Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
(TAK) Harus Jadi PNS
0
Suka
529
Dibaca

Namaku Indira.

Aku tumbuh di keluarga menengah yang pernah merasakan getirnya hidup di bawah garis cukup. Masa kecilku berlapis kesederhanaan: lauk tempe yang digoreng tipis, seragam sekolah yang diwariskan dari kakak, dan tawa kecil yang berusaha menutupi lapar.

Ibuku seorang guru honorer. Ia mulai mengajar dari tahun 2000-an dengan gaji seadanya, kadang lebih sering habis untuk ongkos ojek daripada menyimpan tabungan. Akan tetapi, Mimpi ibu diwujudkan oleh kakak perempuanku yang kini seorang ASN PPPK, kemudian disusul oleh adikku, Rinjani, yang baru saja lulus PNS sebagai dosen muda di Jakarta.

Aku? Mungkin satu-satunya muggle dalam keluarga ini. Seperti karakter Hermione dalam buku Harry Potter yang selalu diejek mudblood oleh Malfoy.

Satu-satunya yang tak berhasil mengikuti jejak mereka, satu-satunya yang terjebak oleh pertanyaan: kapan nikah atau kapan jadi PNS.

Awalnya aku kira semua baik-baik saja. Hingga hari itu datang: kabar PHK menghantamku seperti badai. Kantorku di Bandung menutup beberapa divisi, dan aku termasuk yang terhantam oleh badai itu. Sejak itu, lembar-lembar masa depanku seperti berhamburan, tak lagi bisa kugenggam.

Pulang ke rumah menjadi satu-satunya pilihan. Uang sewa kosanku di Bandung sudah tak mampu lagi kubayar. Tabungan menipis. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke rumah, berharap ada kehangatan keluarga yang bisa menjadi penawar rasa luka.

Namun yang kudapati bukan pelukan, melainkan duri-duri kata yang menancap tajam dalam hati.

“Indi,” suara Ibu di ruang tamu suatu sore, tajam seperti pisau. “Kamu itu sudah dewasa. Lihat! Kak Anne bisa jadi ASN PPPK, Rinjani bisa jadi PNS dosen. Lalu kamu? Kapan? Mau sampai kapan begini terus? Kerja nggak jelas, masih serabutan, kamu tuh harus punya jaminan kalau nanti sudah tua. Nggak mungkin hidup kayak gini terus.”

Aku terdiam. Dada terasa sesak, seolah kata-kata itu menggali akar yang sudah rapuh dalam diriku.

“Aku sedang mencari, Bu,” jawabku lirih, mencoba menahan getar di suara.

Ibu mendengus pelan, matanya menatapku seolah aku hanyalah sebuah beban.

“Jangan seperti ini terus. Kamu tuh harus jadi contoh kakak yang sukses buat Rinjani. Bukan contoh yang gagal seperti ini.”

Kata gagal itu berputar-putar di kepalaku. Seperti lonceng tua yang berdentang di setiap sudut rumah. Aku ingin berteriak bahwa aku tetap anaknya, tetap darahnya. Tapi suara itu mati di tenggorokan.

Di kamar, aku duduk menatap dinding. Mengingat masa kecilku dulu: bagaimana aku sering menemani Ibu ke sekolah, membantu memeriksa lembar tugas murid, merasa bangga pada peran kecilku. Kini, semua kebanggaan itu seakan dipangkas, dicabut hingga ke akar.

Aku Indira. Anak yang pulang, tapi tak pernah benar-benar merasa diterima untuk pulang.

Sejak aku pulang, meja makan kami tak lagi sesederhana piring nasi dan tempe goreng. Di atas meja itu, selalu ada lauk tambahan bernama perbandingan.

“Indi, coba lihat Kak Anne,” suara Ibu mengiris lebih tajam dari pisau dapur yang baru saja selesai mengupas bawang. “Dia daftar PPPK sekali langsung lulus. Rinjani, apalagi. Baru enam bulan lulus sudah lolos PNS. Kamu kapan?”

Aku menunduk. Sendok di tanganku gemetar. Nasi di piring mengeras, sekeras jelmaan suara ibu.

“Bu…” suaraku tercekat. “Aku sudah coba. Aku daftar CPNS, PPPK. Dua-duanya gagal. Nilaiku tidak lolos. Mungkin memang jalannya aja, bukan rezeki aku, Bu.”

Ibu mendengus, menyeka tangannya dengan serbet.

“Ya coba lagi. Usaha kamu kurang sungguh-sungguh. Kamu itu, Indi, harus mawas diri. Jangan malas. Shalat yang rajin, kalau bisa tahajud tiap hari sampai kamu lulus PNS. Kalau terus begini, siapa yang mau sama kamu? Umur kamu sudah tiga puluh tahun! Kamu sudah tidak muda lagi.”

Kata-katanya menampar lebih keras daripada tangan siapa pun. Aku melirik ke arah Ayah, berharap ada sedikit pembelaan. Tapi Ayah hanya mengunyah pelan, seakan semua itu tak lebih penting daripada lauk di hadapannya.

“Jani, kamu yang bener kerjanya, jangan kayak kakakmu, bukannya nyari kerja yang bener, malah nyari kerjaan yang part time ga jelas gitu!” Ibu menambahkan.

Rinjani diam, wajahnya canggung. Ia hanya menunduk pada piringnya.

“Bu…” suaraku hampir tak terdengar, “Ibu berbicara kayak gitu ke Jani, ibu nggak mikirin posisi aku yang seorang kakak buat Jani.”

Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar, mengisi celah yang tak seorang pun berani isi.

Tapi dalam batinku, suara lain berbisik: Mungkin benar, mungkin aku memang gagal. Aku bukan siapa-siapa. Bukan PNS, bukan PPPK, bukan kebanggaan keluarga.Tapi, aku tetap berharga kan?

Malam itu, kamar yang dulu jadi tempatku pulang, terasa seperti sel. Di luar jendela, bulan berkilau senja.

Aku teringat dulu, ketika pulang kos meskipun lelah, tak ada yang menungguku dengan pertanyaan menyakitkan. Hanya kopi sachet di meja belajar, dan rasa sepi yang entah kenapa lebih ramah daripada rumah.

Aku membuka buku catatan kecilku, menulis dengan tangan gemetar:

"Apakah gagal berarti tidak layak dicintai? Apakah masa depan hanya berarti tiga huruf: PNS?"

Kertas itu kusobek, kuremas, lalu kubuang ke tong sampah. Tapi suara Ibu tetap tinggal di kepalaku, menggema lebih nyaring daripada doa.

Hari-hari setelah itu seperti rangkaian hujan tanpa jeda.

Aku bangun dengan wajah yang selalu kusam, menatap bayangan sendiri di kaca.

Seakan-akan cermin pun muak melihatku.

Namun semesta menghubungiku dengan caranya yang aneh, aku pikir selalu ada celah cahaya di tempat yang tak selalu kuduga. Seseorang menghubungiku dari Bandung. Sebuah tawaran datang menjadi pengajar les untuk sebuah bimbel kecil.

“Gajinya tidak besar, Mbak,” kata suara di ujung telepon. Aku tersenyum getir, “Tidak apa-apa. Yang penting saya bisa mulai kerja.”

Maka dimulailah hariku kembali dengan pekerjaan baru. Meski hanya part-time, meski upahnya tak seberapa, aku merasa masih punya alasan untuk bangun setiap pagi.

Tapi tentu saja, kabar ini bagi Ibu bukanlah sebuah kabar biasa.

“Guru les? Itu apa? Kerjaan main-main. Masa depanmu itu, Indi, kamu pertaruhkan sama kerjaan tidak jelas seperti itu. Kamu kapan serius daftar CPNS? Tahun depan CPNS pasti buka lagi, daripada kerja nggak jelas lebih baik kamu belajar, kalau perlu, belajar sana sama adikmu, yang jelas-jelas otaknya lebih pintar daripada kamu.”

Aku menarik napas panjang, mencoba menjawab dengan sabar.

“Bu, aku suka pekerjaan ini. Aku merasa pekerjaan ini membuat hatiku lebih lega dan luas.”

Tapi jawabanku hanya dipatahkan dengan dengusan pendek.

Di tengah rasa terjepit itu, hadir satu nama yang selalu jadi tempatku pulang secara diam-diam: Harry. Sejak kuliah, ia tak pernah pandai menilai seseorang dengan mata sempit.

“Ra,” begitu ia memanggilku setiap kali menghubungi, “aku baca naskahmu kemarin. Bagus banget, sumpah. Kamu bikin karakter yang terasa banget hidupnya.”

Aku terdiam. “Tapi buat apa, Har? Ibuku tetap bilang aku gagal. Katanya aku beban.”

Harry terkekeh di ujung telepon, suaranya hangat, menenangkan.

“Ra, kamu bukan beban. Kamu itu pembelajar. Kamu itu teman yang selalu bisa bikin orang betah ngobrol berjam-jam. Masa depanmu nggak harus dicetak sama seragam PNS.”

“Kalau semua orang berpikir masa depanku harus PNS. Bagaimana?” tanyaku, lirih.

“Kalau semua orang berpikir begitu, biarin aja. Yang penting kamu tahu siapa kamu sesungguhnya.”

Kalimatnya sederhana, tapi malam itu terasa seperti doa yang menyelinap ke sela-sela luka.

Aku menutup laptop, menatap catatan kecil di meja.

Bahuku terasa lebih ringan.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidur dengan dada yang tidak terlalu sesak. Ternyata, kita hanya perlu membutuhkan satu orang yang percaya padamu, untuk membuatmu percaya lagi pada dirimu sendiri bahwa kamu mampu dan berharga.

***

“Bu Guru, kalau ini rumusnya gimana?” tanya seorang anak, matanya berbinar. Aku tersenyum, “Panggil Kakak saja. Kan kakak belum tua-tua banget.”

Mereka tertawa mendengar jawabanku.

Di ruangan sederhana itu, aku bukan lagi si “produk gagal” yang selalu disebut Ibu, bukan juga bayangan yang tak pernah dihitung Ayah di meja makan. Di sana, aku adalah seseorang yang dibutuhkan.

Namun setiap kali bel selesai berbunyi dan aku pulang ke kamar sempitku, semua suara itu kembali menggema.

“Kapan kamu CPNS, Indi?”

“Jadi guru les bimbel nggak ada masa depannya.”

“Belajarlah dari Rinjani.”

Suara-suara itu menusuk lebih tajam daripada spidol yang habis tinta.

Malam itu, aku menelpon Harry.

“Har, kadang aku iri sama Rinjani,” kataku lirih.

“Hm?” “Usianya baru dua puluh empat, tapi dia sudah dosen. Sementara aku… hanya guru les di bimbel kecil.”

Harry terdiam sejenak, lalu suaranya datang dengan tenang. “Ra, kamu sadar nggak? Kamu mungkin nggak pakai seragam, tapi kamu sudah memberikan manfaat yang berarti buat anak-anak itu. Kamu sudah bikin mereka ngerti sesuatu yang tadinya mereka anggap sulit. Itu besar, Ra.”

Aku terdiam.

“Kalau kamu terus ngukur dirimu pakai timbangan keluarga, kamu bakal capek sendiri. Hidupmu bukan tentang nyamain langkah Rinjani atau Kak Anne. Hidupmu ya… hidupmu.”

Aku menghela napas panjang. “Kadang aku pengen kabur aja dari semuanya.” “Kalau kabur, aku ikut,” jawabnya sambil terkekeh. “Tapi janji, Ra, jangan pernah bilang kamu gagal lagi. Kamu jauh dari kata gagal.”

Aku menutup mata, membiarkan suaranya meresap. Suara yang berbeda dari keluargaku, suara yang menolak menjatuhkanku.

Besoknya, aku kembali mengajar.

Ada rasa lelah, ada rasa getir, tapi juga ada sisa-sisa keberanian. Aku menulis di catatan kecilku:

“Aku mungkin tak jadi PNS. Tapi aku punya ruang kecil yang memanggilku „Kakak‟. Dan mungkin, itu cukup untuk membuatku berarti.”

Suatu malam, ketika langit di atas rumah dipenuhi bintang yang samar, aku duduk di ruang tamu bersama Ibu. Televisi menyala, menayangkan berita tentang penerimaan CPNS terbaru. Nama-nama yang lulus diputar di layar, wajah-wajah muda penuh tawa dan kebanggaan. Ibu bergumam pelan, tapi cukup jelas untuk merobek dadaku.

“Coba lihat, Indi. Mereka seumuranmu, bahkan ada yang lebih muda. Hidupnya jelas, masa depannya terjamin. Kapan kamu bisa begitu?”

Aku menatap layar yang berganti-ganti menampilkan ratusan orang. Jantungku berdegup pelan tapi berat. Lalu aku menarik napas panjang, mencoba mengurai keberanian yang selama ini kupendam.

“Bu,” kataku lirih.

Ibu menoleh sekilas, wajahnya tetap serius. “Apa?”

“Aku bukan Rinjani. Aku bukan Anne. Aku Indira.”

Ibu terdiam, seolah tidak mengerti kalimat sederhana itu. Aku melanjutkan, suaraku bergetar tapi mantap, “Aku tahu Ibu ingin aku hidup mapan, punya pekerjaan tetap, dan menikah cepat. Tapi jalan hidupku berbeda. Aku tidak gagal hanya karena aku tidak lulus CPNS. Aku tidak salah hanya karena tidak jadi PNS. Aku masih Indira—anakmu, meski jalanku tak sama dengan kakak atau adikku.”

Suasana hening. Hanya suara TV yang terus bergema. Ibu menghela napas panjang. Aku tidak berharap keajaiban, aku tahu mungkin beliau

tidak langsung berubah pikiran. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa tidak lagi kecil di hadapan suara-suara yang menekanku.

Malam itu, setelah masuk kamar, aku membuka buku catatan lusuh yang selalu menemaniku sejak kuliah. Tangan gemetar menuliskan kata-kata yang sudah lama ingin keluar:

“Aku tak harus jadi PNS untuk dihormati. Aku tak gagal hanya karena berbeda. Aku cukup, sebagaimana aku adanya. Dan aku akan terus melangkah, meski jalannya tak mudah.”

Air mata menetes, bukan karena sedih, tapi karena lega. Untuk pertama kalinya aku berdiri atas nama diriku sendiri.

Keesokan harinya, aku berangkat ke bimbel tempatku mengajar. Jalanan Bandung yang ramai, motor-motor berdesakan, pedagang kaki lima yang sibuk menata dagangannya, semuanya terasa seperti pelukan. Di kelas, anak-anak menyambutku dengan tawa. “Kak Indi, kita lanjutin materi kemarin, ya.”

Aku tersenyum. Dalam sorot mata mereka, aku bukan produk gagal. Aku seorang guru, seseorang yang mereka percaya bisa menuntun mereka memahami dunia.

Sepulang kerja, aku menerima pesan dari Harry. “Ra, jangan pernah biarkan dunia mengecilkanmu. Kamu punya hal besar, hanya saja dunia belum mengetahuinya saja.” Aku tersenyum membaca pesannnya yang hangat itu. Mungkin aku bukan siapa-siapa bagi dunia, tapi bagi beberapa orang, aku berarti. Dan itu cukup.

Malam kembali tiba. Aku menatap lampu-lampu rumah yang berkilauan. Aku tahu jalan ini panjang, penuh duri, dan mungkin aku akan kembali mendengar kata-kata yang menyakitkan. Tapi kini aku punya bekal: keyakinan bahwa aku tidak harus mati hanya karena aku bukan seorang PNS.

Aku masih hidup. Aku masih berjuang. Dan aku adalah Indira, perempuan yang akan terus menulis, mengajar, dan berjalan dengan langkahnya sendiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
(TAK) Harus Jadi PNS
Indira Raina
Cerpen
Sebuah Alarm Baru
Delvin
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
JANGKA JAZ
Kiki Isbianto
Cerpen
Bronze
AKU PULANG, MAK
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
SEVGILI ÇOCUĞUM
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Cucuku Aina
cyara afnan
Cerpen
Indahnya Surga di Telapak Kaki Ibu
LISANDA
Cerpen
Perempuan Berambut Perak
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Terlalu Baik
Dhimas Prasetya Nugraha
Cerpen
Bronze
Lampu dari Sungai yang Mengering
Desto Prastowo
Cerpen
Dawai Penuh Cinta
Arisyifa Siregar
Cerpen
HALTE
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
KATALOG DAN MIMPI
Ellaaa
Cerpen
Bronze
RANTAU RAMADHAN PERTAMA
ari prasetyaningrum
Rekomendasi
Cerpen
(TAK) Harus Jadi PNS
Indira Raina
Cerpen
TIGA LUKA TARI,
Indira Raina
Cerpen
Sesalku Bercerita
Indira Raina
Cerpen
Memoar Sebuah Rasa
Indira Raina
Novel
12 Tahun, Tentang Asa Dan Rasa
Indira Raina
Novel
Kenangan Di Balik Kabut
Indira Raina