Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Mengapa aku ada di sini?"
Entah sejak kapan ranjang dengan sprei putih ini menjadi alas tidurku. Dinding-dinding bercat putih itu selalu mengawasi. Bahkan lampu di atas sana sering berkedip seolah-olah sedang main mata denganku. Pintu di salah satu sisi ruangan juga jarang terbuka. Jika dibuka, biasanya ada dua orang berbaju putih yang datang. Yang satu memakai kalung hitam. Kalung yang bagian ujungnya sering ditempelkan di dadaku. Yang satu lagi memegang papan dan kertas-kertas putih. Pasti dia akan menuliskan sesuatu di kertas-kertas tersebut.
"Mana surat cintanya?" pintaku pada orang yang memegang kertas setelah benda putih berujung tajam ditancapkan di lenganku.
"Oh, ini buat kamu. Simpan baik-baik, ya?"
"Yeeay! Makasih-makasih!"
Aku senang sekali mendapat surat cinta. Warnanya putih, bersih seperti awan, halus seperti kapas, tidak ada noda, tidak ada coretan, ataupun bercak hitam di sana. Kertasnya benar-benar bersih, putih semua. Dulu, aku juga pernah menulis surat cinta buat Ibu. Ah, di mana dia sekarang? Terakhir kali aku melihatnya, dia ada di … di … di mana ponselku? Ponsel!
Rupanya dia ada di sini. Apakah kalian bisa melihat ibuku? Coba perhatikan, dia sangat cantik. Baju lengan pendek dan rok di atas lutut yang dia kenakan menambah menarik parasnya. Aku mengusap-usap layar, ada Ibu banyak sekali. Dia juga berlenggak-lenggok sambil tersenyum. Apakah Ibu tersenyum padaku, atau pada orang lain? Ibu, mengapa Hana tidak dijenguk? Hana rindu ….
Hujan! Hujan! Itu hujan. Aku harus segera menjemput Ibu. Dia pasti akan kehujanan karena lupa membawa payung. Mataku terbuka. Dinding putih di sekitar ruangan terlihat angkuh. Dia menghalangi aku bertemu dengan Ibu. Ah, tapi dia ada di sana. Dia ada di mana-mana, menyebar ke seluruh dunia.
Segera kuambil benda pipih warna putih. Layarnya hitam legam. Benda itu sangat berharga untukku kali ini sebab Ibu ada di sana. Rasa rindu padanya tidak pernah surut walaupun setiap hari benda itu aku peluk dan cium.
Setiap malam, Ibu tidak bosan menemani tidur di ranjang putih. Dia akan mendekap, membelai, dan mengecup kening sebelum aku benar-benar terlelap. Begitu besar kasih sayangnya, tiada akhir. Sampai-sampai semua yang dia punya diberikannya untukku, termasuk napasnya.
Ibu, kapan Hana akan diajak ke atas panggung? Aku ingin menjadi pusat perhatian juga yang mendapat tepuk tangan penonton. Aku juga akan mengunggah banyak foto dengan pakaian seksi. Pasti pengikutku akan sama banyaknya dengan pengikut Ibu.
Ibu diam. Dia tidak bersuara. Aku melemparnya ke lantai. Dia tidak menangis sama sekali. Hebat! Bahkan surat cinta tempo hari yang kuberikan padanya tidak pernah dibalas. Apakah Ibu tidak sayang lagi padaku?
Tuhan, ini tidak adil. Aku sayang padanya, sejak lahir aku sangat sayang. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan Ibu. Bahkan karena saking sayangnya, aku membungkusnya rapat-rapat waktu itu. Jangan sampai dia dikerubungi semut, atau digigit nyamuk. Apalagi di rumah kadang ada kecoa dan tikus jahat menyelinap lewat ventilasi. Bagaimana jika Ibu digigit tikus? Pasti sakit sekali.
Dinding putih masih tegar menghalangi aku bertemu dengan Ibu. Hanya jendela yang bisa dibuka dari dalam. Itu pun banyak besinya. Sesekali aku mencari Ibu dari balik jeruji besi, tetapi tidak ada jejaknya. Hanya orang-orang lalu-lalang dengan pakaian sama warna sepertiku.
Orang-orang itu sering tertawa sendiri. Ada yang berjoget tanpa musik, ada pula yang menangis tersedu-sedu, ada yang diam mematung. Yang mengherankan, mengapa mereka ada di luar kamar? Mengapa aku tidak di luar seperti mereka?
Buka! Buka! Cepat dibuka! Aku akan menemui Ibu! Aku segera menggedor-gedor pintu sekuat tenaga. Tidak ada yang merespons. Aku terus berusaha sambil berteriak dari kamar, tidak peduli pada dinding-dinding putih yang tetap kokoh berdiri. Pokoknya pintu harus dibuka, titik.
Setelah beberapa saat, pintu dibuka dari luar. Yang datang dua orang seperti biasanya. Namun, kali ini mereka memegang lenganku dan menidurkan aku di ranjang. Benda runcing kembali ditusukkan di salah satu lengan.
"Apa sebaiknya diikat saja, Dok?"
"Tidak perlu. Dia hanya syok. Biarkan dia tenang dulu."
Lamat-lamat, percakapan dua orang itu terdengar olehku. Siapa yang syok? Apakah Ibu? Oh, Tuhan, jangan biarkan Ibu kesakitan. Lindungi dia dari semua marabahaya. Orang-orang aneh. Ibu tidak akan pernah syok, apalagi aku, anaknya.
Esoknya, seseorang menemuiku, pria tampan berkulit putih. Dia mengaku ayahku. Hah, apa benar? Ibu hebat mendapat suami setampan dia. Namun, mengapa Ibu tidak pernah bercerita tentang Ayah? Apakah ada persoalan di antara mereka?
"Berapa lama Hana harus dirawat, Dok?"
Pria itu bicara dengan seseorang yang pakaiannya putih. Jadi aku ini dirawat? Ah, ini gila. Aku tidak sakit apa-apa. Pasti mereka bukan membicarakan aku. Atau, Ibu yang sedang dibicarakan? Aduh, kasihan Ibu, sakit apa dia?
Pria yang mengaku sebagai ayahku masih berbincang dengan orang berbaju putih. Suara mereka tidak jelas terdengar, hanya sayup-sayup saja. Sesekali pria itu mengusap matanya. Mungkin dia kelilipan karena angin yang berembus pagi itu cukup kencang. Gorden di jendela kamar buktinya, berkibar pelan.
"Mantan almarhumah istri saya memang sibuk membuat konten. Hana sampai terlantar."
Pria itu bicara agak keras hingga terdengar olehku. Jadi? Mendadak air mataku membasahi pipi, deras sekali. Ibu sudah meninggal? Lalu, siapa yang menemaniku tidur di ranjang setiap malam? Meskipun ketika bangun hanya ada ponsel di samping bantal, tidak ada Ibu lagi.
"Tidak! Ibu masih hidup! Ibu belum meninggal! Aku baru saja memberinya surat cinta!"
Pria itu dan orang berbaju putih masuk ke ruangan, lalu memapahku ke ranjang. Seperti biasa aku tidak punya tenaga. Gerakan tanganku lemah. Hanya mata menolak untuk tidur meskipun akhirnya aku tak berdaya dan terlelap.
"Maafkan Ibu, Nak. Jangan salahkan dirimu. Ibu yang salah. Tak seharusnya Ibu mengabaikanmu sejak kecil. Pulanglah bersama ayahmu. Dia yang akan menjagamu."
"Ibu!"
Aku terbangun. Lampu di atas masih terasa berkedip-kedip. Mungkin karena mataku berkaca-kaca. Dinding-dinding kamar tetap kokoh berdiri. Namun, kali ini aku melihat senyum Ibu di dinding-dinding kamar.
Seketika aku teringat kejadian malam itu. Secara tak sengaja aku memukul tengkuk Ibu dengan kayu. Beliau roboh di lantai. Aku melakukannya gara-gara beberapa teman mengejek di sekolah. Mereka bilang, Ibu gencar pansos demi mendapatkan suami baru.
Aku pikir, tindakanku dapat menyadarkan Ibu. Minimal jera dan menghentikan aktivitasnya di media sosial. Namun, di luar dugaan. Tidak hanya kegiatannya di media sosial yang berhenti, jantung Ibu turut berhenti berdetak. Aku pun menjerit histeris.
Setelah itu, aku hanya ingat tidur di ranjang putih dan mendapat surat cinta. Surat yang juga kuberikan pada Ibu. Surat yang tidak pernah dibacanya lantaran kosong, tidak ada tulisan apa-apa. Yang mewakili isi hatiku setiap hari. Hampa, karena Ibu telah pergi selama-lamanya.
Jakarta, 28 November 2024