam kemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Yap Thiam Hien ialah sebuah penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Republik Indonesia. Nama penghargaan ini diambil dari nama pengacara Republik Indonesia yang berasal dari Banda Aceh berketurunan Tionghoa atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan hak asasi manusia yakni Yap Thiam Hien.
***
DEMOKRASI ATAU MATI!
Jangan hanya berkedok "Demokrasi" bagi negara ini, jikalau pemimpin bangsa ini masih belum siap dengan menjalankan kebebasan berpendapat, tak lupa juga ditegakkan kedaulatan rakyat, serta pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab. Amerika Serikat saja yang menjadi negara paling demokrasi, hampir belum separah Republik Indonesia dalam catatan kelam khususnya penegakan hukum secara hak asasi manusia. Bagi suatu negara yang mengadopsi bentuk pemerintahan secara demokrasi, wajib hukumnya untuk mengakomodasi beragam kepentingan dan aspirasi dari masyarakat.
Abraham Lincoln presiden Amerika Serikat ke-16 yang dijuluki "Bapak Demokrasi Sepanjang Masa", memiliki pemikiran tersendiri dalam memaknai demokrasi itu sendiri. Kalimat yang paling ikonik yang pernah diucapkan oleh Abraham Lincoln saat berpidato di Gettysburg, Pennsylvania, Amerika Serikat yakni "Rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat." meskipun kalimat itu sangat singkat, akan tetapi mampu menyihir masyarakat dunia untuk membangun dan menciptakan pemerintahan yang benar-benar mengagungkan kedaulatan rakyat.
Keidealisan Widji memang tidak bisa kita ragukan, mulai dari dirinya sendiri hingga melibatkan banyak orang dan itu butuh waktu yang sangat lama dan penuh keberanian. Widji mengajak masyarakat untuk tetap berada dijalan demonstrasi yang penuh keberanian, agar alarm demokrasi tetap terus berjalan, bukan malah diam dan hanya menerima keadaan. Bukankah negara Republik Indonesia menjunjung demokrasi???
Selamat ulang tahun bung, engkau dimana? seharusnya 26 agustus kemarin engkau dirayakan 60 tahun lamanya. "Istirahatlah kata-kata" semoga tuhan selalu membersamaimu dan semoga ada banyak Widji-widji yang lain yang senantiasa merawat demokrasi di bumi ibu pertiwi ini.
Ulasan singkat Widji Thukul dari saya pribadi, tentang kekaguman saya terhadap dirinya.
"Kemerdekaan itu nasi, dimakan jadi tai!" (Widji Thukul, Puisi kemerdekaan-1982).