Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Vian, seorang editor lepas berusia 30 tahun, menjalani hidup yang teratur namun sepi di apartemen kecilnya di pinggir kota. Rutinitasnya hanya diisi oleh pekerjaan, kopi hitam, dan tumpukan buku di sudut kamar. Suatu sore, saat memeriksa kotak pos, dia menemukan surat dengan tulisan tangan rapi, ditujukan untuk "Hendri." Pengirimnya, Ika, menuangkan kerinduan dan cinta dalam kalimat-kalimat puitis yang disertai aroma vanila samar dari kertasnya. Vian bukan Hendri, tapi surat-surat itu terus datang, mengguncang dunianya yang monoton.
Surat Pertama (Minggu Pertama):
Kepada Hendri,
Aku menulis ini di Kafe Diamond, di meja dekat jendela, sambil menyeruput teh chamomile. Ingatkah kau malam saat kita berjalan di tepi sungai, lampu kota berkilau di air? Tawamu masih bergema di kepalaku, Hendri. Aku rindu suaramu yang membuatku merasa utuh. Tulis aku kembali, tolong. Aku menunggu.
Dengan cinta,
Ika
Vian membaca surat itu dengan perasaan aneh—campuran rasa bersalah karena mengintip rahasia orang lain dan kagum pada kepekaan Ika. Dia menyimpan surat itu di laci, berpikir untuk mengembalikannya, tapi tak tahu caranya.
Surat Kedua (Minggu Ketiga):
Hendri,
Kadang aku bertanya, apakah kau masih membaca suratku? Aku menulis karena ini satu-satunya cara aku merasa dekat denganmu. Hari ini, aku melewati toko buku tua tempat kau membelikan aku novel Murakami. Aku memegang buku itu dan hampir menangis. Kau bilang aku terlalu sentimentil, tapi rinduku padamu tak pernah reda. Apa kau masih di sana?
Selalu milikmu,
Ika
Surat ini membuat Vian membayangkan Ika: seorang wanita dengan mata penuh cerita, duduk sendirian di kafe, menulis dengan hati rapuh. Dia mulai menanti surat berikutnya, meski tahu itu bukan untuknya.
Surat Ketiga (Minggu Keenam):
Hendri,
Aku bermimpi tentangmu tadi malam. Kau berdiri di ujung jalan, tapi setiap kali aku mendekat, kau menghilang. Aku tak tahu mengapa kau diam begitu lama. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah? Rinduku padamu seperti beban di dadaku. Aku menulis ini sambil menangis di Kafe Diamond. Tolong, katakan sesuatu. Aku butuh tahu kau masih ada.
Ika
Nada surat ini lebih gelap, penuh keputusasaan. Vian merasa tersentuh sekaligus bingung. Siapa Hendri? Mengapa Ika terus menulis tanpa balasan? Rasa penasarannya bercampur dengan empati, mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang tak pernah dia bayangkan: membalas surat itu.
Dengan tangan gemetar, Vian mengambil kertas dan pena, menulis balasan pertamanya. Dia berpura-pura menjadi Hendri, berharap bisa menghibur Ika, meski hati kecilnya memperingatkan bahwa ini salah.
Surat Balasan Pertama Vian:
Ika,
Maaf jika aku lama tak menulis. Suratmu sampai padaku, dan aku membacanya dengan hati. Aku ingat malam di tepi sungai, tawa kita, dan cara kau membuat dunia terasa lebih ringan. Aku masih di sini, Ika. Tulis lagi, aku ingin tahu kabarmu.
Hendri
Vian mengirim surat itu ke kotak pos yang tertera di amplop Ika, merasa campur aduk antara bersalah dan bersemangat. Dia ingin menjaga ilusi itu hidup, setidaknya untuk menghibur Ika.
Beberapa hari kemudian, surat baru dari Ika tiba, tapi isinya seolah tak merujuk pada balasan Vian. Nada surat itu semakin berat, penuh kerinduan yang menyakitkan.
Surat Keempat dari Ika (Minggu Kesembilan):
Hendri,
Aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa menulis. Rinduku padamu seperti lubang yang terus menganga. Aku pergi ke tepi sungai kemarin, tempat kita berjanji akan selalu bersama. Aku berdiri di sana, berharap kau muncul, tapi hanya angin yang menjawab. Apakah kau sudah melupakanku? Atau apakah aku hanya menulis untuk hantu? Jika kau masih ada, Hendri, tolong berikan tanda. Aku lelah.
Ika
Vian terkejut. Bukankah dia sudah membalas? Mengapa Ika menulis seolah Hendri masih diam? Dia memeriksa alamat kotak pos, memastikan tak ada kesalahan. Dengan rasa was-was, dia menulis lagi, mencoba menghibur Ika.
Surat Balasan Kedua Vian:
Ika sayang,
Aku di sini, membaca setiap katamu. Maaf jika aku membuatmu menunggu. Mimpimu membuatku sedih—aku tak ingin kau merasa sendiri. Ingat hari ketika kita menari di bawah hujan? Aku masih merasakan tetes air itu, dan senyummu. Ceritakan lagi tentang harimu, Ika. Aku ingin mendengar semuanya.
Hendri
Namun, surat berikutnya dari Ika tetap tidak merujuk pada balasannya. Kali ini, Ika menulis tentang kenangan spesifik yang tragis.
Surat Kelima dari Ika (Minggu Keduabelas):
Hendri,
Aku tak bisa melupakan malam itu, ketika kau meminta maaf dengan mata penuh air. Kau bilang kau harus pergi, tapi aku tak pernah tahu mengapa. Aku menyalahkan diriku setiap hari karena tak menghentikanmu. Sekarang, aku hanya punya surat-surat ini untuk berbicara denganmu. Jika kau masih hidup, Hendri, tolong temui aku. Aku akan menunggu di Kafe Diamond, seperti dulu.
Ika
Vian merasa jantungan. Ika terdengar begitu rapuh, dan balasannya seolah lenyap ke udara. Dia tak bisa terus berpura-pura tanpa tahu kebenaran. Petunjuk tentang Kafe Diamond menjadi harapannya untuk mengakhiri misteri ini.
Vian pergi ke Kafe Diamond, sebuah tempat kecil dengan dinding kayu dan lampu gantung temaram. Dia membawa semua surat Ika, bertekad untuk menemukan jawaban. Di sana, dia bertemu seorang pelayan wanita berusia sekitar 28 tahun, dengan rambut terikat longgar dan mata yang seolah menyimpan cerita. Vian memperkenalkan diri dan bertanya tentang Ika. Wanita itu menatapnya sejenak, lalu berkata dengan suara pelan, "Saya Ika."
Vian terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dia menjelaskan tentang surat-surat itu, bagaimana mereka sampai kepadanya meski dia bukan Hendri. Dengan hati-hati, dia juga mengaku telah membalas sebagai Hendri, berharap bisa menghibur. Ika tampak terkejut, lalu tersenyum pahit. Dia mengaku tak pernah menerima balasan itu. "Mungkin kotak pos itu bermasalah," katanya, meski nada suaranya ragu.
Ika kemudian menceritakan kisahnya. Hendri adalah kekasihnya, yang meninggal tiga tahun lalu dalam kecelakaan motor. Surat-surat itu adalah caranya untuk "berbicara" dengan Hendri, dikirim ke alamat acak sebagai terapi yang disarankan oleh psikolognya. Dia tak pernah mengharapkan balasan, hanya ingin melepaskan rasa sakitnya. "Aku tak tahu bagaimana suratku sampai ke kamu," kata Ika, "tapi mungkin itu bukan kebetulan."
Vian merasa bersalah karena telah berpura-pura, tapi juga lega karena akhirnya bertemu Ika. Dia meminta maaf, dan Ika, meski awalnya terkejut, tersentuh oleh usahanya. "Kau tak perlu membalas, Vian," katanya. "Tapi kau sudah membuatku merasa didengar, meski caranya aneh."
Malam itu, Vian dan Ika berbincang panjang di Kafe Diamond, ditemani teh chamomile dan aroma kopi yang menyeruak dari dapur. Ika menceritakan lebih banyak tentang Hendri—bagaimana dia selalu membawa buku ke mana-mana, bagaimana dia bermimpi jadi penulis. Vian, yang biasanya pendiam, mulai membuka diri tentang hidupnya yang kesepian, tentang bagaimana surat-surat Ika membawa warna dalam hari-harinya.
Mereka sepakat untuk tetap berhubungan, bukan sebagai Hendri dan Ika, tapi sebagai Vian dan Ika. Ika berjanji tak akan lagi mengirim surat ke alamat acak, tapi dia mengundang Vian untuk sesekali mampir ke kafe. "Mungkin kita bisa mulai dari awal," katanya dengan senyum kecil.
Beberapa minggu kemudian, Vian kembali ke Kafe Diamond. Kali ini, dia tak membawa surat, hanya sebuah novel Murakami yang dia pinjam dari rak bukunya. Ika menyambutnya dengan senyum yang lebih ringan, seolah beban di hatinya mulai terangkat. Mereka duduk di meja dekat jendela, berbagi cerita tentang buku, kota, dan mimpi-mimpi kecil yang mulai tumbuh di hati mereka.
Vian belajar untuk membuka diri, untuk melihat dunia di luar apartemennya yang sepi. Ika, perlahan, belajar melepaskan Hendri, menemukan kedamaian dalam pertemuan tak terduga ini. Surat-surat itu, meski salah alamat, telah menghubungkan dua jiwa yang sama-sama mencari makna.
-Tamat