Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tiba di Bandung dengan harapan yang membumbung tinggi, seperti kabut tipis yang menggantung di langit Dago saat pagi menjelang. Media sosial seperti Instagram dan TikTok terlalu pandai menyulap kota ini seolah-olah panggung yang penuh pesona visual—dari suasana syahdu selepas hujan, spot wisata yang hits, pusat per-fashionan kaum muda mudi nusantara, hingga citra "aa-aa" dan "teteh-teteh" Bandung yang memesona, serta reputasinya sebagai kota kreatif yang memunculkan banyak seniman dan musisi.
Namun, realitas punya cara sendiri untuk mengoreksi ekspektasi. Hari-hariku di Bandung dimulai dari sebuah kamar kos sempit di ujung timur kota Bandung. Gang kecil yang padat, kemacetan di Bundaran Cibiru, dan genangan air “Waterboom” Soekarno Hatta selepas hujan turun lebat. Kadang-kadang, aku berpikir Bandung tak jauh beda dari kota-kota besar lainnya dengan kompleksitas masalah sosialnya. “Ah, ayeuna mah Bandung mah kitu weh, estetik-estetik teh ngan saukur di medsos hungkul,” celetuk Kang Deni, senior di kampusku, sambil tertawa lebar.
Tapi, semakin lama aku menyelami kota ini, semakin aku dibuat terkejut oleh kenyataan-kenyataan yang tak pernah kutemui sebelumnya. Di masa sekolah dulu, aku sering mendengar bahwa orang Bandung dikenal dengan sifatnya yang ramah. Itu memang benar. Selain lokasinya yang masih berada di dataran tinggi, warga Bandung hidup dalam nilai filosofis “Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh”—sebuah semboyan yang mencerminkan prinsip kekeluargaan yang begitu kental.
“Kabeh dulur,” kata Kamal, teman kampusku yang asli Bandung. Semua dianggap saudara. Meski terdengar naif jika diterapkan di zaman yang serba cepat dan individualistik, nilai ini tampaknya masih bertahan di tengah warga lokal. Mungkin karena mereka belum tercerabut dari tanah asal mereka, berbeda dengan banyak suku lain yang cenderung memilih untuk merantau. Tapi yang paling mengagumkan adalah kecintaan mereka terhadap tanah kelahiran. Mereka ingin Bandung tumbuh dan maju, serta siap menghadapi siapa pun yang mencoba merusaknya.
Oleh karena itu, pemuda-pemudi Bandung punya karakter unik yang sulit ditemukan di tempat lain—erat dengan semangat kolektif yang sering disebut dengan istilah “babarudakan.” Tak heran istilah “Kumaha barudak...? Wellll” jadi populer di media sosial, menggambarkan solidaritas yang kuat di sertai dengan karakter humoristik.
Beberapa kilometer dari kosanku ke arah barat, ada kawasan kuliner yang selalu ramai: Dipatiukur, namnya. Sederhana, tapi deretan tenda makanan yang sering viral di sepanjang jalannya itu seakan menarik lidah bagi para pengunjung. Tak jauh dari situ ada juga Dago—jalan yang kerap muncul di Instastory para pengunjung, dibalut dengan lagu Pidi Baiq yang sendu. Akan tetapi, jikalau menyebrang sedikit ke arah Taman Sari, pemandangan yang kutemui sangat berbeda jauh.
Sekelompok orang berpakaian serba hitam kerap berkumpul di sana, dan saat malam, mobil-mobil modifikasi berjajar, ditemani pemuda bercelana ripped skinny dan perempuan berpakaian hot pants juga baju crop top menghiasi dunia malam jalanan Sulanjana. Namun di tepi keramaian itu masih berdiri sebuah rumah tua yang nyaris roboh, berdempetan dengan bangunan besar yang mencolok.
Di sanalah Bu Eva tinggal—seorang ibu tangguh yang tetap bertahan di tengah ancaman penggusuran. "Taman Sari Melawan" tertulis di mural dinding rumahnya, menjadi simbol perjuangan warga yang mempertahankan hak atas tanah mereka. Bu Eva tak menolak pembangunan, tapi ia sangat menolak cara-cara kasar yang ingin merampas ketenangannya. Hal serupa juga dialami oleh warga Sukahaji yang terpaksa berhadapan dengan berbagai tekanan demi mempertahankan tempat tinggal mereka. Beberapa bahkan harus menghadapi tindak kekerasan dan ancaman terhadap keselamatan jiwa. Parahnya lagi, ada rumah-rumah yang dibakar dengan sengaja sebagai upaya memaksa penduduk untuk meninggalkan wilayah tersebut.
Akhirnya, aku menyadari bahwa di balik senyum ramah orang Bandung, ada luka yang mereka dipendam. Bahkan mereka yang tampak ceria dan penuh tawa pun menyimpan cerita yang jarang terucap. Mungkin dari situlah aku mengerti kenapa warga Bandung terlihat memiliki ego yang tinggi—bukan karena merasa lebih, melainkan karena mereka sangat mencintai kotanya dan ingin menjaga kota ini sepenuh hati dan segenap jiwanya. Ungkapan “legeg is character” yang sering menjadi guyonan, mungkin lebih dari itu. Refleksi dari karakter yang dibentuk oleh cinta dan keteguhan untuk mempertahankan apa yang mereka miliki. Itulah yang aku bisa tangkap.
***
Pagi merekah dengan malas, dan aku harus segera bersiap menuju kampus. Hari ini tak terlalu padat—hanya dua mata kuliah: Komunikasi Politik dan Hak Asasi Manusia. Sebagai mahasiswa Hukum, keduanya sudah seperti kudapan favorit tiap minggu. Selain karena materinya selalu menggugah, cara mengajar Pak Budi dan Pak Heri pun terasa menyenangkan—enak, berbobot, tapi tetap ringan.
Jam menunjukkan pukul 07.25 WIB saat aku sudah duduk di dalam kelas. Seperti biasa, rutinitas pagi diawali dengan obrolan seputar sepak bola. Topik hangatnya: laga Persib beberapa hari yang lalu dan hasil pertandingan Liga Inggris semalam. Ada nada serius, tapi lebih banyak tawa mengisi sela. Sebuah ritual kecil sebelum kelas dimulai.
Pak Budi mengetuk pintu dan kelas langsung berubah menjadi hening. Hari ini ia membuka perkuliahan dengan topik yang cukup membuat dahi mengernyit: seorang jurnalis Tempo dikirim kepala babi oleh pihak yang tak dikenal. Suasana langsung berubah. Mayoritas sudah menyimaknya di gadgetnya masing-masing. Akan tetapi, perhatian tetap tajam menyimak perkataan dari Pak Budi.
Diskusi kemudian berlanjut ke respon pemerintah yang katanya normatif—terlalu normatif malah. Disanalah kemudian pro dan kontra bermunculan. Beberapa mahasiswa ikut angkat suara, sebagian hanya menunduk diam. Ada juga yang tetap cuek, menatap layar ponsel seolah tak ada apa-apa. Juga ada yang masih tidur di belakang, efek begadang semalam. Dua jam pun berlalu begitu saja, nyaris tak terasa.
Waktu istirahat lima belas menit pun datang. Aku keluar ke taman kampus legend bernama DPR atau Dibawah Pohon Rindang, duduk di pinggir jalan sembari menyalakan rokok. Beberapa temanku juga ikut bergabung.
“Isukan urang aya konser di Secapa yeuh, hayu ah kadinya,” ajak Agoy sambil menyender ke tembok.
“Moal ah,” sahut Joy cepat.
“Nahaaa?” tanya Agoy sambil mengerutkan alis.
“Nu lain atuh. Urang mah hoream ah,” balas Joy pelan, tapi tegas.
“Hayu atuh, ramean ge,” sambung yang lain, mencoba menggoda suasana.
“Maneh kumaha, Ngga?” kini giliran aku ditanya.
“Cigana mah moal, Goy… urang aya agenda euy,” jawabku sambil melempar senyum tipis.
Agoy menggeleng dan menatapku sinis setengah bercanda. “Ah sia mah, awewe ge hayu,”
Aku tertawa. Yang lain ikut menyusul. Suara tawa kami pecah bersamaan dengan asap rokok yang membubung—ringan, mengambang, lalu lenyap. Dua batang habis. Jam perkuliahan kembali memanggil.
Pak Heri masuk, kali ini agak telat. Ia menyapa dan meminta maaf, disambut anggukan ramah dari seisi kelas. Lima mahasiswa maju untuk presentasi mengenai “Pelanggaran HAM di Indonesia.” Presentasi berjalan selama lima belas menit, lalu moderator membuka ruang diskusi.
Aku angkat tangan. Ada keresahan yang ingin ku diskusikan.
“Izin bertanya, kawan-kawan. Beberapa waktu ini, saya juga mungkin kalian sering melihat media sosial dipenuhi dengan berita buruk. Nah, rasanya seperti ada pola yang sudah diketahui banyak pihak, setiap ada kasus besar atau penting—korupsi atau revisi undang-undang—pasti diselipi dengan gosip perselingkuhan atau skandal public figure. Apakah ini hanya kebetulan atau memang ada sesuatu di balik itu? Nah, kaitannya dengan HAM, tentu hal tersebut menyangkut paut terhadap kebebasan berekspresi, kan?”
Suasana mulai serius. Beberapa menatapku penuh perhatian, Pak Heri juga tampak ikut menyimak.
“Kalau kita tarik ke pada tahun 1998. Ada yang namanya tuntutan reformasi, salah satunya adalah penghapusan Dwifungsi ABRI. Nah sekarang, dengan adanya UU TNI yang telah disahkan, apakah tidak mungkin tragedi seperti Trisakti, Semanggi I dan II akan terulang? Jika kritik dari masyarakat mulai dianggap sebagai ancaman negara, lalu bagaimana kita bisa bicara tentang demokrasi atau menyuarakan kritikan kita?”
Beberapa mulai gelisah. Ada yang membuka ponsel diam-diam. Sebagian presenter saling berbisik sambil mencari-cari referensi. Lalu, Ilham angkat tangan.
“Moderator, saya izin menjawab,” katanya.
Putri – sang moderator, mengangguk. Silakan.
“Menurut saya begini, Angga. Kita lihat dulu konteks munculnya UU TNI ini. Apakah dikarenakan adanya kekurangan orang yang kompeten di pos-pos pemerintahan, sehingga TNI kemudian diangkat sebagai pemangku kebijakan? Bukankah TNI itu juga dididik untuk membela negara? Kalau memang itu solusi terbaik, ya kenapa tidak?”
Ia jeda sebentar. Lalu melanjutkan.
“Menurut saya terlalu jauh juga kalau kita langsung tarik-menarik kepada tragedi masa lalu. Situasi nya sudah berubah, loh. Media juga terlalu sering membesar-besarkan sebuah isu, membuat publik cemas dan takut, padahal kenyataannya belum tentu terjadi apa-apa.”
Edo, dari sudut ruangan, mengangkat tangan tinggi-tinggi. “Intrupsi, moderator.”
Putri mengangguk. “Silakan, Edo,”
“Saya tidak sepakat. UU TNI itu nggak perlu ada. Kita ini negara demokrasi. Kenapa pemerintah tidak lebih fokus ke RUU perampasan aset saja yang lebih penting? Kita tahu sendiri, ketika militer masuk ke ranah sipil, sejarah mencatat ada banyak sekali pelanggaran. Dwifungsi ABRI itu bukan cerita dongeng atau dibesar-besarkan oleh media saja kok. Bangsa kita pernah mengalaminya itu”
Andre menyela dari belakang, “Tapi SBY juga tentara loh, tapi dia gak gitu ah.”
“Sebentar, jangan dipotong dulu,” balas Edo tegas. “SBY memang militer, tapi dia menghormati konstitusi yang berlaku, Ndre. Sebelum menjadi Presiden, dia mundur dari dunia aktif militer, kok. Dia sadar bahwa netralitas TNI itu penting dan akan merusak iklim demokrasi jika di ranah politik praktis. Anaknya, AHY juga begitu, kok.”
Edo menatap seluruh kelas.
“Dulu Soeharto juga dinilai bagus, kawan-kawan. Ekonomi tumbuh dengan pesat, PDB juga naik drastis. Tapi di balik langkahnya menerapkan Dwifungsi ABRI di ranah sipil untuk menstabilkan kisruh sosial politik, ujung-ujungnya malah jadi represifitas. Power tends to corrupt. Kekuasaan tanpa batas malah bikin suara rakyat dibungkam. Kalau UU ini saja bisa disahkan, siapa yang bisa menjamin tidak akan terulang kembali?”
Dewi, ketua himpunan jurusan, angkat tangan. “Aku juga sependapat dengan Edo. Menurutku, tanda-tanda pemerintahan anti kritik itu cikal bakal adanya autoritarianisme. Kita melihat, beberapa hari lalu ramai hashtag #IndonesiaGelap juga diikuti dengan adanya demonstrasi di berbagai wilayah. Nah, kalau memang tujuan UU ini baik, lantas mengapa draf RUU ini tidak bisa diakses oleh publik. Kan, muncul tuh kecurigaan. Kenapa harus dirahasiakan?”
“Kalau kita tahu isi draft-nya, mungkin kita bisa bahas, kita kaji. kita bisa awasi. Transparansi itu kunci dalam demokrasi, loh, kawan-kawan”
Sarah ikut menimpali, “Aku ngerti maksud Ilham, dan aku nggak bilang argumennya salah. Kadang media memang terkesan framing juga buzzer-buzzer yang bertebaran ini membuat orang seolah membenci satu golongan. Tapi yang perlu digaris bawahi, kenapa pembahasannya tertutup dan terkesan terburu-buru? Substansi aja belum jelas, kok tiba-tiba disahkan? Kan aneh banget.”
Diskusi makin panas, tapi tetap dalam jalur argumentatif. Pro dan kontra bersahutan, dan suasana kelas berubah jadi forum intelektual yang sangat hidup.
Satu jam berselang, Pak Heri kemudian mengangkat tangan, menyudahi sesi diskusi.
“Terima kasih atas diskusinya. Luar biasa. Saya apresiasi keberanian kalian menyampaikan pandangan.”
Seluruh kelas memberi tepuk tangan.
“Tapi izinkan saya meluruskan satu hal,” lanjut Pak Heri, suaranya tenang tapi penuh penekanan.
“Dalam teori keadilan hukum, sebelum pemangku kebijakan menetapkan sebuah aturan, mereka harus memahami tiga bentuk keadilan. Keadilan distributif, prosedural, dan korektif. Keadilan Distributif menyangkut tentang pembagian hak dan kewajiban yang adil. Keadilan Prosedural menyangkut bagaimana aturan dibuat, apakah sesuai hukum, transparan, dan proporsional. Terakhir, keadilan korektif adalah penilaian akhir: apakah aturan itu dapat menyelesaikan masalah atau justru menciptakan masalah baru.”
Beliau menatap kami satu per satu.
“Kalian, sebagai mahasiswa, punya peran untuk tetap kritis. Tapi kritis yang bijak. Bukan membenci, melainkan mengawasi. Kalau masyarakat dan pemerintah saling bersinergi, saya percaya tidak akan ada lagi pelanggaran HAM seperti dahulu kala.”
Kelas pun selesai. Mahasiswa keluar satu per satu, beberapa lainnya masih membicarakan topik hangat tadi. Aku mengambil jaket, melangkah keluar kelas, menyalakan motor, dan bersiap menuju sekretariat. Sore nanti, ada rapat organisasi yang menantiku.
***
Bandung. Bukan cuma soal kenyamanan atau keramahan warganya, bagiku Bandung juga merupakan tempat yang sangat ideal untuk menimba ilmu. Kini aku mulai paham kenapa banyak orang begitu memuja Bandung dengan berlebihan, bahkan sampai muncul celetukan, “Kenapa Bandung?”
Ternyata memang ada alasan logis di balik itu semua. Bandung menyandang gelar sebagai Kota Pendidikan, dengan jumlah perguruan tinggi yang mencapai lebih dari 150—dari universitas, politeknik, hingga sekolah tinggi. Setiap tahunnya, puluhan ribu mahasiswa datang dan bergabung. Maka wajar kalau aku merasa Bandung adalah tempat yang pas untuk belajar dan bertumbuh. Apalagi sebagai orang yang bergelut di dunia organisasi, aku sering terlibat dalam berbagai forum diskusi, baik yang bersifat formal maupun sekadar nongkrong santai yang berujung debat serius. Bila dibandingkan dengan teman-teman yang kuliah di luar Bandung, mungkin iklim intelektualnya serupa—membaca, mengkaji isu, berdialektika, hingga merancang tindakan nyata. Kadang berupa kegiatan kolaboratif, kadang hanya berupa pemikiran yang terus menggantung di udara. “Anggap saja ajang silaturrahmi” tungkas kerabatku.
Beranjak sedikit ke arah selatan, tepatnya di wilayah Banjaran, suasana berbeda akan menyambut. Tak cuma keindahan alam yang membentang, di sana juga aku menemukan kelompok-kelompok pemuda yang akrab disebut anak-anak kolektif. Awalnya kupikir mereka hanya sekumpulan anak nongkrong biasa—yang menghabiskan waktu di sela rutinitas. Tapi dugaan itu keliru. Mereka hadir dengan semangat yang berbeda. Musik britpop, alat DJ sederhana, suasana gigs di kedai kopi atau ruang alternatif—semua menjadi bagian dari ruang ekspresi mereka. Namun yang membuatku terkesan bukan hanya soal musik, tapi keterlibatan mereka dalam gerakan-gerakan sosial. Nilai-nilai kemanusiaan begitu terasa kental. Solidaritas bukan cuma jargon, tapi diwujudkan dalam bentuk zine-zine buatan mereka yang disebar secara gratis. Gaya mereka memang sangat skena—berani, percaya diri, dan nyentrik—tapi di balik itu tersimpan semangat untuk menyuarakan isu-isu kemanusiaan lewat gigs atau event-event kecil penuh makna.
Dari mereka, aku belajar bahwa pendidikan bukan sekadar di bangku kuliah saja. Di kota ini, makna bahwa pendidikan adalah hak semua orang terasa nyata bagiku.
Jika bagi banyak orang Bandung hanya tampak menawan karena estetika tata kotanya atau bentang geografisnya yang memesona, aku melihat lebih dari itu. Keindahan Bandung justru terletak pada kedalaman nilai yang tak selalu terlihat mata. Seperti kebiasaan warganya yang menyebut lampu merah dengan istilah 'stopan', Bandung mengajarkan bahwa hal-hal sederhana menyimpan kebiasaan dan kebijaksanaan yang tersembunyi. Begitu pun dengan kehidupan sosialnya—apa yang tampak kadang menipu, tapi yang tersirat jauh lebih bermakna dari sekadar yang terlihat.