Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Watu Kendhil. Adalah sebuah desa kecil yang tak tercantum dalam peta politik. Di desa itu tinggal seorang anak bernama Syamsul. Ia duduk di kelas lima SD dan setiap pagi menulis puisi di balik sobekan kardus bungkus mi instan. Puisinya sederhana: tentang rumah yang bocor, tentang hujan yang tak pernah ramah, tentang ayah yang tak lagi pulang karena mencari kerja di kota.
Rumah mereka berdinding anyaman bambu yang mulai lapuk, beratapkan seng bekas yang berlubang di banyak sudut. Setiap kali hujan datang, Syamsul tahu ia harus bersiap: memindahkan ember, menggeser tikar, dan menahan dingin yang merambat dari lantai tanah. Ia sigap menemukan sandal jepit untuk mengamankan telapak kakinya dari sentuha air huja yang menggenangi lantai tanah rumahnya.
Sore itu, hujan turun deras. Tanpa ampun menghajar rumah kecil mereka. Syamsul duduk di sudut ruangan, menampung air yang menetes dari langit-langit dengan ember plastik yang sudah sobek di ujung bibirnya. Ia menatap atap yang mengelupas, lalu bertanya lirih kepada ibunya:
“Bu… kenapa rumah kita selalu basah kalau hujan?”
Ibunya terdiam. Suara hujan menenggelamkan jawabannya sejenak. Ia menatap Syamsul, lalu berkata pelan, dengan mata yang tak lagi bisa menyembunyikan lelah:
“Karena membangun atap yang baik itu butuh uang, Nak. Kita harus kerja keras untuk itu. Kita bukan maling, bukan perampok, bukan koruptor. Atap kita cuma dari doa yang belum sampai.”
Syamsul menggenggam erat buku catatannya yang lembab. Ia menulis dengan kapur sisa pinjaman dari kelas:
“Negeri ini punya rumah besar, tapi kami hanya numpang di terasnya.”
Ibunya membaca tulisan itu dengan mata berkaca-kaca. Ia mengusap kepala Syamsul, lalu berbisik:
“Teruslah menulis, Syam. Kata-kata bisa lebih tinggi dari tembok gedung mana pun. Mungkin suara kita kecil, tapi kalau jujur, ia bisa mengguncang istana.”
Di luar, hujan masih turun. Tapi di dalam rumah yang basah itu, ada cahaya kecil yang menyala, bukan dari lampu, tapi dari harapan yang ditulis dengan tangan kecil namun hati besar.
Di Ruang yang Tak Pernah BocorJauh dari suara kodok dan bau tanah basah, berdirilah gedung parlemen yang megah. Ruangannya sejuk, makanannya berlimpah, dan atapnya tak pernah bocor, karena perbaikan dilakukan saban tahun, bahkan sebelum tetesan gerimis pertama datang.
Di jantung Kota, berdiri sebuah kompleks yang tak hanya menampung suara, tetapi juga sejarah dan harapan. Gedung Parlemen, dengan kubah hijau menyerupai kepakan sayap burung, adalah simbol yang dirancang untuk terbang tinggi membawa aspirasi rakyat. Namun, tak jarang ia hanya melayang rendah, terhalang oleh kepentingan yang membebani.
Bangunan ini bukan sekadar beton, kayu, dan kaca. Ia adalah warisan dari masa pemimpin revolusi pertama, dibangun pada tahun 1965 untuk menyambut konferensi negara-negara baru yang ingin menantang tatanan dunia lama. Arsiteknya merancang bentuknya sebagai metafora: dua sayap yang siap mengepak, melambangkan kebebasan dan kemajuan. Kini, sayap itu tampak berat, seperti enggan terbang.
Di dalamnya, para wakil rakyat berdiskusi. Bukan tentang rumah rakyat, bukan tentang sekolah yang kekurangan kapur, bukan tentang posyandu yang kekurangan timbangan. Mereka bicara tentang tunjangan rumah mereka sendiri.
Rp50 juta per bulan. Untuk satu orang. Untuk satu rumah. Untuk satu kenyamanan yang tak pernah paham bagaimana gelisah. Mereka hanya berjumlah 580. Dan dalam satu tahun, dengan rakus melahap Rp348 miliar. Dalam satu periode jabatan, angka itu memuncak hingga Rp1,740 triliun. Triliunan rupiah untuk hunian yang tak pernah merasakan atap bocor atau antre air bersih.
Sementara di ujung kampung, dana desa hanya Rp1 miliar per tahun. Untuk jalan yang belum diaspal, untuk posyandu yang masih meminjam kursi tetangga, untuk mimpi-mimpi yang harus berbagi tempat di balai desa.
Di lereng bukit, seorang anak SD duduk di bangku reyot, Membaca buku yang sudah lusuh oleh hujan dan waktu. Anggaran pendidikannya tak sampai Rp2 juta setahun. Kurang dari harga sepatu kulit yang melangkah di karpet parlemen.
Jika kita berani membandingkan, maka jurang itu tak lagi bisa disebut kesenjangan,
Ia adalah palung. Dalam dan gelap, tempat keadilan tenggelam tanpa suara. Bayangkan, di desa, gaji standar hanya Rp3 juta. Sementara di ibu kota, angka penghasilan mereka berderet seperti parade angka sembilan. Berbaris rapi, tak pernah lelah, tak pernah lapar.
Mereka tinggal di rumah yang tak pernah tahu bau kayu bakar. Sementara rakyat tinggal di rumah yang tahu persis suara tikus di plafon. Dan suara harapan yang pelan-pelan berubah jadi keluhan.
Ini bukan sekadar soal uang. Ini soal rasa. Rasa yang hilang ketika angka menjadi satu-satunya ukuran nilai manusia. Rasa yang mati ketika kenyamanan segelintir orang dibayar dengan kesulitan jutaan lainnya. Dan kita, yang menyaksikan semua ini. Diam seperti patung di taman kota.
Di Kelas yang RetakDi ruang kelas Syamsul, cat tembok sudah mengelupas. Jendela kayu miring, sebagian kaca retak. Angin sore sering masuk tanpa permisi, membawa debu dari lapangan tanah di depan sekolah. Papan tulisnya pun sudah retak, kapur tinggal separuh, dan penghapus hanyalah sepotong kain lusuh.
Namun di tengah semua kekurangan itu, Syamsul tetap menulis di papan:
“Negeri ini punya rumah di atas angin, sementara kami menyatu dengan lantai yang becek.”
Kawan-kawannya terdiam, sebagian tak mengerti, sebagian mengangguk pelan. Gurunya membaca bait itu diam-diam. Ia tahu, tulisan Syamsul bukan sekadar coretan anak kelas lima. Itu adalah jeritan yang tak pernah sampai ke ruang rapat, ruang yang terlalu sibuk menghitung tunjangan.
Sang guru berdiri lama di depan kelas yang mulai senyap, hanya suara kipas tua yang berderit pelan di langit-langit menemani detik-detik yang terasa sakral. Ia menatap Syamsul, murid kurus yang duduk di bangku paling belakang, dengan mata yang penuh haru dan kebanggaan yang tak bisa disembunyikan, seolah ia melihat masa depan yang tak terbayangkan seblumnya.
“Syam,” ucapnya lirih, nyaris seperti doa yang jatuh dari langit-langit kelas, “kau menulis sesuatu yang jauh lebih besar dari PR matematika. Kata-katamu mungkin tak akan terdengar oleh telinga para pejabat yang sibuk menghitung anggaran, tapi percayalah… suatu hari, kata-kata seperti inilah yang akan mengguncang tembok kekuasaan.”
Ia tersenyum, senyum yang tak hanya mengandung haru, tapi juga getir. Senyum seorang pendidik yang tahu betul bahwa nilai sejati tak pernah tercetak di lembar gaji atau laporan tahunan. Ia sadar, benih yang tumbuh di hati Syamsul, kejujuran, keberanian, dan kesadaran, jauh lebih berharga daripada angka lima puluh juta yang diperebutkan di ibu kota.
Syamsul hanya menunduk, pipinya memerah, matanya tak berani menatap. Ia tak tahu mengapa gurunya begitu terharu. Ia hanya tahu satu hal: menulis membuatnya merasa punya rumah. Rumah yang tak berdinding bata, tak beratap genteng, tapi bernaung di selembar kertas yang basah oleh hujan dan harapan.
Saat menulis, ia merasa kenyang meski belum sarapan. Merasa hangat meski bajunya masih lembap oleh gerimis pagi. Ia tak paham kenapa bisa begitu. Tapi di antara huruf-huruf yang ia rangkai, ia menemukan sesuatu yang tak bisa dibeli: rasa cukup.
Dan di kelas kecil itu, di antara papan tulis yang mulai mengelupas dan jendela yang berembun, lahirlah sebuah keyakinan diam-diam: bahwa kata-kata bisa menjadi peluru, bisa menjadi pelita, bisa menjadi rumah bagi mereka yang tak punya tempat pulang.
----
Sementara itu, di ibu kota, seorang legislator menandatangani slip tunjangan. Dengan penuh percaya diri ia berkata di forum:
“Kami butuh rumah yang layak untuk berpikir.”
Dan rakyat, di kelas-kelas reyot seperti milik Syamsul, hanya bisa menjawab dalam hati:
“Kami butuh rumah yang layak untuk hidup.”
Di Senja yang JujurCerita ini bukan sekadar tentang rumah, ini tentang arah. Tentang cermin yang tak lagi memantulkan wajah rakyat, melainkan wajah-wajah yang lupa siapa yang mereka wakili.
Dan mungkin, di suatu senja yang jujur, Syamsul akan bertanya lagi:
"Apakah negara ini dibangun untuk kami, atau hanya untuk kalian yang duduk di kursi empuk?"
Wahai para legislator, dengarlah baik-baik:
Kalian bukan sedang membangun rumah bangsa, kalian sedang mendirikan istana pasir. Dan sejarah akan mencatat: rumah itu tak pernah berdiri dengan kokoh.
Rumah kalian mungkin menjulang tinggi, berpilar marmer, berlangit-langit emas, dijaga pagar besi dan kamera pengintai. Namun rumah bukan soal luas lantai atau tinggi atap.
Ia soal ruang yang memberi tempat bagi luka untuk sembuh, bagi cerita untuk tumbuh, bagi jiwa untuk merasa cukup.
Rumah kalian mungkin megah, tapi jika dibangun di atas ketidakpekaan, ia bukan rumah demokrasi, melainkan panggung sandiwara, tempat para aktor lupa naskahnya, dan rakyat tak lagi punya kursi penonton.
Suatu saat, rakyat akan turun dari bayang-bayang, dan menghukum kalian dengan suara yang tak bisa dibungkam.
Blora, 2025