Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
SYURGA YANG DILELANG
2
Suka
12
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Rumahku syurgaku, tapi hari ini syurga itu hilang, juga seluruh kasih sayang di dalamnya!.

***

Sebuah mobil hitam dengan kaca gelap berhenti, beberapa penumpang berseragam bank turun berpencar, dua di antaranya menuju pintu tepat ketika Hanan turun dari tangga.

“Gawat, orang bank datang, gimana nih?” kepanikan langsung menjalar di kepalanya membuatnya kikuk berlari tak jelas menuju arah ruang tamu, di mana istrinya juga bergegas kebingungan.

“Ada apa?” istrinya masih belum tahu kejadian yang sebenarnya, sebelum akhirnya terduduk lemas ketika Hanan mengatakan jika orang bank datang memasang plang lelang agunan rumah mereka.

“Aku nggak mau tahu, ini nggak boleh terjadi, ini aib!” istrinya Raihan nyaris berteriak marah dengan air mata menggenang di pelupuknya.

***

“Assalamualaikum,” suara berat di depan pintu disertai ketukan membuat kepanikan makin menggila.

“Kami terpaksa datang, ini cuma prosedural,” ujar seorang laki-laki bernama Hafizh yang menjadi juru bicaranya. Sementara Pak Ahmad, kontak Hanan selama ini, memilih diam merasa tak bisa berkutik.

“Apa tidak ada cara lain?” Rai tiba-tiba masuk setelah menarik jilbabnya dengan panik dan ikut dalam pembicaraan.

“Kami sudah menunggu dua bulan belakangan, tidak ada lagi setoran, jadi kami putuskan untuk masuk tahapan lelang agunan,” petugas itu sama sekali seperti tak merasa berat mengatakannya. Dia bilang sudah melakukan hal ini selama 12 tahun sesuai prosedur.

“Tapi bapak tahu, uang investasi kami selama 6 bulan ini ditahan Udin Awek dengan alasan yang tidak jelas,” desak Raihan dengan wajah memucat.

“Kami tak berurusan dengan Udin Awek, karena dia sama sekali tidak jelas dan tidak ada itikad baik setiap kali berkomunikasi dengan kami,” Ahmad, laki-laki yang mengatakan itu, menunjukkan muka keras menahan marah.

“Tidak pernah sekalipun janjinya ditepati. Bahkan sejak awal bertemu dengannya saya telah merasa curiga karena terlalu banyak bicara. Tapi karena katanya Pak Hanan akan bekerja dengannya, kami dengan terpaksa menerimanya—semua cuma basa-basi. Dan terbukti sekarang benar, dia sama sekali tidak ada inisiatif untuk membantu.”

“Artinya kami tidak punya dispensasi lagi?” ujar Raihan.

“Kami sudah memberikannya sejak November kemarin, itu artinya sudah 4 bulan. Hanya dua bulan terbayar, itupun hanya 10 juta dari janji 20 juta.” lanjutnya.

“Tapi kami sudah setor 20 juta, dan Udin Awek cuma menyetornya 10 juta, itu bukan kesalahan kami.” Hanan berusaha bertahan dengan alasannya, tapi jawaban petugasnya itu tetap sama. “Sejak awal kami tidak berurusan dengan Udin Awek. Titik!”

Plang lembaran besi berwarna merah dengan kode tulisan lelang rumah, akhirnya dipasang di tempat sedikit tersembunyi di dinding berbatas WC di sisi barat rumah.

“Kami izin pulang,” ujar Pak Ahmad. “Jika ada pertanyaan, bisa datang saja ke kantor untuk janji temu.”

Setidaknya 6 petugas yang berpencar, bahkan satu orang masuk ke bagian belakang rumah memotret. “Sayang sekali kalau sampai rumah ini hilang, tanahnya luas,” ujarnya sambil berjalan keluar.

“Kenapa uang sebesar itu harus diinvestasikan pada orang yang sama sekali tidak jelas. Siapapun yang mengajak investasi dengan meminta uang di awal patut dicurigai,” lanjutnya.

“Nasi sudah jadi bubur,” Hanan menyela.

“Belum, setidaknya masih ada waktu membicarakannya—kami tunggu itikad baiknya.”

Raihan terisak di pojok sofa, matanya menyala marah menatap Hanan. “Ini semua salahmu, Mas! Kamu harus tanggung jawab!” suaranya setengah membentak tapi diikuti isakan tangis setelahnya.

Hanan mengambil hape dari meja kerja, membuka WhatsApp, mencari nama Udin Awek dan meneleponnya.

“Hallo...?” suara di ujung telepon meresponnya.

“Kamu tau apa yang terjadi sekarang?” Hanan langsung to the point ke inti masalah.

“Nggak tau Pak!” nada suara di ujung telepon seperti kebingungan mendapat pertanyaan seperti itu.

"Rumah kami sudah dipasang plang lelang!”

“Kapan?”

“Barusan! Mereka sudah pulang sekarang. Coba lihat, berapa kali aku telpon memastikan apa kamu sudah bicara dengan orang partai yang katamu bisa menjamin, tapi apa?”

“Maksud bapak?”

“Jangan berlagak bodoh, waktu meminta carikan investor, menjanjikan jaminan rumah dengan bantuan orang partai, giliran rumah di lelang masih tanya?”

“Nggak mungkin rumah di lelang, Pak. Nanti saya tanyakan ke bank.”

“Nggak perlu, mereka nggak ada urusan dengan orang bernama Udin Awek. Tugas kamu carikan pinjaman, toh uang investasi kami juga ada sama kamu, begitu transferan dari rekanan masuk pinjaman itu lunas.”

“Tapi saya sudah bilang, uangnya turun tanggal 15 bulan ini.”

“Nggak bisa, harus ada cara dapatkan uang cash segera.”

“Tapi saya nggak punya.”

“Makanya pinjam biar punya, kami selama ini kamu pikir punya uang untuk membayar investor yang jatuh tempo dan tidak bisa dilunasi perusahaan?”

“Tapi itu musibah.”

“Musibah karena keserakahan kamu. Dan kami seharusnya tidak bertanggung jawab untuk urusan perusahaan. Kapan investasi jatuh tempo harus dilunasi beserta bagi hasil. Jika tidak, itu wanprestasi dan bisa masuk tuduhan penipuan—itu pidana.”

“Bapak jangan mengancam saya!”

“Bodoh kalau kamu berpikir itu ancaman. Aku mengatakan yang sebenarnya, tapi kamu merasa paling benar. Punya perusahaan harus punya cadangan dana, agar tidak merugikan orang lain dan diri sendiri karena beban bagi hasil yang harus dibayar setiap bulannya. Logiknya begitu, bukan bagaimana menurut pikiranmu sendiri. Dan kejadian lelang rumah ini juga ada kaitannya dengan keterlambatan bayar dari perusahaanmu. Jangan bilang uangnya sedang diproses, dan tidak akan hilang. Itu bukan jawaban dari masalah, tapi cuma menghindar dengan cara konyol tapi licik. Seharusnya kalau otak dan nurani masih normal dan bisa digunakan—ada empati. Nanti saya carikan pinjaman, atau akan saya desak bank untuk menangguhkan dengan jaminan uang.”

“Musibah itu di luar daya saya?”

“Sudahlah, susah bicara dengan orang yang hanya mengandalkan dengkul!” Klik, teleponnya Hanan matikan dengan perasaan dongkol. Ketika berdering lagi, langsung direject.

Laki-laki itu baru diketahui Hanan ternyata nyaris seperti orang gila, berpikir sesuka hatinya menurut caranya. Orang bicara butuh uang sekarang, investor meminta uang untuk umrah, untuk operasi. Tunggu saja kapan uang itu nanti cair, jawabannya selalu uang sedang dalam proses dan tidak akan hilang. Seolah umroh, operasi, dan sakit bisa ditunda saat uang cair entah kapan. Bukan sekali ini dia mengatakan kata-kata yang sama—janji itu sudah berlangsung 6 bulan silam dari janji hanya 30 hari pelunasan.

Bicara dengannya hanya seperti bicara dengan tembok tebal dan tinggi.

***

“Pras, aku butuh bantuan,” ujar Hanan menghubungi adik tertuanya di kota seberang pulau dan menceritakan semua detil masalahnya.

“Aku minta pinjamkan rumah cadangan untuk agunan, aku akan menutup cicilannya—setidaknya aku bisa bernafas selama 4 tahun daripada pilihan lelang yang mepet waktu bayarnya.” Hanan sedikit mendesak karena dilanda panik.

“Itu tidak mungkin karena butuh waktu, sementara namaku juga sedang jadi jaminan—tidak mungkin dobel yang ada ditolak bank,” ujarnya mencoba realistis dan pragmatis tanpa beban. Tadinya aku berpikir ia akan mengesampingkan itu dan memberi ruang empati sedikit saja.

“Atau solusi jual rumahnya saja, cari rumah yang lebih kecil,” ujar Pras santai. Kata-kata itu seperti sambaran petir karena keluar dari adiknya sendiri. Kalau cuma itu, semua orang juga bisa—karena menjual rumah bukan solusi yang harus jadi pilihan.

Pembicaraan itu putus menyisakan hati nelangsa dan pilu, tapi Hanan memakluminya banyak hal di belakang itu yang menjadi ganjalannya, selain sifat adiknya yang satu itu memang begitu yang ia tahu. Ia paling keras meski bungsu.

“Pras, terima kasih untuk usulan terakhirmu. Akhirnya semuanya selesai. Rumah dilelang seharga seperempat dari harga jual normal. Kami membayar sisa pokok pinjaman bank berikut bunganya dan memutuskan membeli rumah kecil. Rumah kecil di pinggir pantai tipe 36 dengan dua kamar. Meskipun air rob masuk setiap purnama, setidaknya kami membelinya cash sebesar 170 juta, dan sekarang tak punya tanggungan hutang lagi.”

“Tapi itu terlalu kecil?”

“Kami tak punya wewenang memutuskan karena bank lebih berkepentingan mendapatkan kembali uangnya dengan cepat. Kami tidak berurusan dengan jual beli rumah jaminan itu, karena sudah diambil alih.”

“Harusnya ada cara untuk nego.”

“Sudah terlambat!”

“Sudahlah, mulai sekarang jangan agendakan ibu untuk tinggal di rumah kami. Selain rumah kecil hanya berkamar dua, kondisinya tidak cocok untuk kesehatan ibu. Ibu akan merasa berkecil hati melihat kondisi kami, apalagi jika tahu rumah tangga kami retak sekarang. Bahkan ibu istri sudah pindah ke rumah lain karena rumah ini sempit dan kecil. Aku juga sekarang tidak tinggal lagi di rumah—tapi di kedai yang aku fungsikan jadi rumah sementara di luar kota, berjuang mengumpulkan uang untuk membelikan mereka rumah baru yang lebih layak, dan setelahnya aku memutuskan untuk ke negara jiran menghabiskan sisa waktuku.” Hanan memilih keputusan itu untuk menjaga kemarahan adik-adik Raihan yang selalu mengusiknya jika berada di rumah.

“Maafkan saya untuk semua kerepotan dulu, sampaikan salam maafku kepada ibu. Jika sesuatu terjadi padanya, aku hanya berkirim doa yang terbaik. Setelah ini aku tidak akan menggunakan nomor ini lagi.”

Sebelum Pras menjawab, Hanan mematikan telepon dan memblokir nomornya.

 *** 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
ALUNA
Reza Lestari
Skrip Film
LANDAK TANPA PERSAHABATAN
Senna Simbolon
Skrip Film
BIDADARI UNTUK GUS(SCRIPT FILM)
Imajinasiku
Cerpen
Bronze
Aku, Kamu Dan Dia
Rani Rosdiana
Cerpen
SYURGA YANG DILELANG
Hans Wysiwyg
Komik
The Throne of Philadeas
Toyttt 🍃
Flash
Badai Yang Terlewat
Anisah Ani06
Cerpen
Bronze
ISTRI PAPAKU
Lina Budiarti
Cerpen
Bronze
Sepatu Kiri Naima
Rina F Ryanie
Skrip Film
UNDERCOVER (Kembalinya Pendekar Suling Emas Part 1)
Lyinspi
Skrip Film
Kekasih Titipan
Ravistara
Skrip Film
Bintang SMA 103
Yorandy Milan Soraga
Skrip Film
Okuni
Joshua Vincentius
Skrip Film
BALIK
Alfian N. Budiarto
Novel
GURU
Di Pindho Bismoko
Rekomendasi
Cerpen
SYURGA YANG DILELANG
Hans Wysiwyg
Cerpen
FAKE PSIKOPAT
Hans Wysiwyg
Cerpen
AFTER Itaewon October 29,2022
Hans Wysiwyg
Flash
JANGAN JADI GURU!
Hans Wysiwyg
Flash
PARMIN DAN BURUNG MAJIKAN
Hans Wysiwyg
Cerpen
Terjebak Rasa
Hans Wysiwyg
Cerpen
MESIN WAKTU
Hans Wysiwyg
Cerpen
KOTAK MERAH
Hans Wysiwyg
Cerpen
MANTRA LUDAH
Hans Wysiwyg
Flash
Luruh Bersama Angin
Hans Wysiwyg
Cerpen
Damar Senja
Hans Wysiwyg
Flash
Rezeki Mandra Dipatok Saep
Hans Wysiwyg
Flash
Remember Us This Way
Hans Wysiwyg
Flash
SEMANGKUK NASI UNTUK AYAH
Hans Wysiwyg
Flash
SOULMATE KITCHEN
Hans Wysiwyg