Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Surga Para Raja
4
Suka
268
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Namaku Karel Mandowen, panggil saja Karel. Aku lahir di sebuah kampung kecil di seberang pulau Wayob, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Orang bilang, kampungku kaya akan keindahan alamnya. Bahkan, beberapa sumber menyebutkan kampungku sebagai surganya pasir putih. Ah tak masalah juga. Lagian, yang ku senangi selama hidup adalah keramahan dan kecintaan warganya terhadap sesama.

Bapa seorang nelayan yang sudah berteman baik dengan ombak selama 35 tahun. Pun dengan Mama yang berdiri tegap di depan kelas, dengan kapur dan buku LKS sambil menyemai harapan bagi para murid di kampung. Keduanya memiliki dua hal yang sangat kusukai, yaitu mengenai perjuangan dan rasa cinta. Ya, Bapa sangat mencintai lingkungan di kampung. Beliau bilang, tanah surga ini warisan leluhur yang harus dijaga oleh turunannya. Oleh karena itu, menjadi nelayan merupakan salah satu cara Bapa untuk bisa menjaga kampung dengan baik. Demikian dengan Mama, yang memiliki kecintaan terhadap anak-anak kecil di kampung. Sehingga ia ingin, suatu saat anak didiknya menjadi orang-orang hebat di masa depan.

Perjuangan dan ketulusan hati itulah yang selalu mereka tanamkan kepadaku. Dari kecil, bahkan disaat anak-anak lain sibuk dengan jala dan senapan milik bapa nya. Aku malah lebih sering memegang pena dan buku hasil sumbangan orang-orang. Kata Mama, buku dan pena lah yang menjadi senjataku dimasa depan. Bapa pun bilang, dari buku dan tulisan lah aku bisa menjadi orang yang lebih bermanfaat, ketimbang aku harus menjadi nelayan seperti bapa.

Di sela-sela aku sedang membaca, Bapa pun suka ikut menyimak, sambil sesekali menceritakan semua hal tentang kampungku, baik dari sisi sejarahnya maupun keindahannya. Seringkali Bapa juga menasehati diriku tentang masa depan dan nasib kampungku.

Sampai pada akhirnya, disaat aku lulus SMA, nilai akhirku mendapatkan posisi sebagai nilai terbaik se-Papua Barat. Jujur, hal ini membuat aku sangat terkejut. Bagaimana tidak, disaat ujian sekolah tiba, aku malah tidak banyak belajar. Kegiatanku lebih banyak dihabiskan untuk menggantikan Ibu di kelas karena sedang sakit. Tapi, mungkin begitulah takdir tuhan.

Karena itulah, perlahan namun pasti, namaku mulai mendapat perhatian dari berbagai instansi dan lembaga yang bergerak di bidang pendidikan maupun pengembangan sumber daya manusia. Beberapa di antaranya bahkan menghubungiku secara langsung untuk menawarkan kesempatan melanjutkan pendidikan. Salah satu tawaran yang paling membekas dalam ingatanku adalah beasiswa untuk jenjang Sarjana di Jepang - sebuah negara yang dikenal dengan kemajuan teknologi dan disiplin pendidikannya.

Ketika aku menyampaikan kabar tersebut kepada Bapa dan Mama, mereka tidak ragu sedikit pun. Dengan penuh keyakinan dan harapan, mereka berkata, “Ambil sa saja, Nak. Kesempatan begini tra tentu datang dua kali dalam hidup.” Kalimat sederhana itu menjadi dorongan besar bagiku untuk melangkah lebih jauh.

Akhirnya, dengan restu keluarga dan tekad yang bulat, aku pun berangkat ke Negeri Sakura, membawa serta mimpi, semangat, dan harapan besar untuk belajar dan berkembang di tanah asing yang kelak akan menjadi bagian penting dari perjalanan hidupku.

Satu, dua tahun pertama ku jalani dengan penuh semangat. Jauh sebelum aku pergi, dibandara Bapa dan Mama berpesan agar aku terus belajar dan berusaha. Ucapan mereka lah yang menjadi penyemangat bagiku di saat aku sedang jenuh. Tahun ketiga, aku memberanikan diri untuk mendaftar menjadi Duta Pemuda Berbudaya Indonesia. Beberapa temanku mendukung penuh apa yang aku inginkan, tapi lebih banyak lagi yang menertawakanku. Bagaimana tidak? Kulitku legam, ramburku keriting, badanku tidak terlalu tinggi, ditambah logat bicaraku sangat mencerminkan anak Papua sekali. Sedangkan disaat aku mendaftar, ada ratusan orang dengan badan tegap, kulit putih, rambut klimis dan muka bersih layaknya artis. Tapi dengan percaya diri, aku tetap mendaftar saja. Sebab, meskipun secara fisik aku sangat jauh, tapi kecintaanku terhadap budaya di Papua lah yang menguatkan diriku.

Setelah melewati beberapa tahap, justru akulah yang menjadi pemenang utama. Jujur sekali, aku sangat tidak menyangka. Sebab, keraguanku dipatahkan oleh tepukan ratusan orang disaat piala tersebut diangkat. Aku menangis sekencang-kencangnya. Menangis dengan penuh kebanggaan. Menangis dengan penuh penghayatan.

Kabar baik ini kemudian diterima oleh kedua orang tuaku di kampung. Mereka kemudian mengadakan pesta kecil-kecilan sebagai ungkapan rasa syukur atas kemenanganku. Alhasil, aku pun dimandatkan menjadi Duta Pemuda Berbudaya Indonesia.

Hampir satu tahun aku menjabat. Aku, Wicak dan Miranti, memiliki tekad yang sama. Wicak dengan logat medoknya memiliki tekad untuk mengenalkan batik jawa ke kancah internasional. Pun dengan Miranti yang menginginkan masakan padangnya bisa mendunia. Sampai pada akhirnya, disaat tugas kami selesai, kami bertiga dengan semangat, visi, dan tentu kenekatan, akhirnya membuka rumah makan bernama “DAPOER TIGA NUSANTARA”. Nama tersebut diambil untuk merepresentasikan makanan dan perlengkapan dari ketiga budaya yang berbeda, namun tetap dalam satu naungan, yaitu Indonesia.

Selain fokus menyelesaikan tugas akhir pada tahun terakhir masa studiku di kampus, aku juga mulai merintis sebuah komunitas yang bergerak di bidang pendidikan. Komunitas ini aku dirikan tidak hanya di tanah air, Indonesia, tetapi juga hingga ke Jepang, tempat aku menimba ilmu. Langkah ini lahir dari tekad dan keinginan yang sama dengan niat mulia Ibu, bahwa ilmu pengetahuan tidak seharusnya berhenti pada pemiliknya saja. Aku percaya bahwa ilmu yang kita peroleh, apapun bentuknya, sebaiknya disebarluaskan secara cuma-cuma, agar dapat menjadi cahaya yang membangkitkan semangat anak-anak yang memiliki mimpi besar, terutama mereka yang berasal dari daerah dengan akses pendidikan yang masih terbatas.

Perjalanan ini membawaku pada satu momen yang sangat emosional dan tak terlupakan yaitu hari kelulusanku. Di tengah riuh tepuk tangan dan suasana perayaan, aku dikejutkan oleh kehadiran orang-orang terdekat dalam hidupku. Bapa, Ibu, dan Adikku datang dari jauh untuk memelukku di hari bersejarah itu. Yang lebih mengharukan lagi, mereka datang tidak sendiri, mereka ditemani langsung oleh Gubernur Papua Barat beserta perwakilan dari Dinas Pendidikan. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa kelulusanku akan menjadi momen sebesar itu.

Kehadiran mereka bukan hanya membawa kejutan, tapi juga menjadi titik balik dalam perjalananku. Saat aku berdiri di antara mereka, aku menyadari satu hal penting: "Sejauh apapun aku merantau, setinggi apapun aku melangkah dan bermimpi, akan selalu ada panggilan dari tanah kelahiranku yang menyambutku dengan tangan terbuka." Harapan itu kembali membawaku pesan bahwa pulang bukan hanya soal raga, tapi juga tanggung jawab moral untuk memberi kembali kepada tempat asal yang telah membentukku.

Karena aku percaya, kampungku dan negeriku, adalah surga para raja. Bukan hanya soal keindahan alamnya saja, melainkan dengan banyak kebudayaan, banyaknya bahasa, banyaknya nilai sejarah, banyaknya agama, banyaknya suku, dan banyaknya perbedaan lainnya. Tapi, perbedaan itu bukan menghalangi diriku untuk saling bertoleransi satu dengan yang lain. Terpenting, warisan dari para leluhur sebelum kemerdekaan lah yang menjadi bekal bahwa keberanian dan ketulusan hati lah yang akan membawa langkahmu untuk bisa terbang tinggi layaknya Garuda.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Bronze
Kekacauan di Pagar Sekolah
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Saat Tidak Punya Apapun Lagi yang Bisa Hilang dalam Hidup Ini
Uhdia Pancananda
Cerpen
Surga Para Raja
Rizki Mubarok
Novel
Bronze
Dokter dan Chef
Maria Goreti
Novel
Bronze
Our Promise
Mufara324
Cerpen
Kombe
Saphire
Novel
Bronze
Someone Like You
Maria Kristi
Skrip Film
Luka
Jia Aviena
Novel
Episode
Perspektifat
Skrip Film
Mencari Irama
Hendra
Novel
Pilar
Dwi Kurnialis
Novel
Bronze
Tragedi Cinta Jilid 1
Tinta Emas
Novel
Bronze
Memoar
Kurarin Arin
Flash
Perempuan Buta dan Adiknya
NO-NAME
Novel
Anteas
Mela safitri
Rekomendasi
Cerpen
Surga Para Raja
Rizki Mubarok
Cerpen
Jatuh dalam Pelukan
Rizki Mubarok
Cerpen
Biru Akan Selamanya Tetap Biru
Rizki Mubarok
Cerpen
Catatan si Anak Emas
Rizki Mubarok
Cerpen
Segelas Matcha di Siang Hari
Rizki Mubarok
Cerpen
Sketsa Mulia Di Langit Jakarta
Rizki Mubarok
Cerpen
Katanya sih Cinta
Rizki Mubarok
Novel
TINTA HITAM
Rizki Mubarok
Cerpen
When Nation Falls
Rizki Mubarok
Cerpen
Get Rich Overnight
Rizki Mubarok
Cerpen
Tak Ada Lampu Merah di Bandung
Rizki Mubarok