Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
1/
Aku percaya, Naf, bahwa cinta adalah bahasa yang mengubah luka menjadi puisi. Saat kau menangis, cinta akan mengumpulkan air matamu dalam tempayan, lalu menyulingnya menjadi tinta untuk menulis surat-surat yang kelak dibaca oleh jiwa-jiwa yang tersesat. Saat kau terjatuh, cinta takkan mengangkatmu, tapi akan berbaring di sampingmu, menunjukkannya bintang-bintang yang bersinar di antara reruntuhan.
Pernahkah kau perhatikan kupu-kupu? Tubuhnya yang rapuh itu lahir dari kepompong yang gelap, di mana ia harus berjuang sendiri, merobek diri sendiri, untuk akhirnya memiliki sayap. Para ilmuwan berkata: jika kita membantu kupu-kupu keluar dari kepompongnya, ia akan mati. Karena dalam perjuangan itulah cairan kehidupan mengalir ke sayapnya, membuatnya kuat untuk terbang. Penderitaan, Naf, adalah kepompong kita. Dan cinta adalah keyakinan bahwa suatu hari, kita akan bisa mengepakkan sayap yang selama ini terlipat di dalam daging dan rintihan.
Cinta mengajari kita untuk memeluk penderitaan seperti memeluk anak kecil yang ketakutan. Tak perlu kata-kata. Cukup kehadiran. Cukup getar jantung yang berdetak, "Aku di sini. Aku mengerti. Dan ini pun akan berlalu."
Kita sering lupa, Naf, bahwa penderitaan dan sukacita adalah dua sungai yang bermuara di laut yang sama. Di suatu tempat yang jauh di dalam diri, keduanya bertemu, bercampur, menjadi air asin yang membasuh luka sekaligus mengapungkan kapal-kapal harapan. Cinta adalah nahkoda yang membisikkan, "Berlayarlah. Meski badai mengamuk, kau takkan tenggelam selama kau ingat ke mana arah perjalanan ini."
Pendek kata, aku ingin katakan: hidup memang penuh penderitaan. Tapi di setiap sudutnya, ada cinta yang membahagiakan. Seperti akar pohon beringin yang menjalar di antara bebatuan—ia tak mengeluh tentang batu, ia hanya membelitnya perlahan, sampai suatu hari, batu dan akar itu menjadi satu karya seni yang tak terpisahkan.
Untuk semua yang sedang belajar menari di antara duri-duri kehidupan. Aku di sini, duduk di tepi sungai yang sama, mencelupkan jari-jari ke dalam air, dan menuliskan namamu di permukaan air yang tak pernah berhenti mengalir.
2/
Naf, pernahkah kau mencoba menggenggam cahaya bulan? Seperti itulah cinta—kita tahu ia ada, tapi tak pernah bisa dikurung dalam definisi. Ia bukan soal logika atau hitungan; ia adalah denyut yang tiba-tiba membuat jantung berdebar tanpa alasan. Cinta itu seperti aroma hujan pertama: tak terlihat, tapi menyegarkan setiap sudut jiwa. Kita bisa menghabiskan ribuan kata untuk mendeskripsikannya, tapi tetap saja, yang tersisa hanyalah senyum atau isak ketika kita merasakannya. Mungkin itu sebabnya cinta sering disebut "bahasa tanpa huruf"—hanya mereka yang berani membuka hati yang bisa memaknainya.
Naf, kau pernah bertanya, "Apa gunanya rasa sakit ini?" Aku jawab: bayangkan seorang pendaki. Kaki yang lecet, nafas yang tersengal, dan dingin yang menggigit—semua itu bukan untuk menghancurkannya, tapi untuk membuktikan bahwa ia bisa sampai ke puncak. Penderitaan adalah pendaki itu. Setiap derita yang kau telan, setiap keputusasaan yang kau hadapi, adalah tanda bahwa kau sedang dipersiapkan untuk versi terkuat dari dirimu.
Lihatlah laut, Naf. Ombak tak pernah takut pecah berkali-kali di karang, karena justru di situlah ia menemukan kekuatan untuk terus mengalir. Kita pun begitu. Patah hati, kehilangan, atau kegelapan bukan akhir—ia adalah cara semesta berbisik, "Aku percaya kau bisa melalui ini, lalu membantu orang lain yang juga tersesat."
Tahukah kau? Luka-luka di hati kita adalah jendela. Melalui retakannya, cahaya cinta bisa masuk lebih dalam. Orang yang pernah hancur justru tahu bagaimana menyusun kepingan-kepingan hati dengan lebih baik. Seperti keramik Jepang yang diperbaiki dengan emas—keindahannya justru lahir dari sejarah pecahnya.
Cinta sejati tidak butuh kesempurnaan, Naf. Ia justru mekar di tanah yang pernah gersang, di hati yang pernah dikhianati, karena di sanalah ia belajar arti kesetiaan. Penderitaan mengajarmu untuk mencintai bukan hanya dengan kata, tapi dengan pengertian yang dalam.
Jika hari ini berat terasa, ingat ini: tidak ada badai yang abadi. Kau mungkin basah, mungkin gemetar, tapi setelahnya, kau akan tahu cara membuat api dari kayu yang basah. Setiap luka akan menjadi cerita yang kau ceritakan dengan bangga—"Lihat, aku melewati itu, dan sekarang aku di sini."
Dan cinta? Ia akan tetap setia menunggumu. Bukan cinta yang naif, tapi cinta yang matang—yang siap menyinari gelapmu tanpa menghakimi, karena ia tahu betapa berharganya prosesmu.
Kita ini seperti mawar, Naf: duri-duri itu ada bukan untuk menyakiti, tapi untuk mengingatkan bahwa keindahan selalu punya harga. Jangan malu untuk tetap lembut di dunia yang keras, atau untuk menangis di tengah jalan. Justru di situlah keajaiban hidup: kita tumbuh bukan saat semuanya mudah, tapi saat kita memilih untuk tetap ada.
3/
Jika kata adalah pelabuhan, maka aku telah tersesat di samudra makna saat mencoba merangkai cinta untukmu. Setiap helaan nafasku adalah doa yang terangkai dalam diam, merambat pelan seperti akar yang mencari sumber mata air. Kau, Naf—bagaikan fajar yang tak pernah gagal menyingsing, membawa cahaya yang merasuk ke dalam retak-retak jiwa yang selama ini membisu.
Aku mencintaimu. Bukan dengan kata-kata yang mudah layu di ujung lidah, melainkan dengan seluruh gemuruh yang mengalir dalam nadi, dengan setiap sujud yang kupanjatkan saat malam merangkul lelap. Di antara ribuan bintang yang berbisik, kaulah konstelasi yang kutafsirkan sebagai takdir. Di pelupuk mataku, kau adalah puisi yang tak selesai—terus mengalir, mengisi ruang-ruang yang bahkan tak kusadari kosong.
Kenyamanan yang kau berikan bukanlah sesuatu yang bisa kuterjemahkan dalam bahasa manusia. Ia seperti angin yang membelai daun kering, seperti ombak yang tak pernah lelah berdamai dengan pasir. Setiap hari, kau mengajarku arti “rumah” yang tak lagi terpaku pada dinding dan atap. Di dalam senyummu, kutemukan telaga yang tenang; di dalam diammu, ada lagu yang lebih merdu dari irama biola.
Aku ingin bercerita tentang bagaimana caramu menyinari gelap yang kadang mengunjungi pikiranku. Kau bagai bulan purnama yang tak pernah meminta imbalan, tetap setia menemani meski langit dihujam badai. Di pelukanmu, waktu kehilangan maknanya—detik menjadi abadi, dan lara-lara kecil pun luluh menjadi debu.
Naf, andai kata “cinta” bisa kujadikan dahan, akan kutanam ia di kebun rindu kita, kusirami dengan tawa dan air mata, kubiarkan ia tumbuh menjulang hingga akarnya menembus bumi dan pucuknya menyentuh langit. Di sana, di bawah naungannya, kurelakan jiwaku bersemadi: menanti setiap musim bersamamu, merayakan rintik hujan dan terik matahari sebagai saksi.
Terima kasih telah menjadi sandaran saat letihku tak berbentuk, telah menjadi kertas yang mau menerima coretan-coretan kalbuku yang acak. Di matamu, kutemukan surga yang tak tertulis dalam kitab-kitab suci. Aku tak tahu bagaimana akhir cerita kita, tapi hari ini, esok, dan segenap nafas yang tersisa—aku ingin terus menuliskan namamu dengan tinta yang diambil dari sumsum keberanian dan ketulusan.