Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku punya dua jalan pintas rahasia. Salah satunya melalui loteng yang terlihat mirip plafon biasa. Aku harus berjalan selihai tupai saat melintasi kuda-kuda rumah, agar bisa mencapai rongga dinding yang mengarah langsung ke loteng milik Haji Rahmat. Jika bukan karena titisan silek Amak, aku mungkin sudah terpelanting jatuh. Aku harus tetap bisa mengaji demi Amak.
***
Amak berwajah tegas dan sedikit keras. Jika sampai menjelang petang aku tak kelihatan batang hidungnya, maka ia akan meradang, bergegas mencariku hingga ke tanah lapang di persawahan utara dekat pabrik padi besar yang kokoh seperti benteng milik Datuk Badri.
Tempat seorang anak meninggal terbenam dalam sekam panas tahun lalu. Dan konon kini berhantu, apalagi kala matahari terbenam--sandekala—saatnya para jin dan setan bergentayangan.
Suaranya menggelegar, menggema ke seantero kampung. Memantul diantara dinding tembok pembatas rumahku, rumah Haji Rahmat, rumah Inyik Kulsum, bukit dan pepohonan besar.
"Mana bocah nakal itu!, kalau sampai Maghrib tak pulang akan aku hajar dia!!”, teriaknya melengking menimbulkan kengerian bagi siapapun yang mendengarnya. Seolah jika aku tertangkap, akan benar-benar dicabik, dan nyawaku melayang.
Sementara aku masih berkubang di irigasi memeriksa lukah memburu ikan sapek dan bakok, atau duduk di dangau melihat gerombolan bangau terbang bergantian membentuk formasi yang membuatku takjub. Apalagi di pegunungan yang jauh, matahari jingga mengirim semburat emasnya, berkilau di pucuk padi kuning. Ditambah angin sore sejuk yang membawa bau ilalang kering. Burung-burung mulai terbang pulang, bergerombol di dahan-dahan akasia dan trembesi di pinggiran jalan.
Tapi saat aku pulang, dari pintu belakang rumah dengan nafas tersenggal, Amak yang sudah menunggu di pintu dengan dahi berkerut dan mata mendelik disertai gelengan kepala, justru menarik tanganku dengan lembut. Menggiringku ke kamar mandi dengan sebelah tangan mengelus rambutku yang basah berkeringat, bukan mencabikku seperti ancamannya. Begitulah Amak.
Di masa mudanya Amak murid kesayangan Tuo Silek, pandeka silek tuo di Padangpanjang. Ia murid silat paling lincah dan cepat menguasai mancak dan jurus andalan silek tuo, cakar harimau. Amak perempuan Minangkabau sejati. Tubuhnya sintal, kulitnya bersih terang. Tapi sejak menikah, ia berubah menjadi perempuan sejati.
Para tuo silek dulu berpesan, jiko mamancak di galanggang, kalau basilek di muko musuah, maka Amak selalu mengajarku untuk rendah hati dan santun. Ia tak pernah menggunakan jurus dan tangannya selain untuk mengelus rambutku dan memelukku yang selalu aku protes, karena aku bukan bocah kecil lagi. Amak memilihkan nama Maulana Akbar untukku.
"Kamu akan tumbuh besar seperti namamu”, kata Amak. Kulitku mengikut warna cerah kulit Amak, aku putera satu-satunya, setidaknya untuk saat ini.
Jika aku rajin mengaji, Amak akan membuatkanku roti tenonk dan memasakkan gulai ketupat pitalah yang gulainya berisi cubadak dan rabuang—nangka dan rebung kesukaanku. Apalagi jika kami pelesir ke Gunung Tandikat atau Air Terjun Lembah Anai pastilah dimasakkanya untukku. Jadi aku tak mau mengecewakan Amak.
Sekali waktu aku terlambat berangkat mengaji, aku tak mau Amak malu, jadi aku nekat mengambil jalan pintas keduaku. Naik ke tembok pembatas rumah seperti ninja, menapak di batu yang sedikit menonjol, dan bisa aku jangkau dengan tangan dan kaki sebagai tumpuan pegangan dan pijakan. Melompat gesit ke pagar loteng Haji Rahmat, dan merayap turun dengan meredam suara sesenyap mungkin, hingga tiba di dalam balee. Membuat Salim, anak tertua Haji Rahmat terkejut dan marah.
“Eh, ada maling rupanya”, Salim menyindir ketika mendapati aku berada di dalam balee padahal Salim sudah menunggu lama dipintu luar sebelum akhirnya menguncinya.
“Dari mana masuk?. Masuk rumah orang sembarangan!!”, bentak Salim.
“Kalau tak mengaku lebih baik pulang!”. Kali ini matanya melotot tajam seolah hendak menerkamku, sambil berjalan ke arah pintu keluar hendak mengusirku. Diamku ternyata membuat Salim meradang, jadi aku menjawab singkat lewat loteng, sambil menggeleng cepat ke arah bangunan lantai dua di sisi kiri. Haji Rahmat cuma bisa menggeleng.
Rasa malu dan kemarahan Salim membuatku merasa terasing, sementara Amak mungkin malu harus menghadapi Haji Rahmat. Situasi itu menambah ketegangan dalam hidup kami.
***
Aku mandi kilat. Air gayung yang aku siram ke tubuh dengan asal, membasahi dinding kayu hingga basah kuyup, dan lantai tergenang ceceran air. Apalagi usai mandi, tanpa handuk dengan kaki basah, berpakaian secepat yang aku bisa, meski rambut masih bersimbah air.
Kulihat Amak cuma bisa menggeleng saat aku menarik sarung yang aku gunakan untuk mengeringkan rambut, lalu mengikatnya di pinggang seperti pandeka silek. Dan melesat seperti bayangan.
Dengan gerakan seluwes simpanse milik Datuk Badri, aku berlari ke titian tembok pembatas antara rumahku dan rumah Haji Rahmat. Aku bahkan sedikit berlari meniti dua bilah undakan semen. Dengan leluasa aku mencapai bagian tembok yang berbentuk lurus memanjang. Setiap dua meter terdapat tiang cor dengan besi menjulang yang aku gunakan sebagai pegangan keseimbangan. Tembok itu panjangnya kurang lebih enam belas meter, sepanjang ukuran empat buah ruko yang dimiliki Haji Rahmat.
Keseimbangan silek warisan Amak membuatku nyaris bisa berlari diantara titian tembok setinggi hampir dua meter itu, padahal dibawahnya parit mengangga. Dan terdapat sumur yang konon berisi belut raksasa.
Aku pernah melihat belut itu dengan mata kepalaku sendiri, di suatu siang, usai main layangan, aku terdiam dengan mulut menganga tak percaya, ternyata benar mahluk danau Lochness memang menghuni sumur tua itu.
Tapi kini diatas titian bata, aku tak peduli, bahkan jika terpelanting jatuh saat melintasi titian tembok seukuran satu bata itu. Tembok itu satu-satunya jalan tercepat mencapai balee mengaji milik Haji Rahmat jika terlambat.
Di kejauhan Salim, anak tertua Haji Rahmat seperti biasa sudah menunggu sambil menggelengkan kepala, sementara tangannya menggenggam gerendel pintu. Menunggu aku melompat turun dari tembok, dan dalam hitungan detik sebelum pintu tertutup aku masuk lewat bawah lengannya yang sengaja menghalangiku bisa masuk bebas.
“Telat lagi, telat lagi, hah!!” gerundelnya, sebelum menguncinya.
Di ruangan itu ada Fatimah kakak tertua, dan seorang adik perempuan cantiknya, Aisya.
Aku tidak tahu persis bagaimana mulanya aku bisa menjadi murid pengajian di bale mengaji milik Haji Rahmat karena sebenarnya bale itu cuma untuk anak-anaknya sendiri.
“Izinkan Akbar ikut mengaji di bale Pak Haji,” pinta Amak suatu hari.
“Saya belum izinkan ia mengaji di surau. Biar bisa mengaji Juz Amma dulu” ujar Amak berterus terang yang membuat aku malu mengetahui alasannya.
Padahal surau menjadi tradisi, tempat kami belajar seluk beluk kehidupan. Itulah mengapa para abak, amak, inyiek dan ungku mengharuskan anak dan cucu mereka berangkat ke surau, mengaji sambil belajar silek. Tapi Amak justru memintaku mengaji di rumah sebelah, jadi aku memilih menurut demi Amak.
“Bangun!!!, liurnya jatuh lagi!!”, goda Salim yang membuatku terlonjak kaget dan segera menarik air liur dengan suara keras dari sudut bibir, sambil bergerak seperti mengelapnya padahal tak ada apa-apa disana.
Atau dengan sengaja melecut rotan ke lantai membuat suara cetar yang membuatku tersentak jatuh dari kantuk, dan lidi penunjuk bacaan kitabku terpental karena terkejut. Semuanya tertawa terpingkal, kecuali Aisya yang melihatku sedikit iba dan menahan diri untuk tak tertawa.
Aku cuma menunduk, meski aku sebenarnya bukan anak penakut, aku cuma ingin menjaga nama baik Amak. Buktinya aku pernah naik ke pohon buah sao paling angker yang konon dipenuhi roh-roh halus di belakang rumah. Tempat anak-anak pencuri sao tersangkut mantra yang konon katanya dimantrai Inyik Kulsum si pemilik kebun.
Menurut cerita inyiek dan ungku dikampungku memang ada mantra “orang pintar” yang bisa “memagar”. Siapapun yang melanggar, maka nasibnya seperti teman-temanku yang tersangkut di dahan pohon, menempel seperti tersihir. Sejak saat itu anak-anak menjuluki Inyik Kulsum sebagai nenek sihir.
Aku pernah main kerumah Inyik Kulsum bersama Amak. Ruangannya luas, tapi tak berlampu. Satu-satunya cahaya penerang di dalam rumah yang temaram hanyalah nyala bara api dari tungku masaknya. Bayangan siluet tubuh tuanya, terlihat melengkung tertatih. Wajahnya tirus, tapi menurutku bukan seperti penyihir.
Aku melihat timbunan kesedihan di matanya, rasa sakit tertahan yang menggumpal bersama waktu. Dengan tiga orang anaknya yang semuanya sakit.
Kakak tertua terkurung di kamar dengan jendela yang tak pernah dibuka. Pernah suatu kali, saat mencari undur-undur di dekat jendelanya, aku mendengar ketukan halus bunyi papan jendela yang diketuk, lalu dari rongga bata merah yang tergerus hujan muncul sebentuk kuku yang runcing seperti jari-jari vampire. Membuat kami menjerit, melompat berhamburan
Putera laki-laki yang terkecil, Hasbullah tinggal di kamar depan dengan jendela berterali. Sesekali teriakannya terdengar oleh kami yang sedang bermain, atau ketika tangan-tangan jahil anak-anak mencuri krupuk jangek basah yang sedang dijemur.
Sedangkan putera tengahnya laki-laki berbadan besar, tapi tak bisa berbuat apapun selain mondar-mandir tak bersuara. Aku tak tahu apakah mereka benar-benar dikutuk seperti kata anak-anak. Rumah itu bertambah angker, apalagi kala Maghrib saat lampu minyak membuat rumah menjadi remang-remang.
***
Kesempatan mengaji di bale Haji Rahmat, akhirnya usai. Amak beralasan, karena aku sering telat maka aku tak lagi dibolehkan mengaji, dan sejak saat itu aku pindah mengaji ke surau.
Ternyata bale itu telah membuatku punya bekal mengaji, setidaknya paham Juz Amma. Padahal dulu, Amak harus mengurut dada mengajariku mengaji.
“A fatah a, i khasrah i, u dhamah u—a....i...u”, Amak terus mengulang-ulang bacaan dengan nada tak sabar, sementara aku terbata mengulang sambil memandang sedih ke mata Amak yang makin kecewa.
“Sudahlah, besok diulang lagi”, Amak meninggalkanku sendirian, beranjak ke dapur menyiapkan makan malam sebelum azan Isya berkumandang. Meski Amak berwajah keras, aku tahu ia sedang sedih, apalagi ayah lama tak kembali dari kota sejak beberapa tahun lalu. Kabar burung berhembus jika ia kini telah memiliki istri selain Amak. Tapi Amak selalu menanggapi kabar itu dengan tak peduli. Dan memilih sabar menunggunya.
Bagi Amak aku lebih penting dari kabar burung yang tak jelas itu. Amak lebih memilih mengurus aku agar pandai mengaji dan membaca.
***
Ketika mulai mengaji di surau, aku dijuluki “anak bawang”.
“Kencing aja belum lurus, mainnya sama anak besar, minggiiiir...!”, ujar Kasnul yang badannya bongsor dan sedikit sombong.
Begitupun ia sama sekali tak berani menyentuhku. Ia pernah melihat aku menghajar Andung yang berbadan tinggi, ketika mengangguku dan aku meradang melawannya, sebuah tinju keras yang aku sarangkan sambil melompat mendarat di hidungnya. Setidaknya orang tahu aku tak mudah ditaklukan.
Bangunan surau itu terletak agak menyudut dekat sebuah panglong kayu. Di tepi dindingnya yang terbuka, berjejer pohon tidur, yang daunnya mengepit, merunduk seperti orang terkulai tidur saat malam.
Dulham pertama datang, bersepeda “laki” dengan besi melintang di antara stang dan sadel. Tapi Dulham justru mengayuhnya dengan masuk dicelahnya, bukan duduk di sadelnya. Tangan kiri melintang di atasnya dan tangan kanan memegang kokoh stang satunya, menggerakkan badan dengan luwes seperti pemain sirkus.
Tubuhnya yang kecil, cungkring jelas tak akan sampai jika harus melintasi besi sepeda ”laki” itu.
“Jan!, mana Miswar?. Januar yang ditegur Dulham bukannya mendongak menjawab justru asyik menekur, tangannya sibuk mengesek layar hape android yang berkilauan, membuat wajahnya terang menyala seperti drakula yang disorot senter dalam kegelapan.
“Diam dulu!, aku tidak bisa main kalau kau ribut!. ujar Januar bersungut-sungut, sementara Dulham langsung menepi dikolong bale, berhenti mendadak dengan suara decit rem tertahan.
“Kalian tak mengaji?, Ustad Samin udah nunggu kita, ayo!, cepat matikan hape!, kalian mau kena amuk lagi?”. Dulham maju menyorongkan mukanya kedepan hape Januar berusaha menganggunya, yang langsung dibentaknya.
“Nanti aku menyusul!, bilang aku masih di kamar mandi, sakit perut”.
“Sakit betulan baru tau rasa!”, aku mengikut Dulham menyumpah. Yamin yang sedari tadi ikut menonton, langsung menarik sarung yang diselempang di bahu, mengejar Dulham yang berlari didepannya.
“Kamu tak usah ikut-ikutan Januar yang sudah gila hape!”, ujarku berusaha menasehati Yamin, sambil berjalan cepat ke surau.
‘Sialan!”, gerutu Jan yang cuma menoleh cepat dengan mata mendelik dan mulut dimonyongkan mendengar sindiranku.
Miswar ternyata sudah ada disana dengan beberapa bocah lain, termasuk Kasnul, Mirjan, dan diantara mereka sudah duduk Ustad Samin dengan sebilah rotan kecil, seperti joran pancing dari kejauhan.
“Cepat!!!”, katanya sambil melecut tikar dengan rotan membuat suara cetar yang keras.
Meski sering mengancungkan rotan untuk mengancam, tak satupun diantara kami yang pernah terkena sabetannya. Kecuali tikar yang makin lama sobekannya makin lebar di tempat Ustad Samin sering melecutnya. Terbayang jika telapak tangan atau punggung kami yang jadi sasarannya.
***
Sejak wabah menyebar hebat, anak-anak makin banyak yang punya hape. Jika awalnya cuma Januar, kini hampir semua anak punya hape, kecuali aku. Tapi aku tak pernah meminta apalagi memaksa Amak membelinya. Amak harus bekerja serabutan, mencuci atau membantu Inyik di kapao, menjual nasi untuk para pedagang di Pasar Lama yang tak jauh dari rumah.
Saat membuat PR daring, aku bergantian dengan Maituo, itupun selalu ditungguinya. Jadi aku tak sempat menonton, apalagi bermain game seperti teman-teman lain.
Semakin lama surau semakin berkurang santrinya. Jika dulu karena alasan wabah, sekarang entah karena alasan apa. Belakangan para orang tua masih terbawa-bawa kecemasan wabah, dan tak lagi bersikeras memaksa anaknya mengaji ke surau seperti dulu.
Anak-anak berangkat ke surau, tapi diam-diam duduk di lapak kosong main game online. Apalagi ustad baru cuma sementara. Aku mulai ikut-ikutan membolos.
Suatu malam, setelah mendapati aku terlambat pulang dari surau, Amak memanggilku dengan nada marah.
“Kalau kamu sampai mengulanginya lagi, nanti Amak sendiri yang menjemput ke surau!” Tapi di balik kemarahannya, aku melihat kekhawatiran yang mendalam, seolah-olah seluruh dunia bergantung padaku untuk menjadi anak yang baik.
Apalagi sejak Ustad Samin meninggal karena wabah. Anak-anak yang dulu rajin mengaji satu persatu keluar, para orang tua merasa trauma. Maka bubarlah pengajian di surau itu. Semakin lama surau semakin sunyi. Apalagi anak-anak sudah merasa semakin besar dan merasa bisa mengaji sendiri.
Bagi aku, perubahan ini terasa sangat menyedihkan. Wabah telah merenggut kebiasaan kami dan meninggalkan kami dengan ketakutan dan kekosongan yang mendalam.
Wabah yang melanda kampung kami semakin memperburuk situasi. Surau yang dulu ramai dengan bacaan Al-Qur’an kini sepi. Satu per satu teman-temanku menghilang, beralih ke hiburan digital yang lebih menarik daripada mengaji. Anak-anak juga makin pintar seperti pencuri kecil, jika diawasi berlagak belajar, jika dibiarkan bermain game, sudah kecanduan seperti perokok.
Ketika pelajaran di surau semakin berkurang, perasaan kosong dan kesepian semakin terasa, seolah-olah surau kami kini kehilangan jiwa.
Amak merasa tertekan dengan situasi ini. Setiap kali dia berusaha mengajakku mengaji di surau, ia harus menghadapi kenyataan bahwa tempat itu semakin sepi. Wabah telah membuat kami merasa terasing.
Kini saat surau dipakai untuk shalat berjamaah, saat paling ramai hanya ketika shalat Maghrib, sisa empat waktu shalat lainnya, apalagi Subuh sunyi. Beberapa kali hanya dengan satu atau dua jamaah, dan orangnya itu-itu saja.
Akhirnya, surau tidak hanya menjadi simbol kehilangan, tetapi juga cerminan dari perubahan yang lebih besar dalam hidup kami. Meskipun wabah berlalu, surau yang pernah menjadi tempat berkumpul dan belajar kini sunyi. Perubahan ini mengajarkan kami tentang ketidakpastian dan kehilangan, karena kekuatan yang tak terlihat.
Saat aku duduk di tangga surau yang kosong, aku merasa seolah bisa mengingat kembali semua kenangan yang hilang. Mungkin, dalam kesunyian itulah aku bisa merasakan akibat dari semua perubahan yang telah terjadi.
Surau, meskipun sunyi, akan selalu menjadi bagian dari diriku—sebuah tempat di mana harapan dan kehilangan bertemu dalam satu ruang penuh kenangan. Aku berusaha bertahan, sekalipun mungkin aku harus menjadi ustad seperti Samin demi surauku.