Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namaku Gail Sheehy, panggil saja Gail. Saat ini aku tinggal dan menetap di New York. Mereka bilang aku adalah seorang aktivis kemanusiaan. Boleh juga tapi aku lebih senang jika dianggap sebagai seorang penulis saja. Hampir semua buku-buku karanganku merupakan hasil studi tentang manusia seperti menyoal tentang perbedaan kelas atau strata sosial, prostitusi, tingkatan perkembangan dan perang. Pun berbagai krisis dalam kehidupan manusia dewasa dan tentang orang-orang yang sukses mengatasi krisis itu. Aku hanya ingin menyampaikan berita perdamaian kepada seluruh dunia. Aku ingin menyebarkan cinta untuk kemanusiaan. Jika masih ada cinta kenapa harus ada perang.
Beberapa tahun yang lalu aku memang telah mengadopsi seorang gadis kecil bernama Mohm Path, anak perempuan berkebangsaan Kamboja. Bagaimana ceritanya tiba-tiba aku mengenalnya? Aku sendiri pun juga nggak tahu dan nggak pernah sekalipun terpikirkan olehku. Semua tidak terencana dan mengalir begitu saja.
Benar, pertemuan kami, aku dan Mohm Path sungguh-sungguh tidak disengaja. Saat itu, bertepatan pada hari Natal tahun 1968, ketika aku barusaja menyelesaikan suatu perjalanan yang cukup melelahkan, aku duduk di teras hotelku yang terletak di Bangkok. Kulihat sebuah surat kabar harian Bangkok Post tergeletak di atas meja, atau memang sengaja diletakkan di situ oleh roomboy hotel. Ya, bisa untuk menemaniku menikmati coffe break.
Pada awalnya aku nggak berpikir untuk meraih koran itu, karena aku sedang nggak ingin membaca. Pikiranku sudah banyak tersita untuk acara tadi siang. Kini saatnya rehat sejenak, pikirku. Namun pikiranku berubah begitu saja saat secara tidak sengaja sepasang mataku menangkap topik pada headline koran itu. Maka kuraih koran itu, setelah sedikit kubaca, aku baru tahu isi dari tulisan itu. Tulisan tentang ribuan anak-anak Kamboja tanpa keluarga sebagai akibat dari pemusnahan gila-gilaan atau aku lebih suka menyebutnya holocaust entah orang lain menyebutkan apa. Tragedi kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim Pol Pot dengan Khmer Merahnya yang saat itu berkuasa telah menebarkan teror menakutkan yang tidak berperikemanusiaan dan tidak mempunyai hati nurani. Aku lebih suka menyebutnya orang-orang gila.
Diperkirakan sepertiga dari populasi bangsa Kamboja telah musnah. Dibunuh secara massal. Sungguh biadab. Dan yang berhasil bertahan adalah sebagain besar mereka yang berusia antara 12 sampai 18 tahun. Meskipun begitu mereka dapat dipastikan juga tidak lagi mempunyai keluarga ataupun tempat tinggal, atau lebih ekstrimnya lagi mereka sudah tidak mempunyai negara. Saat itu, Kamboja diduduki oleh Vietnam dan bagi setiap pengungsi yang kembali ke Kamboja akan dianggap sebagai mata-mata.
“Berita macam apa ini?” pikirku.
“Kasihan mereka!” kataku menahan emosi.
Saat itu pikiranku dipaksa untuk mengingat kembali beberapa tragedi kemunusiaan yang sering terjadi di Kamboja. Berat sekalai rasanya.
“Akh… sudahlah, malam ini aku tidak ingin berpikir berat,” keluhku.
Sejenak kutatap secangkir kopi panas yang tersaji di atas meja, namun kurasa sudah sedikit mendingin karena telah kubiarkan semilir angin mengenduskan sebelum sempat kunikmati seteguk sensasi kopi panas yang baru tersaji.
“Huft… ya sudahlah, nggak apa-apa!” celoteh sambil kuminum seteguk dua teguk kopi di hadapanku itu.
Kubaca lagi kisah anak-anak pelarian Kamboja itu tapi sepertinya aku tidak mampu lagi untuk membacanya karena emosi jiwaku untuk saat ini sudah enggan menerimanya. Kulipat dan kutaruh saja koran itu di atas meja, di samping cangkir kopi.
Namun, tidak bertahan lama, kembali pandanganku tertuju pada secangkir kopi hitam itu. Ya, secangkir kopi kadangkala bisa menjadi teman dalam berbagai suasana. Adakalanya secangkir kopi panas memang bisa bicara terlalu banyak, begitu juga saat kopi panas berubah menjadi dingin. Seperti halnya kopi yang tinggal setengah cangkir di hadapannya sekarang. Meski aku merasa mulutku masam dan lambungku agak perih tapi tetap saja kopi menjadi pilihanku. Padahal dokter pernah mengingatkanku agar mengurangi konsumsi kopi jika tak ingin asam lambungku semakin sering kambuh.
Adakalanya aku hanya meminumnya seteguk dua teguk saja, kemudian menatap cairan pekat itu lekat-lekat seolah ada rahasia mendalam yang larut di sana. Bahkan aku suka membiarkan kopinya mendingin di cangkir. Entahlah, akhir-akhir ini aku juga tak mengerti kenapa harus melakukan semua ini.
Namun lagi-lagi kedua matanya kembali tertuju pada isi cangkir di hadapanku yang tinggal separuh. Aku termangu seperti tak berselera tapi nyaris tak berkedip. Dirasakan saja. Ya, dirasakan saja. Atau mungkin dilupakan saja. Seolah aku ingin memberikan nasehat kecil untuk diriku sendiri. Tentunya tidak mudah, segala kesedihan, juga kenangan-kenangan yang terlalu pahit, terutama bagi mereka. Semuanya, seolah-olah melebur jadi satu serupa pahitnya bubuk kopi dan manis gula pasir dalam seduhan air panas.
Bukan cuma lambungku yang perih tapi hatiku juga ikut perih. Aku mendengus pelan, mewakili pikirannya yang berat. Sekiranya saja waktu bisa diputar ulang kembali ke masa lalu, pikirku lelah. Tak Andaikan waktu bisa diajak berkompromi. Namun bagaimana aku dapat melupakan dan membiarkan nasib mereka di pengungsian tanpa kejelasan, tanpa nama hingga tak tahu apakah mereka merasa masih punya harapan dan masa depan.
“Hmm… aku harus berbuat sesuatu! Aku tidak boleh tinggal diam!” pikirku.
Hujan yang turun tiba-tiba di sore ini membuatku tak dapat lagi memejamkan mata. Ada sepi-sepi yang terusir dari atap hotel, embun yang lelah terhimpit rinai air dan sebuah asa yang buncah di dadanya, antara kepedihan dan harapan. Kubuka jendela kamar hotel. Kubiarkan angin dan tempias hujan menerobos masuk, sesekali mereka menampar-nampar atau mengeluskan jemari tua di wajahku.
Sebenarnya, perasaan ini telah meretakkan ulu hati. Kemudian ingin segera tumpah, mengalirkan cairan bening paling bisu dari sepasang mataku. Aku berusaha menguat-nguatkan perasaan, seolah pahit kisah ini akan tawar oleh waktu atau padam dan menetap di mimpinya saja. Tapi itu semua tak mungkin terjadi, karena tahu pasti dia akan segera kembali menjejali pikiran mudaku sepasti matahari yang membeliakkan makna hidup di timur langit.
Ahk, aku benar-benar tak tahan lagi untuk segera menumpahkan tangisku dalam hujan, agar tak perlu ada yang mendengar, tak perlu ada yang bertanya ada apa. Aku akan terisak di antara deru angin basah, dan mereka akan pura-pura tak mendengar semua yang dikeluhkannya pada hujan.
Selanjutnya kucari kebenaran tentang berita yang kubaca di surat kabar harian Bangkok Post tersebut. Kucari informasi dan data tentang keberadaan mereka. Sebelumnya aku pernah mendengar berita dari Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa kurang lebih ada delapan puluh lima ribu lebih jiwa yang terkepung di sana yang tidak menginginkan untuk pindah negara. Namun saat aku mengunjungi Kedutaan Besar Amerika di Bangkok, kutemukan dua buah kantong plastik besar yang sudah berdebu, berisi ribuan surat-surat permohonan dari orang Kamboja.
Seminggu kemudian aku kembali lagi ke Thailand untuk menulis tentang pelarian warga Kamboja yang terlupakan oleh Amerika. Nah, ketika itulah aku bertemu dengan seorang gadis kecil dengan tubuh kurusnya itu sebagai pengganti respondenku yang tidak muncul. Rambutnya hitam panjang namun matanya nampak begitu suram. Namanya Mohm Path. Panggil saja Mohm. Aku sempat berbincang dengannya selama kurang lebih satu jam melalui seorang juru penerjemah Bahasa. Dan selama itu kedua matanya tak pernah lepas dari wajahku.
Gadis itu tampak begitu kecil untuk usianya yang sudah menginjak sebelas tahun. Dia adalah salah seorang yatim piatu yang berhasil selamat dari kancah pembunuhan di negaranya, Kamboja. Dan entah kenapa pula, aku merasa masih ada tempat di dalam hatiku dan di dalam rumahku untuk gadis kecil itu. Ya, aku memang telah jatuh hati pada Mohm,
Mohm merupakan salah seorang anak yang lolos dari pemusnahan gila-gilaan oleh rezim Pol Pot, pimpinan Khmer Merah, di Kamboja. Orangtuanya telah dibunuh, sementara kedua adiknya mati di dalam kam kerja anak-anak karena penyakit desentri amuba. Sedangkan kakak satu-satunya dibawa entah kemana. Dan tinggallah si gadis kecil Mohm sebatang kara.
Setelah kabur dari kamp pengungsian, terlunta-lunta di dalam hutan hingga akhirnya sampai di perbatasan Thailand. Dia sampai di kamp pengungsian Khao I Dang. Bagaimana Mohm bisa berhasil melarikan diri dari kamp kerja anak-anak dengan penjagaan yang begitu ketat? Segudang pertanyaan memenuhi kepalaku. Terlepas dari kerumitan pikiranku untuk menerkanya, aku yakin pastilah dia adalah seorang anak perempuan Kamboja yang pemberani dan luar biasa. Dan semenjak perjumpaan itu, telah membuatku jatuh hati pada gadis kecil itu dan kuputuskan untuk mengadopsinya meski aku sudah mempunyai seorang anak perempuan bernama Maura.
Sembilan bulan kemudian, Mohm beserta 13 temannya di terbangkan dari Bangkok, tanpa nama, tanpa alamat yang dituju, hanya satu kata ajaib di dalam peta bumi Amerika yaitu New York. Mereka, anak-anak yatim piatu itu tengah memutari setengah dunia dan sedang melangkahkan kakinya meninggalkan dunianya yang kelam menuju masa depan meski belum diketahuinya.
Akhirnya Mohm tinggal serumah bersamaku dan Maura. Namun masalah baru menghadang Mohm. Untuk beradaptasi dengan dunia luar di New York, dia harus terkendala dengan masalah bahasa dan latar belakang budaya. Belum lagi karena Mohm masih trauma dan depresi ketakutan yang luar biasa dengan semua yang dialaminya di Kamboja.
Usaha apapun kulakukan agar dia kembali menjadi gadis periang. Mulai dari pembinaan psikologi kejiwaan dan mental dengan bantuan psikiater hingga kumasukkan dia ke sekolah umum. Hanya satu keinginanku untuknya. Ingin kuyakinkan bahwa aku, kami, mereka semua sangat mencintainya dan semua kehidupan masa lalunya sudah berakhir. Masih ada cinta untuknya.
“Mohm, ini bukan holocaust, sekarang kamu adalah bagian dari keluargaku. Kami semua mencintaimu!” ucapku untuk meyakinkannya meski dia tidak begitu mengerti dengan bahasaku tapi aku yakin dia tahu dengan apa yang kuucapkan itu.
Dan baru saat itulah kulihat ada air mata membasahi pipinya. Gadis kecil yang tidak bisa menangis itu akhirnya menangis dalam pelukanku. Demi cinta, semua akan kulakukan.