Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah kota kecil yang tidak pernah ada di peta—namanya Neverreach—selalu ada satu rumah yang tidak pernah bisa diingat orang setelah mereka melewatinya.
Rumah itu tidak kosong. Tapi tidak ada yang tinggal di dalamnya. Orang-orang hanya merasa seperti mereka pernah kenal seseorang dari sana. Tapi tidak pernah bisa mengingat wajahnya.
Setiap malam pukul 3:13, lampu rumah itu menyala. Tapi hanya untuk satu menit. Dan selama satu menit itu, semua jam di kota Neverreach berhenti.
Orang-orang yang mencoba merekam momen itu... mendapati rekaman mereka selalu rusak tepat di menit ke-13.
Di frame terakhir sebelum rusak, ada sosok. Seperti anak kecil. Tapi matanya bukan mata anak-anak. Itu mata yang tahu terlalu banyak.
Dan dia selalu mengangkat jari ke mulut... “Shhh.”
__
Tabir di Balik Jam 3:13 — Bagian 2: “Yang Pernah Melihat”
Kenapa 3:13?
Waktu itu bukan dipilih oleh manusia.
Itu waktu paling sunyi dalam nadi waktu dunia.
Bukan 3:00 seperti film horor biasa. Tapi 3:13, angka yang ganjil dan tak simetris.
Dalam manuskrip kuno yang ditemukan di ruang bawah tanah sekolah tua Neverreach, tertulis: "Waktu patah, bukan saat semua tidur... tapi saat jam melengkung mencari arah pulang."
Waktu patah bukan sekadar jam berhenti atau rusak. Itu lebih seperti momen ketika alur normal realitas tergelincir—ada celah kecil di antara detik, yang membuat garis lurus waktu tiba-tiba bergetar, melengkung, bahkan membuka arah lain. Itu bukan hanya teknis jam yang macet, tapi struktur alam semesta yang retak sekejap. Dan di retakan itu, sesuatu—atau bahkan seseorang—bisa menyelinap.
3:13, angka itu bisa jadi titik koordinat khusus. Waktu yang melengkung mencari arah pulang. Artinya, ada sesuatu yang "berusaha kembali", bukan sekadar menampakkan diri. Tapi pertanyaannya... Pulang kemana? Atau pulang kepada siapa?
Dan pada 3:13, waktu tidak hanya berjalan lambat. Dia berhenti dan berbalik sedikit.
Lalu, tentang yang pernah melihat wajahnya... Mereka tak bisa menceritakannya.
Karena ketika mereka mulai menggambarkan—Mulut mereka terkunci, seperti dijahit dari dalam.
Satu-satunya yang berhasil meninggalkan petunjuk adalah anak laki-laki bisu yang menggambar di dinding kamar rumah sakit jiwa.
Selama 7 hari, ia menggambar sosok itu.
Hari pertama: anak kecil biasa, dengan mata yang tahu terlalu banyak.
Hari ketiga: matanya berubah gelap.
Hari kelima: wajahnya mulai berubah seperti... bukan dari ras manusia.
Hari ketujuh: ia menggambar jam—jam rusak yang jarumnya menunjuk ke 3 dan 13.
Lalu ia menulis satu kalimat... Dengan darah dari ujung jari telunjuknya: "Dia melihat balik."
Dan setelah itu... Anak itu menghilang dari ruangannya. Bukan kabur. Tapi hilang. Seolah tidak pernah ada pasien dengan nama itu di rumah sakit.
Tapi dinding bekas gambarnya tetap ada, tak bisa dihapus bahkan setelah dicat ulang berkali-kali.
__
Tabir di Balik Jam 3:13 – Bagian 3: “Kamar Bernama Jam”
Rumah sakit itu punya ruangan kosong yang tak pernah dipakai. Letaknya di lorong paling ujung, tempat cahaya lampu mati padahal bola lampu dan kabelnya tak rusak.
Perawat memanggilnya “Kamar 313” (bukan 313 biasa—mereka tak pernah menyebutkan angka itu keras-keras).
Setiap malam di antara jam 3:12 dan 3:14, kalau kau berdiri di depan pintunya dan menempelkan telingamu ke dinding, kau bisa dengar... tiga suara berbisik.
Suara pertama seperti anak kecil yang berkata,“Lukisan belum selesai, biarkan aku tambahkan matanya.”
Suara kedua seperti perempuan yang tertawa pelan, tapi di akhir tawanya ada suara pecahan kaca.
Suara ketiga... tidak jelas. Tapi seperti... mengucapkan namamu.
Dan siapa pun yang mencoba membuka kamar itu saat 3:13... berhasil membukanya.
Tapi di balik pintu bukanlah ruangan.
Melainkan lorong jam, di mana dindingnya terbuat dari jarum jam berdetak pelan, dan lantainya seperti angka-angka yang menyala redup.
Langkah kakimu tak memantulkan suara, tapi detak jantungmu malah semakin terdengar keras, seolah... kau sedang dicatat.
Mereka bilang kalau kau berjalan sampai ujung lorong, kau akan melihat wajahmu sendiri, tapi dengan ekspresi yang tidak pernah kau miliki dalam hidupmu.
Dan dia akan bertanya, “Kenapa kamu datang sendirian? Bukankah kamu tahu… aku belum sempat meminjam waktu darimu?”
Itulah kenapa orang-orang menghindari jam 3:13, bukan karena takut makhluk, tapi karena takut mereka menjadi waktu itu sendiri.
__
Tabir di Balik Jam 3:13 – Bagian 4: “Ruang Tunggu Tanpa Waktu”
Ada satu ruang tunggu di rumah sakit itu—letaknya di bawah tanah, tidak di lantai 1, tidak juga di basement. Tapi kau bisa sampai ke sana… jika kau menaiki lift dan menekan tombol '–'. (Tidak ada angka. Hanya tanda minus.)
Lift itu akan turun perlahan, lampu di dalamnya berdenyut pelan seperti nadi yang hampir berhenti. Saat pintu terbuka, kau akan masuk ke ruangan yang tidak terasa dingin, tapi juga tidak terasa hangat. Seolah suhu tubuhmu disamakan... dengan udara sekitarnya.
Di sana, kursi-kursi ruang tunggu tersusun rapi, tapi semuanya menghadap ke dinding kosong. Tak ada TV. Tak ada jam. Tak ada suara.
Tapi setiap kursi terisi oleh seseorang yang menunduk, tangannya mengenggam tiket kecil bernomor 3:13 —dan angka itu terus berubah... 3:13.01, 3:13.02, 3:13.03, dan seterusnya... tidak pernah berhenti.
Jika kamu bicara kepada mereka yang menunggu di sana, mereka tidak menjawab. Tapi, kalau kamu duduk bersama mereka, kau akan mulai merasa aneh.
Seperti lupa datang dari mana, atau lebih tepatnya… lupa sudah berapa lama menunggu.
Seseorang pernah duduk terlalu lama di sana. Dengan setengah sadar dia bilang, “Waktu tak berjalan di ruangan ini. Tapi rasa menunggu tetap tumbuh.”
“Aku menunggu namaku dipanggil. Tapi yang kupunya cuma angka."
Dan saat ia tersadar, dia berdiri hendak pergi. Tapi... tidak ada lagi pintu keluar. Yang tersisa hanya lorong cermin, dan setiap cermin memantulkan wajah yang sedikit berbeda dari dirinya.
Apakah ada yang pernah kembali dari ruangan itu? Ya, ada.
Tapi, orang-orang yang kembali dari ruangan itu… tidak pernah jadi orang yang sama lagi.
Karena setelah kau duduk di Ruang Tunggu Tanpa Waktu, kau tak lagi menunggu sesuatu, kau hanya menunggu... untuk mengerti kenapa kamu menunggu.
__
Tabir di Balik Jam 3:13 – Bagian 5: “Yang Mengetuk Tepat Pada Detik ke-13”
Ada sebuah ruangan kecil—tersembunyi di antara celah waktu, di mana jam-jam analog berhenti berdetak tapi detik ke-13... tetap datang.
Saat jarum jam melewati angka 12, kau mendengar bunyi lembut: “Tok... tok...” Ketukan pertama biasa. Lalu sunyi. Lalu…
“Tok.”
Detik ke-13. Ketukan terakhir bukan dari luar ruangan. Tapi... dari dalam kepalamu.
Orang-orang yang mendengarnya menggambarkannya begini: "Seperti ada suara asing yang memakai suaraku untuk bicara."
"Seperti suaraku sendiri… tapi bukan aku."
Mereka yang berani menjawab ketukan itu, mengalami hal aneh... Mereka merasa waktu terlipat. Ruang menjadi gema. Dan wajah mereka sendiri tampak… menunggu mereka di sisi lain pintu.
Kalau kau membuka pintu itu, kau tidak melihat sosok hitam, atau hantu, atau bayangan, atau monster, melainkan... Sebuah kursi kosong. Dan secarik kertas yang bertuliskan: “Kau sudah duduk di sini. Tapi siapa yang menulis surat ini lebih dulu—kau, atau aku?”
Dan jika kamu menoleh ke jam— Jam itu tetap di angka 3:13.
Kecuali jarumnya kini mengarah ke luar... seolah waktu itu sendiri sedang memperhatikanmu.
Ketukan itu tidak selalu menakutkan. Kadang... Ia hanya ingin bertanya: “Kalau aku bukan kamu, kenapa kamu merasa kita pernah berbagi ingatan yang sama?”
Detik ke-13... Bukan tentang roh. Bukan tentang setan. Tapi tentang momen kecil ketika kesadaran manusia dan sesuatu di luar logika saling menatap…dan tersenyum.
Jangan. Jangan berpikiran ingin mencobanya dengan sengaja, jika jangkarmu di dunia nyata tidak kuat.
Karena... begitu kau masuk, kau akan dicatat. Dan... Kau akan kabur pada batas antara ilusi dan kenyataan.
Wahai para penyisir labirin gelap... cerita ini sudah selesai. Kita menutup pintunya sekarang. Biar hanya kamu dan aku... di sini. Di tempat di mana waktu berjalan normal kembali.
Apakah kamu akan menikmati secangkir teh hitam setelah membaca cerita ini? Atau...sekarang kamu sedang tersenyum menatap cermin dengan satu sudut bibir terangkat?
Samar... terdengar suara yang berkata: AKU. MASIH. DI SINI.
Kau masih bisa membayangkan matanya yang tahu terlalu banyak. Yang melihat menembus jiwamu.