Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Tak ada nama dikota ini
0
Suka
890
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di bawah langit yang menggantung seperti luka yang enggan sembuh, Ia berdiri di balik jendela kamar kosnya sebuah ruang sempit yang lebih mirip ingatan daripada tempat tinggal. Kota ini, yang telah ia jajaki lebih dari dua tahun, masih enggan menyebut namanya. Seolah ia hanya siluet yang melintas dalam keramaian, yang tak pernah benar-benar hadir. Di dalam kamar itu, dinding-dinding menghafal gumamnya, lantai menyimpan jejak langkah yang tak pernah benar-benar ke mana-mana. Ia tidak lagi tahu apakah ia sedang merindukan rumah atau sedang menghindarinya. Yang ia tahu, setiap pagi terasa seperti perpanjangan dari malam yang tak selesai sebuah teka-teki yang menolak didefinisikan, sebuah kota yang menyamar menjadi labirin.

Ia menyapa bayangan dirinya sendiri di kaca jendela, dan untuk sesaat merasa sedang bercakap dengan seseorang. Mungkin dengan dirinya yang dulu, atau dengan dirinya yang tak akan pernah pulang. Angin datang pelan, menggeser tirai, dan membawa serta aroma asing yang terasa lebih akrab dari wajah-wajah di sekelilingnya. Dan di balik langit yang pucat itu, seolah Tuhan pun sedang berpikir ulang tentang hujan, tentang rencana-Nya, atau mungkin tentang gadis muda yang berdiri di jendela, menanti sesuatu yang bahkan tak ia beri nama

Ia menarik napas panjang. Udara kota mengandung logam dan debu, tak seperti kampung halamannya yang wangi oleh tanah basah dan suara burung yang setia. Di sini, kesepian bukan lagi perasaan ia adalah makhluk yang tinggal bersamanya, duduk di kursi sudut, tidur di lipatan selimut, menemaninya memandang kalender yang tak pernah berhenti.

Dulu, waktu pertama kali menginjak kota ini, ia datang dengan mimpi yang dibungkus rapi, sukses, kebebasan, dan langit yang katanya lebih luas. Tapi kota ini tak menyambutnya dengan tangan terbuka ia menyambutnya dengan bisu, dengan dinding-dinding yang tak memantulkan suara.

Setiap hari, ia belajar untuk menghilang dalam kerumunan. Ia duduk di depan kos seperti daun gugur di tengah riuh angin, tak bersuara, tapi tetap ada. Ia bukan tidak ingin dikenal, hanya terlalu sering merasa asing, bahkan pada dirinya sendiri.

Sore itu, hujan jatuh tanpa jeda, seperti kata-kata yang tak sempat diucapkan. ia melangkah keluar, membiarkan air menghapus garis-garis takut di wajahnya. Ia menyusuri trotoar, hingga tiba-tiba berhenti di depan sebuah kedai kopi tua yang tampak seperti sisa dari masa lalu kota yang pernah memiliki hati.

Namun, ia tahu, inilah pilihan yang ia buat. Inilah jalan yang harus ia jalani.

Pada awalnya, segala sesuatunya tampak lebih cerah. Dengan harapan yang tinggi, ia meninggalkan desa, menapaki jejak langkah orang-orang yang lebih dahulu pergi ke kota, yang sukses, yang berhasil. Ia pun ingin seperti mereka. Menggapai mimpi, menyentuh bintang-bintang yang selama ini hanya bisa ia lihat dari kejauhan. Kota ini, dengan segala keramaian dan gedung-gedung tinggi, menawarkan segudang kemungkinan.

Namun, realita berkata lain. Di balik gemerlap lampu kota, ada bayang-bayang kesendirian yang menakutkan. Di kampus, ia merasa kesepian. Meskipun bertemu banyak orang, seakan ada jarak yang tak dapat dijembatani. Banyak yang datang dengan latar belakang yang lebih mapan, dengan koneksi yang lebih kuat. Sementara dirinya, hanya seorang gadis dari desa kecil, yang berjuang dengan segala keterbatasan.

Setiap hari, ia berusaha menutupi rasa cemasnya. Di kelas, ia duduk di barisan belakang, hanya sesekali mengangkat tangan saat dosen bertanya. Namun, meskipun ia pendiam, matanya selalu memantulkan tekad yang besar. Ia tahu, ia harus tetap berusaha. Walau kadang merasa lelah, ia tidak boleh menyerah.

Suatu sore, ketika hujan turun dengan derasnya, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus. Ia menyukai aroma tanah yang basah setelah hujan, aroma yang selalu mengingatkannya pada rumah. Tanpa tujuan jelas, ia berjalan menyusuri trotoar, memikirkan segala hal yang datang dan pergi dalam hidupnya. Tiba-tiba, langkahnya terhenti di depan sebuah kedai kopi kecil yang tidak terlalu ramai. Pintu kedai itu terbuka dengan bunyi gemerincing yang menyambut. Di dalamnya, ada beberapa meja kayu yang tampak sederhana, namun penuh kehangatan. Di salah satu meja, duduk seorang pria muda dengan buku di depannya. Matanya tampak tenggelam dalam bacaan, namun sesekali ia mengangkat kepala, menatap keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu yang dalam. Ia merasa seperti ada tarikan yang tak terlihat untuk masuk. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah masuk, duduk di meja yang dekat dengan jendela. Pria muda itu tidak memperhatikannya, terlalu fokus dengan dunia di balik bukunya. Namun, ia merasa nyaman dengan keheningan yang mengelilinginya.

Tak lama setelah ia memesan secangkir kopi, pria itu menoleh ke arahnya. Senyumnya kecil, namun tulus. “Kau suka hujan, ya?” tanyanya.

Serin namanya, ia Serin terkejut dengan pertanyaan itu, tapi ia tersenyum dan mengangguk. “Iya, hujan selalu membuatku merasa lebih dekat dengan sesuatu yang... lebih besar dari diriku sendiri,” jawabnya pelan. Pria itu mengangguk, seolah mengerti. “Aku juga merasa begitu. Hujan, bagi sebagian orang, mungkin melambangkan kesedihan. Tapi bagi aku, itu adalah waktu untuk berhenti sejenak, menenangkan diri. ia tidak tahu mengapa, tapi percakapan itu mengalir begitu saja. Tanpa ragu, mereka mulai berbicara lebih banyak tentang hidup, tentang kampus, tentang mimpi-mimpi yang sedang mereka kejar. Nama pria itu adalah Dimas, seorang mahasiswa filsafat yang tengah menulis tesis tentang eksistensialisme. Mereka berbicara tentang ide-ide besar, tentang pencarian makna dalam hidup, dan tentang bagaimana terkadang, dalam kesendirian, kita justru menemukan jati diri. Hari-hari berikutnya, Serin dan Dimas semakin sering bertemu. Mereka bertukar pikiran di kedai kopi itu, berjalan bersama di sekitar kampus, berbicara tentang apapun yang terlintas di pikiran. Setiap kali mereka berbicara, Serin merasa seolah ada sebuah kekosongan yang terisi dalam dirinya. Mungkin, inilah yang ia butuhkan selama ini seseorang yang mengerti tanpa perlu banyak kata. Namun, semakin ia merasa dekat dengan Dimas, semakin ia juga merasakan sebuah ketakutan yang tidak bisa ia hilangkan. Ketakutan akan kenyataan bahwa mereka berdua datang dari dunia yang berbeda. Dimas dengan segala kecerdasan dan pengetahuan filsafatnya, sementara Serin, yang lebih sering merasa tersesat dalam dunia akademik yang penuh dengan kompetisi.

Suatu hari, setelah berbicara panjang lebar tentang filosofi dan kehidupan, Dimas mengatakan sesuatu yang membuat hati Serin tergetar. “Serin, kamu tahu kan, kita hanya bisa berjalan sejauh kita mau. Tapi terkadang, kita harus berhenti sejenak untuk menyadari apa yang sudah kita capai, bukan hanya untuk mengejar yang lebih jauh.”

Serin terdiam. Kata-kata itu seperti menyentuh inti dari segala kebingungannya. Selama ini, ia terlalu fokus pada tujuan, pada impian yang harus digapai, hingga ia lupa untuk menikmati setiap langkah kecil yang telah ia tempuh.

Esok paginya, saat ia duduk termenung di meja belajar di kos, Serin merasakan perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Langit cerah, meskipun hari sebelumnya hujan turun deras. Semua terasa lebih ringan. Ia menyadari bahwa perjalanan yang ia jalani tidak perlu selalu dipenuhi dengan kecemasan akan masa depan. Terkadang, cukup dengan menghargai setiap langkah kecil yang telah diambil. Serin duduk di meja belajarnya, menatap secarik kertas kosong yang ada di depannya. Skripsi yang semula terasa begitu jauh dari jangkauan kini semakin mendekat. Namun, meskipun banyak hal yang telah ia capai, pikirannya masih teringat pada pertemuan-pertemuan dengan Dimas yang kini mulai memberi makna baru dalam hidupnya. Kata-kata Dimas terus terngiang, mengingatkannya bahwa ia tidak perlu terburu-buru.

Ia mengambil pena dan mulai menulis. Tulisan pertama yang muncul di kertas itu bukan tentang skripsi atau tugas kuliah, melainkan sebuah catatan pribadi. Catatan yang menjelaskan tentang perasaannya, tentang perjalanan yang telah ia lalui, tentang ketakutannya akan masa depan dan kecemasannya yang tak pernah berhenti. Ia menulis tentang bagaimana ia telah belajar untuk berhenti sejenak dan menikmati hidup.

Tiba-tiba, pintu kamar kosnya diketuk. Serin mengangkat wajahnya dan melihat Dimas berdiri di ambang pintu. Senyumnya selalu membuat hati Serin merasa tenang. “Ada apa, Dimas?” tanya Rina, sedikit terkejut meskipun pertemuan mereka memang sudah menjadi kebiasaan.

“Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu,” jawab Dimas sambil melangkah masuk dan duduk di kursi yang ada di dekat meja belajar. “Aku baru saja memikirkan tentang sesuatu yang mungkin kamu butuhkan.” Serin mengerutkan dahi, menunggu Dimas melanjutkan.

“Kadang, kita merasa kesulitan untuk melangkah maju karena kita terlalu khawatir akan apa yang akan datang. Tapi aku ingin kamu tahu, Serin, bahwa tak ada langkah yang sia-sia. Setiap langkah, sekecil apapun, membawa kita lebih dekat pada tujuan kita, meskipun tujuan itu terkadang tak selalu terlihat jelas,” kata Dimas dengan tatapan serius. Serin hanya bisa terdiam. Kata-kata Dimas terasa sangat dalam. Ia merasa, selama ini, ia terlalu banyak terjebak dalam kerumitan pikirannya sendiri, merencanakan segalanya, tapi takut jika rencana itu tidak berjalan sesuai harapan.

“Apa yang kamu katakan itu benar,” jawab Serin akhirnya. “Kadang, aku merasa terjebak dalam rasa takut akan kegagalan. Tapi sekarang, aku mulai mengerti bahwa setiap kegagalan pun bisa menjadi bagian dari perjalanan. Mungkin, aku hanya perlu lebih menerima dan berani mengambil langkah.” Dimas tersenyum, puas dengan jawaban Serin. “Itu yang aku ingin dengar. Karena hanya dengan begitu kita bisa benar-benar memahami arti dari setiap pilihan yang kita buat”.

Serin menatap Dimas dengan rasa terima kasih yang mendalam. Ia tahu, pertemuan-pertemuan mereka bukan hanya tentang percakapan biasa. Setiap kali mereka berbicara, ia merasa seperti membuka jendela baru dalam hidupnya. Dimas bukan hanya seorang teman, tetapi juga guru yang mengajarkan cara melihat dunia dengan cara yang berbeda.

“Terima kasih, Dimas,” kata Serin pelan.

Dimas bangkit dari kursinya, berjalan menuju pintu. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Serin . Nikmati setiap langkah yang kamu ambil. Mimpi-mimpi itu bukan hanya untuk dikejar, tetapi juga untuk dinikmati perjalanan menuju mereka.”

Serin mengangguk, menatapnya dengan penuh rasa hormat. Setelah Dimas pergi, ia kembali ke mejanya, menatap kertas yang kini sudah dipenuhi tulisan. Tidak ada lagi ketakutan dalam dirinya. Meskipun langkahnya masih panjang, ia tahu bahwa setiap langkah yang diambilnya adalah bagian dari proses belajar. Proses yang tak selalu sempurna, namun pasti memberi makna.

Sore itu, langit semakin cerah. Hujan yang tadi menurunkan tetesan kecil di luar, kini beranjak pergi, meninggalkan udara yang segar. Serin menyandarkan dirinya pada kursi dan menatap jendela, merasakan angin yang sejuk menyentuh wajahnya. Dalam kesunyian itu, ia merasa lebih yakin. Bahwa tak ada perjalanan yang sia-sia, dan dalam setiap detik yang berlalu, ada pelajaran yang harus dipelajari.

Ketika ia membuka pintu kosnya, ia disambut oleh udara luar kos, dan menatap keluar halaman kos dan merenung, ia menyadari bahwa meskipun dunia luar sering kali terasa berat, ada kekuatan dalam diri sendiri yang bisa membuatnya terus berjalan. Seperti hujan yang datang untuk membersihkan segala keraguan, ia pun belajar untuk membiarkan setiap ketakutan berlalu, dan menerima bahwa perjalanannya seperti hujan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Tak ada nama dikota ini
Raudatul Jannah
Cerpen
Bronze
Lautan dan Semangkuk Sup
Ismail Ari
Cerpen
Aku Ingin Mencoba Menyayangimu
Salsabila Ananda
Cerpen
Mencari Konsep Sabar
Dhawy Febrianti
Cerpen
Bronze
My Weird Online Friend
Rosa L.
Cerpen
Dalam Sepasang Langkah
Puan Maha Rana
Cerpen
Bronze
Tidak Ada Tutug Oncom di Neraka
Imas Hanifah N.
Cerpen
Bronze
Surat dari Jakarta
Ron Nee Soo
Cerpen
Virus Mulut Tetangga
Khairaniiii savira
Cerpen
Bronze
Mendung Masih Bergelayut
Munkhayati
Cerpen
Menulis Haiku
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-4
Munkhayati
Cerpen
Bronze
KE MANA SI MBAK?
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Langkah yang Tak Seirama
Riadatun Hasanah
Cerpen
Bronze
Musthofa
Sri Wintala Achmad
Rekomendasi
Cerpen
Tak ada nama dikota ini
Raudatul Jannah