Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Sweet Ta'aruf
1
Suka
569
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ponsel yang semula berada di genggamannya kini sudah berpindah tempat, terselip di antara karpet beludru dan lantai keramik berwarna putih. Untung saja ponsel yang dibelinya menggunakan tabungan sendiri itu, tidak terbelah menjadi dua bagian setelah melayang membentur tembok.

Wajah dengan senyuman manis itu kini terbenam di ufuk bantal. Bahunya bergetar. Kedua tangannya menangkup bantal tersebut untuk membantu meredam isakan, agar hanya ia seorang yang mendengar lukanya.

Suara getaran dari ponsel yang masih setia berselimut karpet, membuat Hana melangkahkan kakinya yang masih terbalut kaos kaki itu menuju sumber suara. Tanpa melihat layar ponselnya terlebih dahulu, ia menggeser ikon berwarna hijau ke sebelah kanan.

“Iya, udah! Gak perlu dijelasin lagi!" teriaknya. "Aku ngerti kamu pengen kita udahan. Ya, ‘kan?”

“Han?”

Terdengar suara lembut perempuan dari seberang telepon. Dengan terkejut, Hana menjauhkan ponsel dari telinganya dan melihat nama kontak di layar gawai.

“Han, lo kenapa? Lo putus sama Nata?”

Hana menggigit bibir bawahnya. Secara bersamaan, ia juga mengatur nafasnya agar suara yang keluar tidak terdengar bergetar dan menyedihkan.

“Nata gak seperti apa yang gue kira, Nai.”

Hubungan yang sudah bertahan selama satu tahun itu harus berakhir, ketika akhirnya Nata, pacar yang terlahir dari dekatnya persahabatan itu memutuskan untuk menempuh jalan masing-masing dengan alasan status sosial yang tidak setara. 

“Gue rasa, alasannya bukan itu, Han, soalnya gue ....”

Hana tidak sanggup lagi mengingat kalimat paling menyedihkan dari Naila, sahabatnya itu. Tentang Nata yang hanya menjadikannya sebagai bahan taruhan dengan teman-temannya dan bukan sebab status sosial yang membuat Nata mengakhiri hubungan itu, melainkan perempuan lain.

Secangkir kopi di hadapannya masih utuh, sebab sedari tadi kenangan dan kepahitan masa lalu selalu terlintas dalam pikirannya yang sedang dilanda kebimbangan. Ponsel di samping cangkir kopinya bergetar sepersekian detik, menandakan satu pesan bersarang di bilah notifikasi.

Assalamualaikum. Bagaimana? Udah dapet keputusan, Dek?

Hana menghembuskan nafasnya gusar. Pesan dari Sahira, kakak mentornya di kampus itu, akhir-akhir ini terasa meneror dirinya sendiri. Bagaimana tidak, ia yang baru dua minggu mengakhiri hubungannya dengan Nata itu, harus berhadapan dengan sebuah dokumen berisi riwayat hidup seorang laki-laki yang dikirimkan oleh Sahira.

"Dia pengen kenal kamu lebih jauh," pesan Sahira tempo lalu melalui WhatsApp.

Zaara kembali membuka dokumen berisi perkenalan lengkap itu. Informasi lengkap tentang seorang laki-laki yang berniat mengajaknya berta’aruf. Metode pendekatan yang sangat diragukan Hana. Bukan tidak percaya, hanya saja Hana kurang yakin terhadap dirinya sendiri untuk menjalani proses tersebut.

Sempat terlintas di pikiran Hana, apakah pantas seorang ia bersanding dengan pria taat agama sepertinya, punya segudang prestasi dan memiliki karier bagus, serta banyak lagi kelebihan lainnya yang tidak bisa ia setarakan dengan kemampuan dirinya?

“Jangan beli kopi kalo gak diminum. Mubazir!”

Seseorang menarik kursi, kemudian duduk berhadapan dengan Hana yang masih setia menampilkan pesan yang belum ia balas di layar ponselnya.

“Bales dulu, wa’alaikumsalam gitu,” ujarnya seolah tahu kegelisahan Hana.

“Gue bingung, Nai.”

“Bingung apa minder?” tohok gadis seusianya yang kerap disapa Naila itu.

Hana mematikan layar ponselnya. Kali ini ia memasukkannya ke dalam tas yang hanya memuat beberapa buku catatannya. Punggungnya yang sempat menegang, kembali ia sandarkan ke kursi cafe. Sejenak, ia pandangi secangkir kopi yang tidak lagi mengepulkan asapnya. Dingin. Sedingin pria yang sempat ia angan-angankan itu.

“Lo udah di semester akhir. Wajarlah, Han.”

“Bukan soal kematangan, tapi kesiapan, Nai.”

“Heran gue. Dulu sebelum lo jadian sama Nata, kayaknya lo gak pernah absen deh buat dapetin perhatian Kak Reza, sampe lo bener-bener nyerah dan malah jadian sama Nata. Eh, sekarang giliran dia jelas-jelas ngajakin serius, lo malah gantung! Seminder apa sih, lo?”

“Gak minder, cuma gak yakin aja. Kayaknya dia terlalu sempurna buat gue yang masih kayak gini,” ujar Hana sembari menurunkan pandangan, melihat penampilannya sendiri.

“Itu minder, sayang!” ucap Naila gemas. “Nata gak pantes lagi buat lo pikirin, Han. Udah ada cewek lain juga di pikirannya.”

Hana menyeruput secangkir penuh kopinya hanya dalam tiga kali tegukan. Naila yang melihat kebiasaan sahabatnya ketika sedang menghadapi masalah itu, hanya menggelengkan kepala beberapa kali sebelum akhirnya kedua gadis itu memutuskan untuk pergi memenuhi panggilan Dosen.

***

Wa alaikumsalam wa rahmatullah. Insya Allah, kita coba ya, Kak. Maaf baru balas.

Pesan yang sempat ragu-ragu ia kirim itu hanya menunjukkan dua centang biru. Tidak ada balasan dari Sahira. Kebimbangan tak kunjung luput dari benak gadis berkulit kuning langsat itu. Setelah pesan yang dikirimnya seminggu yang lalu itu tidak berbalas, asumsi negatif selalu menghantui pikirannya. Penyesalan demi penyesalan selalu ia gambarkan sedang berbaris untuk menemui dan berjabat dengannya.

“Ta’aruf itu tidak seperti pacaran. Jangan takut sakit hati, karena ta’aruf itu hanya sebuah perkenalan. Kalo gak cocok, ya udah. Gak ada paksaan untuk melanjutkan.”

“Kan udah tau pacaran itu bikin sakit, masih mau buat keberapa kalinya?”

“Gue gak terlalu ngerti masalah begituan. Tapi feeling gue mengatakan, itu lebih baik daripada lo jatuh ke jurang yang lo sendiri udah tau sakitnya kayak gimana.”

“Kalo gua ada di posisi elu, Han, beuh gua gak bakal pikir panjang!”

Berbagai dukungan dari orang-orang terdekatnyalah yang melahirkan keputusan terberat itu, terlebih ketika orang tuanya pun memberikan lampu hijau atas semua kegelisahan hatinya.

“Han, ada tamu.”

Ketukan di pintu yang diiringi suara lembut sang Ibu, membuat Hana yang tengah menimang-nimang ponselnya itu bergegas mengecek jam digital di atas nakas. Pukul delapan kurang lima belas menit di hari minggu. Siapa yang mengganggu liburannya dari tugas-tugas dosen itu? 

Setelah merasa penampilannya itu siap menemui tamunya, Hana segera menuju ruangan di mana dari ekor matanya saja, ia sudah bisa menebak bahwa seseorang yang duduk membelakanginya itu adalah laki-laki. Dua orang, tengah berbincang hangat dengan Ayahnya.

“Kak Reza? Kok bisa ke sini?!”

Dalam hati, Hana terkejut sesaat setelah manik mata keduanya sempat beradu beberapa detik. Senyuman simpul yang sempat mendarat di pelupuk mata Hana tidak pernah berubah, masih seperti Reza yang dulu sempat terhimpun dalam organisasi yang sama.

Hana duduk tak tenang di samping Ayahnya. Wajahnya terus menunduk, tidak seperti laki-laki yang saat ini duduk sembari terus memancarkan senyum, seolah telah siap melakukan pertemuan tersebut. Pertemuan untuk menindaklanjuti pesan yang dikirimkannya seminggu lalu pada Sahira, yang telah diteruskan kepada kakak ipar Reza.

Jarum jam seolah sengaja melambatkan setiap detik pada hari itu. Mata Hana ingin segera bebas untuk melihat sekelilingnya, bukan terus menerus memandang jari-jarinya yang berubah pucat karena saling meremas, gugup.

“Bagaimana jika dua minggu?”

“Kecepetan!” ujar Hana spontan.

Refleks ia menutup mulut dengan sebelah telapak tangannya.

“Bukannya dulu pernah kenal dengan Reza? Kenapa ta’arufnya harus lama-lama?” heran pria yang berstatus sebagai kakak ipar Reza itu.

“Nggak kenal, cuma tau aja,” koreksi Hana, mengingat Reza yang tak pernah menyadari perhatiannya selama berada dalam satu organisasi. “Satu bulan?” tawarnya.

“Tiga minggu,” usul Reza yang akhirnya menyudahi negosiasi.

Mata Hana akhirnya bisa berkeliaran dengan bebas, setelah dua orang pemuda itu pergi dari rumahnya dengan penuh kesopanan. Tiga minggu bukanlah waktu yang melimpah untuk Hana melakukan proses ta’aruf itu bersama Reza. Hana harus benar-benar menggali informasi tentang Reza sebanyak mungkin yang diperantarai oleh Syakir, kakak ipar Reza.

Bismillah

Tulis Hana di status WhatsApp miliknya yang kemudian dilihat pertama kali oleh kontak Reza. Kontak yang selama bertahun-tahun disimpan oleh sebelah pihak saja itu, kini tidak disangka-sangka menjadi teman ta’arufnya.

Semoga Allah selalu memudahkan segala urusanmu.

“Aamiin,” balas Hana dalam hati tanpa berniat membalas pesan Reza tersebut.

Nyaris tidak ada lagi percakapan dengan Reza setelah itu, karena Hana lebih fokus terhadap skripsi yang sedang dikerjakannya. Dalam seminggu terakhir proses tersebut, sesekali Hana hanya menanyakan kabar Reza, pun sebaliknya. Tentu saja melalui Syakir dan Sahira.

“Anjay, yang otw sold out gak usah sok sibuk ngerjain skripsi deh!”

“Beda cerita!”

“Kalo gitu, ceritain, dong!” goda Naila sembari menarik kursi perpustakaan dan duduk di samping Hana.

Hana menutup buku yang dibacanya, beralih menatap sahabat karibnya itu yang sudah bersiap mendengarnya bercerita sembari menopang dagu.

“Gue ngerasa lebih tenang dan ... damai aja gitu hidup gue.”

So, cocok?”

I don’t know, but i think.”

“Alhamdulillah. Semudah itu ya Allah menyembuhkan luka dan membolak-balikkan hati. Nata ....”

“Nata gak pantes lagi buat dipikirin. Udah ada cewek lain juga di pikirannya,” ulang Hana atas ucapan Naila tempo lalu yang membuat keduanya tertawa.

***

Assalamualaikum. Insya Allah besok saya dan Bang Syakir ke rumah. Minta doanya juga.

Pesan singkat itu bukan mimpi di siang bolong. Usia Hana memang sudah cukup untuk memulai lembaran baru yang lebih mandiri. Mental dan kesiapan memang selalu mengungguli kematangan, karena modal usia saja tidak cukup.

Setelah mengenal Reza lebih mendalam melalui Syakir, kini Hana lebih siap menghadapi hubungan yang sebentar lagi akan membawanya mengembara kehidupan. Benar, Hana menikmati proses itu hingga ia menerima khitbah Reza. Tidak ada pertengkaran dan selisih paham yang dapat membuatnya jatuh, sakit, dan kecewa berkepanjangan. Hanya saling mengenal kelebihan dan kekurangan yang membawa keduanya terus memperbaiki diri untuk bisa saling  menyempurnakan.

Laki-laki yang pernah Hana angan-angankan, pernah dengan susah payah merebut perhatiannya yang tidak kunjung berhasil, pernah membuatnya menyerah dan putus asa hingga jatuh ke jalan yang salah, kini datang dengan izin Allah sebagai sebuah kejutan dan hadiah.

“Allah telah memilihkanmu untukku,” bisik Reza di telinga Hana setelah para saksi berseru kata ‘SAH’ bersama-sama.

Begitukah cara termanis Allah mempertemukan dua insan yang memilih menjalani hubungan tanpa melalui proses pacaran?

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Sweet Ta'aruf
Trippleju
Novel
Hammurabi
naomi leon
Novel
Bronze
ASMARALOKA
Bisma Lucky Narendra
Novel
Forget Me Not
Muala
Flash
Di Tengah Ilalang
Roy Rolland
Novel
Bronze
SELECTIVE LOVE
Oliphiana Cubbytaa
Novel
Gold
Anne of Avonlea
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Hadiah dari Tuhan
Oki Wijaya
Novel
Gold
The Woman in Cabin 10
Noura Publishing
Novel
Gold
Cafe Stories
Mizan Publishing
Novel
Bronze
The New Book of Nobel (satu pesan untuk jam-andine)
Katyusha
Novel
BLOODY HEART
Faulia
Novel
Bronze
The Rules
Arinaa
Novel
BAHKAN JIKA CINTA INI
mahes.varaa
Novel
Di Antara Bintang Di Langit
Lirin Kartini
Rekomendasi
Cerpen
Sweet Ta'aruf
Trippleju
Cerpen
Bronze
Mendekap Surga
Trippleju
Novel
More
Trippleju
Novel
Bronze
MARAKAYANGAN: Yang Tertolak Dua Dunia
Trippleju
Cerpen
Bronze
Pinjaman
Trippleju
Cerpen
Mimpi Kolong Langit
Trippleju